Selasa, 31 Desember 2013

Presiden: Kerukunan Harus Terus Diupayakan



Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kerukunan antara masyarakat dan umat beragama harus terus diupayakan setiap waktu sehingga tercipta kedamaian dan kesejahteraan.
"Mewujudkan kerukunan dan kedamaian adalah tugas sepanjang masa, terus menerus," kata Presiden dalam akun twitter pribadinya @SBYudhoyono, Sabtu (28/12/2013).
Presiden menegaskan bahwa upaya yang dilakukan harus dilakukan dengan kesabaran dan ketekunan sehingga kerukunan dan kedamaian dapat diwujudkan dan dijaga.
"Dengan tekun dan sabar harus terus kita upayakan," kata Presiden.
Sebelumnya saat menghadiri perayaan natal bersama tingkat nasional di Jakarta Convention Centre (JCC), Jumat (27/12) malam, Kepala negara mengatakan Natal harus disikapi sebagai upaya memotivasi pembaharuan iman, cinta kasih, kesederhanaan dan solidaritas sebagai cermin kepatuhan.
Sumber: Antara

Presiden: Jangan Biarkan Pemikiran Radikal Tumbuh



Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimbau, agar masyarakat tidak membiarkan pemikiran keagamaan yang ekstrem dan radikal tumbuh di Indonesia karena akan mengganggu kerukunan dan kedamaian umat beragama.
"Jangan biarkan pemikiran radikal dan ekstrem tumbuh di negeri ini," kata Presiden saat memberikan sambutan pada perayaan Natal Nasional 2013 di Jakarta, Jumat (27/12/2013).
Untuk itu, menurut Presiden, perlu dipupuk kesadaran sejak dini kepada generasi-generasi baru Indonesia mengembangkan toleransi, kerukunan dan perdamaian.
Presiden dalam kesempatan itu menyerukan tugas tersebut bukan hanya dilakukan oleh negara, namun juga seluruh pemangku kepentingan di negara ini, baik pemuka agama maupun masyarakat.
"Jangan hanya menggantungkan kepada negara untuk mengatasi setiap gangguan toleransi dan kerukunan," kata Presiden.
Hubungan yang baik antara negara dan masyarakat dalam membangun kesadaran toleransi, kerukunan dan perdamaian amat diperlukan.
Presiden menilai, mewujudkan kerukunan dan kedamaian adalah tugas sepanjang masa. Hal ini karena kemajemukan bangsa Indonesia syarat akan akar konflik dan perbedaan.
Oleh karena itu, menurut Kepala Negara, mengembangkan sikap memberi dan menerima, serta konsensus dan tenggang rasa harus terus dipupuk. Pemuka agama dapat memberi contoh hal itu.
Sumber: Antara

Selasa, 24 Desember 2013

Produk Halal untuk Seluruh Masyarakat Indonesia


Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan makanan yang halal dan thayyib adalah sumbangsih umat Islam untuk bangsa Indonesia. Menurut dia makanan halal dan thayyib tidak hanya untuk masyarakat Islam, tapi untuk masyarakat seluruh agama.
“Makanan yang halal dan thayyib adalah salah satu dari sekian banyak sumbangan umat Islam untuk negeri ini dan bahkan dunia. Produk yang halal dan thayyib bukan untuk dikonsumsi oleh umat Islam semata, namun bagi seluruh umat,” tegas Menag di Kota Padang, Jumat (20/12/2013).
Suryadharma menjelaskan bahwa produk halal tidak sebatas pada makanan dan minuman saja, tetapi juga pada kosmetik, obat-obatan dan barang gunaan, seperti baju, sepatu, sabuk dan lain sebagainya.
“Masyarakat berhak mendapatkan produk yang halal dan thayyib. Saya yakin, jika masyarakat tahu kondisi produk yang hendak dibeli, ditambah dengan kondisi pasar yang bersih, terawatt, dan menarik, maka masyarakat akan datang dan berbelanja. Pedagang pun dapat menjual dagangannya dalam jumlah yang lebih besar. Omset akan meningkat tajam,” tutur Menag.
Ia mengatakan pihaknya siap menyukseskan Kampanye Peningkatan Penggunaan Produk Halal dengan memberi bantuan sertifikasi produk halal.[as]
Sumber: Kemenag.go.id

Sabtu, 21 Desember 2013

Melestarikan Semangat Kepahlawanan lewat Film


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis film kepahlawanan berjudul “Pahlawan Tak Pernah Mati” Rabu pekan lalu. Film ini berlatar tentang peristiwa 10 November 1945. Pembuatan film ini sebagai upaya menyegarkan dan mengkomunikasikan kembali ingatan kita tentang perjuangan bangsa khususnya di generasi muda dan pelajar.
Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Endang Caturwati mengatakan, semangat kepahlawanan perlu dikembangkan dan dikomunikasikan agar semangat dan nilai tersebut tetap lestari dalam perwujudan yang sesuai dengan konteks perkembangan generasi dan jaman.
“Dalam pemahaman yang lebih luas, pelestarian nilai dan semangat kepahlawanan tersebut sangat sejalan dengan upaya kita untuk mengedepankan dan membangun berbagai aspek positif dari nilai budaya, kearifan lokal dan karakter bangsa,” ujar Endang.
Pemilihan peristiwa 10 November 1945 sebagai latar belakang cerita didasarkan bahwa pada peristiwa penting itu rakyat Surabaya bersatu melawan penjajah dengan mengorbankan jiwa dan raganya tanpa pamrih. Tanpa menunggu komando atau arahan dari pemerintah pusat, masyarakat lokal bergerak untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Dalam pemahaman yang lebih luas, pelestarian nilai dan semangat kepahlawanan tersebut sangat sejalan dengan upaya kita untuk mengedepankan dan membangun berbagai aspek positif dan nilai budaya, kearifan lokal dan karakter bangsa,” ujar Endang.
Ia berharap film ini dapat memberi kontribusi dalam meningkatkan kesadaran kita tentang pentingnya arti pahlawan dan kepahlawanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Film ini juga diharapkan dapat menjadi media yang mampu mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut pada generasi muda sehingga bangsa kita dapat tumbuh dengan masyarakatnya yang memiliki jiwa dan semangat kepahlawanan.
Sementara itu, sejarawan LIPI Asvi Warman Adam yang menjadi ketua peneliti film tersebut, mengatakan film ini mengisahkan tentang kepahlawanan rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu. Puncaknya pada tanggal 10 November 1945. Dalam film ini, Asvi dan timnya mengisahkan secara komprehensif peristiwa 10 November 1945 dalam kisah-kisah heroik.
Hal paling heroik lainnya dalam peristiwa itu, dalam catatan Asvi, adalah insiden tanggal 19 September 1945 di hotel Yamato, Surabaya, ketika Belanda menaikkan bendera merah putih biru, dan para pemuda meminta bendera itu diturunkan namun tidak dihiraukan. Akibatnya delapan pemuda naik ke atas hotel, dan bagian biru dari bendera itu disobek, “Sehingga berkibarlah bendera merah putih,” katanya.
Film ini diputar di TVRI dan juga akan ditayangkan di sekolah-sekolah lewat 50 mobil bioskop keliling.[as]
Sumber: Republika, Tempo.co

Jumat, 20 Desember 2013

Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Sosial?

Oleh Syafiq Syaerozi 

“Bicara  soal  zakat  dikaitkan  dengan  pemerataan  ada  kesan memaksakan diri, mengada-ada! Tapi, anehnya orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai  tema.  Seolah-olah  yang  penting bukan  kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata  “zakat” itu  sendiri.  Ibarat  figur, kata-kata zakat diyakini sebagai tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meskipun  sangat  sulit orang  mencernanya,  tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan, suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga” (Masdar Farid Mas’udi).

Seperti biasa, menjelang lebaran, topik zakat kembali hangat diperbincangkan, khususnya sejak Presiden SBY secara simbolis menyerahkan zakatnya sebesar dua puluh empat juta rupiah kepada Badan Amil Zakat Nasional Nasional (Baznas) pertengahan Ramadan ini. Padahal sejatinya, hanya zakat fitrah yang wajib ditunaikan pada akhir Ramadan. Sedangkan zakat jenis lain bisa dikeluarkan kapan saja mengikuti aturan yang digariskan. Terlepas dari itu, saya ingin ikut nimbrung dalam perbincangan ini.

Tampaknya semua orang Islam sepakat bahwa satu-satunya rukun Islam yang langsung bersentuhan dengan cita penegakan keadilan sosial adalah zakat. Di sinilah setiap muslim yang berkecukupan diwajibkan menyapa kaum dhuafa. Hal ini termaktub dalam Al-Quran surat Al-Taubah: 60, “Sungguh zakat itu diperuntukkan bagi kalangan fakir, miskin, para pengelola, orang-orang yang tengah dijinakkan hatinya, bagi para budak, orang-orang yang terlilit utang, bagi jalan Allah, dan anak jalanan. Itulah ketentuan Allah. Dan Allah Mahatahu lagi Mahabijak.”

Berpijak pada ayat tersebut, semua orang juga sepakat bahwa motif utama pensyariatan zakat adalah untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara kalangan berpunya dan golongan papa. Ada semangat pemerataan sosial dalam ajaran ini. Dengan prinsip pemerataan,  Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam hikmatut tasyri’ wa falsafatuhu mencatat, ada tiga hikmah pokok yang terkandung di balik pewajiban zakat.

Pertama, pelaksanaan zakat adalah sebagai pintu untuk membantu kaum lemah dan menolong orang yang tertimpa kesusahan, sekaligus memberikan kekuatan agar mereka mampu menjalankan segala hal yang diwajibkan Allah.

Kedua, sebagai media untuk pembersihan diri pelaksana zakat dari segala “kotoran”, sebagai ajang perbaikan moral individual dengan mendidiknya untuk berderma dan menanggalkan sifat pelit dan tamak yang menjadi karakter setiap manusia.

Ketiga, dengan argumentasi bahwa segala kekayaan material yang dinikmati golongan kaya adalah anugerah Allah, maka kewajiban setiap hamba ialah mensyukurinya.

Tentu sangat gamang untuk mengatakan bahwa praktik zakat saat ini telah sukses menggapai idealisme tersebut. Tanpa pengelolaan yang tepat, zakat akan mengalami kesulitan bahkan meleset mencapai bidik sasarannya. Praktik zakat di berbagai tempat  masih dominan bernuansa karitatif (santunan) belaka; memberi kemudian selesai tanpa diiringi kontrol bagaimana zakat itu dikelola. Dana zakat pun cepat ludes. Tanpa pengelolaan dan pemberdayaan yang baik oleh lembaga amil terpercaya, jenis ibadah kemanusiaan yang berguna sebagai alat pemberdayaan sosial ini akan mandul.

Menyikapi hal ini, beberapa tahun silam, Masdar Farid Mas’udi melalui karyanya yang monumental bertajuk Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (1993), bahkan mengusulkan agar zakat disatukan dengan pajak, supaya lebih optimal. Sebab zakat sebagai kewajiban agama tidak memiliki instrumen pemaksa yang otoriter seperti pajak, di mana negara dapat mengenakan sangsi terhadap pengemplang pajak. Usulan ini wajar mengingat potensi zakat di Indonesia yang sangat besar, namun realisasinya masih sangat kecil.

Hasil penelitian Baznas/Laznas, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Islamic Development Bank, potensi zakat di Indonesia pada tahun 2013 mencapai Rp 217,3 triliun. Seandainya dana tersebut dapat dihimpun dengan baik dan didistribusikan secara adil dan merata guna memberdayakan ekonomi masyarakat bawah maka 21,73 juta kelompok papa dapat menggerakkan roda ekonominya dengan modal Rp 10 juta/ orang. Sayang realisasinya tidak sebesar itu. Pada tahun 2012, jumlah zakat yang dikelola Baznas “hanyalah” sebesar Rp 2,3 triliun.

Tetapi usulan Masdar tersebut tertolak oleh situasi zaman di mana korupsi masih menggurita di tubuh birokrasi pemerintahan Indonesia. Bahkan salah satu Ormas Islam pernah menyerukan akan memboikot pajak jika ternyata uang rakyat banyak dikorupsi oleh para pejabatnya.

Kendati demikian, secara substansial, pola pengelolaan zakat yang diusulkan oleh Masdar patut diimplementasikan. Melampaui aturan fiqh klasik, ia berpendapat bahwa dana zakat tidak harus diperuntukkan secara individual bagi mereka para penerima zakat, melainkan bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang mendukung peningkatan aktivitas ekonomi rakyat, subsidi pertanian, dan semacamnya.

Saya pribadi membayangkan, jika dalam satu kecamatan ada lembaga pengelola zakat otoritatif yang bisa meyakinkan warganya untuk menyalurkan kewajibannya di situ, lantas bisa mengorganisasikannya secara baik, dengan laporan pertanggungjawaban rutin yang terbuka seluas-luasnya bagi publik, insya Allah dalam beberapa tahun, masalah kesulitan pangan, biaya sekolah dan kesehatan, dan lainnya di wilayah tersebut akan tertuntaskan.

Jika dana yang dikelola besar, tentu lembaga akan mudah memilah mana zakat konsumtif (bersifat santunan) dan mana zakat produktif (bisa dikembangkan). Mana warga yang memang mendesak untuk diberi zakat tunai, dan mana yang tidak.

Coba saja jika dana zakat yang terkumpul dikembangkan dalam badan usaha berbentuk koperasi, di mana koperasi memiliki unit usaha seperti toko serbaada (Toserba), klinik kesehatan, dan lainnya. Pengelola, karyawan, dan konsumen adalah warga sendiri. Sebagian keuntungan yang diperoleh dari unit usaha menjadi dana sosial yang diperuntukkan untuk menyantuni fakir miskin secara rutin, pinjaman modal usaha bagi warga, dan kepentingan umat lainnya. Warga, khususnya penerima zakat konsumtif diwajibkan untuk berbelanja di koperasi itu lagi agar perputaran dana terus berlangsung dan tidak keluar dari situ.

Namun praktik tentu tidak bisa berjalan mudah. Selain butuh kesabaran pengelola, juga butuh perasaan saling percaya antara pengurus dengan warga, dan sesama warga. Itu syarat mutlak. Karena itu kontrol sosial aktif (amar ma’ruf nahi munkar) dari pelaku maupun penerima zakat harus dilakukan terus menerus agar tidak terjadi penyimpangan.

Dan negara yang memiliki otoritas represif, berhak mengawasi, mengoordinir, dan menghukum lembaga-lembaga zakat yang nakal. Dengan demikian masyarakat tetap nyaman berzakat tanpa kehilangan kepercayaannya dan dana zakat dapat dioptimalkan oleh lembaga-lembaga pengelolanya.

Menilik UU Nomer 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang kini sebagian pasalnya sedang diuji materikan di Mahkamah Konstitusi (MK), semangat pemerataan sosial masih kurang terakomodasi. Pasalnya UU tersebut lebih mengatur soal lembaga pengelola zakat bukan mekanisme pengelolaan.

Hijrah, Hijriyah, Jihad



622 Masehi, pasca-Baiatul Aqabah kedua, Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat setianya memutuskan untuk berhijrah menuju Kota Yatsrib (kini Madinah). Pilihan ini dilakukan mengingat tekanan dari kaum kafir Quraisy Makkah yang kian menguat. Baiat Aqabah adalah perjanjian setia para sahabat kepada Nabi SAW di bukit Aqabah.
Seperti termaktub dalam Sirah Nabawiyah, karya Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, salah satu poin penting dalam baiat tersebut adalah bahwa para sahabat wajib mendengarkan dan taat kepada Nabi dalam kondisi apa pun, menginfakkan hartanya untuk perjuangan Nabi dalam situasi kaya atau miskin, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, tegak di jalan Allah, menolong dan melindungi Nabi seperti mereka melindungi keluarganya.
Secara bertahap, beberapa sahabat meninggalkan kota Makkah menuju Yatsrib, di mana sebagian penduduknya yang sudah masuk Islam telah berjanji memberikan perlindungan. Nabi Muhammad menyusul kemudian setelah beberapa sahabat tiba di kota tersebut.
Momentum Hijrah Nabi dan sahabat tersebut lantas dijadikan patokan oleh sahabat Umar bin Khattab RA sebagai penanggalan Islam yang kemudian dikenal dengan kalender Hijriyah. Hal itu dicetuskan Umar pada tahun 638 Masehi atau 17 tahun setelah peristiwa hijrah berlangsung. Kini di kalender-kalender Indonesia, penanggalan Hijriyah kerap bersanding dengan kalender Masihiyah.
Esok hari, Selasa (5/11/2013) kalender Hijriyah sudah memasuki tahun 1346 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram. Sekian tahun setelah peristiwa hijrah, pemaknaan hijrah mengalami perkembangan sedemikian rupa.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pendiri Darul Islam (DI) menegaskan bahwa umat Islam Indonesia harus melakukan hijrah meniru Nabi, yaitu hijrah dari Makkah Indonesia menuju Madinah Indonesia. Makkah Indonesia yang dimaksud Kartosoewirjo adalah Indonesia yang tidak menerapkan hukum Islam dan tidak berlandaskan pada Alquran dan hadis, menuju Madinah Indonesia yang sudah menerapkan hukum Allah.
Tak cukup itu, “Untuk meraih kemenangan, hijrah saja tak cukup. Hijrah harus digandengkan dengan jihad. Soalnya setiap kata hijrah dalam ayat-ayat Alquran selalu berdampingan dengan kata jihad. Oleh karena hijrah dan jihad merupakan dua hal yang harus dilakukan sekaligus.” Kalimat tersebut termaktub dalam “Sikap Hijrah PSII 2 Majelis Tahkim Partai Syarikat Islam Indonesia, 1936” yang dikutip oleh Solahuddin dalam buku Dari NII ke JI.
Konsepsi itu terus dikembangkan Kartosoewiryo dan menjadi salah satu basis gerakan DI/TII yang ia bentuk, termasuk bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang dipimpin Soekarno. Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan, dan demi itu harus bertempur dengan ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang.
“Perang menghadapi negara Pancasila menjadi wajib hukumnya,” tulis Kartosoewiryo dalam “Perdjalanan Soetji Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah (1953).
Satu peristiwa yang kompleks dengan beragam tafsir, itulah Hijrah.

Kerukunan Modal Pembangunan Bangsa



Menteri Agama Suryadharma Ali tidak henti mengingatkan agar semua pihak dari seluruh lapisan masyarakat terus menjaga kerukunan demi suksesnya pembangunan dan terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal itu dikatakan Suryadharma saat melepas acara gerak jalan kerukunan di Lapangan Sport Center, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (18/12/2013).
“Tidak ada pembangunan tanpa kerukunan, tidak ada persatuan tanpa kerukunan, tidak ada kedamaian tanpa kerukunan, tidak ada ketenangan hidup tanpa kerukunan,” tegas Menag.
Menag mengatakan kerukunan merupakan modal besar untuk membangun bangsa. Karena dengan kerukunan, masyarakat akan merasa damai, makmur, jauh dari kekerasan, bahkan menepis percekcokan antar suku yang beragam.
“Menghadapi tahun politik dan pesta demokrasi yang berpotensi konflik, saya berharap kesadaran dan semangat kerukunan antar umat beragama dapat menjadi benteng bersama dalam menepis dan meminimalisir benih perpecahan,” ujarnya.
Dalam rangka menumbuhkan dan menggelorakan semangat kerukunan dan kebersamaan antar masyarakat di seluruh Indonesia, pihaknya menggelar gerak jalan kerukunan di pelbagai daerah. Semangat kerukunan dan kebersamaan harus terus digelorakan karena kerukunan bersifat dinamis.[as]
Sumber: Kemenag.go.id

Banyak Siswa Tak Lulus UN Bahasa Indonesia



Bahasa Indonesia dan Matematika menjadi mata pelajaran tersulit dalam Ujian Nasional tingkat SMA/Sederajat tahun ini. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagian besar ketidaklulusan siswa pada dua mata pelajaran tersebut. Mereka pelajar di sekolah-sekolah di wilayah perkotaan, seperti ibu kota provinsi atau ibu kota kabupaten/kota.
Tingginya angka ketidaklulusan siswa pada dua mata pelajaran tersebut mendapat respon berbagai pihak. ”Kenapa Bahasa Indonesia dan Matematika, harus kami analisis lagi,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kemdikbud Hamid Muhammad di Jakarta, Kamis (24/5/2012).
Sementara itu, Ketua Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, Muhajir mengatakan, Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) harus bertanggung jawab terhadap kegagalan tersebut. Sebab BSNP yang membuat dan menjamin ketersediaan soal UN.
“Menurut saya, seharusnya BSNP yang bertanggungjawab dengan ini semua. Mereka bertanggung jawab pada penyediaan soal-soal UN, mulai dari arah soal yang akan digunakan, uji coba soal, sampai akhirnya mumutuskan soal mana saja yang layak diujikan dalam UN,” kata Muhajir.
Karena itu, lanjut dia, perlu ada kajian mengapa banyak siswa yang nilai Bahasa Indonesianya rendah. Ia mengusulkan agar dilakukan penyegaran keterampilan berbahasa Indonesia pada semua guru bahasa dan nonbahasa.
Menurut dia penyegaran keterampilan tersebut akan membawa dampak positif dalam mewujudkan proses pembelajaran yang komunikatif dan efektif.
“Penyegaran keterampilan berbahasa Indonesia menjadi penting dilakukan karena berdasarkan UUD 1945, UU Sisdiknas, dan UU Bahasa, Bahasa Indonesia merupakan satu-satunya bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran,” ujar dia.
Ketua Asosiasi Guru dan Bahasa Sastra Indonesia menilai, pengujian Bahasa Indonesia yang menekankan pada pemahaman wacana, justru menjebak siswa karena pilihan jawabannya mirip dan bisa diperdebatkan.
“Ada ketidaknyambungan antara yang diajarkan sehari-hari di sekolah oleh guru dengan evaluasi ujian nasional. Pembelajaran sehari-hari lebih menekankan keterampilan berbahasa, sehingga banyak praktik menulis dan berbicara. Padaha UN cenderung menguji daya nalar siswa,” kata Jajang. [akhwani/kompas]

Maulid Nabi: Mengembalikan Semangat Profetisme



Sumber foto: desa-pringgasela.blogspot.com
Menurut perhitungan kalender Hijriyah, pada bulan ini masyarakat Muslim memasuki bulan Rabi’ul Awwal. Bukan hanya di Indonesia, seluruh umat Islam di dunia mempunyai tradisi bersama yakni peringatan Maulid Nabi atau tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal setiap tahunnya. Di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk Muslim, pemerintah mensahkan Maulid Nabi menjadi bagian dari agenda penting nasional dengan menjadikannya sebagai hari besar atau hari libur nasional.
Maulid sebenarnya diambil dari dari Bahasa Arab yang berarti tempat atau waktu dilahirkannya seseorang. Tempat kelahiran Nabi SAW adalah Makkah, sementara waktu kelahiranya adalah pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah tahun 53 SH (Sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan bulan April tahun 571 M. Terlepas dari pendapat umum yang mengatakan bahwa kelahiran Nabi jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sebenarnya ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Nabi dilahirkan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal, berdasar riwayat dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im Rahimahullahu, dan ada pula yang mengatakan tanggal 9 Rabi’ul Awwal sebagaimana perndapat Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury Hafizhahullah.[i]
Tidak hanya terkait dengan kelahiran Nabi, perbedaan pendapat juga terjadi pada masalah siapa orang yang pertama kali melakukan tradisi ini. Dalam salah satu satu versi sejarah sebagaimana tertuang dalam kitab Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin karagan Dr. Sulaiman bin Salim As Suhaimi, dinyatakan bahwa perayaan Maulid dimulai pada masa Dinasti Daulah Fathimiyah di Mesir pada akhir abad keempat Hijriyah sebagaimana perayaan mereka atas tahun baru Asyura, memperingati kelahiran Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein.
Sementara itu, pendapat umum mengatakan bahwa orang yang pertama kali melakukan perayaan Maulid Nabi bukan khalifah Daulah Fathimiyah, melainkan Shalahuddin Al-Ayyubi (1137-1193 M), seorang jendral dan pejuang Muslim pada masa Perang Salib. Tujuanya tidak lain adalah untuk membangkitkan spirit jihad kaum Muslim dalam mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Byzantium, sebuah spirit dan semangat jihad yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika berdakwah di Makkah dan Madinah.  Jadi, tujuan dari peringatan Maulid Nabi pada periode itu tidak hanya untuk mengenang hari kelahiran, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengambil semangat perjuangan Nabi dalam menyebarkan agama Islam ke seluruh dunia.

Pertemuan Tradisi dan Syariat
Tidak terbantahkan bahwa tradisi yang dipelopori oleh pahlawan Islam, Shalahuddin Al-Ayyubi, nampaknya terus bergema hingga saat ini di seantero dunia. Di Indonesia sendiri juga marak diselenggarakan peringatan Maulid Nabi dengan pengajian di masjid-masjid dan kegiatan lainnya. Meski didasari oleh semangat yang sama, yaitu untuk membangkitkan kecintaan dan mengenang jasa Nabi Muhammad dalam menyampaikan ajaran Islam, namun dalam praktiknya, peringatan Maulid Nabi memiliki corak yang beragam, tergantung adat-istiadat masing-masing daerah.
Substansi Maulid Nabi tidak lain adalah untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Umat Muslim di Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Nusantara menggunakan cara yang beraneka ragam untuk mengungkapkan cinta kepada teladan junjungannya, Nabi Muhammad SAW. Hampir di setiap daerah, Maulid Nabi menjadi semacam simbol perjumpaan antara tradisi Islam dan kearifan lokal masing-masing tempat.
Ragam praktik peringatan Maulid Nabi di berbagai wilayah di Tanah Air dapat dilihat misalnya dari yang terjadi di Yogyakarta. Di daerah ini, peringatan Maulid Nabi disebut dengan tradisi Sekaten. Istilah tersebut berasal dari kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat, pintu gerbang utama bagi manusia dalam memeluk agama Islam. DalamSekaten, nuansa percampuran Islam dan tradisi lokal sangat terasa. Misalnya, dengan adanya gunungan (setumpuk makanan dan sayuran berbentuk kerucut seperti gunung) yang melambangkan kemakmuran dan kekayaan bumi Mataram, cikal bakal Yogyakarta. Pada saat yang sama, nuansa Islami dalam Sekaten juga sangat kental mengingat perayaan upacara Sekaten adalah ungkapan rasa syukur rakyat Yogyakarta atas kemurahan rizki dari Allah SWT. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yaitu hari keduabelas bulan Mulud menurut kalender Jawa atau bulan Rabi’ul Awwal dalam kalender Hijriah.
Di Cirebon, perayaan Maulid Nabi ditampilkan dengan cara yang berbeda. Perayaan Maulid Nabi di kota ini disebut dengan upacara Panjang Jimat. Upacara tersebut sarat dengan nuansa lokal, seperti adanya penyediaan dan pembagian makanan dari dan kepada masyarakat, serta adanya arak-arakan pusaka keraton.
Keragaman cara perayaan Maulid Nabi di Tanah Air mengindikasikan bahwa Maulid Nabi sudah merupakan bagian dari tidak hanya tradisi keagamaan, namun juga sudah menjadi tradisi dan budaya lokal masyarakat. Hal demikian tidaklah aneh karena menurut Kuntowijoyo, agama dan budaya adalah dua hal yang sangat mungkin untuk saling bertemu. Pasalnya, agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan, sedangkan kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya.
Dalam praktiknya,  interaksi antara agama dan kebudayaan dapat terjadi dengan tiga cara. Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya. Nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Hal ini terlihat jelas dari peringatan Maulid Nabi di Yogyakarta. Nilai yang dikandung dari acara Sekaten adalah nilai keagamaan yaitu peringatan Maulid Nabi, namun dikemas dalam budaya lokal. Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam konteks ini, berarti kekuatan agama lebih mendominasi dalam tarik-ulur dengan budaya lokal sehingga pada akhirnya agamalah yang menjadi penentu arah akulturasi ini. Pada contoh kasus Sekaten, kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam tetapi penentu arah keterpengaruhan itu berada di tangan Islam. Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama. Artinya, pertemuan antara budaya dan agama tidak terjadi, bahkan keduanya cenderung saling menegasikan. Kasus yang terakhir ini jarang terjadi di Indonesia.[ii]
Kuatnya muatan lokal di berbagai daerah dalam peringatan Maulid Nabi menjadikan sebagian kelompok menghukumi acara peringatan Maulid Nabi sebagai bi’dah. Tidak hanya karena kuatnya budaya lokal yang mengiringi perayaan Maulid Nabi, tetapi juga karena dari sisi syar’i tidak ada dalil yang mendasarinya. Padahal sesungguhnya perbuatan bid’ah adalah aktivitas mengada-adakan urusan atau hal dalam konteks ibadahmahdhah (ritual peribadatan yang sudah pakem dan formal), tidak dalam konteksmuamalah atau urusan sosial.
Makna seremonial Maulid Nabi tidak mengarah pada ritual ibadah mahdhah tetapi lebih terkait pada aspek sosial kemasyarakatan atau muamalah. Dalam konteks ini, hukum yang berlaku adalah segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung mengharamkannya. Seremonial peringatan Maulid Nabi bermakna sebagai ungkapan rasa cinta, rasa hormat, rasa gembira umat Islam terhadap kelahiran nabi junjungannya. Dengan kata lain, peringatan Maulid Nabi merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad SAW dan ekspresi kecintaan kepada beliau.
Allah SWT menyeru hamba-Nya untuk selalu bersyukur atas rahmat dan karunia yang dinikmati sebagaimana firman berikut:
“Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan(QS. Yunus: 58).
Lebih dari itu, Rasulullah SAW sendiri juga bersyukur atas kelahirannya sebagaimana dirawayatkan dalam hadis berikut:
Dari Abi Qatadah Al-Anshori RA, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari Senin. Rasulullah SAW menjawab: “Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku” (HR. Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baghawi). Dari hadis tersebut, diketahui bahwa Rasulullah SAW menghormati hari kelahirannya sendiri, yakni dengan berpuasa sunnah pada hari tersebut.
Terlepas dari pemaknaan Maulid Nabi yang dari segi fiqih mengandung perdebatan, kelahiran Nabi Muhammad SAW sangat wajar diperingati. Sebab, kegiatan memeringati Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan representasi cinta dan penghormatan kepada beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.
Kontektualisasi Maulid Nabi
Dalam konteks peringatan Maulid Nabi, cara pandang dan sikap kita haruslah lebih bijak dengan lebih melihat substansi dan urgensi memperingati Maulid Nabi. Hal demikian sangat penting karena substansi dari kegiatan seremonial Maulid Nabi bukan diukur dari sisi keagamaanya atau dari rutinitas peringatan tahunannya saja tanpa makna, tetapi bagaimana peringatan Maulid Nabi itu menjadi starting point untuk selalu mengingat dan mempraktikkan substansi ajaran dan perjuangan Rasulullah SAW. Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi benar-benar memiliki sisi transformatif untuk mengaktualisasikan kembali misi profetik Nabi dalam konteks hidup kekinian.
Setidaknya ada beberapa misi profetik yang perlu menjadi bahan refleksi dan kontektualisasi dari peringatan Maulid Nabi. Pesan profetik itu adalah semanagat egalitarianisme, kebebasan, dan keadilan.
Menurut Asghar Ali Engineer, melalui pembacaan serius terhadap sejarah Nabi Muhammad SAW akan jelas diketahui bahwa misi utama kenabian adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dalam hal ekonomi ataupun sosial.[iii]Lebih jauh, Engineer menjelaskan misi profetik Rasulullah SAW terwujud dalam tiga bentuk pembebasan. Pertama, pembebasan sosio-kultural, yaitu membebaskan struktur masyarakat Arab yang terkenal amat feodal menuju tatanan yang egalitarian di semua bidang kehidupan. Kedua, penciptaan keadilan dan pemerataaan ekonomi bagi semua orang. Ketiga, pembentukan sikap egaliter, keterbukaan, toleransi dan respek kepada umat agama lain.
Dengan melihat kondisi aktual yang terjadi pada masyarakat kita dewasa ini di mana kekerasan antar-pemeluk agama, antar-kelompok agama, korupsi yang merajalela, dan jurang kesejahteraan yang menganga, maka sudah menjadi suatu kewajiban untuk mengembalikan misi utama Islam, yakni sebagai agama pembebasan. Di sini, Islam hendaknya tidak hanya dimaknai sebagai kumpulan doktrin dan moralitas, tetapi sebagai sebuah sistem sosial dan politik yang menuntut umatnya untuk menyikapi isu kemanusiaan secara serius. Pada akhirnya, momentum peringatan Maulid Nabi harus mampu ditransformasikan sebagai tonggak awal dalam upaya mempelajari, memahami dan mengamalkan semangat profetik Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam yang penuh semangat pembebasan dalam konteks kekinian. Peringatan Maulid Nabi tahun ini harus menjadi momentum perenungan dan menyelami makna yang paling hakiki dari risalah kenabian Rasulullah Muhammad SAW yang sarat dengan semangat pembebasan itu.
* Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.



[i] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Bandung: Litera Antar Nusa, 2008), 8-10.

[ii] Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental.( Bandung: Mizan. 2001), 196.
[iii] Asghar Ali Engineer, Islam & Pembebasan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), v-ix.