Senin, 03 Februari 2014

Menjauhkan Diri Untuk Menghakimi Seorang Muslim Dengan Sebutan Kafir



Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*

Fenomena Keberagamaan kita saat ini sudah cukup sangat memprihatinkan, sikap ashabiyah (fanatisme buta) terhadap golongan tertentu membuat diri dan kelompok nya saja yang seolah pemilik otoritas wahyu, paling akurat dan valid keberagamaan nya karena apa yang keluar dari  pembacaan teks sudah di anggap sebuah kebenaran mutlak yang tidak dapat di ganggu gugat, padahal sesungguhnya selain dari pembacaan terhadap teks masih banyak tolok ukur, dan dimensi lain yang harus di kaji untuk memahami nash maupun hukum-hukum tertentu dalam dunia Islam. Sederhana nya bahwa Islam itu adalah lahir di Arab, bahasa nya dalam al Quran maupun hadits menggunakan bahasa Arab, maka sudah sewajarnya bagi orang yang ingin mengerti tentang Islam maka sebagai fondasi dasarnya adalah bisa membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan tentu nya mengerti tentang bahasa Arab. Apakah bisa membaca tulisan turats (klasik) arab dan memahami nya lantas kemudian sudah cukup di jadikan hujjah dalam menginterpretasikan sebuah hukum atau memfatwakan sebuah ijtihad. Hal ini belum cukup tentu nya. Ulama hadits dan mufassir juga jika ingin menafsirkan teks suci harus mendalami sejarah berupa sebab turun nya ayat dan hadits.  Artinya mengeluarkan sebuah keputusan apalagi terkait dengan hukum Islam harus  membawa maslahat dan ketetapan bijak yang mendamaikan. Hukum itu harus  melihat kepada konteks budaya, ras dan zaman yang mengitari nya, karena sesungguhnya Islam itu lahir buat seluruh alam semesta. Hukum itu tidak boleh di setir oleh kepentingan individu dan satu golongan saja, karenanya memang hukum dalam Islam itu harus objektif memberikan pencerahan buat semua lapisan.

Muncul kemudian pertanyaan adalah siapakah yang berhak mengkafirkan?, Allah SWT maupun dari hadits-hadits Rasulullah saw membahasakan masalah ini dengan bahasa yang umum yaitu misalnya orang yang tidak beriman kepada Allah SWT, tidak beriman kepada hari akhirat, tidak beriman kepada kitab maupun rasul, artinya jika rukun Iman masih melekat dalam dirinya, rukun Islam masih di jalankan nya maka harus kita hormati hak nya untuk berpendapat dan tanpa harus berprasangka negatif terhadap orang lain tersebut. Seharusnya kita dapat berpikir dan bertanya kenapa kemudian Allah SWT dan Muhammad saw membahasakan orang yang ingkar terhadap aturan syariah nya di anggap kafir dengan pembahasan yang lembut namun mengandung unsur ketegasan, bahwa ini sesungguhnya tidak terlepas dari pada bahaya atas bahasa yang di timbulkan nya, karena di saat seseorang dengan mudah mengatakan orang lain kafir maka akan memunculkan fenomena penghakiman berikutnya atau bahkan konflik yang tidak hanya sebatas wacana tapi bisa berujung kepada fisik, artinya nuansa damai itu tidak akan bisa terwujud. Pembahasan terhadap sesat itu sebenarnya hanya lah milik prerogatif Allah SWT, dialah yang paling mengetahui manusia tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, apa yang nyata dan apa yang tersembunyi.

Orang yang mudah mengkafirkan kaum muslimin adalah orang yang sedikit wara’ dan agamanya, dangkal ilmu dan bashirah nya, karena mengkafirkan mempunyai konsekwensi yang besar dan mengharuskan hukuman dan ancaman yang berat terhadap orang yang di kafirkan diantaranya adalah wajib nya mendapatkan laknat dan kemurkaan, dibatalkan seluruh amal nya, tidak diampuni dosa nya, mendapatkan kehinaan dan kebinasaan, kekal dalam api neraka selama-lamanya, tidak mendapat warisan, haram di shalatkan jenazah nya, dan hukum-hukum lainnya sebagaimana tertera dalam kitab-kitab fiqih. Maka Wajar kemudian baginda Nabi Muhammad saw menyampaikan sebuah pesan dalam hadits nya “Barangsiapa memanggil atau menyebut seorang itu kafir atau musuh Allah padahal sebenarnya bukan demikian, maka ucapannya itu akan kembali kepada orang yang mengatakan [menuduh] itu.” (H.R. Bukhari) dan sementara hadits nabi kembali di sampaikan yang diriwayatkan  Bukhari bahwa “Seorang muslim adalah orang yang tidak merugikan muslim lainnya dengan lidah maupun dengan kedua tangannya”. Tidak sulit bagi Allah SWT jika ingin membuat semua manusia ini menjadi muslim dan tidak akan merugikan Allah jika ternyata semua manusia ini kufur dan masuk dalam nerakanya. Artinya kita di berikan kebebasan untuk memilih, dan pilihan itu bagi seorang muslim adalah dengan mamasukkan nilai-nilai Islam kepada hidupnya tanpa mengurangi rasa hormat dan mengorbankan kehidupan manusia lainnya. Kasih sayang jauh lebih baik dari pada membela agama tapi akhirnya merusak dan membinasakan. Pembelaan terhadap sesuatu hal yang baik akan tetap senantiasa salah jika dilakukan dengan cara yang salah, ini sama halnya mencuri air untuk berwudhu atau mencuri mukena/sajadah untuk kepentingan shalat. Hal ini tentu tidak di benarkan karena di tempuh dengan jalan yang tidak baik. Begitulah Islam mengajarkan arti sebuah akhlak.

Akhlak Islam yang baik itu adalah akhlak yang menjaga, menjaga perasaan, sikap termasuk perbuatan seperti mulut dan tangan, begitupun dengan pemikiran. Islam mengajarkan demikian untuk memunculkan kedamaian dan persatuan. Islam tidak memaksakan kehendak untuk mengislamkan semua makhluk ciptaan Allah SWT ini, hal ini sama juga bahwa Islam tidak ingin merevolusi segala bentuk budaya, dan undang-undang yang masih relevan dan bisa memberikan rasa aman, nyaman, dan persatuan. Kehidupan manusia itu adalah kehidupan yang plural, maka dalam kemajemukan itu segala aspirasi harus di dengarkan untuk mendapatkan kaedah hukum yang sesuai dengan ketentuan maqasid syariah itu sendiri (tujuan syariat). Atas dasar penetapan hukum yang secara langsung maupun tidak dari Allah SWT dan Nabi saw, maka semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam surat Al-Anbiya' :107, tentang tujuan nabi Muhammad diutus. Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat tersebut diartikan dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat. Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasan nya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi.

Apakah lantas jika seseorang sudah nyata tidak menyembah Allah SWT, tidak menjadikan hukum Islam sebagai sumber hidupnya memang harus kita hakimi sebagai sesuatu hal yang seolah pendosa besar untuk di rajam atau di bunuh, kehidupan kita adalah kehidupan yang mempunyai aturan, agama di berikan untuk menjalankan pola ritual penghambaan dan akhlak kepada manusia. Memberikan nasehat yang baik, yang benar kepada pemimpin merupakan salah satu jihad yang paling utama dalam kondisi negara damai. Jadi perbuatan untuk mengkafirkan dan melakukan teror bahkan sampai membunuh dan menebar kebencian dan adu domba tentunya sesuatu hal yang tidak di benarkan dalam Islam yang rahmatan lil ‘alamin ini. 

Wakil menteri Agama Prof. Dr. Nasharuddin Umar dalam testimoni launching buku akbar di sponsori oleh PBNU Laskar Ulama dan Santri, Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) pada hari Minggu tanggal 02 Pebruari 2014 di Gedung Juang 45 mengatakan bahwa ulama itu mempunyai keunikan ilmu yang sukar di dapatkan dari akal sehat, karena proses transferisasi ilmu yang tidak biasa, bahwa inspirasi yang menyentuh dan melekat dalam hati itu adalah dari tingkat tertinggi wahyu, kemudian ilham dan pencarian ta’lim atau majelis ilmu biasa. Para ulama-ulama fiqih, hadits dan lainnya mendapatkan ilmu dengan ilham yang langsung di inspirasikan oleh Allah SWT kepada hatinya, maka inilah kemudian yang membuat mereka tetap santun dalam perbedaan dan tidak sedikit pun keluar dari mulut mereka bahasa-bahasa pengkafiran terhadap manusia lainnya. Karena bagi mereka Islam itu tidak hanya sebatas wacana dan ritual tapi hal yang paling esensial adalah bagaimana mengislamkan diri, menciptakan kedamaian di tengah kehidupan serta bermanfaat buat agama, bangsa dan negara.
 *Penulis adalah Pemerhati Sosial, Politik, Agama dan Budaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar