Rabu, 27 Maret 2013

Kelompok Radikal Butuh Kanalisasi Ekspresi



Dalam sebuah perbincangan dengan Lazuardi Birru, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, pernah mengutarakan bahwa maraknya aksi teror di Indonesia lantaran tidak adanya kanalisasi semangat jihad pemuda-pemuda muslim Indonesia.

“Dahulu pemuda-pemuda Indonesia bisa membantu negara-negara muslim lain yang sedang berperang seperti Afghanistan. Namun sekarang hal itu dilarang oleh pemerintah,” ujar Rizieq. Ia mengibaratkan hal itu seperti anak kecil yang menyulut mercon di dalam kamar lantaran dilarang bermain petasan di luar halaman rumah.

Namun argumentasi itu dibantah oleh ketua badan pengurus SETARA Institute, Hendardi. “Apa betul pada zaman Soeharto pengiriman milisi sipil ke luar negeri itu dibebaskan? Itu dilarang juga kok,” tandasnya.
Ahli hukum yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan hukum secara formal ini memang setuju bahwa kelompok radikal di Indonesia membutuhkan kanalisasi ekspresi di negeri ini, tapi itu diwujudkan dengan media lain, organisasi sosial politik misalnya.

“Di alam demokrasi, jika kelompok masyarakat tertentu ingin bertarung untuk memproduksi kebijakan publik yang sesuai dengan aspirasinya maka silakan bertarung melalui organisasi politik. Saya kira pemerintah harus memberikan ruang kepada kelompok-kelompok radikal untuk melakukan itu,” ujarnya.

Jika mereka enggan dan bersikukuh menolak proses demokrasi, lanjut Hendardi, negara harus bisa menjelaskan kepada mereka bahwa kekerasan tidak bisa ditoleransi. Tugas negara adalah mengelola semangat berlebihan suatu kelompok hingga menjurus pada tindak kekerasan dengan cara damai.

“Persoalannya, seringkali aksi kekerasan mereka dibiarkan sehingga menyebabkan mereka tidak berminat masuk ke partai dan lebih suka menyalurkan ekspresinya di jalanan,” tegas mantan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) itu.

Dalam hematnya, pembiaran negara terhadap praktik-praktik intoleransi oleh kelompok radikal menjadi salah satu akar tumbuh suburnya praktik terorisme.

”Ketika tidak ada penghukuman terhadap aksi-aksi radikalnya, berarti tidak ada efek jera. Maka pelaku ingin melakukan hal yang sama atau bahkan lebih dari itu karena merasa tidak dihukum,” tandasnya. (Fiq)

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar