Kamis, 31 Januari 2013

Fakhri Bey: Memastikan Hak Korban Terorisme





Dalam beberapa kasus aksi terorisme di Indonesia, hak-hak korban yang meninggal, cedera (survivor), atau pun keluarga yang ditinggalkan kerapkali terabaikan. Sudirman misalnya, korban Bom Kuningan 2004 mengaku tidak pernah memeroleh bantuan dari pemerintah Indonesia, baik dalam bentuk santunan untuk pengobatan maupun lainnya.

Hal senada juga disampaikan korban Bom Kuningan lain, Iwan Setiawan. Beruntung, kedua orang yang hingga kini harus terus menjalani pengobatan atas cedera yang mendera mereka akibat ledakan itu mendapatkan bantuan dari Kedubes Australia.

Sedangkan Hayati Eka Laksmi, mendiang suaminya Imawan Sardjono, korban Bom Bali I tahun 2002 mengaku mendapatkan santunan dari pemerintah Indonesia, tetapi hanya di awal pascaperistiwa. Kedua putranya yang menjadi yatim akibat aksi keji itu justru mendapatkan beasiswa pendidikan hingga perguruan tinggi dari LSM Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP).

Kenyataan lebih pahit dialami Chusnul Chotimah, korban Bom Bali I yang mengalami cacat permanen akibat luka bakar di sekujur tubuhnya. Lantaran permohonan bantuan kesehatan agar dapat berobat rutin ke rumah sakit secara gratis tidak kunjung direspon oleh pemerintah daerah Denpasar, pada tahun 2008, ia bahkan mengirim surat ke Presiden Republik Indonesia (detik.com, 06/11/2008).

Menurut Fachri Bey, S.H., M.M., Ph.D, ahli victimologi (korban kejahatan) dan pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, sebenarnya hak korban terorisme sudah diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme sebagai pengganti Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Bab VI yang mengatur Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi. Namun implementasi di lapangan, hak korban untuk memeroleh kompensasi atau restitusi dari pemerintah tidak semudah seperti yang termaktub dalam UU tersebut.

Lantas bagaimana memastikan agar hak korban terorisme bisa terjamin, baik itu dalam bentuk jaminan biaya pengobatan ataupun santunan lain? Berikut perbincangan Lazuardi Birru dengan peraih gelar Doktor dari Universiti Kebangsaan Malaya (UKM) Malaysia itu.

Kita awali dari definisi, sebenarnya siapakah yang bisa dikategorikan sebagai korban?
Ada beberapa pengertian mengenai korban. Dalam Undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) misalnya, yang disebut korban adalah istri atau orang-orang yang di dalam rumah termasuk pembantu.

Jika dibandingkan dengan berbagai perundang-undangan di luar negeri, yang disebut dengan korban itu termasuk keluarganya. Jadi kalau ada kompensasi atau restitusi untuk korban, namun ia sudah meninggal maka ahli warisnya boleh menerima itu.

Dalam konteks terorisme, ketika misalnya ada anak-anak yang dipaksa dengan ancaman untuk melakukan tindakan terorisme, mereka layak dikategorikan sebagai korban. Begitu pula dengan orang dewasa yang “tersandera” melakukan terorisme, namun itu tergantung dengan penyidikan pihak aparat.

Di Indonesia, banyak kasus di mana korban terorisme membiayai sendiri pengobatannya. Apakah tidak ada sistem yang menjamin biaya pengobatan mereka?
Di Indonesia, hak korban terorisme selain diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003, juga bisa berpatokan pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), karena terorisme merupakan pelanggaran HAM. Dalam UU itu disebutkan pula definisi korban dan hak-haknya yang perlu diberikan dalam rangka merehabilitasi kembali keadaannya.

Bersama tim di Kementerian Hukum dan HAM, saya pernah melakukan perincian dari biaya-biaya kompensasi dan restitusi kepada korban terorisme. Tetapi hambatannya saat itu, anggaran untuk kompensasi tersebut belum diajukan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Waktu itu kami lantas mengajukan dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah). Namun itu tidak jadi diberlakukan karena UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut, sehingga jumlah perhitungan restitusi dan kompensasi yang sudah kami tetapkan, dengan Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang bertanggungjawab membayarnya, juga ikut dibatalkan.

Apakah ada benchmarking dari negara lain mengenai penanganan korban itu?
Kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika, Filipina, Hongkong, dan Jepang, ditetapkan bahwa untuk pengobatan medis korban itu ditanggung oleh negara. Biasanya ini disebut dengan post trauma stress disorder (PTSD), akibat dari tindak terorisme atau pidana lainnya.
Bahkan di banyak negara ada kebijakan jika korban sampai cacat dan kemudian tidak bisa bekerja lagi, maka harus diberikan kompensasi oleh negara atau pelaku. Jadi tidak hanya sesaat setelah insiden terjadi tetapi sepanjang hidupnya.

Kemudian ada juga negara yang memberikan support to dependent of these victims yaitu orang-orang yang hidupnya tergantung pada si korban seperti anaknya, istrinya, atau ibu/bapaknya. Begitu ada orang menjadi korban terorisme maka dukungan/dorongan akan diberikan kepada mereka. Sumbernya bisa dari anggaran negara, asuransi, atau pihak ketiga yang dapat memberikan restitusi.

Bahkan ada juga negara yang memberikan biaya penguburan. Kemudian jika korban harus berobat ke luar negeri atau di luar dari tempat kedudukannya, maka biaya perjalanannya juga harus dibayarkan oleh negara atau oleh pelaku. Bahkan ada pula negara yang memberikan kompensasi kepada orang asing yang menjadi korban tindak pidana di negerinya. Mereka juga dapat mengajukan klaim kompensasi dan restitusi.
Kompensasi dan restitusi untuk korban itu sudah dianggarkan dalam anggaran nasional. Itu seperti asuransi kecelakaan di mana setiap warga negara kita sudah diasuransikan untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi.

Dalam konteks Indonesia, apakah hak-hak korban yang Anda sebutkan itu sudah diberlakukan?
Untuk Indonesia sudah ada UU Saksi dan Korban Nomor 13 Tahun 2006. Prinsip dasarnya, pertama, memberikan penghargaan atas hakikat dan martabat kemanusiaannya. Kedua, memberikan rasa aman kepada korban. Ketiga, memberikan keadilan kepada korban agar tidak merasa terdiskriminasi. Keempat, pembayaran ganti ruginya merupakan suatu kepastian hukum.

Di Indonesia, hak-hak korban yang sudah ditetapkan adalah pemberian perlindungan kepada korban, keamanan pribadinya, keluarganya maupun harta bendanya. Ini diatur pada pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2006.

Hak korban pula untuk ikut dalam proses peradilan si pelaku, berhak memberikan keterangan tanpa tekanan dari pihak mana pun, mendapatkan penerjemah jika ia tidak mengerti tentang hal-hal yang ditanyakan, didampingi oleh penasehat hukum, memeroleh informasi perkembangan kasus tersebut.
Korban juga berhak mendapatkan identitas baru. Ini berlaku bagi korban pemerkosaan atau karena ia memberikan kesaksian yang mengakibatkan hukuman pelaku menjadi berat sehingga rentan diincar pelaku. Dalam hal ini korban juga bisa diberikan alamat yang baru jika ia ingin pindah.
Hak korban lainnya adalah berhak mendapatkan penggantian biaya transportasi pengobatan, bantuan biaya hidup selama proses perlindungan, dan bantuan rehabilitasi psikososialnya.

Bagaimana memastikan hak-hak korban?
Semua penuntutan hak korban itu harus jelas prosedurnya. Ke mana mereka harus melapor. Lalu berapa lama laporan itu bisa disimpan oleh polisi untuk diproses sampai pembayaran dari Kementerian Keuangan.
Sekarang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sudah ditunjuk sebagai instansi yang menerima laporan tadi. Mereka mestinya berhak menghitung berapa hak korban yang harus dibayarkan dan lantas mengajukannya ke Kemenkeu. Tetapi tampaknya itu belum dilakukan. Hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi itu harus diproses dengan baik artinya tidak dalam waktu yang terlalu lama karena korban sudah cukup menderita akibat tindak pidana yang dilakukan orang lain.

Apa saran Anda untuk penanganan korban terorisme di Indonesia?
Sekali lagi yang perlu ditekankan adalah prosedur pengurusan hak korban harus jelas sehingga korban tidak susah untuk mendapatkan segala hak bantuannya. Jika sekarang yang ditunjuk LPSK, maka mestinya LPSK memiliki cabang di setiap provinsi.

Kemudian apakah bantuan kepada korban itu dianggarkan oleh LPSK? Apakah yang membayarkan LPSK atau Kemenkeu? Atau jika di daerah maka pemdanya? Itu semua perlu ditegaskan sehingga korban benar-benar terlindungi. Korban terorisme itu orang-orang tidak terduga yang sebenarnya bukan sasaran teroris. Pasalnya, aksi-aksi serangan bom seperti yang terjadi di Indonesia dilakukan secara acak.
Perlu saya tambahkan, UU terorisme itu sendiri sudah menyebutkan bahwa terorisme adalah tindak pidana yang mempunyai jaringan luas yang mengancam perdamaian dan ketenangan suatu negara bahkan terkadang lintas negara, sehingga yang menjadi korban bisa saja warga negara asli ataupun warga negara asing. Sehingga korban yang jatuh bisa saja orang asing. Karena itu kita perlu membuat aturan ini.[syafiq]

Biodata:
Nama  Lengkap                       : Fachry Bey S.H., M.M, Ph.D.
Pekerjaan                                : Ahli Victimologi dan Pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia
Pendidikan                              : S3 Antropologi dan Sosiologi Universiti Kebangsaan Malaya, Malaysia
Email                                       : fachribey@yahoo.co.uk

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)






Pancasila Perekat Bangsa yang Beragam





Pancasila sebagai ideologi merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Sebagai sebuah konsensus, Pancasila merupakan perekat bangsa yang beragam. Hal tersebut diungkapkan Direktur Pais Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Dr. Amin Haedari, M.Pd.

Menurut Amin, Pancasila merupakan cerminan dari keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Negara yang dibangun di atas perbedaan suku, budaya, bahasa, agama, bahkan kepercayaan ini, tetap menjadi satu kesatuan di bawah naungan NKRI. “Pancasila ini juga tidak bertentangan dengan agama,” tegas Amin pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Ia mencontohkan misalnya sila pertama pada Pancasila. Menurut Amin, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. “Agama (Islam) juga mengajarkan kita untuk beragama dan beriman pada Tuhan. Begitu juga dengan sila-sila lain yang ada dalam Pancasila,” ungkapnya.

Selanjutnya sila tentang keadilan sosial. Menurut dia, agama juga sama mengajarkan tentang keadilan sosial ini. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang di dalamnya juga ada konsep demokrasi juga selaras dengan Islam sangat menjunjung demokrasi. Bahkan sebetulnya tidak ada agama lain atau kelompok lain yang lebih demokratis dari Islam,” demikian Amin menjelaskan.

Lebih lanjut Amin mengatakan, dalam Pancasila ada sila tentang “kemanusian yang adil dan beradab”. Pada sila ini, kita harus menghargai sesama manusia. Tidak hanya bagi mereka yang seiman, tatapi sesama manusia secara luas. Dalam Alquran, kata Amin, banyak ayat yang dimulai dengan awalan Ya Ayyuhannas, itu adalah manusia semuanya. Bukan Ya Ayyuhal Ladzina Amanu saja. “Pancasila dengan agama tidak bertentangan, saling mendukung, dan saling memperkuat,” tegasnya.[Az]



Sumber: Lazuardi Birru

Roki, Teroris yang Kabur dari Rutan Polda Metro Jaya Tertangkap




Densus 88 Antiteror Polri menangkap terpidana teroris, Roki Aprisdianto alias Atok Prabowo, di Terminal Purbaya, Kota Madiun, Jawa Timur, Senin (10/12/2012) malam sekitar pukul 19.00 WIB. Roki ditangkap petugas di dalam bus PO Mira jurusan Surabaya-Yogyakarta yang sedang berhenti di terminal.

Sejumlah orang saksi mengaku sempat menyaksikan penangkapan tersebut. Orang yang diduga kuat sebagai Roki itu ditangkap dan langsung diturunkan dari bus. “Semalam memang ada seseorang yang ditangkap beberapa orang yang berpakaian preman,” ujar seorang sopir angkutan umum di terminal setempat, Rianto, seperti dikutip solopos.com.

Ia menambahkan, ada sekitar enam orang berpakaian preman yang terlihat membawa orang yang ditangkap tersebut. Sejumlah orang lain yang diduga anggota Densus 88 Antiteror terlihat sudah menunggu dengan memarkir tiga mobil di areal terminal saat penangkapan.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto membenarkan tim Densus 88 Polri berhasil meringkus seorang teroris yang diduga Roki Aprisdianto.

“Ya ada penangkapan seorang yang diduga kuat Roki Aprisdianto, terpidana teroris. Sampai saat ini masih dalam pengembangan pemeriksaan,” kata Rikwanto seperti dilansir laman suara pembaruan.

Roki merupakan terpidana kasus terorisme yang sudah divonis penjara enam tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Desember 2011. Ia terbukti terlibat aksi peledakan bom di sejumlah pos polisi, gereja, dan masjid di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah selama November hingga Desember 2010. Ia merupakan otak kelompok ightiyalat Klaten yang sebagian anggotanya masih duduk di bangku SMK.

Roki sebelumnya ditangkap Densus 88 pada awal 2011 di Sukoharjo, Jawa Tengah. Namun pada 6 Nopember 2012, ia kabur dari Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya, dengan menyamar sebagai wanita bercadar.

Aksi penangkapan ini bersamaan dengan jadwal kunjungan Presiden SBY ke Kabupaten Madiun dan Magetan. Rombongan Presiden SBY dijadwalkan melakukan serangkaian kegiatan di Kabupaten Madiun dan Magetan, Selasa-Rabu, 11-12 Desember 2012. (sf)


Sumber: Lazuardi Birru

Islam Juga Bicara Tentang Hak Asasi Manusia



Hak asasi manusia (HAM) merupakan persoalan prinsip yang mesti dipenuhi demi mempertahankan eksistensi dan martabat manusia. Dalam Islam konsep hak asasi manusia ini sangat sentral karena manusia dipandang sebagai mahluk yang dimuliakan Allah, melebihi mahluk-mahluk lain di alam semesta ini, seperti yang tersurat dalam Alquran, surat al-Isra’ [17]: 70.

Konstitusi 1945 juga bicara tentang kehormatan dan HAM, namun pemahaman HAM yang dimaksud berbeda dengan HAM yang dipahami di Negara Barat. HAM yang terakomodir dalam konstitusi bukan HAM liberal. HAM yang terkandung dalam konstitusi UUD 1945 adalah hak yang bisa dibatasi. Dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain.

Saat ini banyak praktek HAM yang salah dipahami. Misalnya seseorang atas nama HAM kawin dengan sesama jenis, atas nama HAM seseorang tidak beragama, karena itu hak dia. Padahal, Negara Indonesia bukanlah bangsa yang memiliki pemahaman HAM yang seperti itu. Pasal 28 ayat 2 jelas mengatakan bahwa hak itu adalah kebebasan. Hak kebebasan seseorang itu bisa dibatasi semata-mata demi memberikan perlindungan, penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Juga untuk memenuhi tuntutan yang adil seperti banyak orang, banyak agama, dan pertimbangan keamanan.

Dalam buku “Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam” Rois Syuriah PBNU, KH Masdar Farid Mas’udi mengatakan, bahwa hak asasi manusia harus dipenuhi karena itu merupakan hak dasar, pokok, dan primer. Namun bagi Kiai Masdar, tidak semua hak sebagai klaim yang perlu dipenuhi bersifat asasi, dasar, pokok, atau primer. Yang tidak asasi atau dasar pun, pada gilirannya menuntut pemenuhan juga, dan jita tidak terpenuhi bisa berakibat serius pada yang asasi.

Karena itu, lanjut Kiai Masdar, lebih tepat disebut “hak-hak insani” saja, seperti dalam ungkapan bahasa inggris “Human Rights” bukan “Basic Human Rights” atau dalam bahasa arab “Huquq al-Insan” bukan “al-Huquq al-Asasy li al-Insan”.

Konsep hak-hak insani dalam Islam, sebagaimana yang ditulis Kiai Masdar, bisa dirujuk pada konsep Imam Ghazali dan Ahli Ushul Fiqhi dengan apa yang mereka sebut sebagai al-Kulliyyat/al-Maqosyid al-Khamsah; lima hak-hak dasar universal: pertama, berhubungan dengan perlindungan jiwa dan tubuh (hifdz an-Nafs), kedua, berhubungan dengan perlindungan akal (Hifdz al-Aql), ketiga, perlindungan atas agama atau keyakinan (Hifdz ad-Din), keempat, perlindungan atas harta benda (Hifdz al-Mal), dan kelima, perlindungan atas kehormatan dan keturunan (Hifdz al-Irdl wa al Nasl).

Seluruh ketentuan dalam syariat Islam, menurut Imam Ghazali bermuara pada perlindungan lima aspek kehidupan tersebut. Dengan kata lain, semua aturan atau kebijakan yang bermuara pada perlindungan lima aspek kehidupan tersebut sudah sesuai syari’at, dan mulia dalam pandangan agama, baik ia ditegaskan secara eksplisit oleh teks wahyu maupun tidak.

Dalam teori hukum Islam, lima kelompok hak-hak tersebut secara hirarkis bisa dipilah ke dalam tiga tingkatan: pertama, hak-hak yang bersifat dlarury (primer/dasar) yakni hak yang jika tidak dipenuhi atau diingkari bisa berakibat kebinasaan. Kategori ini yang tepat disebut Hak Asasi, misalnya hak atas pangan, papan, dan sandang pada tingkat primer, subsisten, yang jika tidak dipenuhi bisa mengakibatkan kematian. “Memenuhi hak primer ini hukumnya wajib dan mutlak; menyangkal hak primer ini hukumnya haram, dengan sanksi hukum yang optimal,” ujarnya dalam buku ‘Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Persepektif Islam’.

Kedua, hak-hak yang bersifat sekunder (hajiy), yakni hak-hak yang jika tidak terpenuhi tidak berakibat fatal, kehancuran/kematian, melainkan dapat menimbulkan kesengsaraan (masyaqqat/haraj). Misalnya ketiadaan makanan bergizi dan makanan yang tersedia hanya seadanya sekadar untuk menyambung hidup. Ketiga, hak-hak yang bersifat tahsiny/takmily, yakni hak yang jika tidak dipenuhi tidak menimbulkan kesengsaraan melainkan kurang memberi kesempurnaan.[Az].


Sumber: Lazuardi Birru

Wilayah Konflik Komunal Meluas



Tren kekerasan horizontal dan konflik komunal pada tahun ini cenderung meluas lantaran tidak lagi didominasi oleh ‘area-area merah’ yang dikenal memiliki sumbu konflik yang khas, seperti Aceh, Papua, Poso dan Ambon. Peta persebaran daerah konflik merambat pada wilayah-wilayah yang memiliki banyak sumber daya alam ataupun tingkat perpaduan migrasi dan struktur sosial yang berbeda.

“Konflik komunal yang terjadi di Lampung, Kutai Barat, Sigi, dan lain-lain bisa diidentifikasi dari pendekatan aktor berbasis teritorial, isu identitas sosial dan budaya, pilkada, dan lain sebagainya,” demikian siaran pers LSM KontraS dalam rangka peringatan HAM se-dunia yang jatuh pada 10 Desember.

KontraS mencatat, sepanjang 2012 tercatat terjadi 32 kali ketegangan konflik  -selain dari kasus persekusi dan aksi tawuran pelajar dan mahasiswa.

Pemicu-pemicu yang muncul adalah mis-komunikasi pada isu sengketa lahan -termasuk juga dengan model kebijakan pembangunan yang tidak berimbang, ketidakpuasan warga atas praktik penegakan hukum, peristiwa-peristiwa kriminal, beredarnya pesan-pesan provokatif, dan dendam-dendam konflik lama yang belum tertuntaskan.

Sementara itu laporan lain yang disampaikan peneliti The Habibie Center, Inggrid Galuh Mustikawati, menyatakan korban akibat tindak kekerasan di Indonesia kian meningkat pada periode tahun 2012.
“Periode Januari-April terjadi 2.563 insiden, 314 korban tewas, 2.135 orang cedera, 325 kasus perkosaan, dan 696 bangunan rusak,” papar Inggrid, seperti dikutip Republika Online, Senin (10/12/2012).

Ia menjelaskan, jika periode Januari-April 2012, isu yang menonjol adalah insiden kekerasan pilkada Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan sengketa tanah di Maluku Utara, Maka, periode selanjutnya isunya bergeser pada isu identitas dan sumberdaya.

Dibanding periode sebelumnya, imbuh Inggrid, periode ini jumlah kekerasan identitas meningkat lebih dari dua kali lipat dan dampak tewas akibat isu sumberdaya meningkat empat kali lipat.
Hasil penelitian The Habibie Center di sembilan daerah yaitu NAD, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulaweai Tengah, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jabodetabek periode Mei-Agustus 2012, mencatat 2.344 insiden kekerasan yang mengakibatkan 291 orang tewas, 2.406 cedera, dan 272 bangunan rusak.

