Paska meletusnya reformasi 1998,
setidaknya ada dua cita-cita yang diimani kaum muslim Indonesia. Yang
pertama beberapa umat Islam mengidealkan diberlakukannya formalisasi,
ideologisasi, dan syari’atisasi Islam di Indonesia. Sementara sebagian
umat Islam yang lain memahami bahwa kejayaan Islam justru terjadi ketika
agama yang dibawa Muhammad SAW ini berkembang subur secara kultural.
Tokoh yang memegang posisi kedua bisa
disebutkan diantaranya seperti Gus Dur. Bagi Gus Dur formalisasi Islam
bukanlah tujuan yang tepat bagi muslim Indonesia. Mengingat Indonesia
adalah negara yang terdiri berbagai macam keberagaman dari dimensi
sosial, agama, budaya dan bahasa. Gus Dur sendiri sangat mendorong
gerakan perjuangan Islam pada arah kultural. Artinya kulturalisasi
Islam-lah yang harus diupayakan daripada formalisasi Islam.
Ketidaksepakatan Gus Dur dengan
formalisasi Islam tampak, misalnya terhadap tafsiran ayat Al Qur’an yang
berbunyi “udhkuluu fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan
secara literal oleh para pendukung Islam formalis. Jika kelompok Islam
formalis yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur
menafsirkan kata tersebut dengan “perdamaian”.
Menurut Gus Dur, konsekuensi dari kedua
penafsiran itu punya implikasi luas. Mereka yang terbiasa dengan
formalisasi, akan terikat kepada upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem
Islami” secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat.
Akibatnya, pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara non-Muslim
menjadi warga negara kelas dua.
Untuk menjadi Muslim yang baik, menurut
Gus Dur, seorang Muslim kiranya perlu menerima prinsip-prinsip keimanan,
menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang
memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar
ketika menghadapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem
Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk
diberi predikat sebagai muslim yang taat. [Mh]
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar