Rabu, 12 Desember 2012

Adrianus Meliala: Pendekatan Hukum Tak Cukup Tangkal Terorisme



Tak ada negara yang hukumnya ringan lalu marak terorisme, sementara negara yang hukumnya berat tak ada terorisme. Ukuran berat dan ringan hukuman di suatu negara tak mempengaruhi konteks terorisme. Hal itu dikemukakan Adrianus Meliala, Kriminolog Universitas Indonesia saat berbincang dengan Lazuardi Birru di Fab Café Gramedia Grand Indonesia, Jakarta.

Menurut Adrianus berdasarkan pengalaman berbagai negara bahwa hukum tidak mampu menangkal orang untuk tidak berbuat terorisme. Misalnya, di Pakistan pelaku teror bom diancam hukuman langsung mati. Namun hukuman tersebut tidak mampu membuat masyarakat di sana berhenti menjadi teroris. Karena itu, pendekatan hukum saja tidak cukup menangkal terorisme. Berikut penuturan lengkapnya.

Bagaimana Anda melihat fenomena terorisme di Indonesia?
Fenomena terorisme di Tanah Air berbeda dengan terorisme di negara lain. Di Indonesia terorisme lebih bernuansa penggulingan kekuasaan, konflik antarsuku, antaretnis, atau upaya negara untuk mengemilinasi orang yang berseberangan paham ideologi dengan pemerintah. Di Indonesia terorisme berlatar belakang atau berbasis keagamaan. Jadi berbeda antara terorisme agama dan terorisme yang berbasis keagamaan. Terorisme berbasis keagamaan lebih memakai agama sebagai topeng dan kuda tunggang untuk mencapai tujuannya. Tujuannya memang politis tapi memakai alat agama, ini menjadi berbeda dengan agama itu sendiri.
Dalam konteks terorisme berbasis agama berawal adanya situasi dimana anak muda memiliki proses sosialisasi dengan keluarga, lingkungan, dan pendidikan tentang Islam versi keras. Karena hal itu dilakukan bertahun-tahun dan ia tidak keluar dari ajaran itu maka Islam versi keras melekat ke dia. Hanya dibutuhkan faktor pencetus untuk menjadikan anak muda tersebut menjadi radikal beneran. Misalnya, menonton ketidakadilan dan punya patron yang memiliki pemahaman jihad yang salah. Selanjutnya jika mereka sudah mempunyai akses terhadap senjata dan bom. Faktor-faktor tersebut menjadi proses radikalisasi yang langsung mengarah pada terorisme.

Sekarang strategi pemerintah lebih mengejar dan menangkap anak muda yang sudah radikal dan mempunyai akses senjata  dan bahan peledak serta memiliki patron salah. Karena itu selama sepuluh tahun masa berperang melawan terorisme aparat sudah menangkap 560 orang terkait terorisme. Menurut saya pencegahan tahap awal bukan hanya pekerjaan polisi melainkan tugas bersama. Kerja lebih berat di tahap awal menjadi tanggung jawab Kemenag, Kemendiknas, Kemensos, atau LSM. Mereka yang bertanggung jawab dalam rangka mencegah anak muda menjadi radikal dan teroris.

Apakah terorisme di Indonesia berbasis agama atau terorisme agama?
Bukan berlatar belakang agama. Bagaimana mungkin negara muslim tidak bereaksi ketika ada sekelompok orang yang mengaku dirinya Islam dan memakai isu-isu Islam lalu melakukan tindakan melanggar hukum. Hal itu justru mencerminkan ada yang berbeda antara masyarakat muslim yang mayoritas dengan kelompok kecil yang memakai Islam sebagai alat. Sekarang kita bicara anak muda yang rentan, masih mencari jatidiri dan mudah dicekoki Islam versi keras yang bisa mengarah kepada terorisme. Fokus strategi harus kearah sana menyelamatkan anak muda agar tak radikal.

Belakangan ini masyarakat makin percaya diri berbuat anarkis bahkan terorisme, apakah ini karena hukum kita lemah?
Soal hukum berdasarkan pengalaman dari mancanegara itu non isu. Artinya tidak ada suatu negara yang hukumnya ringan maka masyarakatnya marak terorisme, sedangkan negara yang hukumnya berat lalu tidak ada terorisme. Berat atau ringannya negara dari segi hukum tidak mempengaruhi konteks terorisme.

Menurut Anda efektif atau tidak bila hukum diperberat?
Berdasarkan pengalaman berbagai negara bahwa hukum tidak mampu menangkal orang untuk tidak berbuat terorisme. Misalnya, di Pakistan ancaman hukuman bagi pelaku bom adalah langsung hukuman mati, namun itu tidak mampu membuat orang berhenti menjadi teroris. Sekarang ada harapan dari pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Antiterorisme dengan meningkatkan ancaman hukumannya. Saya yakin itu tidak mampu menekan terorisme karena pelaku terorisme tidak mungkin pilih-pilih dan membaca UU dulu sebelum beraksi. Menurut saya pendekatan hukum saja tidak cukup menangkal terorisme.

Lalu apa yang harus dilakukan?
Bagi-bagi tugas saja, mereka yang sudah radikal menjadi tugas polisi, sedangkan mereka yang belum radikal menjadi tugas semua elemen masyarakat. Untuk yang belum radikal caranya bukan dengan pendekatan aparat keamanan dan hukum. Semua elemen dengan cara masing-maisng agar mereka tak jadi radikal.

Apakah hal itu karena pendidikan keluarga lemah?
Tidak lepas dari kecenderungan pemahaman agama yang berkembang di Indonesia. Ini tak hanya terjadi di muslim tapi juga nonmuslim. Keluarga dan sekolah makin rajin mempraktikkan agamanya namun masalahnya ada praktik agama yang benar dan tidak benar, apalagi ada penafsiran yang multi persepsi. Untungnya sebagian besar masih memakai persepsi masih aman seperti islam plural, moderat, dan toleran tapi ada saja sedikit islam keras.

*******
Terorisme tak mudah untuk dibasmi. Pemberantasan tindak kejahatan luar biasa ini masih belum optimal karena sel terorisme belum dapat diamputasi. Deradikalisasi lebih banyak pada seminar dan ceramah, sementara langkah nyata belum ada. Adrianus berpendapat pemerintah boleh melibatkan TNI dalam masalah terorisme namun lebih baik pada tahap pencegahan bukan pemberantasan. Keterlibatan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah juga penting.

Menurut Anda pencegahan terorisme yang dilakukan pemerintah sudah maksimal?
Jika sudah maksimal maka tidak berada pada masalah seperti ini. Yang terjadi justru ketika orang bicara deradikalisasi lebih banyak pidato, seminar dan makalah tapi belum ada langkah nyata. Namun meski agak terlambat pemerintah mengubah BKPT menjadi BNPT. Walaupun sudah menjadi BNPT tapi proses perkembangannya amat lambat misalnya sekarang belum ada personil, anggaran, SOP, dan belum jelas apakah mau menjadi regulator, fasilitator atau operator. Mereka masih ribet dengan urusan sendiri dan belum mulai menghandle masalah.

Selama ini bagaimana peran BNPT?
Belum ada karena masih baru dibentuk. Namun tidak berarti pemerintah belum serius mengatasi terorisme. Sejak Bom Bali I hingga sekarang, pemerintah lebih sibuk mengurusi mereka yang aktif dan tinggal mencari momen serta isu untuk melakukan aksi terorisme. Hal ini terbukti karena polisi berhasil banyak menangkap dan menewaskan pelaku terorisme. Namun setelah kelompok pertama habis (Nasir Abas), kita bertemu dengan kelompok ketiga yang dulu masih kecil tapi sekarang sudah besar. Mereka bukan lagi belajar dari Dr Azhari dan Ali Imron atau lainnya melainkan belajar dari internet. Sekarang kita menghadapi perang lain bukan lagi perang dengan baku tembak tapi perang bersifat massif.

Langkah preventif pemerintah agar cepat berantas terorisme?
Negara kita berada pada negara bebas, kita menyaring berita dan informasi salah. Bahkan sekarang ada kebebasan informs publik. Kita sudah memiliki rambu-rambu untuk bebas bergerak atau pindah-pindah. Permasalahannya dibalik kekuatan masyarakat demokratis terdapat kelemahan yaitu dengan bebas bergerak maka tidak terlacak. Nampaknya ini yang dipakai dan dimanfaatkan kelompok teroris. Sebab di era demokrasi negara mengendurkan peranannya. Yang memanfaatkan peran negara tersebut bukan hanya teroris melainkan juga kelompok narkotika, pencuci uang, dan penyelundupan/perdaganagan manusia.

