Senin, 03 Februari 2014

Waspadai Jihadis dari Suriah




Sebanyak 50 warga negara Indonesia bergabung dengan ribuan gerilyawan asing di Suriah untuk membantu kelompok ekstremis mendirikan negara Islam. Mereka datang ke Suriah sejak 2012 dengan menumpang maskapai penerbangan komersial menuju Turki. Mereka meyakini perang jihad sebagai perang paling sakral itu akan berlangsung saat konflik di Suriah memasuki tahun ketiga pada Maret nanti. 

Adanya sejumlah masyarakat yang ingin menjadi “mujahidin” di Suriah menandakan bahwa sebagian orang masih mengartikan jihad sebagai perang (qital). Padahal makna jihad bukan tunggal, hanya perang tapi memiliki makna luas. Tindakan atau perbuatan seperti memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mendirikan rumah sakit dan menjaga NKRI merupakan sebuah jihad. Aksi jihad tersebut merupakan jihad sosial. Dalam konteks saat ini jihad yang dibutuhkan adalah jihad sosial, bukan jihad perang angkat senjata.

Islam memang mengajarkan tentang jihad tapi bukan dengan penumpahan darah. Peperangan terkadang tidak membawa faedah apa-apa. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan, organisasi, pengajaran, perlengkapan, semangat dan simpati bangsa-bangsa lain. Tanpa unsur-unsur itu angkatan-angkatan perang yang besar sekali pun tidak akan berfaedah.

Adanya keterlibatan sejumlah WNI dalam perang Suriah, dalam pandangan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, dikhawatirkan mereka berpotensi membawa radikalisme ke negeri ini dan kawasan lainnya.

"Kami belajar dari pengalaman di masa lalu. Oleh karena itu, setiap WNI yang ikut berperang di Suriah, usai kembali dari negara itu, perlu untuk diawasi. Kami perlu mengantisipasi fakta tersebut. Dalam hal ini, saat mereka kembali dari Suriah, mereka kembali dengan sejumlah hal termasuk keahlian baru terkait perang dan senjata," kata Mbai seperti dilansir Pikiran Rakyat, Sabtu (11/1/2014).

Keterlibatan mereka juga menandakan ancaman baru bagi para pemerintah Asia Tenggara, yang telah berhasil mengekang militan beberapa tahun terakhir, terutama mencegah mereka untuk membentuk jaringan dengan luar negeri.

Konflik Suriah juga membantu membakar kampanye kebencian yang meningkat melawan kelompok Syiah di Indonesia yang mayoritas mengikuti madzhab Sunni. Veteran-veteran Suriah sepertinya akan memperburuknya.

Sementara itu, Noor Huda Ismail, Direktur Institute for International Peace Building mengungkapkan, keenam orang tersangka teroris dan terbunuh pada Desember 2013, juga berencana terbang ke Turki dan telah mengantongi tiket pesawat.

Menurut dia perang saudara Suriah dinilai kaum Muslim sebagai perang antara kaum Sunni melawan Syiah, pendukung Presiden Assad. ‘’Hal ini memicu kekhawatiran kelompok Suni dan Syiah di Indonesia,’’ tutur Noor Huda.

Sumber: Pikiran Rakyat, Inilah.com, the global journal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar