Jumat, 20 Desember 2013

Maulid Nabi: Mengembalikan Semangat Profetisme



Sumber foto: desa-pringgasela.blogspot.com
Menurut perhitungan kalender Hijriyah, pada bulan ini masyarakat Muslim memasuki bulan Rabi’ul Awwal. Bukan hanya di Indonesia, seluruh umat Islam di dunia mempunyai tradisi bersama yakni peringatan Maulid Nabi atau tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal setiap tahunnya. Di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk Muslim, pemerintah mensahkan Maulid Nabi menjadi bagian dari agenda penting nasional dengan menjadikannya sebagai hari besar atau hari libur nasional.
Maulid sebenarnya diambil dari dari Bahasa Arab yang berarti tempat atau waktu dilahirkannya seseorang. Tempat kelahiran Nabi SAW adalah Makkah, sementara waktu kelahiranya adalah pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah tahun 53 SH (Sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan bulan April tahun 571 M. Terlepas dari pendapat umum yang mengatakan bahwa kelahiran Nabi jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sebenarnya ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Nabi dilahirkan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal, berdasar riwayat dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im Rahimahullahu, dan ada pula yang mengatakan tanggal 9 Rabi’ul Awwal sebagaimana perndapat Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury Hafizhahullah.[i]
Tidak hanya terkait dengan kelahiran Nabi, perbedaan pendapat juga terjadi pada masalah siapa orang yang pertama kali melakukan tradisi ini. Dalam salah satu satu versi sejarah sebagaimana tertuang dalam kitab Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin karagan Dr. Sulaiman bin Salim As Suhaimi, dinyatakan bahwa perayaan Maulid dimulai pada masa Dinasti Daulah Fathimiyah di Mesir pada akhir abad keempat Hijriyah sebagaimana perayaan mereka atas tahun baru Asyura, memperingati kelahiran Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein.
Sementara itu, pendapat umum mengatakan bahwa orang yang pertama kali melakukan perayaan Maulid Nabi bukan khalifah Daulah Fathimiyah, melainkan Shalahuddin Al-Ayyubi (1137-1193 M), seorang jendral dan pejuang Muslim pada masa Perang Salib. Tujuanya tidak lain adalah untuk membangkitkan spirit jihad kaum Muslim dalam mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Byzantium, sebuah spirit dan semangat jihad yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika berdakwah di Makkah dan Madinah.  Jadi, tujuan dari peringatan Maulid Nabi pada periode itu tidak hanya untuk mengenang hari kelahiran, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengambil semangat perjuangan Nabi dalam menyebarkan agama Islam ke seluruh dunia.

Pertemuan Tradisi dan Syariat
Tidak terbantahkan bahwa tradisi yang dipelopori oleh pahlawan Islam, Shalahuddin Al-Ayyubi, nampaknya terus bergema hingga saat ini di seantero dunia. Di Indonesia sendiri juga marak diselenggarakan peringatan Maulid Nabi dengan pengajian di masjid-masjid dan kegiatan lainnya. Meski didasari oleh semangat yang sama, yaitu untuk membangkitkan kecintaan dan mengenang jasa Nabi Muhammad dalam menyampaikan ajaran Islam, namun dalam praktiknya, peringatan Maulid Nabi memiliki corak yang beragam, tergantung adat-istiadat masing-masing daerah.
Substansi Maulid Nabi tidak lain adalah untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Umat Muslim di Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Nusantara menggunakan cara yang beraneka ragam untuk mengungkapkan cinta kepada teladan junjungannya, Nabi Muhammad SAW. Hampir di setiap daerah, Maulid Nabi menjadi semacam simbol perjumpaan antara tradisi Islam dan kearifan lokal masing-masing tempat.
Ragam praktik peringatan Maulid Nabi di berbagai wilayah di Tanah Air dapat dilihat misalnya dari yang terjadi di Yogyakarta. Di daerah ini, peringatan Maulid Nabi disebut dengan tradisi Sekaten. Istilah tersebut berasal dari kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat, pintu gerbang utama bagi manusia dalam memeluk agama Islam. DalamSekaten, nuansa percampuran Islam dan tradisi lokal sangat terasa. Misalnya, dengan adanya gunungan (setumpuk makanan dan sayuran berbentuk kerucut seperti gunung) yang melambangkan kemakmuran dan kekayaan bumi Mataram, cikal bakal Yogyakarta. Pada saat yang sama, nuansa Islami dalam Sekaten juga sangat kental mengingat perayaan upacara Sekaten adalah ungkapan rasa syukur rakyat Yogyakarta atas kemurahan rizki dari Allah SWT. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yaitu hari keduabelas bulan Mulud menurut kalender Jawa atau bulan Rabi’ul Awwal dalam kalender Hijriah.
Di Cirebon, perayaan Maulid Nabi ditampilkan dengan cara yang berbeda. Perayaan Maulid Nabi di kota ini disebut dengan upacara Panjang Jimat. Upacara tersebut sarat dengan nuansa lokal, seperti adanya penyediaan dan pembagian makanan dari dan kepada masyarakat, serta adanya arak-arakan pusaka keraton.
Keragaman cara perayaan Maulid Nabi di Tanah Air mengindikasikan bahwa Maulid Nabi sudah merupakan bagian dari tidak hanya tradisi keagamaan, namun juga sudah menjadi tradisi dan budaya lokal masyarakat. Hal demikian tidaklah aneh karena menurut Kuntowijoyo, agama dan budaya adalah dua hal yang sangat mungkin untuk saling bertemu. Pasalnya, agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan, sedangkan kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya.
Dalam praktiknya,  interaksi antara agama dan kebudayaan dapat terjadi dengan tiga cara. Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya. Nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Hal ini terlihat jelas dari peringatan Maulid Nabi di Yogyakarta. Nilai yang dikandung dari acara Sekaten adalah nilai keagamaan yaitu peringatan Maulid Nabi, namun dikemas dalam budaya lokal. Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam konteks ini, berarti kekuatan agama lebih mendominasi dalam tarik-ulur dengan budaya lokal sehingga pada akhirnya agamalah yang menjadi penentu arah akulturasi ini. Pada contoh kasus Sekaten, kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam tetapi penentu arah keterpengaruhan itu berada di tangan Islam. Ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama. Artinya, pertemuan antara budaya dan agama tidak terjadi, bahkan keduanya cenderung saling menegasikan. Kasus yang terakhir ini jarang terjadi di Indonesia.[ii]
Kuatnya muatan lokal di berbagai daerah dalam peringatan Maulid Nabi menjadikan sebagian kelompok menghukumi acara peringatan Maulid Nabi sebagai bi’dah. Tidak hanya karena kuatnya budaya lokal yang mengiringi perayaan Maulid Nabi, tetapi juga karena dari sisi syar’i tidak ada dalil yang mendasarinya. Padahal sesungguhnya perbuatan bid’ah adalah aktivitas mengada-adakan urusan atau hal dalam konteks ibadahmahdhah (ritual peribadatan yang sudah pakem dan formal), tidak dalam konteksmuamalah atau urusan sosial.
Makna seremonial Maulid Nabi tidak mengarah pada ritual ibadah mahdhah tetapi lebih terkait pada aspek sosial kemasyarakatan atau muamalah. Dalam konteks ini, hukum yang berlaku adalah segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang secara langsung mengharamkannya. Seremonial peringatan Maulid Nabi bermakna sebagai ungkapan rasa cinta, rasa hormat, rasa gembira umat Islam terhadap kelahiran nabi junjungannya. Dengan kata lain, peringatan Maulid Nabi merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad SAW dan ekspresi kecintaan kepada beliau.
Allah SWT menyeru hamba-Nya untuk selalu bersyukur atas rahmat dan karunia yang dinikmati sebagaimana firman berikut:
“Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan(QS. Yunus: 58).
Lebih dari itu, Rasulullah SAW sendiri juga bersyukur atas kelahirannya sebagaimana dirawayatkan dalam hadis berikut:
Dari Abi Qatadah Al-Anshori RA, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari Senin. Rasulullah SAW menjawab: “Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku” (HR. Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baghawi). Dari hadis tersebut, diketahui bahwa Rasulullah SAW menghormati hari kelahirannya sendiri, yakni dengan berpuasa sunnah pada hari tersebut.
Terlepas dari pemaknaan Maulid Nabi yang dari segi fiqih mengandung perdebatan, kelahiran Nabi Muhammad SAW sangat wajar diperingati. Sebab, kegiatan memeringati Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan representasi cinta dan penghormatan kepada beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.
Kontektualisasi Maulid Nabi
Dalam konteks peringatan Maulid Nabi, cara pandang dan sikap kita haruslah lebih bijak dengan lebih melihat substansi dan urgensi memperingati Maulid Nabi. Hal demikian sangat penting karena substansi dari kegiatan seremonial Maulid Nabi bukan diukur dari sisi keagamaanya atau dari rutinitas peringatan tahunannya saja tanpa makna, tetapi bagaimana peringatan Maulid Nabi itu menjadi starting point untuk selalu mengingat dan mempraktikkan substansi ajaran dan perjuangan Rasulullah SAW. Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi benar-benar memiliki sisi transformatif untuk mengaktualisasikan kembali misi profetik Nabi dalam konteks hidup kekinian.
Setidaknya ada beberapa misi profetik yang perlu menjadi bahan refleksi dan kontektualisasi dari peringatan Maulid Nabi. Pesan profetik itu adalah semanagat egalitarianisme, kebebasan, dan keadilan.
Menurut Asghar Ali Engineer, melalui pembacaan serius terhadap sejarah Nabi Muhammad SAW akan jelas diketahui bahwa misi utama kenabian adalah misi pembebasan, yakni membebaskan umat manusia dalam hal ekonomi ataupun sosial.[iii]Lebih jauh, Engineer menjelaskan misi profetik Rasulullah SAW terwujud dalam tiga bentuk pembebasan. Pertama, pembebasan sosio-kultural, yaitu membebaskan struktur masyarakat Arab yang terkenal amat feodal menuju tatanan yang egalitarian di semua bidang kehidupan. Kedua, penciptaan keadilan dan pemerataaan ekonomi bagi semua orang. Ketiga, pembentukan sikap egaliter, keterbukaan, toleransi dan respek kepada umat agama lain.
Dengan melihat kondisi aktual yang terjadi pada masyarakat kita dewasa ini di mana kekerasan antar-pemeluk agama, antar-kelompok agama, korupsi yang merajalela, dan jurang kesejahteraan yang menganga, maka sudah menjadi suatu kewajiban untuk mengembalikan misi utama Islam, yakni sebagai agama pembebasan. Di sini, Islam hendaknya tidak hanya dimaknai sebagai kumpulan doktrin dan moralitas, tetapi sebagai sebuah sistem sosial dan politik yang menuntut umatnya untuk menyikapi isu kemanusiaan secara serius. Pada akhirnya, momentum peringatan Maulid Nabi harus mampu ditransformasikan sebagai tonggak awal dalam upaya mempelajari, memahami dan mengamalkan semangat profetik Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam yang penuh semangat pembebasan dalam konteks kekinian. Peringatan Maulid Nabi tahun ini harus menjadi momentum perenungan dan menyelami makna yang paling hakiki dari risalah kenabian Rasulullah Muhammad SAW yang sarat dengan semangat pembebasan itu.
* Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.



[i] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Bandung: Litera Antar Nusa, 2008), 8-10.

[ii] Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental.( Bandung: Mizan. 2001), 196.
[iii] Asghar Ali Engineer, Islam & Pembebasan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), v-ix.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar