Jumat, 20 Desember 2013

Zakat sebagai Instrumen Pemerataan Sosial?

Oleh Syafiq Syaerozi 

“Bicara  soal  zakat  dikaitkan  dengan  pemerataan  ada  kesan memaksakan diri, mengada-ada! Tapi, anehnya orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai  tema.  Seolah-olah  yang  penting bukan  kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata  “zakat” itu  sendiri.  Ibarat  figur, kata-kata zakat diyakini sebagai tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meskipun  sangat  sulit orang  mencernanya,  tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan, suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga” (Masdar Farid Mas’udi).

Seperti biasa, menjelang lebaran, topik zakat kembali hangat diperbincangkan, khususnya sejak Presiden SBY secara simbolis menyerahkan zakatnya sebesar dua puluh empat juta rupiah kepada Badan Amil Zakat Nasional Nasional (Baznas) pertengahan Ramadan ini. Padahal sejatinya, hanya zakat fitrah yang wajib ditunaikan pada akhir Ramadan. Sedangkan zakat jenis lain bisa dikeluarkan kapan saja mengikuti aturan yang digariskan. Terlepas dari itu, saya ingin ikut nimbrung dalam perbincangan ini.

Tampaknya semua orang Islam sepakat bahwa satu-satunya rukun Islam yang langsung bersentuhan dengan cita penegakan keadilan sosial adalah zakat. Di sinilah setiap muslim yang berkecukupan diwajibkan menyapa kaum dhuafa. Hal ini termaktub dalam Al-Quran surat Al-Taubah: 60, “Sungguh zakat itu diperuntukkan bagi kalangan fakir, miskin, para pengelola, orang-orang yang tengah dijinakkan hatinya, bagi para budak, orang-orang yang terlilit utang, bagi jalan Allah, dan anak jalanan. Itulah ketentuan Allah. Dan Allah Mahatahu lagi Mahabijak.”

Berpijak pada ayat tersebut, semua orang juga sepakat bahwa motif utama pensyariatan zakat adalah untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara kalangan berpunya dan golongan papa. Ada semangat pemerataan sosial dalam ajaran ini. Dengan prinsip pemerataan,  Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam hikmatut tasyri’ wa falsafatuhu mencatat, ada tiga hikmah pokok yang terkandung di balik pewajiban zakat.

Pertama, pelaksanaan zakat adalah sebagai pintu untuk membantu kaum lemah dan menolong orang yang tertimpa kesusahan, sekaligus memberikan kekuatan agar mereka mampu menjalankan segala hal yang diwajibkan Allah.

Kedua, sebagai media untuk pembersihan diri pelaksana zakat dari segala “kotoran”, sebagai ajang perbaikan moral individual dengan mendidiknya untuk berderma dan menanggalkan sifat pelit dan tamak yang menjadi karakter setiap manusia.

Ketiga, dengan argumentasi bahwa segala kekayaan material yang dinikmati golongan kaya adalah anugerah Allah, maka kewajiban setiap hamba ialah mensyukurinya.

Tentu sangat gamang untuk mengatakan bahwa praktik zakat saat ini telah sukses menggapai idealisme tersebut. Tanpa pengelolaan yang tepat, zakat akan mengalami kesulitan bahkan meleset mencapai bidik sasarannya. Praktik zakat di berbagai tempat  masih dominan bernuansa karitatif (santunan) belaka; memberi kemudian selesai tanpa diiringi kontrol bagaimana zakat itu dikelola. Dana zakat pun cepat ludes. Tanpa pengelolaan dan pemberdayaan yang baik oleh lembaga amil terpercaya, jenis ibadah kemanusiaan yang berguna sebagai alat pemberdayaan sosial ini akan mandul.

Menyikapi hal ini, beberapa tahun silam, Masdar Farid Mas’udi melalui karyanya yang monumental bertajuk Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (1993), bahkan mengusulkan agar zakat disatukan dengan pajak, supaya lebih optimal. Sebab zakat sebagai kewajiban agama tidak memiliki instrumen pemaksa yang otoriter seperti pajak, di mana negara dapat mengenakan sangsi terhadap pengemplang pajak. Usulan ini wajar mengingat potensi zakat di Indonesia yang sangat besar, namun realisasinya masih sangat kecil.

Hasil penelitian Baznas/Laznas, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Islamic Development Bank, potensi zakat di Indonesia pada tahun 2013 mencapai Rp 217,3 triliun. Seandainya dana tersebut dapat dihimpun dengan baik dan didistribusikan secara adil dan merata guna memberdayakan ekonomi masyarakat bawah maka 21,73 juta kelompok papa dapat menggerakkan roda ekonominya dengan modal Rp 10 juta/ orang. Sayang realisasinya tidak sebesar itu. Pada tahun 2012, jumlah zakat yang dikelola Baznas “hanyalah” sebesar Rp 2,3 triliun.

Tetapi usulan Masdar tersebut tertolak oleh situasi zaman di mana korupsi masih menggurita di tubuh birokrasi pemerintahan Indonesia. Bahkan salah satu Ormas Islam pernah menyerukan akan memboikot pajak jika ternyata uang rakyat banyak dikorupsi oleh para pejabatnya.

Kendati demikian, secara substansial, pola pengelolaan zakat yang diusulkan oleh Masdar patut diimplementasikan. Melampaui aturan fiqh klasik, ia berpendapat bahwa dana zakat tidak harus diperuntukkan secara individual bagi mereka para penerima zakat, melainkan bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang mendukung peningkatan aktivitas ekonomi rakyat, subsidi pertanian, dan semacamnya.

Saya pribadi membayangkan, jika dalam satu kecamatan ada lembaga pengelola zakat otoritatif yang bisa meyakinkan warganya untuk menyalurkan kewajibannya di situ, lantas bisa mengorganisasikannya secara baik, dengan laporan pertanggungjawaban rutin yang terbuka seluas-luasnya bagi publik, insya Allah dalam beberapa tahun, masalah kesulitan pangan, biaya sekolah dan kesehatan, dan lainnya di wilayah tersebut akan tertuntaskan.

Jika dana yang dikelola besar, tentu lembaga akan mudah memilah mana zakat konsumtif (bersifat santunan) dan mana zakat produktif (bisa dikembangkan). Mana warga yang memang mendesak untuk diberi zakat tunai, dan mana yang tidak.

Coba saja jika dana zakat yang terkumpul dikembangkan dalam badan usaha berbentuk koperasi, di mana koperasi memiliki unit usaha seperti toko serbaada (Toserba), klinik kesehatan, dan lainnya. Pengelola, karyawan, dan konsumen adalah warga sendiri. Sebagian keuntungan yang diperoleh dari unit usaha menjadi dana sosial yang diperuntukkan untuk menyantuni fakir miskin secara rutin, pinjaman modal usaha bagi warga, dan kepentingan umat lainnya. Warga, khususnya penerima zakat konsumtif diwajibkan untuk berbelanja di koperasi itu lagi agar perputaran dana terus berlangsung dan tidak keluar dari situ.

Namun praktik tentu tidak bisa berjalan mudah. Selain butuh kesabaran pengelola, juga butuh perasaan saling percaya antara pengurus dengan warga, dan sesama warga. Itu syarat mutlak. Karena itu kontrol sosial aktif (amar ma’ruf nahi munkar) dari pelaku maupun penerima zakat harus dilakukan terus menerus agar tidak terjadi penyimpangan.

Dan negara yang memiliki otoritas represif, berhak mengawasi, mengoordinir, dan menghukum lembaga-lembaga zakat yang nakal. Dengan demikian masyarakat tetap nyaman berzakat tanpa kehilangan kepercayaannya dan dana zakat dapat dioptimalkan oleh lembaga-lembaga pengelolanya.

Menilik UU Nomer 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang kini sebagian pasalnya sedang diuji materikan di Mahkamah Konstitusi (MK), semangat pemerataan sosial masih kurang terakomodasi. Pasalnya UU tersebut lebih mengatur soal lembaga pengelola zakat bukan mekanisme pengelolaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar