Laju sejarah tak setenang aliran air di
kanal-kanal Venesia. Kontradiksi, perdebatan, pertentangan, peperangan
dan perbedaan riuh meramaikan denyut sejarah. Bahkan tidak jarang
rekonsiliasi mandul ketika mencoba mendamaikan segala bentuk kontradiksi
dan perbedaan. Salah satu contoh bisa ditilik dari proses berdirinya
negara kita, Indonesia. Pancasila dan UUD 1945 yang kini dijadikan dasar
konstitusi negara tidaklah muncul secara tiba-tiba. Ada proses sejarah
yang melatarbelakanginya berupa tarik-ulur kekuatan-kekuatan yang ada
pada waktu itu. Namun meskipun kata mufakat sudah sedemikian bulat,
Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara, rekonsiliasi masih
menyisakan luka. Meskipun lirih jeritnya, luka-luka itu akan terus
membayangi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Fenomena seperti fundamentalisme,
radikalisme dan terorisme adalah representasi kontemporer dari luka-luka
sejarah yang masih menganga tersebut. Yang terluka di sini adalah
sebagian umat Islam. Begitu banyak ekspresi ketidakpuasan terhadap
negara yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu. Sebut saja di
antaranya aksi-aksi yang dikomandoi Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Ibnu
Hajar, Daud Beureueh hingga Imam Samudra dan Abu Bakar Ba’asyir.
Menurut Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dan
Pengamat Sosial Keagamaan Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan fenomena
semacam ini belum pernah dikoreksi oleh orang Islam. Bahkan dia
menyimpulkan bahwa pemahaman-pemahaman keislaman yang radikal masih
memikat kalangan muslim di Tanah Air.
Bias sinar radikalisme Islam di Indonesia
masih rekah. Hal ini karena reinterpretasi teks-teks suci terkunci
rapat dalam keranda. ”Karena di dalam mindset orang Islam
penafsiran baru bukan hanya tidak diperlukan tetapi tidak diperbolehkan.
Itu salah, karena penafsiran sudah selesai. Jadi orang Islam bias.
Sesungguhnya yang disebut dengan ajaran Islam yang mutlak itu yang mana.
Apakah yang ada di Alquran dan Sunnah atau yang ada di dalam
kitab-kitab yang ditulis para ulama sebagai tafsir atas Alquran dan
Sunnah. Ini adalah tafsir, namun dianggap mutlak sebagaimana yang
ditafsirkan,” kata Mulkhan.
Hal-hal semacam itu, lanjut dia, adalah mindset
umum di kalangan umat Islam dari elite sampai lapisan bawah. Berikut
percakapan Lazuardi Birru dengan professor tamu di Institute of Defence
and Strategic Studies (IDSS), Nanyang Technological University of
Singapura.
Bagaimana pendapat Anda soal terorisme yang berbasis agama, terutama yang membawa unsur-unsur Islam?
Saya melihat ini adalah pengalaman
politik yang belum pernah terjadi sepanjang kemerdekaan. Bila dulu
gerakan Islam atau orang Islam melawan penjajah. Itu jelas bahwa
penjajah adalah kafir menurut mereka. Lalu pada masa kemerdekaan, orang
Islam bercita-cita untuk menyusun sistem sosial-politik yang berbasis
Islam. Singkat kata, mungkin gagal. Misalnya pada Piagam Jakarta
kemudian menjadi Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya memasuki sistem
politik modern yang di dalam kosa kata Islam tidak ada. Tetapi karena
kekuatan sistem ini, orang Islam terpaksa mengikuti. Tetapi kemudian ada
penyimpangan, muncul orang-orang seperti Kartosuwiryo dan Kahar
Muzakkar. Sayangnya, fenomena ini belum pernah dikoreksi oleh orang
Islam. Artinya tidak ada yang menyatakan bahwa dari segi penafsiran
ajaran Islam hal itu tidak benar.
Atau karena fenomena tersebut masuk wilayah politik?
Bukan karena itu. Sebab pada dasarnya
pemahaman-pemahaman keislaman yang radikal diterima. Singkat kata,
pemberontakan atau penyempalan itu tidak berfungsi dengan baik atau
kalah. Lalu memasuki Orde Baru lebih represif lagi. Kita memasuki
situasi yang belum pernah dialami oleh orang Islam di Indonesia. Di saat
yang sama perkembangan peradaban kita sampai pada sistem begitu terbuka
dan informasi sangat masif. Misalnya segala sesuatu yang dilakukan
Amerika bisa dibaca oleh orang Indonesia di dalam struktur atau mindset
yang lama. Kemudian pada saat itu orang Islam diberikan ruang untuk
mengekspresikan sikapnya. Pada saat yang sama pendidikan Islam dan
dakwah secara tidak langsung berkembang sedemikian masif menggunakan
bahasa agama untuk menggerakkan masyarakat di dalam partisipasi
pembangunan. Ini tidak ada di dunia Islam lain. Indonesia luar biasa ada
pendidikan formal mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi di semua
lapisan. Di masyarakat pun informasi masif berlangsung selama 24 jam.
Misalnya selain TV dan radio ada pengajian subuh, ba’da subuh, qobla
dzuhur, ba’da dzuhur, bahkan hingga isya’. Fenomena ini berlangsung day to day.
Bukankah itu adalah fenomena baru, bukan pada masa Orde Baru?
Tidak. Sebenarnya hal itu sudah lama.
Gerakan pembaharuan lama mengembangkan hal itu. Lalu meledak menjadi
masif sesudah Orde Baru menggunakan bahasa agama untuk menggerakkan
pembangunan. Seperti program KB yang pada mulanya ditolak. Salah satu
cara untuk mengikis penolakannya berbasis agama, salah satu cara untuk
meyakinkan orang Islam dibentuklah Majelis Ulama. Sehingga kemudian ada
safari tarawih. Maka kalau boleh kita katakan sampailah orang Islam pada
posisi literasi yang cukup tinggi.
Kalau anda membaca media era 60-an, orang
yang melek Islam tidaklah seberapa. Pengajian mungkin hanya ada pada
waktu maulid, itu juga untuk satu kecamatan. Ketika dalam posisi
literasi yang bisa dikatakan cukup ideal, lalu muncul pertanyaan; “saya
harus menjadi muslim yang baik”. Muncullah persoalan yang dihadapi
ketika itu, alam yang terbuka dan pilihan yang sedemikian banyak. Coba
saja bagaimana orang Islam membaca anak-anak muda perempuan, pasti
dikatakan sudah menjauhi Islam. Jadi harus dilakukan suatu perubahan.
Sekarang kita lihat, orang-orang yang hendak mengubah tersebut memakai cara-cara seperti bom?
Lalu sampailah kita pada hal semacam itu.
Karena memang tidak ada kompromi. Ajaran yang diterima dari
kitab-kitab, buku, guru dan da’i tidak ada kompromi. Sementara tafsir
dan kitab baru tidak ada. Jadi para muslim lebih banyak merujuk pada
kitab-kitab yang disusun pada masa lalu. Sehingga kemudian pilihannya
hanya membuat tafsir baru yang dituduh setengah murtad atau menjadi
radikal. Jika memilih radikal namun tidak melakukan kekerasan, imannya
dianggap lemah sebagaimana dijelaskan hadis. Sehingga kemudian seluruh
sistem di luar Islam adalah toghut atau setan semua. Maka muncullah
radikalisme.
Ada institusi pendidikan, kira-kira ada tidak peran mereka dalam meredam radikalisme?
Tidak ada. Beberapa penelitian
menunjukkan hal itu. Misalnya penilitian yang dilakukan Lakib, UIN
Syarif Hidayatullah dan bersamaan dengan itu saya juga melakukan
penelitian yang hasilnya sama. Jadi dakwah dan pendidikan tidak
memberikan guide tentang bagaimana umat Islam menghadapi
situasi baru yang di dalam kitab-kitab lama itu tidak ada. Kecuali hal
seperti itu harus ditolak. Sesungguhnya bukan berarti kita harus
menghakimi Ba’asyir atau tidak. Orang seperti itu adalah cermin
bagaimana dia memahami agama Islam secara harfiah dan menghadapi dunia
baru yang tidak ada dalam literatur-literatur klasik.
Mereka berasal dari pesantren-pesantren. Apakah perlu ada pembaharuan di pesantren?
Tidak hanya pesantren tetapi semuanya. Jadi unit-unit kecil seperti masjid-masjid dan pengajian-pengajian. Sebab di dalam mindset orang
Islam penafsiran baru bukan hanya tidak diperlukan tetapi tidak
diperbolehkan. Itu salah, karena penafsiran sudah selesai. Jadi orang
Islam bias. Sesungguhnya yang disebut dengan ajaran Islam yang mutlak
itu yang mana. Apakah yang ada di Alquran dan sunnah atau yang ada di
dalam kitab-kitab yang ditulis para ulama sebagai tafsir atas Alquran
dan sunnah. Ini adalah tafsir, namun dianggap mutlak sebagaimana yang
ditafsirkan. Hal-hal semacam itu adalah mindset umum di kalangan umat Islam, dari elite sampai lapisan bawah.
Adakalanya mereka sudah
melakukan ijtihad atau penafsiran baru. Seperti ayat dalam surat Al
Baqoroh yang mengatakan “Bunuhlah mereka di mana pun berada”. Penafsiran
itu berimplikasi pada fatwa Osama bin Laden?
Saya kira itu bukan tafsir baru,
melainkan tafsir lama. Sejak dahulu sudah ada. Justru yang menafsirkan
secara baru di alam yang terbuka seperti sekarang ini belum ada. Kalau
seperti itu berarti orang Islam tidak siap hidup berdampingan dengan
orang lain yang berbeda keyakinan. Padahal Alquran sendiri mengakui dan
melestarikan itu. Orang terkadang salah paham, yang saya maksud dengan
melestarikan adalah bahwa Alquran itu abadi dan menyebut golongan yang
berbeda-beda paham tersebut. Jadi itu berarti “melestarikan”.
Bagaimana caranya agar kesalehan meningkat, sifat manusiawi juga terangkat?
Mesti harus dibaca ulang. Apa
sesungguhnya fungsi ajaran Islam. Alquran sendiri juga mengakui bahwa
tidak semua orang bisa menerima Alquran. Jadi mestinya kita juga seperti
Alquran itu. Maka sering saya katakan, kadang-kadang kita perlu juga
menjadi Jabariyyah. Artinya jangan-jangan orang yang kita dakwahi dengan
cara halus dan tetap tidak mau, memang pada dasarnya atau sudah
takdirnya seperti itu. Jadi kalau kita paksakan justru kita melawan
Tuhan. Mungkin dengan itu kita bisa menjadi lembah manah, seperti dalam
istilah orang Jawa. Menjadi lebih terbuka. Kemudian dengan itu kita bisa
menunjukkan bagaimana baiknya orang Islam. Kalau kemudian kita sudah
bersikap baik, namun tetap tidak mau, mungkin takdirnya seperti itu.
*****
Semenjak peristiwa Black September yang
menerpa negara adidaya Amerika, Islam menjadi soroton utama mata dunia.
Rangkaian-rangkaian teror berikutnya yang mengatasnamakan jihad semakin
memburamkan wajah Islam saja. Tak terkecuali di Indonesia. Kondisi dalam
negeri sendiri semakin diperparah tatkala bom meledak di beberapa kota.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah guna
mengantisipasi serangan sporadis terorisme. Misalnya dengan mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan pembentukan Detasemen Khusus 88
atau Densus 88. Hasil kerja pemerintah patut diapresiasi. Bahkan banyak
pengamat terorisme, Sydney Jones misalnya, mengacungi jempol pada
Indonesia terkait upaya pemberantasan terorisme.
Namun bagi Munir Mulkhan mengandalkan upaya pemerintah saja tidaklah cukup jika aspek pemahaman dan mindset keislaman tidak tersentuh sama sekali. “Itu hanya dari segi hukum. Tapi kalau mindset
dan ideologinya tidak berubah bagaimana. Mereka-mereka yang ditangkap
merasa lebih hebat, merasa memperoleh pahala yang lebih tinggi karena
jihadnya mendapatkan tantangan. Jadi sepanjang mindset-nya belum
berubah, tidak akan menghasilkan apa-apa,” ujar dia.
Guru besar UIN Sunan Kalijaga ini juga
mengajak seluruh komponen sipil untuk membaca kembali tradisi Islam
dalam perspektif kekinian. Baginya reinterpretasi Islam adalah harga
mati jika tidak ingin agama yang dibawa Muhammad SAW ini memfosil di
museum sejarah.
Jadi kira-kira ada tidak upaya untuk mengurangi radikalisme?
Menurut pendapat saya memang perlu
penafsiran ulang atau lebih halusnya Alquran perlu dibaca kembali dalam
perspektif zaman sekarang. Mungkin perlu penelitian, apakah dengan sikap
yang keras, dalam arti fisik, orang yang mengagumi Islam semakin banyak
atau sebaliknya. Mungkin perlu penelitian-penelitian semacam itu.
Misalnya jika dengan sikap keras seperti itu tidak menambah jumlah orang
yang mengagumi Islam, maka hal seperti itu perlu dikaji ulang.
Suatu ketika saya pernah diminta untuk
menjadi narasumber tentang bagaimana pendidikan agama berbasis kearifan
lokal. Lalu saya jelaskan bagaimana Nabi bersikap pada orang yang hendak
membunuhnya. Jadi tampaknya perlu semacam sejarah aksi kemanusian
Muhammad SAW. Sebab selama ini yang banyak didakwahkan adalah bagaimana
Nabi berperang. Saya sering mengutip kisah Nabi tentang bagaimana beliau
memperlakukan musuhnya yang ditawan. Menurut saya kisah itu sangat
istimewa. Sesudah perang khandaq seorang musuh, Ibnu Nutsal,
tertangkap. Sahabat tidak tahu Ibnu Nutsal, tetapi Nabi mengenalnya
sebagai tokoh sentral di belakang layar. Tertangkap lalu kemudian
diperlakukan istimewa oleh Nabi. Perlakuan istimewanya antara lain Nabi
sendiri yang memberikan sarapan pagi dengan susu onta dan itu dari onta
Nabi sendiri. Setiap kali Nabi datang selalu dihina. Setelah sepuluh
hari, Nabi melepasnya tanpa syarat. Secara otomatis Ibnu Nutsal bingung.
Lalu ia berpikir dan akhirnya bersumpah dengan mengatakan “Kalau selama
ini ada orang yang paling kubenci di dunia tidak ada lain selain
Muhammad. Tapi sekarang ini tidak orang di dunia yang paling aku cintai
kecuali Engkau”.
Menurut tafsir saya, mungkin Ibnu Nutsal
ini merasa bahwa Nabi bukan seperti umumnya manusia, bahkan
jangan-jangan bukan manusia. Sebab Ibnu Nutsal merasa bahwa ia adalah
musuh yang selama ini mengganggu dan bahkan hendak membunuh Nabi, sudah
ditangkap kemudian masih menghina, tiba-tiba dilepaskan tanpa syarat.
Kisah-kisah semacam ini kenapa tidak sering ditampilkan. Sekarang IAIN
atau UIN memiliki pesantren-pesantren, jadi saya kira mempunyai tanggung
jawab untuk memberi suasana baru. Kalau dahulu era 60-an, sekelompok
orang Islam bisa hidup sendiri tanpa berkomunikasi. Untuk sekarang sudah
tidak bisa. Sehingga orang Islam harus siap hidup bersama-sama dengan
orang lain yang berbeda, bahkan di antara orang Islam sendiri juga
berbeda-beda.
Menurut Anda untuk mengubah
orang agar tidak menjadi radikal, apakah perlu melibatkan pemerintah
atau cukup masyarakat sipil saja atau keduanya harus berkolaborasi?
Saya kira sesuai fungsi masing-masing. Misalnya negara lewat lembaga-lembaga kenegaraan, sesuai trias politica,
lembaga yudikatif menegakkan hukum yang berlaku, legislatif menyusun
perundang-undangan sehingga ruang kemanusiaan semakin terbuka dan pada
saat yang sama segala sesuatu yang berhubungan dengan tindak kekerasan
semakin diperkecil. Untuk eksekutif harus melayani agar semua orang bisa
memenuhi hajat hidupnya. Sementara masyarakat sipil juga harus
mengembangkan tata kehidupan di komunitasnya. Masyarakat mungkin perlu
menjawab, apakah isolasi itu menjadikan Islam semakin dikagumi atau
sebaliknya. Sebab dakwah dan pendidikan agama kita sangat isolatif.
Seolah-olah kita bisa memelihara iman kita, Islam kita, kalau tidak
berhubungan dengan dunia luar. Padahal yang seperti itu tidak bisa dan
bahkan menurut saya bertentangan dengan sunnah rasul. Sebab Nabi
Muhammad pun berada di tengah-tengah kaum Jahiliyyah. Musa dan Isa pun
demikian. Hal-hal seperti itu memang memerlukan ijtihad atau penafsiran
baru.
Kira-kira di antara beberapa
kementerian, siapa yang berhak menangani kasus semacam ini? Karena
selama ini yang tampak berperan aktif adalah kepolisian?
Untuk polisi hanya dari segi keamanannya.
Namun kalau dari segi keagamaannya, sesungguhnya masyarakat sipil Islam
sendiri yang memiliki wewenang. Misalnya Majelis Ulama Indonesia, NU,
Muhammadiyah, Persis dan lainnya. Jadi memang kita harus siap hidup
bersama-sama dalam masyarakat yang plural, bukan hanya plural dari segi
keagamaan tetapi dalam satu agama pun juga plural. Ada NU, Muhammadiyah
dan bahkan di NU ada macam-macam paham. Maka harus menerima hal itu dan
mengakui adanya perbedaan sambil berdialog sehingga kita menjadi
masyrakat yang cerdas.
Pemerintah sudah menerbitkan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 terkait pemberantasan tindak pidana
terorisme. Apakah itu sudah cukup untuk menanggulangi terorisme?
Itu hanya dari segi hukum. Tapi kalau mindset
dan ideologinya tidak berubah bagaimana. Mereka yang ditangkap merasa
lebih hebat dan memperoleh pahala yang lebih tinggi karena jihadnya
mendapatkan tantangan. Jadi sepanjang mindset-nya belum
berubah, tidak akan menghasilkan apa-apa. Tadi saya katakan bahwa
hubungan orang Islam dengan NKRI belum selesai. Saya kira Ba’asyir
dengan jujur menyatakan “bagaimana saya menerima hukum yang merupakan
hukum thoghut”. Maka bagi Ba’asyir taat kepada hukum justru
melanggar. Jadi pandangannya yang harus diubah. Islam tidak hanya secara
formal kemudian muncul Islam.
Liddle membagi sikap dan pemahaman Islam
menjadi dua; pertama skriptual atau simbolik yang secara sengaja disusun
dari Alquran dan sunnah, yang kedua substantif yang menekankan
nilai-nilainya sehingga bisa meletakkan sepanjang sistem mempromosikan
ketertiban sosial, kenyamanan, keadilan dan kesejahteraan maka sistem
semacam itu adalah Islam. Misalnya suatu sistem sosial yang menghukum
yang selingkuh, itu adalah Islam. Tidak usah diberi label Islam. Walau
mungkin ada perbedaan-perbedaan mengenai bagaimana tuduhan pada yang
berselingkuh diterima. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah penafsiran
atas teks Alquran dan sunnah. Jadi bisa didialogkan. Dengan itu kita
bisa berharap suatu saat nanti tercipta kondisi yang kondusif. Namun
sayang sampai saat ini, kebanyakan dari kita menganggap bahwa yang
berhak menafsirkan Alquran dan sunnah hanyalah orang-orang yang hidup
seribu tahun lalu.
Kenyataan seperti tahanan
teroris ketika sudah dilepaskan namun belum sembuh atau masih radikal.
Perlu tidak perubahan kebijakan dalam lembaga pemasyarakatan misal
mendatangkan ustadz.
Kalau secara gampang, yang harus diubah
ustadznya terlebih dahulu. Sehingga sudah ditangkap, ustadznya yang
diperintahkan menasehati. Sebab omongan orang lain tidak diterima.
Bahkan justru ada resistensi. Itu cara yang sederhana, walaupun untuk
mempraktekkan yang sederhana tersebut sulit sekali. Mengapa seperti itu,
karena mindset-nya belum berubah. Justru karena ditahanan,
mereka merasa lebih hebat, lebih dekat dengan Tuhan. Jadi sekali lagi
cara pandangnya yang mesti diubah, tentang bagaimana caranya kita harus
cari bersama. Misalnya pada tahun 2005 saya mengusulkan agar
pemikiran-pemkiran baru yang relatif lebih santun diterjemahkan ke
bahasa Arab. Sebab muslim Indonesia kalau ada tulisan yang menggunakan
bahasa Arab dianggap sebagai Islam dan bahkan lebih Islam. Bahkan jika
perlu publisher-nya Baghdad. Jadi ini semacam pendekatan budaya. Atau
misalnya disusun teks-teks khutbah yang menekankan kisah-kisah
kemanusian Muhammad dan para sahabat. Lalu teks-teks tersebut
menggunakan bahasa Arab dan ada terjemahnya supaya bagi mereka yang
tidak bisa bahasa Arab bisa mengakses. Meskipun terjemahan tetapi karena
diterjemahkan dari bahasa Arab, orang akan menjadi yakin. Artinya
supaya pemikiran-pemikiran baru dianggap dari salafus salih.
Apabila melihat fenomena
radikalisme di Indonesia, ironis rasanya. Ini karena radikalisme justru
muncul dari kondisi lingkungan yang tampaknya kurang mendukung untuk
ideologi radikal. Misalnya Abu Bakar Ba’asyir yang dari Solo. Padahal
Solo sebuah demografi yang sangat plural, keyakinan masyarakatnya
condong ke Jawa/abangan. Kenapa terjadi seperti ini?
Justru karena kondisi demografi seperti
itu radikalisme muncul. Solo adalah kota industri. Buruh dan hotel
misalnya lebih banyak di sana daripada di Jogja. Jadi kontradiksi
kehidupan ada di sana. Sebab menu kehidupan tersedia sebanyak mungkin
dan saling bertentangan. Sehingga muncul pertanyaan how to be a good moslem.
Jadi bagaimana menjadi seorang muslim yang baik di tengah-tengah
situasi kehidupan seperti ini. Maka bukan hal aneh jika radikalisme
muncul dan justru karena hal seperti itu.
Kalau tidak salah Anda menulis N11. Bisa diinformasikan apa tesisnya?
Sebelumnya saya melakukan penelitian
terkait bagaimana respon aktivis Islam terhadap sistem demokrasi. Lalu
kita temukan satu kenyataan bahwa aktivis-aktivis politik Islam ini
terlibat dalam demokrasi sebagai mediator saja untuk kembali ke
romantisme masa lalu, dalam segi umumnya syariat Islam dan segi
khususnya daulah Islamiyah. Jadi tesis utamanya deradikalisasi hanya
mungkin jika ada reinterpretasi kembali.
Anehnya ada gerakan yang mencoba mendirikan kembali kekhalifahan?
Ya kalau kita khusnudzon, hal
seperti itu tujuannya untuk menampilkan Islam yang anggun. Cuma mungkin
kita perlu bertanya, rasul itu khalifah atau bukan. Rasul bukan
khalifah, karena khalifah sejak Abu Bakar. Di UGM saya juga pernah
mengatakan bahwa Muhammad bukan pemimpin negara, kemudian ada yang
protes. Saya lalu menjelaskan, kalau Muhammad adalah presiden sebuah
negara, maka ia terbatas di negaranya dan tidak mempunyai yuridiksi ke
negara lain. Kalau Muhammad adalah pemimpin, itu benar. Tapi kalau ada
ditambah negara, saya keberatan. Lagi pula konsep nation-state jauh setelah era nabi. Jadi harus dicermati juga reduksionis gagasan yang sering terjadi.
Selama ini Anda sudah banyak
menulis karya-karya yang berkaitan dengan spiritual-tasawuf. Kira-kira
dimensi tersebut bisa atau tidak menjadi solusi bagi radikalisme?
Menurut saya bisa. Tapi bukan tasawuf
yang bertarekat. Sebab dalam tarekat bersifat ekslusif dalam artian
membuat orang semakin terperangkap pada kelompok-kelompok. Jadi maksud
saya adalah tasawuf dalam pengertian maqasid syari’ah. Seperti
saya tadi mengatakan bahwa terkadang kita perlu menjadi Jabariyyah, itu
sesungguhnya aspek-aspek tasawuf. Tradisi tasawuf sangat kaya dengan
dimensi tolerasi dan kemanusian. Memang sufi juga ada yang kebablasan,
kalau sudah masuk ke hakekat merasa tidak perlu syari’at. Jadi yang saya
maksud adalah sufi yang sekedar untuk mencairkan situasi sehingga bisa
berorientasi pada hakekat atau substansi. Sementara mungkin banyak yang
menganggap tasawuf sebagai sebuah penyimpangan dari syari’at. Itu yang
membuat dimensi ini tidak mainstream. Tapi kalau kita lihat penyebaran
Islam di berbagai tempat, yang paling berjasa adalah para sufi
(Emhajid).
Biodata:
Nama Lengkap : Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, MA
Tempat, Tanggal Lahir : Jember, 1946
Pekerjaan : Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dan Pengamat Sosial Keagamaan
Pendidikan : S3 Universitas Gajah Mada Yogyakarta
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar