Senin, 03 Februari 2014

Bijak dalam Melihat Bencana




Belakangan ini bencana alam terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Bencana banjir menimpa masyarakat ibu kota dan sekitarnya serta beberapa daerah lainnya. Erupsi Gunung Sinabung melanda warga Kabupaten Karo, Medan, Sumatera Utara. Gempa bumi menimpa warga Kebumen, Jawa Tengah. Sementara, banjir bandang dan longsor menerjang masyarakat Manado, Sulawesi Utara.

Adanya bencana tersebut merupakan teguran bagi kita agar tidak terus-menerus merusak bumi dan seisinya. Bencana juga bisa sebagai bentuk ujian ketakwaan dan keimanan masyarakat Indonesia. Di tengah kondisi bencana seperti saat ini hendaknya semua pihak saling membantu meringankan penderitaan para korban bencana. Para pihak seyogyanya tidak melakukan saling menghujat dan menyalahkan, apalagi menganggap sistem pemerintah dan pemimpinnya tidak benar.

Namun fakta di lapangan, ketika ada bencana menimpa masyarakat, pemerintah selalu disalahkan. Mereka dihujani kritikan bertubi-tubi dari berbagai kalangan bahwa bencana alam yang menimpa masyarakat sebagai akibat kebijakan yang dibuatnya. Bahkan ada pula yang menganggap bahwa bencana alam yang melanda negeri ini karena negara kita tidak menerapkan syariat Islam. Negara yang menganut sistem demokrasi dianggap sebagai rawan bencana, sementara negara yang menganut sistem pemerintahan Islam akan jauh dari bencana. Antara sistem pemerintahan yang digunakan dalam sebuah negara dengan potensi kerawanan bencana tidak bisa dikaitkan sepenuhnya.

Sebab, terjadinya bencana di muka bumi akibat ulah manusia itu sendiri, bukan karena sistem pemerintahan yang digunakan. Dalam Al Quran dikatakan, bahwa  “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian  akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali. Katakanlah,” Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan”. (QS. Ar-Ruum 30: 41-42).

Jadi, sebuah negara apapun sistem pemerintahannya bila rakyatnya tidak berperilaku merusak lingkungan dan bersahabat dengan alam maka kecil kemungkinan bencana akan terjadi, pun sebaliknya. Kerawanan bencana tidak ditentukan oleh sistem pemerintahan yang dianut sebuah negara. Letak geografis sebuah negara bisa berpengaruh terhadap kerawanan bencana. Indonesia yang letak geografisnya berada di cincin api (ring of fire) memiliki potensi bencana yang cukup tinggi. Bila masyarakat kita berperilaku merusak alam maka potensi tersebut mudah terjadi. Sebaliknya, bila kita bisa merawat dan menjaga alam dengan baik maka potensi itu dapat diminimalisasi.

Pernyataan Menteri Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam yang mengingatkan masyarakat agar tetap berpikir rasional dalam melihat banyaknya bencana layak diikuti. Pasalnya, bencana-bencana belakangan yang terjadi disebabkan oleh pergerakan lempeng-lempeng tektonik di cincin api Pasifik. Sekitar 90% gempa bumi terjadi di sepanjang cincin api Pasifik itu, termasuk di sekitar nusantara kita yang vulkanis. “Negara-negara lain juga menghadapi bencana alam,” ujar Dipo melalui akun twitter pribadinya @dipoalam49, Minggu (26/1/2014).

Penanggulangan bencana alam tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Masyarakat dan komponen bangsa yang lain pun harus turun tangan untuk mengatasi bencana. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat sipil yang solid akan efektif menanggulangi bencana di negeri ini.  Mari jaga dan lestarikan lingkungan di sekitar kita agar bisa mengurangi potensi bencana. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar