Jumat, 20 Desember 2013

Hijrah, Hijriyah, Jihad



622 Masehi, pasca-Baiatul Aqabah kedua, Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat setianya memutuskan untuk berhijrah menuju Kota Yatsrib (kini Madinah). Pilihan ini dilakukan mengingat tekanan dari kaum kafir Quraisy Makkah yang kian menguat. Baiat Aqabah adalah perjanjian setia para sahabat kepada Nabi SAW di bukit Aqabah.
Seperti termaktub dalam Sirah Nabawiyah, karya Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, salah satu poin penting dalam baiat tersebut adalah bahwa para sahabat wajib mendengarkan dan taat kepada Nabi dalam kondisi apa pun, menginfakkan hartanya untuk perjuangan Nabi dalam situasi kaya atau miskin, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, tegak di jalan Allah, menolong dan melindungi Nabi seperti mereka melindungi keluarganya.
Secara bertahap, beberapa sahabat meninggalkan kota Makkah menuju Yatsrib, di mana sebagian penduduknya yang sudah masuk Islam telah berjanji memberikan perlindungan. Nabi Muhammad menyusul kemudian setelah beberapa sahabat tiba di kota tersebut.
Momentum Hijrah Nabi dan sahabat tersebut lantas dijadikan patokan oleh sahabat Umar bin Khattab RA sebagai penanggalan Islam yang kemudian dikenal dengan kalender Hijriyah. Hal itu dicetuskan Umar pada tahun 638 Masehi atau 17 tahun setelah peristiwa hijrah berlangsung. Kini di kalender-kalender Indonesia, penanggalan Hijriyah kerap bersanding dengan kalender Masihiyah.
Esok hari, Selasa (5/11/2013) kalender Hijriyah sudah memasuki tahun 1346 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram. Sekian tahun setelah peristiwa hijrah, pemaknaan hijrah mengalami perkembangan sedemikian rupa.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pendiri Darul Islam (DI) menegaskan bahwa umat Islam Indonesia harus melakukan hijrah meniru Nabi, yaitu hijrah dari Makkah Indonesia menuju Madinah Indonesia. Makkah Indonesia yang dimaksud Kartosoewirjo adalah Indonesia yang tidak menerapkan hukum Islam dan tidak berlandaskan pada Alquran dan hadis, menuju Madinah Indonesia yang sudah menerapkan hukum Allah.
Tak cukup itu, “Untuk meraih kemenangan, hijrah saja tak cukup. Hijrah harus digandengkan dengan jihad. Soalnya setiap kata hijrah dalam ayat-ayat Alquran selalu berdampingan dengan kata jihad. Oleh karena hijrah dan jihad merupakan dua hal yang harus dilakukan sekaligus.” Kalimat tersebut termaktub dalam “Sikap Hijrah PSII 2 Majelis Tahkim Partai Syarikat Islam Indonesia, 1936” yang dikutip oleh Solahuddin dalam buku Dari NII ke JI.
Konsepsi itu terus dikembangkan Kartosoewiryo dan menjadi salah satu basis gerakan DI/TII yang ia bentuk, termasuk bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang dipimpin Soekarno. Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan, dan demi itu harus bertempur dengan ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang.
“Perang menghadapi negara Pancasila menjadi wajib hukumnya,” tulis Kartosoewiryo dalam “Perdjalanan Soetji Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah (1953).
Satu peristiwa yang kompleks dengan beragam tafsir, itulah Hijrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar