Senin, 18 Maret 2013

Radikalisme Berbahaya Karena Menyasar Pemuda dan Orang Miskin





Radikalisme agama di Indonesia berbahaya karena menyasar anak muda yang wawasan keislamannya tidak mendalam serta orang miskin yang dilemahkan oleh kekuasaan. Dalam situasi tersebut, radikalisme agama digunakan sebagai instrumen perlawanan terhadap pemerintahan.

Pandangan tersebut dikemukakan oleh intelektual muda muslim, Zuhairi Misrawi, kepada Lazuardi Birru menanggapi maraknya keterlibatan generasi muda dalam gerakan Islam radikal. Dalam hematnya, radikalisme agama di Indonesia bertumbuh pesat dipicu oleh infiltrasi pemahaman keagamaan dari jazirah Arab melalui jaringan internet dan social media. 

“Dulu infiltrasi pemahaman relatif lamban karena sarana komunikasi yang terbatas. Tapi sekarang pertukaran paham berjalan sangat luar biasa. Sementara itu, penangkal radikalisme tidak cukup kuat lantaran ide-ide pencerahan tidak berkembang masif di social media, melainkan lebih tersentralisasi di pusat-pusat pendidikan seperti pesantren,” ungkap Ketua Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta ini.

Pada saat yang bersamaan, lanjut Gus Mis, sapaan akrabnya, ada euphoria keagamaan di kalangan kelas menengah. Kesadaran keberislaman mereka menguat namun tidak diimbangi oleh proliferasi pemahaman keagamaaan yang moderat terhadap mereka oleh kelompok agamawan. Tak ayal, banyak kelompok menengah perkotaan yang menerima paham-paham radikal tanpa reserve. 

“Namun itu fenomena sesaat. Pasalnya, sejatinya pemahaman keislaman yang radikal bertentangan dengan watak kelas menengah yang sangat nasionalis dan inklusif. Pada awalnya mungkin mereka tertarik dengan pemikiran radikal namun seiring waktu terus berusaha melakukan penyaringan hingga akhirnya radikalisme agama tidak menarik lagi,” terang Gus Mis.

Karena itu, urai alumnus Universitas Al Azhar Mesir itu, radikalisme agama lantas menyisir ruang kelompok yang cukup sensitif yaitu generasi muda yang gairah keagamaannya baru tumbuh dan tidak mempunyai wawasan keislaman yang luas, serta orang-orang miskin yang secara ekonomi dilemahkan oleh kekuasaan.
Melihat fakta ini, Gus Mis mengimbau kepada pemerintah agar melakukan langkah strategis pada dua ranah kehidupan kebangsaan sekaligus yaitu politik kekuasaan dan masyarakat sipil.

“Langkah-langkah politik harus cepat diambil untuk menghidupkan kembali pemahaman tentang keindonesiaan. Bahwa dalam berbangsa dan bernegara kita harus memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya persaudaraan berbasis keindonesiaan. Di sini peran lembaga pendidikan sangat penting, pengentasan kemiskinan sangat mendesak, penegakan hukum yang adil juga niscaya,” tegas pria asli Madura ini.

Kedua, pada ranah civil society, khususnya umat Islam, pemerintah harus memfasilitasi kelompok-kelompok Islam moderat agar lebih aktif membangun kesadaran keagamaan yang toleran dan humanis di tengah-tengah masyarakat, serta mencoba untuk berdialog dengan kelompok-kelompok radikal secara lebih intensif.

“Dialog adalah pendekatan dari hati ke hati, bukan sekadar retorika dalam konteks untuk membenarkan atau menyalahkan tetapi meletakkan Islam pada porosnya. Bahwa Islam harus dipahami secara kontekstual, komprehensif dari pelbagai pendekatan, Indonesiawi, dan humanis. Itu semua memang butuh kerja keras,” ucap Gus Mis. (Fiq)

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar