Kamis, 06 Februari 2014

Peran Manusia dalam Melestarikan Kemanusiaan




Oleh :  Rahmat Kurnia Lubis*

Semua makhluk yang ada di muka bumi ini dibagi menjadi dua kelompok; makhluk bernyawa dan makhluk tidak bernyawa. Makhluk tidak bernyawa seperti air, api, batu, dan tanah, tidak memainkan peran apapun dalam membangun dan mengembangkan dirinya. Mereka mewujud dan tumbuh semata-mata di bawah pengaruh faktor-faktor eksternal. Mereka tidak melibatkan diri dalam kegiatan apapun untuk tujuan mengembangkan eksistensi mereka. Sebaliknya makhluk-makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan dan manusia senantiasa melakukan upaya-upaya tertentu untuk mempertahankan diri dari aneka kesulitan memperoleh makanan dan berkembang biak.

Dalam al Quran, manusia berulang-ulang kali diangkat derajat nya, berulang-ulang kali pula direndahkan, mereka dinobatkan jauh mengungguli para malaikat, tetapi pada saat yang sama mereka bisa tidak lebih berarti dibandingkan dengan binatang sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi yang paling rendah dari segala yang rendah. Oleh karena itu manusia sendiri yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka. Karena sesungguhnya seperti ungkapan guru besar Univesitas Islam Gunung Jati Bandung, Dr. Daud Rasyid mengatakan hidup ini ibarat sebuah perjalanan menuju sebuah tempat dimana ketika tiba saatnya di persimpangan, bisa membuat kita bingung antara memilih jalur yang mana. Apakah antara timur, barat, utara dan selatan, kemanakah kaki melangkah ? untungnya ada sebuah petunjuk dari rambu lalu lintas dan dinas perhubungan yang terpampang dengan jelas di pinggiran jalan. Ketika kita bermaksud  menuju Jakarta dari Yogyakarta maka janganlah berjalan dari simpang jalan yang mengarahkan anda ke Surabaya, hasilnya tujuan tidak akan tercapai, karena ketika anda salah jalan sementara rambu sudah jelas maka anda tidak akan dapat menyalahkan pemerintah, polisi lalu lalu lintas. Dan siapapun makhluk yang,  karena itu murni sesungguhnya kesalahan yang yang harus di tanggung resiko nya. Begitulah kiranya kehidupan dunia ini yang akan menghantarkan menuju istana terang kemilau sang maha raja cahaya untuk menjumpai Tuhan-Nya. Sudah jelas undang-undang dan petunjuk dari-Nya. Ketika jalan yang di tempuh adalah salah maka tidak ada hak untuk menggugat Tuhan karena dia sudah memberikan sesuatu yang berharga berupa kode etik atau tanda dalam permainan yang bernama dunia ini. Maka janganlah sampai kalah dalam sebuah kesempatan yang ada. Pelajarilah dengan baik dan bijak sebuah kitab kebahagiaan itu yaitu al Quran al Karim.

Seorang filosof muslim yang masyhur namanya di belahan dunia seperti Ibn Sina (Avicenna) pernah menyampaikan bahwa Jiwa manusia ini terbagi tiga yaitu jiwa, nabati, hayawani dan nafsani, kecenderungan ketiga jiwa ini jelas sangat berbeda yang menggambarkan inilah dia realitas kehidupan manusia hari ini.

Jiwa pertama adalah jiwa nabati. Dimaksudkan kondisi manusia seperti hal nya tumbuhan yang tidak mempunyai pergerakan dan tidak ambil pusing dengan tumbuhan di sekitar nya, hidup, tumbuh, berkembang dan mati, inilah kondisi manusia yang tidak mempunyai nurani terhadap sekitarnya, hal ini sangat banyak kita jumpai di kota metropolitan seperti hal nya rumah gedongan perumahan yang satu sama lain tidak butuh tegur sapa, semua sibuk dengan aktivitas masing-masing, hidup dan mati nya hanya untuk individual dan komunitasnya saja. Tidak melahirkan kesalehan sosial sehingga kehidupan nya seolah tanpa makna dan manfaat bagi manusia lainnya. Begitu juga seorang yang alim misalnya kalau dia itu beribadah di sebuah hutan yang tidak dihuni oleh makhluk yang bernama manusia selain dirinya, dia pergi meninggalkan kaumnya dan kerabatnya karena tidak mau disibukkan dengan yang namanya syiar dan tabligh. Bahkan seorang nabi pun ketika lari dari kaum nya itu maka langsung akan ditegur oleh Tuhan-Nya, maka menarik sesungguhnya apa yang disampaikan oleh Habiburrahman el Shirazy bahwa seorang abid yang hidup disebuah gunung bukan berarti lebih baik dengan seorang alim yang hidup di metropolitan karena memang objek dakwah itu jelas di hadapan dan kita tidak akan menjadi manusia egois yang mementingkan diri secara pribadi untuk bermesraan dengan sesuatu obyek yang bernama Tuhan. Hal yang tidak baik kemudian adalah mencari Allah SWT, bergegas ingin ke surga tapi menimbulkan car fitnah dan kekerasan di dalam dunia-Nya Allah SWT.

Jiwa kedua adalah jiwa hayawani, jikalau kecenderungan yang nabati lebih banyak mengurusi internal tanpa berusaha untuk melihat sekitarnya. Dalam jiwa hayawani ini justeru sebagai pemain, seorang yang aktif bergerak dan berbuat tapi kerap membuat kerusakan, kerusuhan dan ketidak nyamanan, tidak ada hal menjadi penghalang baginya sepanjang semuanya itu mempunyai nilai kesenangan dan untung kepada diri, sehingga hitam bisa jadi putih dan putih berubah hitam, halal di haramkan sementara haram dihalalkan. Penghalang hanya lah ruang-ruang kekuasaan dan itu pun kalau masih memungkinkan celah untuk memasukinya masih dilakukan juga. menggelapkan uang negara, tidak peduli itu milik siapa yang penting adalah untung dan kesenangan. Lihatlah segerombolan kera yang ingin memetik buah pisang atau tupai yang menginginkan kelapa tidak pernah permisi untuk izin sama sekali kepada pemiliknya, dan metode ini ternyata menginspirasi orang yang lebih parah dan hina dari pada kera dan tupai. Pantaslah Allah SWT dalam sebuah maklumatnya menyampaikan bahwa Dia sang maha agung bisa saja mensejajarkan manusia dengan binatang bahkan yang lebih hina dari pada itu.

Untuk membangkitkan kesadaran dan lamunan serta sikap ketidak wajaran ini maka Allah SWT  dalam Al Quran banyak mencela manusia untuk kemudian lebih memanusiakan dirinya dan bisa memanfaatkan waktu yang ada.

“Manusia sangat benar-benar mengingkari nikmat. [QS. 22:66]
Ketahuilah sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. 96:6-7)
... Adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (QS. 17:16)
Apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring atau berdiri tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu dari padanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpa nya. [QS. 10:12]

Jiwa ketiga, adalah jiwa insani, berbeda dengan jiwa pertama dan kedua, mempunyai karakter yang lebih mulia, dengan suara hati yang fithrah ia berusaha untuk mengenal dirinya demi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya, menginfakkan hidup untuk kemaslahatan umat tidak ada istilah itu kan mereka bukan saya, sadar akan hakikat penciptaan dirinya sebagai pengelola (khalifah fi al ardh) dan untuk beribadah kepada sang pencipta maka ia membangun sebuah garis yang jelas dan menuntun orang di sekitarnya untuk bersama berjalan menuju Tuhan pencipta langit dan bumi. Inilah kesalehan sosial yang mengajak, menyeru dan memanusiakan manusia, bahkan dari sini akan lahir generasi-generasi yang berpikir untuk kemaslahatan umat, negeri dan bangsanya. Blue print darinya adalah makhluk yang dinamis, kreatif, inovatif dan responsitif dengan metode Islamisasi ilmu pengetahuan dan modernitas. Seorang ulama kenamaan Persia menyampaikan dalam sebuah gubahan syair.

Anak-anak Adam laksana anggota tubuh, Sebab mereka tercipta dari lempung yang sama. Jika satu bagian  terlanda lara, Yang lain menderita resah hebat, Engkau yang ingkar derita manusia, Tak pantas bernama manusia. 

Di balik itu semua tidak dapat di pungkiri bahwa media sangat berperan penting dalam menjembatani dan memberikan kesan bagi pendengar dan yang membaca, melihatnya. Media Islam harus mampu menjadi wawasan yang dinamis, maju, sejahtera dan tanpa memberikan propaganda untuk umat Islam. Pembahasaan yang netral justru jauh lebih baik dri pada memberikan penghakiman terhadap umat lainnya, jika hal itu terjadi, maka sama halnya yang menciptakan permusuhan itu tiada lain adalah kita sendiri. Sebagai oase, pengetahuan, informasi dan sosial kontrol tetap di jalankan khususnya bagi media-media Islam, yaitu dengan mengangkat sikap optimis dan membuka wawasan dari kaca mata positif serta bagaimana mendialogkan nya dengan instansi-instansi terkait yang duduk mengetahui perkara dan bertanggung jawab atas umat hingga  bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bersatu. Dengan menunjukkan nilai Islam yang rahmatan lil alamin. berlaku bauat siapa saja.  

 *Penulis Adalah Institute for Multiculuralism and Pluralism Studies.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar