622 Masehi, pasca-Baiatul Aqabah
kedua, Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat setianya memutuskan untuk
berhijrah menuju Kota Yatsrib (kini Madinah). Pilihan ini dilakukan mengingat
tekanan dari kaum kafir Quraisy Makkah yang kian menguat. Baiat Aqabah adalah
perjanjian setia para sahabat kepada Nabi SAW di bukit Aqabah.
Seperti termaktub dalam Sirah
Nabawiyah, karya Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, salah satu poin penting dalam
baiat tersebut adalah bahwa para sahabat wajib mendengarkan dan taat kepada
Nabi dalam kondisi apa pun, menginfakkan hartanya untuk perjuangan Nabi dalam
situasi kaya atau miskin, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, tegak di jalan
Allah, menolong dan melindungi Nabi seperti mereka melindungi keluarganya.
Secara bertahap, beberapa sahabat
meninggalkan kota Makkah menuju Yatsrib, di mana sebagian penduduknya yang
sudah masuk Islam telah berjanji memberikan perlindungan. Nabi Muhammad
menyusul kemudian setelah beberapa sahabat tiba di kota tersebut.
Momentum Hijrah Nabi dan sahabat
tersebut lantas dijadikan patokan oleh sahabat Umar bin Khattab RA sebagai
penanggalan Islam yang kemudian dikenal dengan kalender Hijriyah. Hal itu
dicetuskan Umar pada tahun 638 Masehi atau 17 tahun setelah peristiwa hijrah
berlangsung. Kini di kalender-kalender Indonesia, penanggalan Hijriyah kerap
bersanding dengan kalender Masihiyah.
Esok hari, Selasa (5/11/2013)
kalender Hijriyah sudah memasuki tahun 1346 bertepatan dengan tanggal 1
Muharram. Sekian tahun setelah peristiwa hijrah, pemaknaan hijrah mengalami
perkembangan sedemikian rupa.
Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo, pendiri Darul Islam (DI) menegaskan bahwa umat Islam Indonesia
harus melakukan hijrah meniru Nabi, yaitu hijrah dari Makkah Indonesia menuju
Madinah Indonesia. Makkah Indonesia yang dimaksud Kartosoewirjo adalah
Indonesia yang tidak menerapkan hukum Islam dan tidak berlandaskan pada Alquran
dan hadis, menuju Madinah Indonesia yang sudah menerapkan hukum Allah.
Tak cukup itu, “Untuk meraih
kemenangan, hijrah saja tak cukup. Hijrah harus digandengkan dengan jihad.
Soalnya setiap kata hijrah dalam ayat-ayat Alquran selalu berdampingan dengan
kata jihad. Oleh karena hijrah dan jihad merupakan dua hal yang harus dilakukan
sekaligus.” Kalimat tersebut termaktub dalam “Sikap Hijrah PSII 2 Majelis
Tahkim Partai Syarikat Islam Indonesia, 1936” yang dikutip oleh Solahuddin
dalam buku Dari NII ke JI.
Konsepsi itu terus dikembangkan
Kartosoewiryo dan menjadi salah satu basis gerakan DI/TII yang ia bentuk,
termasuk bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang dipimpin Soekarno.
Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan, dan demi itu harus bertempur dengan
ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang.
“Perang menghadapi negara
Pancasila menjadi wajib hukumnya,” tulis Kartosoewiryo dalam “Perdjalanan
Soetji Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah (1953).
Satu peristiwa yang kompleks
dengan beragam tafsir, itulah Hijrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar