Dalam sebuah perbincangan dengan Lazuardi
Birru, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab,
pernah mengutarakan bahwa maraknya aksi teror di Indonesia lantaran
tidak adanya kanalisasi semangat jihad pemuda-pemuda muslim Indonesia.
“Dahulu pemuda-pemuda Indonesia bisa
membantu negara-negara muslim lain yang sedang berperang seperti
Afghanistan. Namun sekarang hal itu dilarang oleh pemerintah,” ujar
Rizieq. Ia mengibaratkan hal itu seperti anak kecil yang menyulut mercon
di dalam kamar lantaran dilarang bermain petasan di luar halaman rumah.
Namun argumentasi itu dibantah oleh ketua
badan pengurus SETARA Institute, Hendardi. “Apa betul pada zaman
Soeharto pengiriman milisi sipil ke luar negeri itu dibebaskan? Itu
dilarang juga kok,” tandasnya.
Ahli hukum yang tak pernah mengenyam
bangku pendidikan hukum secara formal ini memang setuju bahwa kelompok
radikal di Indonesia membutuhkan kanalisasi ekspresi di negeri ini, tapi
itu diwujudkan dengan media lain, organisasi sosial politik misalnya.
“Di alam demokrasi, jika kelompok
masyarakat tertentu ingin bertarung untuk memproduksi kebijakan publik
yang sesuai dengan aspirasinya maka silakan bertarung melalui organisasi
politik. Saya kira pemerintah harus memberikan ruang kepada
kelompok-kelompok radikal untuk melakukan itu,” ujarnya.
Jika mereka enggan dan bersikukuh menolak
proses demokrasi, lanjut Hendardi, negara harus bisa menjelaskan kepada
mereka bahwa kekerasan tidak bisa ditoleransi. Tugas negara adalah
mengelola semangat berlebihan suatu kelompok hingga menjurus pada tindak
kekerasan dengan cara damai.
“Persoalannya, seringkali aksi kekerasan
mereka dibiarkan sehingga menyebabkan mereka tidak berminat masuk ke
partai dan lebih suka menyalurkan ekspresinya di jalanan,” tegas mantan
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) itu.
Dalam hematnya, pembiaran negara terhadap
praktik-praktik intoleransi oleh kelompok radikal menjadi salah satu
akar tumbuh suburnya praktik terorisme.
”Ketika tidak ada penghukuman terhadap
aksi-aksi radikalnya, berarti tidak ada efek jera. Maka pelaku ingin
melakukan hal yang sama atau bahkan lebih dari itu karena merasa tidak
dihukum,” tandasnya. (Fiq)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar