Jumat, 28 Desember 2012

Peran Civil Society Penting dalam Penanganan Terorisme

Civil society mempunyai peran yang sangat penting dan vital di masyarakat. Tak terkecuali dalam menangani kasus terorisme di Indonesia. Civil society sangat penting mengambil bagian dalam penanganan teroris yang sifatnya hardcore, mengadvokasi mantan napi teroris agar menjadi baik, dan merehabilitasi tersangka teroris yang salah tangkap, dan memfasilitasi mereka untuk kembali ke masyarakat dan berdinamika di dalamnya. Wacana tersebut disampaikan oleh beberapa narasumber pada Lazuardi Birru.

Psikolog Pendidikan Universitas Indonesia (UI), Dr. Tjut Rifameutia mengatakan, persoalan radikalisme dan terorisme merupakan problem bangsa yang harus disikapi oleh berbagai elemen, mulai civil society, lembaga pemerintah, dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks ini semua elemen harus berisinergi untuk mencegah maraknya aksi kekerasan, khususnya terorisme sebagai tindakan kejahatan yang tidak berkeperimanusiaan.

“Dalam konteks melakukan pencegahan terjadinya tindakan radikalisme dan terorisme, semua elemen, khususnya lembaga pemerintah harus saling bersinergi, saling bahu-membahu,” kata dia pada Lazuardi Birru.
Hal senada juga disampaikan oleh pengamat terorisme, Nur Huda Ismail. Menurut dia, peran masyarakat dan civil society sangat penting untuk menanggulangi persoalan radikalisme dan terorisme. “Yang paling cocok ya civil society, negara harus berpartner dengan civil society, seperti NU atau Muhammadiyah,” kata dia.

Menurut Nur Huda, civil society dalam menangani terorisme itu harus melihat dan memahami tingkat keterlibatan seseorang, dan studi motifnya. Karena bagi Nur Huda, motif tindakannya berbeda, jenis terorismenya juga berbeda, dan penyelesaiannya tentu juga berbeda.

Sementara itu, Direktur Program Pusham (Pusat Studi Hak Asasi Manusia) UII, Eko Prasetyo mengatakan, sudah seharusnya masyarakat dan civil society berperan aktif dalam menangani persoalan radikalisme dan terorisme. “Kita perlu memaksimalkan segala potensi yang ada, seperti civil society yang mempunyai jaringan internasional,” kata Eko.

Menurut dia, civil society yang mempunyai jaringan internasional juga harus terlibat di ruang ini. Sehingga apa yang terjadi di banyak tempat itu bukan semata-mata tugas Interpol atau penegak hukum semata. “Civil society yang mempunyai jaringan internasional yang kuat bisa mengangkat persoalan ini menjadi persoalan kemanusiaan yang lebih besar,” ungkapnya.

Selama ini, Eko menilai, peran civil society ditingkatan internasional kurang maksimal. Penanganan terorisme secara internasional cenderung represif karena hanya melibatkan Interpol. Semestinya, lanjut Eko, lembaga civil society menjadikan isu ini sama dengan isu lingkungan, semua orang bekerja karena ini merupakan problem kemanusiaan yang besar.

“Penangannya bukan hanya lokal saja, tapi global. Semua orang terlibat untuk menuju komitmen ke sana dengan arah penyelesaian yang lebih baru,” pungkasnya.[Az]


Sumber: Lazuardi Birru

Media Bisa Berperan Aktif Cegah Penyebaran Ideologi Radikal


Peran media cukup efektif sebagai medium untuk mencounter penyebaran ideologi radikal yang menjadi sumber tindakan terorisme. Namun media juga secara tidak sadar kadang menjadi pendukung pasif penyebaran gagasan ideologi ini. Letak pendukung pasifnya pada pilihan diksi, istilah-istilah yang digunakan oleh pelaku terorisme, seperti kata “pengantin dan mujahid.”

“Istilah ini mereka agungkan dan mereka muliakan. Jadi kalau media menggunakan istilah ini (pengantin dan mujahid, red) dalam memberitakan terorisme, berarti media telah membantu menyebarkan pemahaman mereka,” kata mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah, Nasir Abas pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Menurut Nasir, ketika media menggunakan istilah-istilah yang menjadi motivasi kelompok radikal dalam melakukan tindakan terorisme, seperti kata “pengantin, mujahid, dan bom bunuh diri” secara tidak sadar media telah mendukung dan menyebarkan istilah itu. “Seolah-olah tindakan meledakkan diri sendiri merupakan pengantin dan mati syahid. Dan dia akan menikah dengan bidadari di surga,” kata pengamat terorisme ini.

“Dengan mengunakan istilah itu berarti media telah membantu menyebarkan pemahaman mereka,” imbuhnya.
Sementara itu, Peneliti Media dan Komunikasi Politik The Habibie Center, Wenny Pahlemy mengatakan, media sebagai pilar keempat demokrasi sangat berperan penting dalam menggiring opini publik. Namun, kadangkala fungsi media sebagai kontrol sosial dan pendidikan bagi khalayak kerap disalahgunakan.

Karena itu, kata Wenny, perlu upaya kritis agar khalayak bisa memfilter informasi yang termaktub dalam pelbagai pemberitaan. “Di satu sisi kebebasan pers menjadi nilai lebih dan kemajuan, karena sebelumnya hanya isu-isu tertentu yang bisa diekspos. Namun kebebasan pers pascareformasi bukan berarti tidak berpotensi negatif,” kata dia pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Salah satu dampak negatifnya, lanjut Dosen Universitas Mercu Buana ini, adalah sulitnya mengontrol substansi pemberitaan, terutama media online. Bahkan, tidak sedikit internet yang memuat tentang paham radikalisme dan provokasi.

Selaian mudahnya proses pembuatan media, Wenny juga menyayangkan tulisan yang tidak jelas sumbernya. Penulis dan narasumbernya anoname. Tidak mengindahkan prinsip-prinsip jurnalisme, seperti akurasi data. Ia juga menyayangkan berita atau tulisan yang cenderung provokatif.[Az]


Sumber: Lazuardi Birru

Kisah Inspiratif Ahok dalam Kehidupan Antarumat Beragama



Dalam pertemuannya dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Wagub DKI Jakarta Basuki T. Purnama berbagi cerita tentang pengalaman kehidupan beragamanya. Cerita Wagub yang biasa disapa Ahok ini menarik untuk disimak tidak hanya lantaran guyonan-guyonannya melainkan juga kedalamannya dalam memahami bagaimana seharusnya hubungan antarumat beragama itu terjadi.

Ahok mengaku dirinya semenjak SD dan SLTP mengenyam pendidikan di sekolah Islam. Bahkan dirinya mengaku mengetahui beberapa ajaran Islam seperti bacaan syahadat dan lain sebagaianya. Pergaulannya dengan umat Islam yang dialami Ahok cukup intens. Bahkan dirinya sempat menjadi ketua panitia MTQ tingka provinsi Bangka Belitung.

Meskipun demikian, Ahok mengaku dirinya juga kerap menjadi korban segelintir umat Islam yang menurut Ahok sangat sempit menafsirkan al Qur’an. Misalnya Ahok pernah diusir dari masjid ketika hendak turut belajar al Qur’an dan ketika menjabat menjadi bupati, ada beberapa masjid yang menolak kehadirannya.
Menurut Ahok golongan Islam yang sempit semacam itu sangatlah sedikit. “Tentu di Indonesia ada sekelompok kecil, yang saya kira sekitar tidak lebih dari 10%, yang begitu sempit menafsirkan ayat-ayat di dalam al Qur’an” ungkap Ahok.

Bagi Ahok setiap agama memiliki ajaran-ajaran yang memprimasikan keadilan. “Kawan-kawan mengatakan, ketika ditanya seorang ustadz, kenapa memilih Ahok? Mereka jawabnya sangat menarik, yang kami butuhkan adalah yang membawa kesejahteraan umat. Bukan orang yang mengaku Islam tapi korupsi. Dan kami yakin Ahok menjadi pemimpin kami, Islam akan lebih maju daripada dipimpin oleh orang yang dapat hidayah/Islam tetapi kelakuannya kafir” cerita Ahok.

Pernah suatu ketika Ahok dimusuhi oleh umatnya sendiri, lantaran dirinya menyatakan lebih patuh pada konstitusi daripada air suci. Sebenarnya maksud Ahok bukan berarti merendahkan agama, justru sebaliknya. “Pengertian saya ayat suci itu terlalu mulia, terlalu tinggi. Jangan kita tarik keluar untuk urusan politik yang begitu kotor. Dan toh undang-undang kita berdasarkan ayat suci” ungkap Wagub DKI Jakarta ini. [Mh]


Sumber: Lazuardi Birru

Muhammadiyah Gelar Konferensi Riset Internasional Non-Politik








Semenjak kemarin, 2 Desember 2012, Muhammadiyah menggelar konferensi penelitian internasional. Menurut Prof Dr Azyumardi Azra, International Research Conference on Muhammadiyah (IRCM) merupakan konferensi science non-politik terbesar. “Bukan hanya di Indonesia, mungkin juga di dunia,” kata mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah ini yang sekaligus menjadi Ketua Steering Committee acara tersebut.
Salah satu bahasan dalam konferensi penelitian internasional ini adalah isu-isu keberagamaan, demokrasi, nasionalisme dan civil society. Termasuk juga isu multikulturalisme di tubuh Muhammadiyah.

Dalam sambutannya, ketua umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin, menyatakan melalui IRCM ini juga Muhammadiyah bisa mengamati dinamika eksternal yang terjadi agar Muhammadiyah tetap menjadi gerakan Islam moderat dan bukan Islam radikal.

Hadir dalam pembukaan, Gubernur Jawa Timur Dr. Soekarwo, ketua umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin, mantan ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Syafii Maarif. Selain itu, acara juga disaksikan oleh Konjen AS di Surabaya, Konjen China di Surabaya, perwakilan kedutaan Australia, serta Deputi Menteri Pendidikan Thailand, serta para rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). [Mh]


Sumber: Lazuardi Birru

Kamis, 27 Desember 2012

Yenny Wahid: Sebarkan Islam Rahmatan Lil’ Alamin



Pasca reformasi, fenomena kekerasan atau konflik horizontal telah meletup di sejumlah daerah di Tanah Air. Beberapa konflik tersebut dipicu atas nama agama. Perbedaan keyakinan dan sikap intoleransi terhadap antar umat beragama seperti kasus Ahmadiyah dan GKI Yasmin, Bogor hingga kini belum berakhir.
Menurut cacatan The Wahid Institute indeks kasus kerukunan antar umat beragama atau kekerasan atas nama agama setiap tahun presentasenya naik. Misalnya, selama tahun 2011 pelanggaran kebebasan beragama di beberapa daerah mencapai 92 kasus (18 persen), sedangkan pada tahun 2010 mencapai 64 kasus.

Hal ini bertolak belakang dengan budaya bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa ramah, toleran, dan santun. Menurut Direktur Eksekutif The Wahid Institute Yenny Wahid, nilai-nilai budaya bangsa yang luhur tersebut kini mulai pudar sehingga masyarakat rentan bertindak anarkis dan berkonflik.
Berikut penuturan Yenny terkait fenomena konflik dan radikalisme serta terorisme mengatasnamakan agama ketika ditemui di kantornya.

Belakangan ini di negeri kita kerap terjadi konflik sosial bahkan radikalisme dan terorisme berbasis agama. Bagaimana Anda melihat fenomena tersebut?
Di mata dunia Indonesia dianggap sebagai negara yang membawa obor perdamaian. Namun beberapa tahun terakhir ternyata banyak terjadi konflik beragama. Setiap tahun kami membuat indeks kerukunan umat beragama atau aksi kekerasan atas nama agama yang dilakukan kelompok maupun organisasi yang ada di negara kita. Hasilnya ternyata ada peningkatan jumlah kasus dan persentase. Kekerasan tersebut dilakukan bukan saja oleh ormas melainkan juga oleh instansi pemerintah baik secara individu maupun pihak keamanan.

Hal ini terjadi salah satunya karena ketidaktegasan sikap dari pemerintah yang membiarkan konflik berkembang. Buktinya, ormas-ormas yang lakukan kekerasan/perusakan mengatasnamakan agama dimana-mana tetapi tidak ada tindakan apapun dari pemerintah/aparat keamanan. Bahkan kadang-kadang aparat keamanan sendiri ikut melakukan kekerasan kepada masyarakat.

Bagaimana supaya nilai-nilai yang dulu bisa kembali lagi?
Pendekatannya harus komprehensif. Pendekatan komprehensif misalnya tidak hanya dengan pendekatan keamanan, represif, atau tidak bisa orang yang terlibat terorisme di tangkap lalu selesai. Itu tidak bisa karena orang terlibat terorisme atau kekerasan itu ada akar masalahnya yang harus ditelusuri. Akar masalah bisa faktor kemiskinan dan pendidikan.

Saat ini pendidikan di Indonesia sudah melupakan banyak faktor dan banyak unsur sudah hilang didalamnya. Jadi anak-anak Indonesia direduksi hanya menjadi semacam angka, anak-anak dipaksa untuk melihat angka saja. Artinya, anak dianggap berhasil dan sukses kalau dia lulus Ujian Nasional. Tetapi sikap ramah tamah, rajin bekerja, dan tak pernah bolos selama mereka belajar diabaikan begitu saja. Pendidikan harus kembali kepada pendidikan yang berbasis moralitas bukan mencetak orang-orang pandai/pintar, atau orang-orang punya skills tinggi tetapi tidak punya budi pekerti dan akhlak.

Menurut Anda apakah terorisme dan radikalisme agama itu?
Radikalisme agama adalah upaya untuk memaksakan faham kelompoknya kepada orang lain dengan cara menggunakan kekerasan. Bahkan menghakimi orang lain yang berbeda keyakinan dengannnya dianggap kafir dan musuh yang harus diberantas. Nah, buat kami agama itu proses dalam hidup. Kalau ada orang tak mengerti/menyimpang dari agama harus kita tuntun supaya bisa kembali ke jalan yang benar. Tetapi tidak dengan cara kekerasan melainkan denga cara-cara baik, karena al-Qur’an dengan jelas mengajarkan kita seperti itu. Bila kita tidak setuju dengan orang lain berbantahanlah dengan cara yang baik.

Apa saja bahaya radikalisme?
Pertama, berbahaya bagi bangsa dan negara. Radikalisme menyebabkan kerusakan di masyarakat, orang-orang tidak berdosa menjadi korban, kemudian orang terbiasa berfikir bahwa kalau ingin menyelesaikan masalah harus dengan kekerasan. Bila begitu nanti terjadi hukum rimba siapa yang kuat dialah yang menang. Kedua, merusak nama agama Islam. Bagi saya mereka yang melakukan pengeboman/pembunuhan atas nama Islam merusak citra Islam, seolah-olah Islam sebagai agama teroris dan agama radikal. Islam bukan seperti itu.

Apa pendapat Anda tentang individu atau kelompok yang berjihad/lakukan kekerasan atas nama agama misalnya dalam memberantas kemungkaran?
Kemungkaran tidak bisa diberantas dengan kemungkaran melainkan harus dengan kebaikan dan kemanusiaan. Kalau kemungkaran dibalas dengan kemungkaran itu perang namanya, saat ini kita tidak berada dalam posisi perang karena bukan dalam Daarul Harb. Bila kita ingin melakukan pembenahan-pembenahan gunakanlah sistem yang ada, memang lebih panjang tetapi lebih menjamin keadilan untuk semua dan memastikan tidak ada korban-korban yang tak berdosa. Kalau ada orang berjihad dengan kekerasan mengatasnamakan Islam, terkadang yang menjadi korbannya orang Islam juga. Artinya siapa yang dia bela dan apa yang dia bela. Banyak saudara muslim terbunuh hanya gara-gara sekelompok orang yang ingin melakukan jihad tidak jelas.

Mengapa ada individu yang rela melakukan jihad menggunakan bom bunuh diri?
Ada rasa keputusasaan. Mereka melihat ada ketidakadilan tapi mereka mencoba mengoreksi ketidakadilan dengan cara yang tidak adil. Bila ketidakadilan diberantas dengan cara radikal atau kekerasan maka yang timbul lingkaran setan kekerasan. Ketidakadilan harus dilawan dengan kebaikan dan kemanusiaan, lalu mengedepankan keadilan. Kebencian harus dilawan dengan cinta, cinta kepada masyarakat, cinta kepada tetangga, dan cinta kepada sesama. Bila kita ingin dihormati maka hormatilah orang lain, dan ketika kita ingin diperlakukan baik maka perlakukanlah mereka dengan baik. Jadi kebencian tidak akan menghasilkan apapun.

Pelaku kekerasan/terorisme mengklaim aksinya tersebut atas perintah/doktrin agama. Apa pendapat Anda?
Islam adalah agama yang sangat tua, banyak kisah-kisah atau ayat-ayat yang mungkin konteksnya adalah ayat perang. Kalau kita baca alquran harus tahu konteksnya kenapa ayat itu turun, jadi tidak bisa disamaratakan begitu saja. Misalnya kita disuruh membunuh orang Yahudi atau Kristen, maksudnya tidak seperti itu, namun kita harus lihat dulu konteksnya kenapa ayat itu diturunkan. Jadi kalau ada orang yang bilang ada doktrin agama untuk membunuh orang lain, menurut saya interpretasinya salah dan tak mau berdampingan dengan orang lain secara damai.
Bagi saya apakah kita berkawan atau bermusuhan dengan orang non muslim, kita kembali kepada esensi ajaran Islam, yaitu menyerukan perdamaian. Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mengajarkan kekerasan, akhlak beliau toleran, mengasihi sesama, dan sabar. Sifat-sifat beliau tersebut harus kita pegang.

Bagaimana agar Islam rahmatan lilalamin bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat?
Seluruh umat Islam harus ikut aktif menyebarkan ajaran Islam yang cinta damai, dan ini tidak bisa diserahkan hanya kepada ustaz, mubaligh, dan kiyai. Umat Islam yang mengaggap Islam cinta damai harus menyebarkan pesan itu kepada masyarakat sekelilingnya. Kita diciptakan oleh Allah Swt berbeda suku, agama atau lainnya untuk saling mengenal. Allah sengaja menciptakan manusia berbeda-beda, dan inilah tantangan kita apakah bisa atau tidak menjadi hamba-Nya yang betul-betul meniru sifat-sifat-Nya, yang pengasih dan penyayang.
******
Harus diakui bahwa terorisme di negeri ini belum sepenuhnya berakhir. Terorisme masih menjadi ancaman serius sehingga perlu terus diwaspadai supaya aksi serangan bom tak terulang kembali. Sel-sel jaringan terorisme masih berkembang di tengah masyarakat. Sejumlah orang yang diduga terlibat jaringan terorisme masih dalam proses pencarian aparat kepolisian.
Yenny menilai cara yang digunakan pemerintah dalam pemberantasan terorisme belum maksimal karena cenderung menggunakan pendekatan keamanan. Pemerintah perlu melibatkan masyarakat sipil seperti LSM dan organisasi keagamaan karena memberantas terorisme itu tak mudah.

Fenomena terorisme belum dapat diamputasi hingga sekarang, menurut Anda apakah penanganan terorisme yang dilakukan pemerintah belum maksimal?
Kurang berhasil karena pendekatannya lebih banyak keamanan. Kalau pendekatannya hanya menangkap seseorang yang telah menjadi teroris, tetapi tidak menghentikan aksi perekrutan calon anggota teroris tentu tak akan berhasil menghentikan terorisme. Padahal ini harus dihentikan dan disikapi pemerintah agar tidak ada lagi ada anak-anak muda yang direkrut menjadi teroris. Fenomena anak muda putus asa itu ada di semua negara, namun pelampisan putus asa anak muda di negara Barat mengarah ke narkoba dan obat-obatan terlarang, sementara di sini pelampiasannya ke terorisme. Artinya, ini problem universal yang harus dilawan.

Bisa dijelaskan tentang pendekatan nonkeamanan?
Salah satu akar terorisme adalah kemiskinan karena itu harus segera diatasi. Pemerintah harus mencari cara untuk mengentaskan angka pengangguran dan anak putus sekolah. Mereka perlu diberikan lapangan pekerjaan dan sekolah gratis atau murah. Intinya anak muda diberikan harapan dan rasa bangga terhadap dirinya. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah sebenarnya mampu mengatasi masalah tersebut.

Di era reformasi masyarakat memiliki kebebasan luar biasa. Rakyat melakukan kekerasan terhadap sesama dianggap sebagai bagian dari kebebasan. Bahkan aksi terorisme juga dinilai sebagai ekspresi kebebasan. Bagaimana agar masyarakat tidak kebablasan menggunakan kebebasan?
Harus ada disiplin hukum. Bila orang mau berpendapat silahkan namun harus ada disiplin. Demikian juga bila orang-orang tak setuju dengan perbedaan tetap harus taat hukum. Misalnya bila kita tak setuju Ahmadiyah atau ideologi lain tapi tidak berarti kita harus membunuh/menyerang mereka. Kalau kita melihat ideologi mereka salah kita luruskan dengan berdialog. Jadi masyarakat dari awal harus diajarkan disiplin terhadap hukum.

Perlu ada pembatasan kebebasan?
Mengekspresikan kebebasan itu boleh tetapi jangan mengganggu lingkungan/masyarakat. Misalnya pendapat kita berbeda tak apa-apa tetapi ketika anda memaksakan saya untuk setuju dengan pendapat anda apalagi dengan cara kekerasan atau mengancam maka itu sudah keliru.

Memberantas radikalisme dan terorisme tak mudah, pemerintah perlu melibatkan masyarakat sipil atau organisasi keagamaan. Apa pendapat Anda?
Itu pasti, pemerintah harus bekerjasama dengan lapisan masyarakat sipil atau kelompok/organisasi keagamaan untuk menciptakan perdamaian. Pemerintah dan masyarakat sipil bersama-sama merancang program namun yang mempunyai alat paling banyak adalah pemerintah, mulai dari aparat keamanan, pemda, dan dana.

Selama ini pemerintah sudah maksimal merangkul masyarakat sipil?              
Menurut saya pemerintah saat ini sangat kalah dengan masyarakat sipil, kalau tidak ada mereka Indonesia lebih hancur lagi. Masih untung ada mereka sehingga kerusakannya tidak terlalu luas, jadi sekarang yang seharusnya dikerjakan pemerintah tapi dikerjakan masyarakat sipil, ormas, dan LSM.

Bagaimana Anda melihat peran tokoh agama dalam mensosialisasikan ajaran agama yang cinta damai dan saling menghargai?
Mereka memiliki peran penting karena langsung berhubungan langsung dengan masyarakat. Mereka bisa menciptakan multimasyarakat, kebersamaan, dan toleransi antar sesama. Namun ada juga ustadz dan ustadzah yang menyebarkan pesan kebencian, dan ini harus ada tindakan tegas dari pemerintah.

Fakta di masyarakat memang ada ceramah-ceramah yang menyebarkan kebencian, lalu bagaimana mengatasinya?
Paling tidak melalui pendekatan persuasi yaitu diminta untuk tidak menyebarkan pesan seperti itu. Namun bila sudah betul-betul meresahkan masyarakat bisa dipanggil aparat keamanan.

Bagaimana Anda menilai peran ormas misalnya NU dan Muhammadiyah dalam mencegah radikalisme  agama dan mengembangkan Islam cinta damai?
Mereka yang bergerak di akar rumput untuk menetralisir pesan-pesan kebencian dari kelompok radikal. Peran mereka sekarang sudah luar biasa karena langsung meredam masyarakat agar tidak terprovokasi gerakan radikal.

Tapi faktanya masyarakat sekarang mudah terprovokasi?
Salah satunya karena masalah kebutuhan ekonomi lalu nilai dirinya direduksi hanya sekedar urusan angka. Saat ini harkat seseorang dilihat dari materi saja. Menurut saya yang harus ditekankan harkat martabat seseorang adalah kepribadian atau nilainya di masyarakat seperti menanam pohon bakau untuk mencegah abrasi. Bagi saya itu lebih bernilai daripada orang yang nongkrong di mall. Cara pandang demikian harus diubah.

Bagaimana cara mengubah cara pandang tersebut?
Melalui pendidikan, yakni kurikulumnya harus diubah kearah pembentukan karakter siswa. Karena itu guru harus mampu memberikan nilai-nilai moral yang baik kepada anak didiknya. Mereka perlu diajak untuk berbagi dan berprilaku baik antar sesama, bukan hanya apakah bisa mengerjakan tugas matematika atau tidak. Standarisasi kelulusan penting namun itu jangan dijadikan standar tunggal menilai keberhasilan pendidikan.

Apakah perlu pendidikan multikultural?
Itu juga penting untuk mencegah ekslusifitas kelompok. Negara kita memiliki pluralitas seperti multietnis, multiagama, dan multibahasa. Keragaman ini sudah menjadi bagian dan nafas bangsa kita kenapa ditakuti, pluralisme bukan menjadikan semua agama sama. Saya dan orang lain punya keyakinan masing-masing tapi kita harus saling menghormati bukan kemudian agama saya sama dengan agama dia. Saya menghormati keyakinan dan hak dia.

Pendidikan kita harus mengajarkan seperti itu?
Betul, soal benar-salah itu relatif. Kita percaya saja tentang agama dan kebenaran agama masing-masing. Namun kita tidak usah mengatakan misalnya kita orang Islam atau Hindu karena itu tak benar.

Bagaimana menyebarkan toleransi dan kedamaian antar sesama terutama kepada generasi muda?
Mereka harus direkrut untuk menyebarkan perdamaian. Mereka perlu dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan positif di masyarakat seperti berjuang untuk kesetaraan gender dan berjuang melawan narkoba. Beri mereka identitas, harga diri, dan harapan serta alat untuk menjalani hidupnya melalui pendidikan. Mereka harus mampu berfikir masa depan harus lebih baik dari kondisi sekarang.

Pandangan Anda kedepan, apakah radikalisme dan terorisme akan semakin besar atau bagaimana?
Menurut saya akan semakin meningkat karena dalam beberapa tahun kemarin kita tidak melakukan upaya apapun untuk mencegahnya. Jadi kita sekarang ada generasi yang hilang, generasi yang putus harapan, disia-siakan karena kemarin tidak ada upaya apapun dari pemerintah. Kalau kita tak cepat-cepat menarik mereka maka akan banyak lagi yang menjadi tentara jihad. Ini harus segera disikapi oleh kita.

Apa closing statement Anda?
Pekerjaan atau tugas menghapuskan terorisme di Indonesia itu adalah tugas semua orang bukan cuma satu-dua orang. Semua orang yang cinta terhadap bangsa ini harus ikut serta, namun pemerintah mempunyai peran dan alat yang paling efektif untuk melakukan perubahan yang paling berarti. Kita sangat berharap ada pemimpin yang tegas terhadap penegakkan hukum supaya tidak ada lagi masalah yang membuat masyarakat merasa tidak ada keadilan. Ketidakadilan harus dituntaskan terlebih dahulu, kemudian akses ekonomi. Jadi problemnya harus diatasi mulai dari akar sampai buahnya dan pendekatannya harus holistik. Kita berharap semua elemen bisa kerjasama dengan baik, dan yang paling penting identitas Indonesia adalah keberagaman dan kebhinnekaan. Kalau kebhinnekaan di berangus maka tidak ada lagi Negara Indonesia. Menjaga identitas negara adalah kewajiban kita semua [Akhwani].

Biodata:
Nama Lengkap                        : Zannuba Ariffah Chafsoh Wahid atau Yenny Wahid
Tempat, Tanggal Lahir              : Jombang, 29 Oktober 1974
Pekerjaan                                : Direktur Eksekutif The Wahid Institute
Pendidikan                              : S2 Harvard Kennedy School of Government, Amerika Serikat

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)


SumberLazuardi Birru

Siskamling Dapat Mencegah Terorisme


Polda Sulawesi Utara (Sulut) minta kepada setiap daerah untuk melaksanakan keamanan dan ketertiban (kamtib) secara gotong royong atau mapalus mulai dari tingkatan terkecil sebagai antisipasi terorisme. Sistem keamanan lingkungan (siskamling) harus diaktifkan kembali.

Demikian Direktur Bimbingan Masyarakat Polda Sulut Kombes Toto Kasmiarto sampaikan kepada para peserta penyuluhan antisipasi dan cegah dini terorisme di Kantor Bupati Bolmong, Lolak, Senin (3/12/2012). Menurutnya siskamling efektif untuk menangkal gangguan keamanan dan ketertiban.

“Setiap pimpinan wilayah di desa juga turut bertanggung jawab atas upaya pencegahan dini terhadap masuknya terorisme di wilayah Bolmong dan Sulut pada umumnya,” ujar Toto menegaskan tentang peran pimpinan di desa.

AKBP Jufri SH Kepala Sub Dit Binpolmas Direktorat Binmas Polda Sulut, yang mendampingi Toto pada penyuluhan tersebut ikut menjelasjan tentang Peraturan Kepala Polri Nomer 23 Tahun 2007 tentang sistem keamanan lingkungan (siskamling). Dia kembali minta peran warga untuk tangkal dini terorisme.

Pemerintah Kabupaten Bolmong melalui Asisten Satu Chris Kamasaan menyambut baik penyuluhan pencegahan antiterorisme ini. “Penyuluhan ini mampu memberikan gambaran serta tindakan nyata bagi upaya masuknya gerakan teroris di daerah Bolmong,” kata Chris saat memberikan sambutan.

Chris berharap seluruh jajaran aparat desa bekerjasama dengan aparat keamanan. Koordinasi antara keduanya yang terlibat dalam mapalus kamtibmas untuk mengantisipasi dan mencegah secara dini munculnnya terorisme. (sq)


Sumber: Lazuardi Birru

Radikalisme dan Terorisme, Ironi Umat Beragama



Terkadang justru lantaran terlalu utuh dan lengkap dalam mengimani sesuatu membuat seseorang buta. Barangkali itulah apa yang terjadi dalam diri para radikalis dan teroris. Keimanan mereka tak berlubang sedemikian hingga menganggap iman-iman yang lain hanyalah sampah yang patut dienyahkan.

Bagi Haidar Baqir keimanan yang tanpa keraguan bukan berarti sekuat-kuatnya iman. Justru sebaliknya. Dengan mengutip khalifah Ali bin Abi Tholib, Pimpinan Mizan ini menuturkan “Orang-orang yang hanya dapat menyakini bahwa jalan yang ditempuhnya mesti mutlak benar bukanlah orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak sanggup berpikir lain dari keyakinan yang telah mereka peluk. Orang-orang seperti ini sama sekali bukan manusia”.

Memang Terdengar paradoks. Beriman tetapi memberikan ruang kepada keraguan, pada kerapuhan. Namun justru dengan demikian pencarian kebenaran yang kontinu dimungkinkan. Hujjatul Islam, Imam al Ghozali, juga pernah menyinggung posisi keraguan dalam pencarian kebenaran.

“Keraguanlah yang mengantarkan kepada kebenaran. Barang siapa yang tidak pernah ragu maka dia tidak memandang. Barang siapa yang tidak pernah memandang maka ia tidak pernah melihat. Dan barang siapa yang tidak pernah melihat maka ia tetap dalam kebutaan dan kesesatan” kutip Haidar Bagir atas al Ghozali. [Mh]


Sumber: Lazuardi Birru

Masjid Istiqlal Prakarsai Instalasi Pengolahan Air Limbah untuk Wudhu



Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup Korea Selatan akan membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Masjid Istiqlal. Instalasi ini akan mengolah air sisa wudhu menjadi air bersih untuk kembali dipakai wudhu.

“Program (pembangunan) ini akan dimulai pada Desember 2012 dan berlangsung selama 30 bulan mendatang,” ujar Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya.
Kambuaya mengatakan itu saat bertemu Menteri Lingkungan Hidup Korea Selatan You Young Sook di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Senin (3/12/2012).

Menurut Kambuaya, alasan pembangunan IPAL di Istiqlal karena masjid tersebut dikunjungi lebih dari 12 juta orang per tahun serta berbagai tamu di negara lain. Tujuan pembangunan IPAL tersebut antara lain untuk menghindari pencemaran dan kerusakan sungai dari hulu hingga hilir.

“Mari kita meletakkan harapan agar Ciliwung di masa depan berfungsi sebagaimana mestinya,” kata dia.
Pembangunan IPAL tersebut, lanjut Kambuaya, didanai oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia Rp 10 miliar yang dibagi dalam dua tahun anggaran dari 2013-2014 dan hibah US$ 9 juta dari Kementerian Lingkungan Hidup Korsel.

Di tempat yang sama, Menteri Lingkungan Hidup Korea Selatan You Young Sook mengatakan, Korea Selatan pernah mengalami pencemaran sungai yang sangat serius. Namun pemerintah melakukan kebijakan lingkungan hidup dan kampanye kepada masyarakat.

“Maka sungai-sungai kami dapat jernih,” kata You Young Sook.
Sementara itu, Kepala BPLHD DKI Jakarta Muhammad Tauchid menyebutkan, pembangunan IPAL ini salah satunya dengan memanfaatkan air bekas wudhu.

“Kalau yang dari wudhu bisa diolah lagi dan bisa dipakai buat wudhu lagi. Kalau dari kamar mandi akan diolah lebih bersih sehingga nanti bisa digunakan untuk menyiram tanaman. Sisanya ke badan sungai, nanti yang padat dipisahkan dengan yang cair,” tutur Tauchid yang mengatakan panjang IPAL itu 497 meter. [Mh]


Sumber: Lazuardi Birru

Ini Penyebab Radikalisme Tumbuh Subur


Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Syafiq Mughni, mengakui radikalisme agama di Indonesia dipicu oleh faktor yang sangat kompleks. Karena itu menyelesaikan persoalan radikalisme tidak semudah membalikkan tangan.
Menurut Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, ada 4 faktor yang menyuburkan pertumbuhan radikalisme.

“Pertama adalah pemahaman ajaran Islam, khususnya kesalahan dalam pemaknaan dan implementasi jihad. Beberapa kelompok tidak bisa menangkap esensi ajaran jihad. Seolah jihad hanya bisa dilakukan dengan kekerasan tanpa melihat situasi dan kondisi. Lantas barang siapa yang mati dalam aksi kekerasan itu maka ia mati syahid. Itu pemahaman yang salah,” ujarnya kepada Lazuardi Birru beberapa waktu lalu.

Faktor kedua, lanjut Syafiq, adalah kultur sebagian masyarakat Indonesia yang mudah tersulut emosi dan lantas melakukan kekerasan.
 “Watak asli kita memang lemah lembut. Tetapi ada pula kelompok yang memang sangat dekat dengan kultur kekerasan. Misalnya kasus demonstrasi yang berkembang menjadi anarkisme, tawuran antarpelajar, antarwarga kampung, dan sebagainya. Itu menunjukkan adanya subkultur kekerasan di masyarakat kita,” tandas Mantas Ketua Umum PW Muhammadiyah Jawa Timur itu.

Frustasi sebagian kelompok atas kondisi bangsa, menjadi faktor ketiga pemicu radikalisme. Dalam hemat Syafiq, ada beberapa kelompok yang tidak sabar melihat kondisi bangsa hingga lantas tersulut melakukan aksi-aksi kekerasan sebagai upaya revolusi.

“Kemaksiatan merajalela, korupsi marak, itu semua jauh dari bayangan Islam yang mengidealkan kondisi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Ini menyebabkan sebagian kelompok kecewa. Lantaran tidak mampu melakukan perbaikan dengan cara-cara yang legal, dakwah dianggap terlalu lambat, maka tindakan kekerasan menjadi pilihannya,” ungkap Syafiq.
Faktor keempat pemicu radikalisme dalam hemat Syafiq adalah ketidakadilan baik secara nasional maupun global.

“Secara global bisa dilihat bagaimana serangan Israel terhadap Palestina baru-baru ini. Israel merupakan sekutu dekat Amerika Serikat. Sementara mayoritas penduduk Palestina adalah muslim. Muncul lah solidaritas sebagian muslim Indonesia dengan cara-cara yang tidak produktif,” ujar Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo itu.

Agresi Israel itu, sambung Syafiq, kian mengobarkan kebencian muslim Indonesia terhadap Barat yang yang telah menghegemoni Negara-negara muslim.
“Ideologi kapitalisme global telah menjajah di bidang ekonomi, termasuk memengaruhi kebijakan ekonomi politik Indonesia. Hal ini merupakan bentuk kezaliman yang menurut sebagian kelompok muslim harus dilawan, termasuk dengan aksi kekerasan dan teror,” tandasnya. (Fiq)


Sumber: Lazuardi Birru

Rabu, 26 Desember 2012

Masyarakat Harus Kritis Agar Tak Mudah Terprovokasi Media



Peneliti Media dan Komunikasi Politik The Habibie Center, Wenny Pahlemy mengatakan, pers sebagai pilar keempat demokrasi sangat berperan penting dalam menggiring opini publik, termasuk juga dalam upaya menciptakan perdamaian. Namun, kadangkala fungsi media sebagai kontrol sosial dan pendidikan bagi khalayak kerap disalahgunakan.

Karena itu, kata Wenny, perlu upaya kritis agar khalayak bisa memfilter informasi yang termaktub dalam pelbagai pemberitaan. “Di satu sisi kebebasan pers menjadi nilai lebih dan kemajuan, karena sebelumnya hanya isu-isu tertentu yang bisa diekspos. Namun kebebasan pers pascareformasi bukan berarti tidak berpotensi negatif,” kata dia pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Salah satu dampak negatifnya, lanjut Dosen Universitas Mercu Buana ini, adalah sulitnya mengontrol substansi pemberitaan, terutama media online. Bahkan, tidak sedikit internet yang memuat tentang paham radikalisme dan provokasi. “Membuat blog, website sangat mudah. Bikin blog itu kan gratis, kemudian ada lagi sosial media, akhirnya ide apapun bisa di ekspresikan,” ungkap dia.

Selaian mudahnya proses pembuatan media, Wenny juga menyayangkan berita atau tulisan yang tidak jelas sumbernya. Penulis dan narasumbernya anoname. Tidak mengindahkan prinsip-prinsip jurnalisme, seperti akurasi data. Ia juga menyayangkan berita atau tulisan yang cenderung provokatif.
Menurut Wenny, media sah-sah saja punya keberpihakan, namun harus tetap fair. Tapi meski berpihak sebuah media harus tetap menjaga prinsip-prinsip jurnalistik. “Misalnya akurasi itu penting walaupun dia berpihak kepada salah satu kelompok. Harus dipisah antara opini dengan fakta,” demikian Wenny mencontohkan.

Menurut pengamatan Wenny, media yang cukup mempengaruhi opini publik masih banyak didominasi media cetak dan televisi. Sedang media online belum begitu kuat pengaruhnya sebab hanya diakses oleh orang tertentu. “Coba cek seberapa banyak yang mengakses media online, apalagi media online yang tidak terkenal. Lebih banyak orang mengakses facebook,” jelas Wenny.

Tugas pembaca, kata Wenny, adalah memfilter isi media dan memperhatikan akurasinya. Karena media kebanyakan hanya memberikan satu perspektif saja yang kebetulan berbeda. Masyarakat yang tidak kritis nerima saja perspektif itu. Menurut dia, masyarakat harus cerdas dan juga harus aktif, kritis melihat sumber-sumber lain. “Ketika ada isu tertentu, coba cek ditempat atau media yang lain. Jadi akhirnya punya pemahaman yang lumayan utuh,” sarannya.[Az]


Sumber: Lazuardi Birru

Polresta Solo Tangguhkan Penahanan Siswi “Teroris”

Polresta Solo, Jawa Tengah, memutuskan menangguhkan penahanan P alias W alias SR (15 tahun), siswi pelaku pengiriman pesan teror bom di SMP/SMA Warga Jebres Solo. Pasalnya, selain masih di bawah umur ia juga harus menempuh ujian akhir semester.

Dian Sasmita, Ketua Yayasan Sahabat Kapas, LSM yang mendampingi pelaku, mengatakan, P harus mengikuti ujian semester, sehingga dengan pertimbangan tersebut polisi mengizinkan untuk pulang ke rumahnya.
“P masih ujian, jadi polisi memperbolehkan pulang. Kami mengucapkan terima kasih kepada polisi yang mengizinkannya, sedangkan untuk proses hukum masih terus berlanjut,” jelas Dian Sasmita seperti dilansir Okezone, Senin (3/12/2012).

Dian mengatakan, selama melakukan pendampingan dirinya mengalami beberapa kendala. P yang selama pemeriksaan ditempatkan di ruang Pelayanan Perempuan dan Anak Mapolresta Solo, beberapa kali tidak mau makan dan bahkan mengalami sakit.

“Waktu diproses, P tidak mau makan. Itu yang membuat kami sedikit khawatir dengan perkembangan psikologinya,” ujarnya.
Dian mengatakan, selama mengikuti ujian, pihaknya tetap akan melakukan pendampingan. Hal tersebut dilakukan karena, proses hukum terhadap P masih terus berlangsung.
Selama proses penangguhan pemeriksaan dan penahanan, P dikenakan wajib lapor ke Polresta Solo setiap hari Senin dan Kamis.

“Kita belum tahu sampai kapan, tapi memang selama penangguhan dan mengikuti ujian ini, P hanya dikenai wajib lapor, ” pungkasnya.
Sebelumnya, Yayasan Sahabat Kapas meminta kepada polisi untuk menangguhkan pemeriksaan dan penahanan terhadap P. Mereka beralasan, pelaku teror yang juga siswa SMA Warga masih berstatus pelajar dan berusia di bawah umur.

Pertengahan bulan lalu, SMP/SMA Warga Jebres Solo diancam bom. Seorang guru SMA Warga dua kali menerima SMS di ponselnya yang berisi acaman teror bom.
Ancaman teror bom tersebut pertama terjadi pada Minggu (18/11/2012) dan yang kedua pada Rabu (21/11/2012), sekitar pukul 08.00 WIB. Isi SMS menyatakan, kalau sekolahnya, pada Rabu, sekitar pukul 11.11 WIB akan dibom.

Pihak sekolah kemudian melaporkan ke polisi, sekitar pukul 09.30 WIB. Tim Gegana Brimob Polda Jateng dari Unit Penjinak Bom (Jibom) Subden 1 Detasemen Pelopor (Denpor) C Grogol Sukoharjo langsung mendatangi sekolah Warga. Namun setelah dilakukan pengecekan, tidak ditemukan benda yang mencurigakan di lokasi sekolah.

Beberapa hari kemudian, polisi menangkap P yang mengirimkan pesan berisi ancaman teror bom itu. Motifnya, pelaku menginginkan agar sekolahnya memulangkan para siswa lebih cepat biar pelaku dapat menontok konser musik. (sf)


Sumber: Lazuardi Birru

Kekerasan Atas Nama Apapun Tak Dapat Dibenarkan

Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Hamdi Muluk mengatakan, kekerasan atas nama apapun tidak dapat dibenarkan, apalagi kekerasan yang mengatasnamakan agama tertentu. Karena itu, segala upaya yang mengarah pada tindakan kekerasan harus diperangi.
“Dalam segi apapun radikalisme dan terorisme bukan antitesis dari sebuah peradaban. Kita ingin menciptakan bangsa yang demokratis. Semua urusan harus diselesaikan tanpa menggunakan kekersan,” kata psikolog komunikasi politik ini pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Menurut Hamdi, dalam negara demokratis, penggunaan kekerasan hanya bisa dilakukan oleh sebuah kekuatan yang mempunyai legitimasi dalam undang-undang dan konstitusi. Misalnya, kata Hamdi, TNI dan aparat kepolisian dalam melakukan penegakan hukum.

Hamdi menambahkan, aparat boleh menggunakan kekerasan untuk menegakkan hukum. Namun harus sesuai dengan prosedur yang berlaku. “Tentara melakukan kekerasan itu karena perang, namun di luar itu tidak boleh,” demikian Hamdi menjelaskan.

Lebih jauh Hamdi mengatakan, saat ini ada kelompok yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Padahal tindakan tersebut, kata Hamdi, tidak diperbolehkan. “Gejala-gejala sekarang ada kelompok masyarakat mengatasnamakan agama dan melakukan penghakiman. Itu tidak dibenarkan dalam hal apapun,” kata dia.

“Semua persoalan kita selesaikan dengan pendekatan yang demokratis, tidak menggunakan kekerasan,” imbuhnya.[Az]


Sumber: Lazuardi Birru

Boko Haram Kembali Berulah di Nigeria

                                       Markas Polisi Kota Kano, Nigeria Utara, terbakar setelah aksi teror Boko Haram pada Januari 2012




Kelompok ekstrimis sektarian Boko Haram di Timur Laut Nigeria kembali berulah melakukan teror hingga menewaskan 10 warga di Desa Chibok. Mereka membunuh korbannya dengan senjata tajam dan membakar rumah berikut korban yang berada di dalam rumah.

Serangan tersebut terjadi di sebuah wilayah yang menjadi basis kelompok teroris tersebut. “Diduga Boko Haram datang pada malam hari dan menduduki rumah korban dan membakarnya,” kata salah seorang mantan anggota dewan setempat yang lolos dari serangan keji itu, Minggu (2/12/2012), seperti dilansir Reuters.

Juru bicara kepolisian setempat saat dikonfirmasi mengenai insiden tersebut mengatakan, masih melakukan konfirmasi terkait jumlah korban yang tewas dalam peristiwa berdarah itu.
Kelompok Boko Haram telah menewaskan ratusan orang sejak melakukan pemberontakan tahun 2009 lalu. Mereka menyasar personel keamanan baik itu tentara atau kepolisian, pejabat pemerintah serta kelompok keagamaan dalam setiap aksi terornya.

Dalam insiden terpisah, tiga rumah ibadah dibakar kelompok ini Sabtu (1/12/2012) pagi waktu setempat di Gamboru dan di negara bagian Borno.

Sejak mulai beraksi pada 2009, ratusan aksi teror sudah dilakukan oleh Boko Haram. Pada tahun 2011, Boko Haram bertanggung jawab untuk setidaknya 450 pembunuhan di Nigeria. Sedangkan pada 6 bulan pertama 2012, Boko Haram menyatakan telah bertanggung jawab untuk lebih dari 620 aksi pembunuhan. (sf)


Sumber: Lazuardi Birru

Jumat, 21 Desember 2012

Bahasa Indonesia Diajarkan di 45 Negara


Guru Besar Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Prof Dr Handayani, mengatakan, sampai ssekarang ini sudah 45 negara yang membuka Program Studi Bahasa Indonesia untuk diajarkan di sekolah di negara masing-masing.

Di Australia saja sudah ada 500 sekolah yang membuka Program Studi Bahasa Indonesia. “Bukan tidak mungkin kelak kemudian hari bahasa Indonesia juga akan menjadi bahasa internasional,” kata Handayani, di Solo, Senin.

Ia mengatakan perguruan tinggi di negara ASEAN sekarang ini sudah hampir semua membuka program studi Bahasa Indonesia. “Baru-baru ini satu perguruan tinggi di Philipina juga telah membuka Program Studi Bahasa Indonesia dan begitu juga di Inggris,” katanya.

Ia mengatakan bahasa itu semakin banyak dipelajari orang di dunia, sama saja bangsa yang memiliki bahasa itu akan sejajar dengan bangsa lain. Bahasa bukan saja untuk lmu pengetahuan, tetapi bahasa sebagai alat komunikasi.

Jika di luar negeri bahasa Indonesia begitu diapresiasi, namun di dalam negeri kenyataannya cukup berbeda. Banyak sekali bahasa asing dipakai untuk berbagai keperluan atau benda yang sebetulnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Nama-nama pusat perbelanjaan, perumahan, gelaran jabatan dalam perusahaan, dan lain-lain, sudah terlanjur dibiarkan diterapkan dalam bahasa Inggris.
Jepang tidak begitu, mereka kukuh dalam pemakaian bahasa, aksara, dan budaya Jepang tanpa takut menjadi terkucil di mata internasional.

Di Indonesia, sering pemerintah pusat juga memberi contoh ketidakberpihakan pada bahasa Indonesia secara lebih serius. Di antaranya nama resmi program MP3I (Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) yang sebetulnya bisa diindonesiakan menjadi Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia.

Contoh lain adalah JORR (Jakarta Outer Ring Road/Jaringan Jalan Lingkar Luar Jakarta) atau Traffic Management Centre Ditlantas Polda Metro Jaya, yang sepadan dengan Pusat Tatakelola Lalu-lintas Ditlantas Polda Metro Jaya.[Az]


Sumber: Lazuardi Birru

Pendidikan Perdamaian dengan Media Literasi


Peneliti The Habibie Center, Wenny Pahlemy mengatakan, banyak cara untuk membangun perdamaian, terutama di daerah konflik. Salah satu cara untuk membangun perdamaian adalah dengan pendidikan perdamaian.

Dosen Mercu Buana ini memaparkan pengalamannya terkait pendidikan perdamaian. Kegiatan yang dilakukan adalah workshop terhadap anak-anak SMA dan workshop terhadap guru-guru SMA. Tujuan dari workshop untuk siswa SMA, kata Wenny, untuk membangun generasi muda agar kritis terhadap isi media, tidak mudah terpengaruh.

“Media literasi ini juga ingin membangun pemahaman generasi muda tentang keragaman dan toleransi di masyarakat,” kata Wenny pada Lazuardi Birru.

Program media literasi ini, kata Wenny, yaitu pengetahuan untuk mengakses media, menganalisis dan mengevaluasi hingga kemudian bisa memproduksi isi media itu sendiri. “Karena mengharapkan media mainstream untuk berubah, bertanggung jawab rasanya koq susah, kemudian menunggu pemerintah untuk berbuat sesuatu juga kayaknya lama, akhirnya kami mengambil metode ini,” kata dia.

Latar belakang pilihan media literasi ini adalah maraknya media massa yang memberitakan semua hal, termasuk berita konflik. Menurut dia, media memberitakannya sesuka mereka, kadang tidak berimbang. Konflik tersebut bisa jadi menular di satu daerah lalu kemudian tiba-tiba menular ke daerah lain. “Dan media masuk sebagai pihak yang ternyata memprovokasi konflik yang tadinya hanya berskala kecil,” kritiknya.
“Remaja adalah kelompok yang paling banyak mengakses media dan terpengaruh oleh pemberitaan media. Karena itu, media bisa mempengaruhi opini publik, baik remaja maupun dewasa,” ungkapnya.

Ia membuat modul pelatihan. Modul workshop yang mengandung nilai-nilai pendidikan perdamaian berisi apa fungsi media seharusnya, konten media, dan bagaimana produksi dan komsumsi isi media, dan kenapa perlu menjadi konsumen yang kritis terhadap media.

Dalam workshop tersebut juga membahas tentang toleransi di Indonesia, teori dan praktiknya. Kemudian yang terakhir adalah keterampilan menulis sesuai dengan visi literasi media bagaimana menciptakan toleransi. “Kira-kira apa saja yang akan terjadi ketika kita berinteraksi antarkelompok, antaragama, antarsuku dan sebagainya,” ia mencontohkan.[Az]


Sumber: Lazuardi Birru

Pendidikan Perdamaian Solusi Atasi Konflik

Pendidikan perdamaian sangat dibutuhkan di negara yang beragam dan majemuk seperti Indonesia. Pendidikan perdamaian tersebut terkait dengan penanaman nilai-nilai toleransi menghadapi konflik yang terjadi, baik yang mengatasnamakan suku, budaya, lebih-lebih konflik atas nama agama. Karena itu, isu toleransi sangat penting untuk dikembangkan.

Peneliti The Habibi Center, Wenny Pahlemy mengatakan, banyak cara yang dapat ditempuh dalam upaya menggalang pendidikan perdamaian. “The Habibie Center misalnya telah melakukan serangkaian kegiatan workshop yang bertujuan untuk meningkatkan toleransi di sekolah,” kata Wenny pada Lazuardi Birru.

Hal tersebut, kata Dosen Universitas Mercu Buana ini dilakukan untuk mendorong guru sebagai pendidik untuk menanamkan toleransi dalam setiap mata pelajaran yang disampaikan. Selain itu, lanjut Wenny, juga membekali guru skill menulis agar mudah menyampaikan idenya pada khalayak.[Az]


Sumber: Lazuardi Birru

Bagaimanakah Nasib Mesir Setelah Referendum?

Presiden Muhammad Morsi menghimbau seluruh rakyat Mesir untuk berperan aktif dalam referendum dalam rangka menentukan konstitusi baru, yang akan diadakan nanti pada 15 Desember 2012. Anggota Dewan Konstitusi Mesir telah menyerahkan rancangan konstitusi baru kepada Morsi pada Sabtu (1/12) setelah mereka melaksanakan sidang yang berlangsung sejak Kamis (29/11). Sidang tersebut diboikot oleh kalangan liberal, sekuler dan kelompok Kristen, karena dianggap memberikan kekuasaan mutlak kepada Presiden Morsi.

Rancangan konstitusi baru yang oleh pihak oposisi sekuler dan liberal dianggap menjadikan Morsi sebagai penguasa tunggal yang menguasai semua lembaga pemerintahan di Mesir menjadi pusat perselisihan, sehingga mereka menolak rancangan konstitusi baru tersebut, sedangkan Ikhwanul Muslimin dan aliran-aliran Islam lainnya mendukung rancangan tersebut, hal ini menimbulkan konflik politik terburuk sejak Morsi terpilih sebagai presiden pada bulan Juni lalu.

Di jalan-jalan, ratusan ribu pendukung Morsi yang terdiri dari anggota Ikhwanul Muslim, Salafi dan aliran-aliran Islam lainnya menggelar aksi mendukung keputusan Presiden Morsi, mereka membawa spanduk bertuliskan “Syari’ah dan Syar’iyah”, kaum perempuan juga tidak mau ketinggalan, banyak diantara mereka yang turun ke jalan membawa spanduk bertuliskan “Bersama Morsi selamatkan revolusi”.

Demonstrasi mendukung Morsi juga terjadi di Alexandria, Asiut, Giza dan beberapa provinsi lainnya di seluruh Mesir. Demonstran pendukung Morsi menganggap para penentang keputusan Morsi sebagai usaha untuk mengacaukan Mesir, “Ada beberapa pihak yang menginginkan ketidakstabilan politik di Mesir”, ujar Khalid salah seorang pendukung Morsi, dia juga mengatakan, “Ada kebutuhan untuk segera mengkonstitusikan keputusan sehingga negara menjadi stabil”.

Sementara, dalam pidato kenegaraannya di Madinat Nasr kemarin (1/12), Presiden Morsi menyatakan, “Saya membuka kembali dialog nasional yang menjamin berlangsungnya demokrasi kita yang baru tumbuh”. Dan dalam wawancaranya pada Kamis malam, Morsi menyebutkan bahwa kekuasaan barunya akan berakhir setelah konstitusi baru diratifikasi.

Kekhawatiran pihak oposisi dan juga Amnesty International sebenarnya pada dampak rancangan konstitusi baru tersebut, karena dikhawatirkan Mesir memberangus hak-asasi manusia, khususnya hak terhadap wanita, dan membatasi kebebasan berpendapat atas nama agama.

Akankah dasar politik keagamaan yang diinginkan Ikhwanul Muslimin dan orang-orag salafi di Mesir sebagaimana yang dikhawatirkan oleh pihak-pihak oposisi? Jawabannya terletak pada hasil referendum konstitusi baru Mesir 15 Desember nanti. (Absyaish).


Sumber: Lazuardi Birru

Kamis, 20 Desember 2012

Azyumardi Azra: Penanganan Terorisme Harus Komprehensif



Peristiwa serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon Washington DC, Amerika Serikat pada 11 September 2001 silam, membuat negara adikuasa tersebut murka. Beberapa waktu setelah insiden itu, Presiden George W Bush langsung mengeluarkan pernyataan perang melawan teror (war on terror). Peristiwa serangan ini adalah aksi teror terbesar yang terjadi di negara Amerika dan terdahsyat di abad modern ini.

Menurut Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Azyumardi Azra, salah satu tantangan besar yang dihadapi umat muslim dan organisasi masyarakat arus utama Islam lainnya di Indonesia bahkan di dunia Islam lainnya adalah meningkatnya radikalisme dan bahkan terorisme di kalangan muslim. Peristiwa 11 September 2001 yang diikuti serangan Amerika dan para sekutunya ke Afganistan dan Irak serta konflik Israel dan Palestina menjadi salah satu faktor terpenting meningkatnya radikalisme dan terorisme di kalangan muslim tertentu.

Azyumardi mengatakan, salah satu penyebab terpenting munculnya radikalisme dan terorisme adalah kegagalan negara-negara muslim sendiri dalam mengembangkan model pembangunan politik dan ekonomi yang viable untuk memperbaiki kesejahteraan warga. Para penguasa di negara-negara muslim gagal memenuhi janji-jani kemajuan politik dan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Kondisi tersebut mendorong tidak hanya kekecewaan, apatisme dan alienasi, tetapi juga perlawanan terhadap rezim-rezim penguasa muslim dan Dunia Barat sebagai pendukung mereka.

Ia berpendapat proses radikalisasi di kalangan masyarakat muslim tidak sederhana, sumbernya terdapat secara internal di dalam masalah-masalah di negara-negara muslim sendiri, penafsiran konsep jihad yang keliru, dan adanya faktor-faktor eksternal yang mendorongnya. Sedangkan akar terorisme sangat kompleks yang bisa merupakan gabungan dari berbagai faktor, sejak dari ketidakpuasan politik domestik dan internasional, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, penafsiran literal dan sepotong-potong atas agama, alienasi dan ketercerabutan budaya.

Penyelesaian radikalisasi, kata dia, memerlukan pembenahan seperti kebijakan politik di wilayah-wilayah kaum muslim sendiri, sosialisasi pemahaman yang benar tentang jihad dan penyelesaian masalah-masalah di dunia muslim yang melibatkan Amerika dan Dunia Barat umumnya. Sementara penanganan terorisme memerlukan multi-facetted, multi-track dan komprehensif. Respon militer dan keamanan tak akan mampu menangani terorisme. Sebaliknya, justru dapat kontraproduktif dan menciptakan berbagai ekses yang pada gilirannya menciptakan “lingkaran terorisme” yang sulit diakhiri.

Menurut dia terorisme tak dapat dibasmi melalui tindakan unilateral, melainkan harus kerjasama multi-lateral khususunya lembaga internasional seperti PBB. Unilateralisme negara pada tingkat internasional hanya akan menumbuhkan ketegangan internasional dan meningkatkan ketegangan di antara masyarakat-masyarakat dunia.

Berikut perbincangan Lazuardi Birru dengan pria asal Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat ini.

Bagaimana pandangan Anda soal terorisme berbasis agama di Indonesia?
Saya tidak sebut sebagai terorisme berbasis agama. Terorisme bukan berbasis agama melainkan dijustifikasi dengan doktrin-doktrin agama. Jadi bukan agamanya menjadi basis namun kegiatan terorisme coba dijustifikasi dengan ajaran agama atau konsep tertentu di dalam agama. Atas dasar ajaran agama mereka melakukan terorisme. Terorisme lebih banyak didasarkan atas dasar kepentingan politik namun kemudian coba diberikan justifikasi keagamaan.

Bukankah terorisme dipicu karena pemahaman agama yang radikal?
Memang ada pemahaman keagamaan yang radikal namun bukan agama yang mendasari seseorang melakukan terorisme, tetapi motif dasarnya kepentingan politik. Misalnya kelompok mereka ingin membentuk negara Islam maka untuk mencapainya mereka melakukan kekerasan di antaranya dengan teror.

Apa pendapat Anda tentang jihad bom bunuh diri yang menyerang non-muslim?
Aksi gerakan radikal seperti itu tidak berdiri sendiri tapi banyak faktornya. Di antaranya pemahaman keagamaan yang sempit dan sepotong-potong dan kebijakan/langkah politik di tingkat internasional yang menimbulkan kemarahan seperti konflik Israel-Palestin. Hal itu dijadikan alasan bagi gerakan radikal untuk melakukan kekerasan. Padahal Islam secara keseluruhan tidak menganjurkan kekerasan melainkan harus dicari cara damainya. Saya melihat gerakan-gerakan radikal dan teror lebih terkait dengan agenda-agenda politik dibanding agenda keagamaan.

Pelaku teror mengklaim bahwa aksinya karena perintah kitab suci. Menurut Anda apakah benar demikian?
Di dalam kitab suci tidak ada ajaran yang mengajarkan kekerasan. Mereka memiliki motif politik kemudian dicari justifikasi berupa ayat-ayat tertentu dan ditafsirkan sendiri yang dilepas dari konteksnya lalu seolah-olah agama mengajarkan/menganjurkan terorisme. Mana ada Islam mengajarkan terorisme? Al-quran dan hadis tidak ada yang mengajarkan terorisme. Pada dasarnya agama tidak mengajarkan terorisme.

Apakah pemerintah sudah mengambil langkah penanganan maksimal soal terorisme?
Sebagian sudah terutama melalui Densus 88 dan BNPT. Namun cara penanggulangannya banyak sporadis seperti kegiatan deradikalisasi. Program deradikalisasi seolah-olah diserahkan kepada Densus dan BNPT padahal mesti dilakukan multi kementerian misalnya Kemensos, Kemenag, Kemendikbud, dan Kemenakertrans. Setahu saya penanggulangan terorisme sporadis dan tidak komprehensif. Sebab tidak ada keterlibatan kementerian.

Misalnya, Bimas Islam Kementerian Agama mengirimkan ustadz untuk diskusi dengan tahanan pelaku terorisme. Setahu saya itu tidak ada diskusi seperti itu, hanya ngomong saja. Berdiskusi soal agama dengan mereka tentang penafsiran eks teroris yang sudah sadar seperti Nasir Abas. Ia sering berdiskusi dengan pelaku terorisme. Kemenag tidak pernah melakukan itu. Berbeda dengan Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) yang turun tangan mengirimkan ustadz ke penjara yang ada orang JI dan melakukan diskusi.

Bagaimana agar langkah penanganan terorisme efektif. Apakah perlu meniru negara lain?
Kita tidak harus meniru Singapura. Soal program tidak usah meniru negara lain, saya hanya menekankan penanganannya harus komprehensif melibatkan kementerian terkait dan organisasi relevan. Mereka harus dilibatkan karena sel teroris merekrut anak di sekolah.

Apakah perlu hukuman pelaku terorisme diperberat?
Itu langkah berikutnya. Sebetulnya jika penanganan deradikalisasi cukup baik, saya kira hukuman berat belum tentu membuat orang jera. Yang penting memberikan keinsafan dan kesadaran kepada mereka bahwa tindakan kekerasan dan terorisme tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Mereka harus diajak diskusi.

Bagaimana pembagian peran antara pemerintah dan ormas dalam pencegahan terorisme?
Tidak usah bagi-bagi tugas tetapi yang penting pemerintah memfasilitasi saja karena organisasi masyakarat sipil tidak punya dana untuk itu. Pemerintah jangan hanya teriak untuk membantu tapi tidak memfasilitasi, hanya ada beberapa organisasi yang berperan salah satunya Lazuardi Birru. Namun LSM tidak punya jaringan ke bawah, sedangkan yang memiliki jaringan ke bawah yaitu NU dan Muhammadiyah. Mereka harus difasilitasi pemerintah. Setahu saya, selama ini tidak ada dan jika ada hanya basa basi saja tidak serius.

Seberapa potensial peran ormas tersebut?
Mereka potensial namun tidak punya dana. Sementara dana penanggulangan dana terorisme besar tapi tidak digunakan secara efektif dan efesien misalnya melibatkan sivil society. Setahu saya ada MoU antara NU dengan BNPT tapi tidak ada tindaklanjutnya. Mungkin kerjasamanaya masih diskusi program. Saya melihat NU dan Muhammadiyah memiliki program deradikalisasi atau pencegahan terorisme.

Pemerintah tidak melihat potensi mereka?
Pemerintah tidak peduli atau tidak mau tahu. Pemerintah sekarang bukan hanya soal terorisme tapi soal lain juga tidak bisa berjalan dengan baik. Masyarakat berjalan sendiri, jadi ada pemerintah atau tidak tidak terlalu penting. Ironis memang padahal duitnya banyak. Semestinya pemerintah jika ingin menyelesaikan itu  maka bisa melaksanakannya namun sayang tidak ada kemauan.

Ada usulan TNI perlu dilibatkan dalam penanganan terorisme. Apa pendapat Anda?
Tidak usah nanti menimbulkan komplikasi baru. Tingkatkan saja kinerja Densus 88 karena selama ini sudah cukup berhasil. Di mata dunia Densus 88 sudah termasuk paling sukses dalam memberantas terorisme. Jika instansi tidak terlalu berat maka masyarakat sipil bisa dengan mudah mengontrolnya. Hanya saya kira tidak punya mitra yang memadai dari masyarakat sipil karena kebijakan pemerintah tidak jelas. Pemerintah menyerahkan semuanya ke Densus 88 tapi tidak ada kebijakan komprehensif untuk melakukan deradikalisasi dan pencegahan terorisme serta pelibatan masyarakat sipil. Bahkan komunikasi presiden dengan masyarakat sipil tidak berjalan baik.

Apakah UU Antiterorisme tidak cukup untuk penanganan terorisme?
Sementara cukup. Saya mendengar agar hukumannya akan lebih berat. Saya kira tidak usah berlebihan karena yang ada sekarang sudah memadai dan kegiatan terorisme relatif berkurang meskipun tidak bisa dibilang sudah hilang sama sekali. Tidak usah berlebihan tapi yang ada dimanfaatkan lalu didukung masyarakat.

BNPT mengusulkan ada pengadilan khusus untuk pelaku terorisme. Apa komentar Anda?
Tidak usah, saya kira itu berlebihan. Memang terorisme tindakan kejahatan luar biasa tapi penanganganannya tidak usaha berlebihan. Efektifkan saja yang ada. Saya setuju misalnya orang yang terbukti terlibat terorisme penjaranya dipisahkan dan jangan dicampur dengan tahanan narkoba atau tahanan lainnya. Kalau bisa ada tahanan terpisah, tapi saya tidak bisa menggambarkannya karena itu soal teknis.

Fenomena terorisme di Indonesia tak seperti di Malaysia dan Singapura. Misalnya di Malaysia menerapkan ISA untuk menangani terorisme?
Tidak bisa dibandingkan dengan mereka. Saya tidak suka jika Indonesia dibandingkan dengan mereka. Indonesia negara demokratis sementara Malaysia dan Singapura negara totaliter. Luas dan besar negara Indonesia juga tidak sebanding dengan mereka. Saya juga tidak setuju jika berlebih-lebihan. Yang sudah ada cukup memadai jadi jangan dipaksakan supaya modelnya seperti Malaysia atau menghidupkan kembali UU antisubversif atau akta keamanan dalam negeri. Saya tidak setuju dengan itu semua. Kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat sipil saja ditingkatkan, itu yang penting. Jika berlebihan bisa menimbulkan kontraproduktif atau menimbulkan perlawanan dari masyarakat.

Pendidikan dinilai memiliki peran efektif mencegah terorisme. Bagaimana Anda melihat peran pendidikan dalam mencegah terorisme?
Peran dan potensi lembaga pendidikan besar tapi tidak dilakukan. Saya kira pemerintah tidak melakukan pembinaan terhadap OSIS dan organisasi kemahasiswaan. Kemendiknas dan Kemenag tidak punya kepedulian karena tidak ada langkah koordinatif di antara mereka.

Apakah perlu muatan kurikulum antiterorisme?
Tidak perlu karena muatan kurikulum saat ini sudah terlalu banyak. Yang penting pemberian perspektif melalui guru agama dan mata pelajaran Pancasila atau pelajaran lain yang relevan. Beban pendidikan kita sudah terlalu banyak jadi jangan ditambah dengan pendidkan antiterorisme. Yang penting kepala sekolah, guru, siswa, dan aktifis organisasi kemahasiswaan harus  disadarkan tentang bahaya terorisme.

Menurut Anda apakah pemahaman guru agama sudah moderat?
Kita tidak bisa mengeneralisasi, memang ada guru atau dosen yang pemahaman keagamaannya harfiah atau radikal seolah membenarkan terorisme. Karena itu, program sosialisasi bahaya terorisme dan peningkatan paham kebangsaan sangat penting [Akhwani].

Biodata:
Nama Lengkap                        : Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Tempat, Tanggal Lahir           : Lubuk Alung, 4 Maret 1955
Pekerjaan                                : Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan                              : S3 Departemen Sejarah Universitas Columbia, Amerika Serikat
Email                                       : azyumardiazra@yahoo.com

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)



SumberLazuardi Birru

Bahkan Tempat “Nongkrong” Pun NII Susupi

Ideologi-ideologi yang ingin menggoyang Negara Kesatuan Republik Indonesia masih belum sepenuhnya hilang dari bumi pertiwi. Setiap tahunnya pasti ada saja gerakan-gerakan atas nama ideologi tertentu yang melakukan aksi sebagai ujud propaganda. Berita paling belakangan misalnya, aparat menangkap anggota gerakan separatis Papua.

Agama juga kadang dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk hal yang serupa. NII misalnya. Gerakan yang mencoba mengganti corak Indonesia dengan Islam ini, kerap muncul secara sporadis di beberapa daerah.

Menurut Sukanto, mantan aktivis NII, generasi muda menjadi sasaran prioritas NII dalam proses rekruitmen. Hal itu dikarenakan mereka masih mudah dipengaruhi dan kurang paham akan sejarah NKRI sehingga mudah terhasut dan terhipnotis terhadap paham dan ideologi NII yang sebetulnya menyimpang.

“Biasanya, orang yang direkrut adalah pelajar atau mahasiswa yang masih labil dan kurang paham akan sejarah bangsa. Selain itu, mereka berasal bukan dari keluarga TNI atau kepolisian” Ungkap Sukanto.
Menarikya lagi, para anggota NII ini pandai dalam hal kamuflase. Misalnya proses indoktrinasi dilakukan di tempat-tempat yang disukai anak-anak muda seperti mall, cafe dan lokasi “nongkrong” lainnya. Dan tidak ketinggalan para pencuci otak ini pun berdandan semirip anak muda jaman sekarang.

Saat proses doktrinasi, biasanya menggunakan lokasi-lokasi yang disenangi anak muda, seperti mal, warung makan dan tempat-tempat nongkrong lainnya. Orang yang merekrut pun juga berpakaian gaul seperti halnya remaja. Ini yang menyebabkan tidak mudah terendus,” ujar mantan aktivis NII tersebut.
Cara-cara seperti inilah yang membuat gerakan NII sangat sulit diendus. Di samping gerakannya begitu sporadis, pola-pola yang digunakannya pun seperti bunglon yang pandai dalam meniru situasi dan kondisi sekitar. [Mh]


Sumber: Lazuardi Birru