Senin, 03 Februari 2014

Membaca Realitas Dan Dampak Buruk Pelaku Teror



Oleh : Rahmat Kurnia Lubis* 

Menarik membaca buku yang di tulis oleh Noor Huda Ismail dalam sebuah tulisan novel dengan judul tulisan Temanku Teroris,  sekitar 386 halaman ketebalan buku tersebut selalu menantang untuk  di baca karena di sana tersusun bahasa yang sangat ringan,  mudah di pahami dan mengundang pembaca untuk mengetahui jejak demi jejak dan hingga mengakhiri tulisan tersebut. Pembacaan terhadap fenomena yang terjadi di sampaikan sebagai bahasa nasehat untuk memikirkan sesuatu hal dalam memaknai kehidupan yang lebih layak. Jika kita berkelana menelusuri pikiran penulis maka akan di dapatkan bagaimana indah nya kehidupan pesantren, kemudian tentang bagaimana seseorang berjibaku dalam dunia perang di Afghanistan, Filiphina, dan Poso, seterusnya kesalahan yang di lakukan atas nama jihad adalah untuk memerangi orang yang tidak se akidah, dan celakanya lagi adalah telah merusak lingkungan, mencederai anak-anak, menelan korban tua maupun muda perempuan. Perlu di di berikan garis yang tegas kembali bahwa jihad adalah untuk mempertahankan diri, negara, maupun agama. Dalam kondisi aman maka ayat perang secara fisik tidak berlaku disini, sederetan peristiwa maupun langkah jihad harus di wilayah perang, bukan di tempat umum. Kemudian harus ada instruksi dari ulil amri bukan hanya keinginan kelompok tertentu atau individu saja.

Kembali kepada tulisan Noor Huda Ismail bahwa sebagai seorang journalis ia telah melihat berbagai macam kenyataan baik secara ekonomis, psikologis, dan dampak bagi dunia pendidikan atau hubungan baik terhadap teman apalagi pihak asing yang tidak mengetahui secara pasti kenapa dan bagaimana bisa terjadi, hal ini tentunya bisa melumpuhkan hubungan bilateral antara dua negara dan bisa menumbuhkan prasangka terhadap negara maupun agama. Sengaja mengambil ulasan dari apa yang di paparkan Noor Huda Ismail adalah karena baginya persahabatan adalah suatu hal yang tidak pernah mati walaupun ia sudah tercederai dengan prilaku dan pikiran radikal para temannya sesama alumni dan seangkatan di sebuah institusi pendidikan Islam itu. ia tetap datang menjenguk sahabatnya ketika di tahan dalam sebuah tahanan karena di dakwa dengan tuduhan teroris, ia tetap bersilaturrahim dan kerap merindukan sosok-sosok yang bijaksana, dan saling peduli di lembaga pesantren itu.Ia juga tidak hanya mengetahui tentang kondisi pelaku terorisme tapi mengunjungi korban dan keluarga pelaku teror, dan disini jugalah kemudian ia mengetahui sentimen asing terhadap gejolak yang terjadi seolah mengundang tanya jika seseorang dari pesantren, hal ini terjawab atas penelusurannya bahwa semua kita di rugikan dengan tindakan teror.

Tulisan ini juga tentunya menanggapi ulasan pemikiran dari sebagian individu atau kelompok tertentu dalam sebuah media yang seolah berat sebelah memposisikan diri sebagai seorang yang berduka dan mengasihani keluarga pelaku terorisme seperti anak dan isteri nya di tinggal mati atau di tinggal karena hukum yang menahan nya di balik jeruji besi. Di satu sisi kita tetap akan kasihan kepada keluarga korban pelaku terorisme karena bisa jadi bahwa isteri dan anak juga tentu nya tidak mengetahui, bahkan bisa jadi tidak mendapatkan rekam jejak suami atau keluarga yang terlibat dalam pelaku terorisme di tanah air. Hal ini tentu nya saya yakini tidak hanya satu atau dua keluarga saja, kemungkinan besar banyak keluarga yang tidak mengetahuai apa yang terjadi dan kenapa bisa mengalami hal radikalisme itu. jika tulisan dalam salah satu media mengatakan bahwa kita harus menyantuni keluarga para pelaku terorisme yang mereka bahasakan dengan istilah mujahidin hal ini sebenarnya ada benarnya atau tidak ada yang salah karena pastinya jika seorang teroris atau yang melakukan aksi teror ini mati terbunuh tentunya anak atau isterinya akan jadi yatim dan janda. Apalagi jika ada seorang anak yang tanpa kasih sayang ayah harus mengalami tekanan psikologi dari lingkungan sekitar yang mengucilkannya, bagaimana pun anak atau isteri tetap manusia yang harus di bela jika mereka berada dalam posisi yang benar atau tertindas, tidak di benarkan dalam agama dan negara melakukan diskriminasi terhadap warga negara nya.

Tapi yang jadi masalah kemudian adalah jika yang di lihat hanya dari satu sisi saja, misalnya seolah para keluarga pelaku bom bunuh diri, atau yang mengeksekusi bom dengan meletakkan nya di area publik ini harus di tempatkan dalam posisi yang sangat agung dan mulia dengan menafikan korban yang jauh lebih banyak akibat ledakan ini, para korban banyak yang yatim, kehilangan anak dan cedera seperti fisik dan mental, perekonomian bisa menjadi lumpuh, hubungan baik bisa menjadi keruh, kepercayaan bisa menjadi hilang dan ideologi keberIslaman bisa di salah artikan. Penting kita pergunakan akal sehat dan jiwa yang arif bahwa setiap tindakan teror dan pelaku kerusakan tidak di benarkan, karena dampaknya sangat luas untuk mengoyak arti sebuah perdamaian dan kenyamanan. 

Pelaku teror juga sebagaimana hal nya manusia yang lain bahwa harus di berikan kesadaran secara berlahan sehingga mengerti arah dan tujuan jihad sesungguhnya, antusiasme keberagamaan anak muda harus di arahkan kepada perjuangan positif, karena masih banyak wahana jihad dan dakwah yang harus di perbaiki, karena antara jihad dan dakwah harus menyatu, jihad untuk memperjuangkan kebaikan buat seluruh manusia, sementara dakwah adalah menjaga dan memasukkannya dalam setiap aspek kehidupan manusia agar jauh dari pada sifat rakus seperti korupsi, hedonisme dan kesewenang-wenangan baik pejabat negara maupun pimpinan ormas dan lainnya. Tidak ada darah yang di tumpah kan ketika terjadi Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah), tidak ada pemaksaan dalam agama dan menyodorkan aturan yang bersyariat Islam ketika di Madinah, tapi dijalankan beriringan sesuai dengan nilai keberIslaman dan di sepakati oleh kabilah dan suku dari berbagai macam golongan.

Kehidupan santri di tanah air adalah kehidupan yang damai, mencintai dan semangat untuk membangun dan berjuang dalam mengisi kemerdekaan. Tidak sedikit para wali, ulama, dan santri yang terlibat untuk memperjuangkan tanah air ini, mereka rela bahwa dasar agama bukan harus Islam, tapi keyakinan beribadah, dan agama jangan sampai di nistakan satu sama lain. Produk awal pendidikan di tanah air adalah dari pondok-pondok pesantren yang dengan kesederhanaan nya mempunyai cita-cita besar. Semangat yang tinggi, optimisme hidup, dan sikap sederhana ini menjadi icon politik dan kenegarawanan bangsa yang sesungguhnya.  Sekali lagi bahwa korban tentu nya bukanlah pelaku teror walau di satu sisi mereka wajib di santuni, tapi lihatlah betapa banyak yang di rugikan dari rangkaian peristiwa yang ada. Jangan sampai kita ter propokasi akibat media yang sesungguhnya memberikan advokasi kepada pelaku teror dengan mengatas namakan jihad tapi jalan yang di tempuh dengan cara yang salah terlebih lagi telah menafikan keadaan yang jauh lebih parah atau lebih banyak.Bisa jadi yang membuat kekhawatiran terhadap Islam itu adalah datang dari pemeluk nya dan tentunya sebagai terapi nya juga hadir dari pemeluknya sendiri.Islam Rahmatan lil alamin, Islam buat kita semua. Itulah kehidupan damai yang di rindukan.


*Penulis adalah alumni Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar