Rabu, 19 Februari 2014

Ketum MUI Baru Bisa Kenalkan Islam Moderat




Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin terpilih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggantikan KH. Sahal Mahfudz yang meninggal dunia pada Jumat 24 Januari 2014. Keputusan Din terpilih menjadi Ketua Umum MUI yang baru ditetapkan pada rapat pimpinan MUI yang diselenggarakan pada Selasa (18/2/2014). Din akan memimpin MUI hingga tahun 2015 mendatang. 

Imam Masjid Pusdai Jawa Barat Deni Albar menilai Din Syamsuddin tepat memimpin MUI karena Din bisa memperkenalkan Islam moderat untuk skala nasional maupun internasional.
"Sosok Pak Din sangat diperlukan umat dan dengan menjadi Ketua Umum MUI semangat Islam moderat bisa terus tumbuh," kata Deni Albar, Selasa (18/2/2014). 

Apalagi, kata Deni, Din dikenal sebagai intelektual yang luwes dan mumpuni. Kebijakan dan ijtihad Din diharapkan bisa memberi kontribusi riil dalam menengahi lintas pemahaman umat yang semakin majemuk. 

Menurut Deni, Islam yang inovatif serta modern ini yang akan menjadi warna kepemimpinan Din pada masa mendatang. "Kebekuan antarumat Insya Allah akan dikemas beliau menjadi harmoni," kata Deni.

Din saat ini sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dan aktif memperkenalkan Islam yang damai dan toleran di nusantara dan luar negeri. Din aktif melakukan kegiatan lintas agama untuk memberikan pengertian arti penting hidup damai di tengah perbedaan. Yang bersangkutan pun kerap memberikan kuliah umum di kampus di Barat seperti di Amerika dan Eropa tentang keislaman.

Sumber: Republika

Selasa, 18 Februari 2014

Kerukunan Komitmen Pemerintah dan Masyarakat




Sejak awal, masyarakat Indonesia sudah memiliki kesadaran bahwa negeri ini dibangun di atas pluralitas, dibangun di atas komponen-komponen bangsa yang majemuk. Atas dasar itulah kerukunan merupakan sesuatu yang senantiasa harus di maintenance dan dipelihara.  Kerukunan harus menjadi komitmen bersama pemerintah dan masyarakat.

Hal itu ditegaskan Dirjen Bimas Islam  Abdul Jamil dalam acara Dialog Tokoh Lintas Agama di Serang, Banten, Jumat (14/2/2014) malam.  

Abdul Jamil mengatakan bahwa dialog lintas tokoh dan agama sudah dilakukan dan dikembangkan sejak dulu oleh founding father bangsa Indonesia. Dengan dialog, kata Djamil, kita bisa saling tukar pendapat hingga bisa menemukan solusi atas permasalahan bangsa. 

“Solusi yang ditemukan bisa dikomunikasikan dengan baik kepada pihak yang lain melalui dialog. Apalagi kita sudah memiliki wadah kerukunan umat beragam atau Forum Kerukunan Umat Beragama yang sudah dibentuk di seluruh wilayah Indonesia,” terang Djamil.

Sehubungan itu, Djamil mengingatkan bahwa kerukunan umat beragama tidak hanya menjadi konsern pemerintah semata, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. “Bersama pemerintah, masyarakat harus proaktif dalam menjaga kerukunan,” ujar Djamil.

Kerukunan merupakan kebutuhan hidup di negeri ini. Dulu, kata Djamil,  tokoh-tokoh agama kita seperti  Pak Mukti Ali adalah orang yang sangat concern dan menjadi pionir bagaimana kita menciptakan hubungan saling mengerti antara yang satu dengan yang lain, hubungan kerjasama antar umat beragama.

Itulah sebabnya dulu diciptakan wadah kerukunan antar umat beragama yang kemudian berkembang terus menjadi organisasi-organisasi internal umat beragama. Wadah itu kini menjadi ajang kita bertemu untuk saling bertukar pendapat antara yang satu dengan lainnya.

“Orang-orang di luar sana heran akan kehebatan masyarakat Indonesia. Negara yang yang dipisahkan oleh laut dan terdiri dari beribu pulau, masih bisa bersatu dalam wadah NKRI,” kata Djamil.

Sumber: Kemenag.go.id

Indonesia Perlu Adopsi Pendidikan Multikultural




Berjangkitnya wabah radikalisme di kalangan generasi muda mengancam prinsip-prinsip kebhinnekaan yang telah diletakkan para founding fathers. Pancasila sebagai tali perekat (common  denominator) yang melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin tidak dikenali sebagai warisan besar yang harus dilestarikan oleh generasi penerus.

Berbagai survei yang pernah dilakukan menunjukkan menguatnya gejala militansi keagamaan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Kenyataan ini meresahkan, karena pemuda adalah tulang punggung masa depan bangsa. Karena itu, Indonesia perlu mengadopsi pendidikan multikultural untuk mengawal transformasi peradaban.

Demikian disampaikan Ali Masykur Musa Calon Presiden Konvensi Partai Demokrat, pada rangkaian kegiatan Konvensi di Denpasar, Bali, Rabu (18/2/2014).

‪Cak Ali, panggilan akrabnya, menuturkan, kenaikan anggaran pendidikan harus diletakkan sebagai proses sosial untuk meningkatkan mutu pendidikan sebagai wahana mencetak manusia Indonesia yang berbudaya, mengarifi perbedaan dengan penuh toleransi.

"Pendidikan multikultural penting untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini, karena kamajemukan adalah fitrah keindonesiaan yang patut disyukuri. Indonesia tidak akan pernah ada tanpa budaya Bali, Batak, Minang, Madura, Dayak, Minahasa, Papua, Jawa, dan sebagainya. Karena itu, kemajemukan budaya harus menjadi perekat bangsa sebagai modal membangun kejayaan peradaban Indonesia," ujarnya.

Sayangnya, fitrah kemajemukan ini hendak diingkari oleh ideologi radikalisme yang menjangkiti anak-anak muda yang termakan ideologi kekerasan. Mereka hendak mendirikan Negara Islam dan merobohkan negara nasional.

Namun, upaya ini tidak akan berhasil, karena menurut Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) ini, mayoritas rakyat Indonesia menghendaki negara Indonesia berdiri sebagai Negara Pancasila yang memayungi kebhinnekaan. NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia juga menegaskan bahwa Pancasila dan NKRI merupakan bentuk final yang tidak boleh diganggu gugat.

"NU akan berjuang sekuat tenaga mempertahankan konsensus kebangsaan yang telah diwariskan para founding fathers ini. Karena itu, saya mendukung multikulturalisme masuk dalam materi ajar pendidikan nasional, agar generasi penerus menghayati prinsip kebhinnekaan, toleransi, dan kemajemukan sejak dini," ujarnya.

‪Cak Ali mengajak seluruh warga Indonesia, terutama para pemuda untuk mewarnai dan mengawal dinamika kebudayaan yang tengah berlangsung di Indonesia dengan memegang teguh Pancasila dan menjunjung kebhinnekaan.

Ia berkomitmen untuk meneruskan perjuangan almarhum Gus Dur yang konsisten membela prinsip-prinsip kemanusiaan sejati tanpa prasangka dan diskriminasi.

"Indonesia akan besar dan jaya dengan mengakui perbedaan sebagai anugerah, bukan faktor pemecah belah," katanya.

Sumber: Tribunnews