Dari total insiden itu, konflik kekerasan mendominasi dengan terjadi 1.516 kasus. Persoalan kriminalitas sebanyak 601 insiden, harga diri sebanyak 495 insiden, dan main hakim sendiri sebanyak 380 insiden. (fiq).



Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 30 Januari 2013

Usia Belia Terlibat Teroris, Tidak Utuhnya Fungsi Keluarga Salah Satu Faktornya



Keterlibatan usia muda pada aksi-aksi terorisme tentu sangat memprihatinkan. Nama-nama seperti Dani Dwi Permana; pelaku bom bunuh diri hotel JW. Marriot, Arga Wiratama; pelaku teror bom di Klaten dan Bayu Setiono; pelaku teror bom di Solo adalah anak-anak muda-belia yang terperangkap propaganda terorisme.

Sejatinya pada level yang lebih mikro, hal-hal semacam ini bisa diminamalisir dengan menghidupkan fungsi keluarga. Menurut dosen UIN Syarif Hidayatullah, A’lai Najib fenomena terlibatnya generasi muda pada aksi-aksi terorisme terkait juga dengan faktor fungsi keluarga yang tidak utuh lagi.

“Misalnya begini, ada keluarga yang memang orang tuanya sudah sangat sibuk dan tidak punya kontrol sama sekali” ungkap A’lai Najib.

Usia-usia remaja adalah suatu babakan hidup dalam seseorang di mana pencarian identitas menjadi sangat kentara. Jati diri yang belum menemukan pola, membuat remaja mencari-cari pengetahuan dari mana saja tentang makna hidup dan lain sebagainya.

Jika keluarga tidak tanggap dengan hal ini, tentu saja ruang galau seorang anak akan dapat diisi oleh pihak luar yang salah alamat. Inilah yang terjadi pada anak-anak muda yang terlibat terorisme. Ruang kegelisahan mereka telah dikuasai dan dibajak para mentor keagamaannya, murobbinya.

Sangat ironis misalnya, ketika aparat keamanan menanyakan pada orang tua yang anaknya terlibat terorisme, kebanyakan jawaban mereka tidak mengetahui apa aktivitas anaknya tersebut. Artinya aktivitasnya saja tidak diketahui, apalagi kegalauan yang dirasakan anaknya tersebut.

Menurut A’lai Najib hal ini menjadi ironis karena Indonesia dari segi budaya sebenarnya sangat penekankan budaya pengasuhan, erat dengan keluarga. “Kalau di luar negeri begitu usia 15 atau 16 tahun sudah berpisah dari orang tuanya dan tinggal di asrama. Kalau kita berbeda. Kita ini bahkan sampai S3, pokoknya selagi belum menikah, masih dengan orang tua”.

Menghidupkan kembali fungsi keluarga di antaranya bisa dengan menghidupkan komunikasi antara orang tua dan anak.

“Fungi keluarga yang saya maksud seperti ini, ada percakapan antara orang tua dan anak. Percakapan itu bisa lewat media apa saja” ungkap A’lai Najib. [Mh]



Sumber: Lazuardi Birru

Hidayat Nur Wahid: Al Qur’an adalah Kitab Suci Antikorupsi paling Gamblang



Persoalan korupsi menjadi agenda negara untuk segera dituntaskan. Namun bukanlah persoalan mudah. Mengingat persoalan ini berjalin kelindan dengan persoalan politik dalam pengertiannya yang peyoratif. Namun sejauh ini apa yang telah dilakukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebagai institusi yang berada di garis depan perjuangan memberantas korupsi di Indonesia, patut diapreasi.

Hidayat Nur Wahid memiliki cara tersendiri untuk mendukung KPK. Ketika menyambangi gedung KPK, ketua fraksi PKS ini memberikan Al Qur’an pada KPK. Menurutnya KPK perlu dukungan dan suntikan spiritual supaya semakin berani, percaya diri, dan tidak takut berbagai ancaman dunia.

“Alquran merupakan kitab suci antikorupsi paling gamblang,” tegas Hidayat di Gedung KPK.
Sejauh ini rakyat Indonesia tampak menyambut langkah-langkah yang telah diambil KPK. Hidayat Nur Wahid mengingatkan agar amanah rakyat ini terus dilanjutkan jangan terhenti hanya lantaran ancaman-ancaman dari pihak yang memang ingin Indonesia selamanya terpuruk. [Mh]



Sumber: Lazuardi Birru

Remaja Rawan Menjadi Korban Pelanggaran HAM



Usia muda adalah masa yang indah. Membicarakannya pun akan terasa indahnya. Tapi memang tidak bisa dipungkiri akhir-akhir ini banyak kalangan, terutama generasi yang sudah tidak muda lagi, melihat anak muda sebagai sebuah problem. Fenomena patologis seperti tawuran, narkoba dan freesex adalah fenomena langganan yang dilekatkan pada generasi muda masa kini.

Sejatinya menjadikan remaja sebagai bulan-bulanan juga tidak sepenuhnya fair. Karena pada dasarnya yang menjadikan hitam atau putih mereka tidak sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri. Artinya faktor ‘luar’ seperti lingkungan, keluarga dan negara juga turut sumbangsih.

Bahkan apabila dilihat secara fair, usia remaja sangat rentan atas pelanggaran HAM. Hal inilah yang membuat remaja semakin terpuruk kondisinya. Mansour Fakih pernah menyatakan Pelanggaran hak anak atau remaja dianggap sebagai pelanggaran HAM.

“Kalau ada anak atau remaja se-usia l4-l8 tahun yang mengamen di jalanan itu sebenarnya juga melanggar HAM, anak atau remaja yang tidak bisa sekolah karena tekanan ekonomi, itu negera bersalah, karena negara tidak bisa memenuhi hak anak atau remaja tersebut”.

Artinya jika ingin menjadikan kehidupan remaja lebih baik, tidak cukup hanya dengan melihatnya sebagai masalah. Karena mereka juga adalah korban. Korban dari ketidakpedulian generasi yang tidak tua lagi pada hak-hak yang seharusnya mereka dapat. Hak-hak yang dapat membuat mereka sadar, bahwa mereka adalah dari sebuah komunitas besar, negara. [Mh]


Sumber: Lazuardi Birru

Amien Rais: Pemimpin Harus Prioritaskan Kepentingan Nasional



Indonesia merupakan Negara yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah, namun pada kenyataannya Indonesia masih saja menjadi Negara yang terpuruk dalam pergaulan Internasional.Karena saat ini potensi alam Indonesia masih didominasi oleh pihak asing. Kepentingan nasional pun tidak diindahkan oleh para pemimpin kita. Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa menjaga kepentingan nasional bangsa dan negaranya.

Demikian disampaikan oleh penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Amien Rais dalam Kuliah Umum Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI UMY) dengan tema “Urgensi dan Relevansi Studi Hubungan Internasional di Era Global” pada Kamis (06/12) di Ruang Sidang AR. Fachrudin B Kampus Terpadu UMY.

Amien menjelaskan bahwa Kajian HI memiliki arti penting dalam menjaga kepentingan nasional bangsa. “ Dengan mempelajari HI hendaknya nanti ketika kita menjadi pemimpin bangsa bisa menjaga kepentingan nasional bangsa kita, karena terjaganya kepentingan nasional itu berarti akan tercipta masyarakat yang makmur dan sejahtera,” jelasnya.

Disamping itu, Amien memaparkan bahwa di era globalisasi seluruh Negara akan menjalankan kepentingan nasional negaranya masing-masing tanpa melihat kepentingan Negara lain. “setiap Negara ingin kepentingannya terpenuhi maka mereka akan melaksanakannya dengan segala cara. Untuk menghadapi hal tersebut perlu insan yang tangguh dan mempunyai wawasan keilmuan yang luas tentang politik, diplomasi, ekonomi, keamanan, hukum dan lainnya. Maka inilah yang dibutuhkan untuk menjaga kepentingan nasional bangsa kita nanti,” paparnya. [Mh]



Sumber: Lazuardi Birru

Selasa, 29 Januari 2013

Negara-Negara Arab Sepakat Bantu Palestina





Menteri-menteri luar negeri Liga Arab, dalam sebuah pertemuan di Qatar, Ahad, 9 Desember 2012, bersepakat untuk memberikan bantuan ratusan juta dolar untuk Otoritas Palestina. Bantuan ini penting karena sekarang anggaran Palestina dari pengumpulan pajak warganya ditahan Israel.

Sanksi Israel diberikan selepas upaya Palestina mengajukan diri sebagai negara pada Sidang Umum PBB, bulan lalu. Tak disangka, PBB menyetujui permintaan itu dan Otoritas Palestina pun kini berstatus non-member observer state (pengamat negara non-anggota). Keputusan ini menjadi tonggak sejarah sebagai simbol kemenangan gerakan rakyat Palestina.

Sayangnya, keputusan PBB itu langsung direspons Israel dengan menahan hasil pajak dan bea masuk yang didapat atas nama Otoritas Palestina senilai US$ 100 juta atau setara dengan Rp 962 miliar. Bahkan uang tersebut, menurut pemerintah Israel, akan digunakan untuk membayar utang warga Palestina kepada perusahaan Israel.

Saeb Erekat, kepala juru runding dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), payung hukum faksi politik Palestina, mengatakan bahwa negara-negara Arab dalam pertemuan di Doha, ibu kota Qatar, Ahad, setuju memberikan bantuan atas kejatuhan Palestina.

“Kami sepakat bahwa negara-negara Arab menyiapkan bantuan senilai US$ 100 juta (Rp 962 miliar) per bulan,” katanya. “Perdana Menteri Qatar dan Sekretaris Jenderal Liga Arab akan melanjutkan implementasi resolusi ini dalam waktu dua pekan.”

Mahmoud Abbas, Presiden Palestina, memperingatkan (negara-negara Arab) bahwa Otoritas Palestina bakal kolaps bila tanpa bantuan. Banyak karyawan Otoritas Palestina tidak menerima gajinya selama berbulan-bulan. “Kami tak sanggup membayar gaji mereka,” ujar Abbas. [Mh]


Sumber: Lazuardi Birru

Kontras: Sepanjang 2012 Operasi Antiteror Masih Kurang Memuaskan



LSM KontraS mencatat, sepanjang tahun 2012, Kepolisian Republik Indonesia telah melakukan 35 operasi penindakan terorisme di sejumlah daerah, mulai dari Aceh, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Namun operasi tersebut dinilai KontraS kurang memuaskan dari sisi hak asasi manusia (HAM).

Hal tersebut terungkap dalam siaran pers KontraS yang dirilis pada Sabtu 8 Desember 2012. Dalam siaran itu KontraS menyatakan, polisi memang berhasil menangkap beberapa tersangka kasus terorisme, namun ada beberapa operasi penegakan hukum yang kurang profesional sehingga menimbulkan korban jiwa.

“Hingga November 2012, KontraS menemukan kasus 25 orang salah tangkap, serta 5 tersangka teroris dan 2 anggota kepolisian tewas dalam operasi antiteror,” tulis laporan tersebut.

Lebih lanjut, dalam laporan tersebut, KontraS menilai, meskipun lingkup operasi penindakan berlangsung luas, tapi ada 2 daerah yang secara intensif dilakukan operasi penegakan hukum antiteror yaitu Solo dan Poso.

“Pada kasus teror Solo, target yang disasar oleh kelompok radikal ini adalah para aparat kepolisian. Skala kekerasan mulai mengerucut jelang Idul Fitri Agustus 2012. Beberapa pos keamanan polisi menjadi target sasaran dari kelompok ini,” tulis Kontras.

Sedangkan di Poso, sejak pertengahan Agustus 2012, KontraS turut serta melakukan pemantauan di lokasi kejadian, khususnya di beberapa kota seperti Kota Poso, Dusun Tamanjeka (Poso Pesisir) dan Desa Kalora (Poso Pesisir Utara).

“Hingga 4 November 2012, KontraS mencatat operasi antiteror di Poso telah menangkap 25 orang, di antaranya 2 orang tewas tertembak saat operasi berlangsung dan 3 orang dibebaskan karena tidak terbukti,” paparnya. (fiq)


Sumber: Lazuardi Birru

Hari Antikorupsi: Jajaran Pemerintah Diminta Tingkatkan Upaya Pencegahan dan Pemberantasan





Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan jajaran pemerintah meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. “Kalau sudah terjadi korupsi, tidak mudah mengembalikan aset yang telah lepas. Prosesnya pun panjang,” kata SBY dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia dan Hari Hak Asasi Manusia tahun 2012 di Istana Negara, Senin, 10/12/2012.

“Mari kita terus memperkuat komitmen, tekad, dan aksi nyata untuk terus mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia,” SBY menambahkan.

Dalam kesempatan ini, Presiden kembali mengingatkan empat area prioritas yang rawan korupsi dalam kehidupan pemerintahan. Keempat area tersebut adalah pengadaan barang dan jasa, APBN dan APBD, perizinan usaha, dan pajak.

Masalah pengadaan barang dan jasa harus lebih teliti lagi. “Itu menggunakan uang negara ratusan miliar rupiah, triliunan rupiah. Jangan sampai pengadaan barang dan jasa ‘merdeka’ sendiri-sendiri, dan masih ada penyimpangan,” tandasnya.

Presiden juga meminta jajaran pemerintah melakukan usaha pencegahan korupsi ini bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK, terutama untuk kasus korupsi keuangan negara. “Jangan sampai dengan semakin besarnya APBN dan APBD, ada yang lepas dalam jumlah yang besar karena penyimpangan dan korupsi,” SBY mengingatkan.

Pada Januari 2013, Presiden berinisiatif mengundang seluruh gubernur, walikota, dan penegak hukum untuk menjelaskan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan mana yang termasuk ke dalam korupsi dan mana yang tidak. “Mari kita berikan kepercayaan kepada para penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya tanpa gangguan apapun, termasuk gangguan politik,” Presiden menjelaskan.
Selain mengawasi APBN dan APBN, Presiden SBY juga meminta agar izin usaha tidak lagi serampangan yang mengakibatkan kerugian negara, menyelesaikan regulasi agar benturan kepentingan tidak terjadi, dan tidak menimbulkan fitnah.

Hal lain yang juga menjadi atensi Presiden SBY adalah penyimpangan di wilayah perpajakan. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan dan pertumbuhan negara. Presiden meminta jajaran penegak hukum untuk mengawasi kewajiban membayar pajak dan apa yang dikelola oleh para petugas pajak. “Pencegahan diutamakan. Namun bila sudah terjadi, maka penindakan harus dilakukan dengan tegas tanpa pandang bulu,” SBY menegaskan.[Az]



Sumber: Lazuardi Birru

Polri Waspadai Teror Bom Menjelang Natal dan Tahun Baru



Mulai 23 Desember 2012 hingga 1 Januari 2013, Kepolisian Republik Indonesia akan menggelar Operasi Lilin menjelang perayaan Natal 2012 dan Tahun Baru 2013. Menjelang Natal, kepolisian siap melakukan pengamanan pada 38.499 gereja di seluruh Indonesia.

Pada kesempatan itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengingatkan kemungkinan gangguan keamanan saat perayaan hari raya Natal 2012 dan Tahun Baru 2013. “Salah satu ancaman di dalam pelaksanaan Natal dan Tahun Baru adalah ancaman teror,” ujar Timur seusai membuka rapat koordinasi Operasi Lilin di Wisma Bhayangkari, Senin (10/12/2012) seperti dilansir VIVAnews.com.

Kendati demikian ia menegaskan, masyarakat tidak perlu khawatir. “Artinya kita punya pengalaman seperti itu, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir, karena Polri dibantu TNI dan aparat keamanan lainnya melakukan langkah-langkah pencegahan sehingga masyarakat bisa tenang dalam melaksanakan perayaan Natal maupun kegiatan Tahun Baru,” jelasnya.

Kepolisian telah melakukan evaluasi dari pengamanan tahun lalu dan akan meningkatkan pelayanan masyarakat.

Dalam Operasi Lilin tersebut, Polri mengerahkan 82.633 personel ditambah personel TNI. Pos pengamanan disebar di 1.887 titik dan 754 pos pelayanan. Personel juga disebar di terminal, pelabuhan, bandara udara, dan stasiun kereta api. Kemudian 2.606 pusat perbelanjaan dan 2.316 tempat wisata masuk dalam pengamanan.

“Intinya kita memberikan pelayanan masyarakat dalam rangka kegiatan keagamaan di gereja-gereja pada malam Natal,” ujar Timur seperti dikutip kompas.com.

Ia juga meminta masyarakat aktif membantu mengamankan wilayah sekitarnya.
Mantan Kapolda Metro Jaya itu menambahkan, titik-titik yang menjadi fokus dalam operasi lilin 2012 itu antara lain semua gereja di wilayah Indonesia. Sedangkan untuk tahun baru, jalur-jalur berkaitan dengan libur tahun baru seperti pantura, jalur selatan, dan lainnya. “Itu menjadi pengamanan utama yang nanti akan dibicarakan pada rakor ini,” kata dia.

Timur menjamin, perayaan Natal dan Tahun Baru tahun ini akan berjalan aman. Karena Polri dengan TNI akan melakukan upaya melakukan tindakan-tindakan pencegahan menghadapi semua aksi teror. (sf)



Sumber: Lazuardi Birru

Senin, 28 Januari 2013

Kebencian Jangan Dibalas dengan Kebencian



Islam sebagai agama rahmatan lil alamin mengajarkan ketegasan, bukan kekerasan. Sikap itu dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari. “Islam itu tidak mengenal  kekerasan,” kata Direktur Pais Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Dr. Amin Haedari, M.Pd, pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Menurut Amin, dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW pernah dilempar batu oleh orang yang tidak suka sama beliau, namun ketika Malaikat Jibril menawarkan untuk memusnahkan kelompok tersebut, Nabi tidak mengizinkannya.

Nabi Muhammad tidak rela umat itu dihancurkan. Sehingga Nabi pun, kata Amin, mendoakan agar umat tersebut diberi petunjuk oleh Allah SWT. Jadi agama Islam, tegas Amin, tidak mengajarkan kekersan, melainkan mengajarkan kelemah lembutan. “Islam diajarkan dan disebarkan dengan penuh kasih sayang, penuh lemah lembut. Tidak ada satu pun Islam mengajarkan kekerasan, kebencian,” ungkapnya.

“Nabi mengajarkan pada kita, agar tidak membenci orang lain, meskipun orang tersebut sangat membenci kita. Islam tidak memerintahkan kita membalas kebencian dengan kebencian yang lain,” demikian Amin menjelaskan.

Terkait dengan kekerasan yang dilakukan seseorang atau kelompok yang mengatasnamakan agama, Amin mengatakan, hal tersebut tidak dibenarkan. Karena itu, melalui Kementerian Agama, Amin telah melakukan sosialisasi agar masyarakat tidak mudah menjadikan kekerasan sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah.

“Program-program yang dilakukan oleh Kementerian Agama adalah bagaimana masyarakat memiliki pengetahuan yang luas, wawasan yang mendalam tentang agama. Dengan semakin luas pengetahuan dan wawasan tersebut, insya Allah tidak akan terjadi kekerasan,” kata Amin.

Karena itu, Kementerian Agama terus berupaya melakukan sosialisasi dan memberikan penjelasan pada masyarakat bahwa perbedaan itu merupakan anugerah dan perlu disyukuri. “Perlu kami sampaikan juga bahwa persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kekerasan ini ada kaitannya dengan masalah pengetahuan. Karena itu, Kementerian Agama terus meningkatkan wawasan masyarakat, para ustadz, para da’I. Sehingga dengan wawasan itu, masyarakat tidak terpancing oleh kekerasan dan kebencian pada kelompok lain,” pungkasnya.[Az]



Sumber: Lazuardi Birru

Polisi Tangkap Terduga Teroris Ambon yang Melarikan Diri


Aparat Kepolisian Resor Maluku Tengah berhasil meringkus BS alias Basri, terduga kasus teror bom pascabentrok 11 September 2011 pada Minggu malam, 9 Desember 2012 di kamar kostnya di Masohi, Ibu Kota Kabupaten Maluku Tengah.

“Pelaku masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) polisi sejak melarikan diri dari Rumah Tahanan Negara (Rutan) Waiheru Ambon pada 6 November 2012 bersama Hamka Salampessy rekan satu selnya yang terlibat kasus penganiayaan di Pelauw, Kecamatan Haruku (Malteng),” kata Kabid Humas Polda Maluku AKBP Hasanuddin Mukadar di Ambon, Senin.
Tersangka BS yang diduga merupakan otak pelemparan bom rakitan ke sejumlah rumah warga di Kota Ambon ini berhasil melarikan diri bersama rekannya setelah merusak terali besi kamar mandi Rutan pada Selasa 6 November 2012 pagi. Saat itu para petugas Rutan sedang mengikuti apel pagi.

Saat melarikan diri dari Rutan Waiheru, Basri berstatus sebagai tahanan jaksa dan rencananya tanggal 7 November 2012 sudah harus mengikuti proses persidangan di Kantor Pengadilan Negeri Ambon.
Kabid Humas mengatakan, berdasarkan laporan yang diterima dari Polres Malteng, tersangka ditangkap saat aparat Polres setempat sedang melakukan operasi memberantas penyakit masyarakat (Pekat), terutama tentang maraknya kendaraan bermotor milik warga yang hilang dicuri orang.

“BS ditangkap sejumlah personel gabungan dari Polres Malteng hari Minggu (9/12) petang sekitar pukul 18.30 WIT saat berada di kamar kostnya di Kelurahan Namaelo, dan sempat membuat perlawanan tapi akhirnya bisa diamankan,” katanya.

Polisi menduga tersangka sering berpindah-pindah lokasi kost selama sebulan lebih di Kota Masohi untuk mengamankan diri dari kejaran polisi selama ini.

“Tersangka juga diduga kuat terlibat sejumlah aksi tindak pidana, termasuk melakukan pencurian kendaraan bermotor selama berada di Masohi agar hasil kejahatannya bisa digunakan untuk bertahan hidup,” lanjut Hasanuddin. (sf)



Sumber: Lazuardi Birru

Radikalisme dan Intoleransi Lebih Bahaya dari Terorisme



Aksi radikalisme berbasis agama dan intoleransi masih kerap terjadi di negeri ini. Dengan mengatasnamakan agama sekelompok organisasi tertentu melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggapnya sesat dan merusak akidah umat Islam. Radikalisme dan intoleransi tersebut tentu mengganggu tatanan kehidupan berbangsa.

Peneliti Setara Institut Ismail Hasani mengatakan dari perspektif gerakan sosial radikalisme dan intoleransi lebih berbahaya daripada terorisme. Menurutnya, radikalisme dan intoleransi berpotensi memperoleh dukungan besar dari masyarakat karena beroperasi di zona aman.

“Kalau ditanya apakah anda setuju dengan operasi antimaksiat yang dilakukan FPI, maka sebagian orang pasti setuju karena orang Islam antimaksiat. Tapi kalau terorisme semua orang sudah verb tidak ada yang mendukungnya. Dan dari berbagai survei dukungan terhadap terorisme kecil,” ujar Ismail saat berbincang dengan Lazuardi Birru.

Ia mengatakan penanganan terorisme sudah jelas karena kerangka hukumnya sudah jelas, sementara radikalisme dan intoleransi kerangka hukumnya tidak pasti. Dalam penanganan terorisme kita hanya mendorong dan mengawal negara untuk menegakkan hukum dan rasa aman bagi warganya.

“Radikalisme dan intoleransi harus mendapatkan penanganan lebih, sedangkan kalau terorisme semua perangkat penanganannya sudah jelas. Radikalisme dan intoleransi lebih berbahaya karena tangga untuk menuju terorisme,” tandasnya.

Menurut dia jika pemerintah hanya memberikan perhatian pada terorisme, sedangkan radikalisme dan intoleransi tidak diperhatikan maka itu sama saja pemerintah menjadi pemadam kebakaran. Pemerintah hanya menungggu kapan kebakaran terjadi, tapi tak mau mengatasi aspek hulu yaitu ideologinya.[wan]



Sumber: Lazuardi Birru

Amin Haedari: Perbedaan Itu Sunnatullah








Direktur Pais Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Dr. Amin Haedari, M.Pd mengatakan, perbedaan di dalam Islam itu merupakan sunnatullah. Menurut Amin, Allah menciptakan dunia dan segala isinya ini dengan berbagai macam, berbagai rupa dan warna. “Ada laki-laki, ada perempuan, ada siang, ada malam, dan berwarna-warna,” kata dia pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Amin meyakini, justru dengan keberagaman ini, Islam melihat sesuatu yang berbeda ini dengan indah. Kalau kita rasakan siang terus-terusan, malam terus, hitam terus, atau warna merah terus itu tidak lah indah. Namun, kata dia, Islam melihat keberanekaragaman ini sebagai sesuatu yang luar biasa. “Allah menciptakan laki-laki, Allah menciptakan perempuan itu merupakan anugerah terhadap perbedaan ini,” ungkapnya.

“Kalau kita lihat warna-warni kupu-kupu luar biasa. Coba warna merah saja atau kuning saja, mungkin tidak terlalu indah. Tetapi dengan warna yang bermacam-macam itu, Islam melihat itu adalah anugerah. Karena itu, keberagaman itu harus kita syukuri,” imbuhnya.

Namun faktanya, tak sedikit kasus yang terjadi di Tanah Air ini menjadikan agama sebagai legitimasi untuk melakukan kekerasan sebagai solusi. Menanggapi hal ini, Amin mengatakan kalau terjadi  perbedaan, kemudian diselesaikan dengan cara kekerasan, maka hal itu sebenarnya mengkhianati sunnatullah.

Selain itu, lanjut Amin, bisa juga perbedaan yang diselesaikan dengan cara kekerasan ini disebabkan karena minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut. “Banyak kasus kekerasan itu karena lemahnya atau terbatasnya pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat itu,” kata dia.[Az]



Sumber: Lazuardi Birru

Jumat, 25 Januari 2013

Selesaikan Perbedaan dengan Dialog, Bukan Kekerasan




Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ainul Yaqin mengatakan, fenomena munculnya gerakan kekerasan dengan dalih agama akan selalu ada dan terus muncul. Karena hal itu terkait ideologi dan pemahaman keberagamaan seseorang atau kelompok.

“Kalau sudah masuk pada wilayah keberagamaan atau ideologi itu akan selalu muncul, tidak akan pernah habisnya. Namun jangan sampai kekerasan menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah itu,” kata penulis buku Pendidikan Multiukulturalisme pada Lazuardi Birru, di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Menurut lulusan Pesantren Tambak Beras Jombang ini, naturally dalam beragama itu akan selalu muncul perbedaan dalam berideologi dan beragama, meskipun itu masih dalam satu agama. Misalnya, kata Yaqin, dalam diri orang-orang muslim sendiri perbedaan itu akan selalu ada.

“Bukan hanya Islam sebenarnya, tapi dalam semua agama pasti ada perbedaan, baik itu Kristen, Budha, Hindu, tapi memang yang menjadi sorotan dari media nasional maupun internasional itu adalah fenomena kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam Islam. Tapi sebenarnya hal itu tidak hanya terjadi dalam Islam,” kata Yaqin menjelaskan.

Lebih jauh Yaqin mengatakan, dalam Islam tidak boleh ada yang mengkalim bahwa pandangan dia itu yang paling benar. “Kalau ada sekelompok orang yang mengklaim bahwa pandangannya yang paling benar, sebanrnya sah-sah saja, tapi kalau sudah mengacu pada cara-cara yang sudah melanggar hukum, memaksanakan kehandaknya dan menganggap orang lain salah, bahkan mengkafirkan orang lain, itu yang tidak benar,” kata Yaqin.

Seharusnya, lanjut Yaqin, kalau terjadi hal seperti itu seharusnya tidak diselesaikan dengan cara-cara kekerasan. Seharusnya diselesaikan dengan cara bertemu dan berdialog.[Az]



Sumber: Lazuardi Birru

Akhirnya Mursi Menyetujui Opsi Oposisi





Setelah sempat mengalami perseteruan selama dua pekan, akhirnya pihak oposisi dan Pemerintah Mesir setuju untuk bertemu, kesepakatan ini tercapai setelah Presiden Mursi mau menarik dekritnya dan mau menunda pengumuman referendum undang-undang yang baru.

Menurut Koran harian asy-Syarq al-Awsat yang terbit di wilayah Timur Tengah menyebutkan bahwa, para peserta yang ikut serta dalam dialog nasional hampir mencapai kesepakatan mengenai pengumuman undang-undang yang baru, demi mencegah terjadinya perpecahan di Negara Mesir yang sudah berlangsung selama dua minggu.

Hal ini, dikuatkan dengan pernyataan Perdana Menteri Mesir, Hisyam Qindil pada hari Sabtu sore (8/12) yang menyatakan bahwa Presiden Mursi sepakat untuk merubah dekritnya yang memberikan kekuasaan mutlak bagi dirinya dan merupakan tuntutan pihak oposisi untuk dibatalkan. Dalam penjelasanya pada televisi al-Mihwar, Hisyam Qindil mengatakan, “Presiden Mursi sepakat untuk membatalkan dekritnya dan siap mengumumkan isi dari undang-undang yang baru”.

Sedangkan mengenai penundaan pengumuman undang-undang yang baru yang berbeda dengan undang-undang yang pertama, dan merupakan tuntutan yang kedua dari pihak oposisi, Hisyam Qindil menyatakan bahwa, “Telah terjadi kesepakatan diantara para pemimpin politik yang berkumpul di istana kepresidenan untuk sama-sama mencari pijakan hukum dari penundaan tersebut”.

Sementara itu, Front Penyelamat Nasional Mesir tetap pada tuntutan awal mereka, yaitu Pemerintah Mesir harus membatalkan Dekrit Presiden yang diterbitkan oleh Presiden Mursi bulan lalu, dan membatalkan referendum terhadap undang-undang. Salah satu dari pimpinan Front Penyelamat Nasional Mesir, Muhammad Abul Ghar mewanti-wanti Pemerintahan yang sedang berkuasa agar tidak mengganggu para demonstran yang menduduki Tahrir Square dan halaman Istana Presiden, dia juga menuntut pemerintah agar membubarkan milisi Ikhwanul Muslimin dan segera mengungkap siapa aktor di balik terbunuhnya beberapa demonstran di depan Istana Presiden Rabu yang lalu, seraya meminta para demonstran untuk terus menduduki halaman depan Istana kepresidenan sampai tuntutan mereka dipenuhi.

Di pihak lain, kekuatan Islamis menuduh pihak oposisi telah berusaha menjatuhkan pemerintahan yang sah. Sedangkan pihak militer yang selama terjadinya aksi demonstrasi hanya diam, kini telah menyuarakan seruannya, dalam seruanya mereka menyebutkan bahwa dialog merupakan satu-satunya cara yang bisa menyelesaikan semua masalah dan bisa membawa kebaikan pada Negara dan seluruh rakyat Mesir. (Absyaish).



Sumber: Lazuardi Birru

UII Didik Hacker untuk Bela Negara


Yogyakarta-Laboratorium Forensika Digital Teknik Infomatika UII berinisiatif melakukan pembinaan berkelanjutan kepada kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki minat dan keterampilan pada bidang keamanan, hacking dan digital forensic melalui pembentukan unit UII Cyber Guard. “Keberadaan unit ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi UII dalam memberikan solusi bagi ketersediaan tenaga cyberarmy untuk sistem pertahanan Negara” kata kata Ketua Prodi Teknik Informatika UII, Yudi Prayudi, S.Si M.Kom baru-baru ini.

Kata Yudi, meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia, selain menguntungkan juga memunculkan sejumlah masalah baru terkait dengan penyalahgunaan yang mengarah pada bentuk kejahatan cybercrime. Targetnya bervariasi bisa individu, bisnis ataupun instansi strategis. “yang mengkhawatirkan bila targetnya adalah infrastruktur publik milik pemerintah sehingga berdampak pada kerugian secara nasional dan kekacauan yang meresahkan masyarakat luas. inilah salah satu wujud cyberwars” terang Yudi.

Dosen Teknik Informatika UII, Hamid, ST, M.Eng menambahkan beberapa Negara yang terlibat konflik seperti Israel, Palestina, Suriah dan Iran telah memperagakan bagaimana konsep cyberwars benar-benar telah terjadi, bukan hanya sekedar wacana belaka. Melihat serangan yang begitu terorganisir tidaklah mungkin kalau hanya bentuk spontanitas hacker belaka, namun jelas melalui komando organisasi pertahanan yang dimiliki oleh Negara tersebut.

Di Indonesia, lanjut Hamid, sejumlah institusi resmi telah mulai memfokuskan diri untuk menangani berbagai issu terkait bidang ini. Contohnya, Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII, Indonesia Computer Emergency Response Team (ID-CERT), Unit Cyber Crime RESKRIMSUS POLRI, Unit Digital Forensik Lab Forensik Mabes Polri, dan Sistem Informasi Perthanan Negara (Sisfohaneg) sebagai backbone dari cyber defence Indonesia.

Untuk mendukung persiapan itu, menurutnya salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan pembinaan secara bertahap bagi anak-anak muda terutama mahasiswa yang memiliki kemampuan dalam bidang keamanan sistem dan jaringan komputer. Sejumlah aktivitas telah dilakukan oleh komunitas TIK untuk memberikan solusi bagi masalah ketahanan Negara. Misalnya dengan pengadaan lomba cyberarmy pada tanggal 16-17 Oktober 2012 lalu di Medan yang diikuti oleh kelompok mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. “Salah satu tim yang dikirim UII berhasil meraih juara 2 untuk kategori digital forensik, yaitu lomba untuk penemuan bukti digital,” ungkapnya.



Sumber: Lazuardi Birru

Dakwah Bercorak Sufistik Lebih Kentara pada Masa Awal Penyebaran Islam di Indonesia


Banyak pakar menilai Islam di Indonesia memiliki corak yang khas. Apabila dilihat dari pola penyebaran Islam di tanah air, terutama pada masa-masa awal, corak sufistik sangat menonjol dalam dakwah para pembawa Islam dahulu kala. Tidak heran ditemukan banyak akulturasi dan asimilasi antara ajaran pokok Islam dengan adat setempat.

“Kalau dilihat dari corak keagamaan di Indonesia, ketika pertama kali masuk abad ke-7, sebenarnya corak kita lebih pada cara pandang yang sufistik. Lihat saja para pembawa atau penyebar Islam di Indonesia. Mereka banyak mengawinkan ajaran Islam yang prinsip dengan tradisi-tradisi lokal yang ada” ungkap A’lai Najib, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tentu saja ini merupakan strategi yang luar biasa brillian. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika strategi ini tidak digunakan dalam dakwah Islam. Tentu Indonesia yang kini mayoritas penduduknya memeluk agama Islam menjadi tidak mungkin. Karena sebelum Islam datang, kepercayaan seperti Hindhu-Budha sudah begitu mengakar di masyarakat dahulu.

“Menurut saya itu strategi yang luar biasa yang dilakukan para dari dai pada masa itu. Sehingga kita bisa melihat misalnya, bagaimana suatu tempat yang tidak beragama Islam bisa menjadi mayoritas Islam. Itu mustahil terjadi jika tidak ada strategi. Artinya kalau tidak ada strategi yang cocok, itu tidak mungkin” tambah A’lai Najib. [Mh]



Sumber: Lazuardi Birru