Apakah pemerintah perlu menerapkan kembali tindakan represif?
Dengan situasi seperti itu lalu ada permintaan agar negara mulai menancapkan kembali kakinya. Namun jangan lupa kita yang menolak kehadiran intel dan komkabtib masa sekarang kita minta mereka hadir lagi kan lucu. Negara turun lagi sejauh mana masih mencari titik temunya.

Menurut Anda lembaga negara apa yang efektif mencegah terorisme?
Saya menduga mengapa selama sepuluh tahun BKPT tidak berubah-ubah karena banyak instansi tidak mau berkotor tangan dengan isu teroris. Alhasil polisi yang memikul terlalu berat dalam menanggulangi terorisme. Padahal tugas polisi hanya mengurusi di ujung yang siap beraksi tapi karena kementerian pemerintah tidak bekerja maka polisi bekerja sendirian. Misalnya ketika Abu Dujanah tertangkap lalu polisi menyekolahkan anaknya, artinya polisi bertindak bukan hanya bertindak sebagai polisi tapi menjadi Kemendiknas dan Kemensos. Saya mengerti mengapa mereka cuci tangan karena berkotor tangan dengan isu terorisme banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

Seperti diketahui sempat beredar wacana agar TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme. Apa tanggapan Anda?
Itu penting tapi jangan dilibatkan dalam ranah represif karena jika terlibat represif akan ada beberapa soal. Pertama, dalam ranah represif polisi sudah kuat dan punya kemampuan parameter, bahkan persenjataan polisi jauh lebih baik dari tentara. Kedua, ada perbedaan ideologi dan cara bertindak, polisi menggunakan kekerasan minimal, sedangkan militer membunuh. Alhasil jika ingin membawa pelaku terorisme ke depan hukum maka militer tak cocok dilibatkan.

Keterlibatan TNI lebih baik di ranah pencegahan bukan penumpasan. Sebab TNI bisa memanfaatkan komando teritorial yang rapih di semua wilayah untuk menjadi mata telinga jika ada orang yang bergerak mencurigakan, lalu hasil investigasi TNI ditindaklanjuti polisi. Namun masalahnya teman-teman TNI tak mau di ranah pencegahan karena tak ramai, tak ada dana, dan tak disorot media massa. Padahal sebenarnya di situ kontribusi besar TNI.

Secara normatif pemerintah sudah memiliki UU Antiterorisme untuk menumpas terorisme, namun ada keinginan agar UU tersebut direvisi. Apakah memang UU itu sudah saatnya diperbaharui?
Iya sudah, UU akan diperbaharui beberapa poin terkait konteks beracaranya. Misalnya selama ini polisi boleh menahan seseorang selama 6 hari maka kedepan boleh menahan selama 30 hari. Sekarang penggunaan informasi intelejen sifatnya diperbolehkan namun kedepan itu diharuskan.

Pelaku tindak pidana terorisme sangat berbahaya, beberapa kalangan minta agar mereka tak dicampur dengan narapidana kasus lain. Apakah perlu ada Lembaga Pemasyarakatan khusus untuk mereka?
Terpidana teroris memang berbahaya, mereka dibagi berdasarkan tingkat keberbahayaan orangnya. Para pelaku teroris berbahaya maka dimasukkan pada maximum security, jadi jangan buat LP khusus teroris. Sekarang sudah ada buat menghukum mereka di Nusa Kambangan.

Menurut Anda bahaya terorisme seperti apa?
Secara teori terorisme adalah langkah awal dari kelompok non negara untuk merebut kekuasaan. Ketika kelompok masyarakat sudah punya dana dan pasukan yang cukup maka mereka tak memilih terorisme tapi lebih milih kudeta dan gerilya. Namun karena mereka masih kekurangan materi dan pendukung maka hanya mampu melakukan terorisme. Bila mereka semakin kuat maka bisa melakukan kudeta dan gerilya lalu mengambil kekuasaan.

Apakah perlu mencontoh Malaysia yang menerapkan ISA sebagai cara mencegah gerakan kelompok tersebut?
Saya kira cepat atau lambat kita akan kearah sana. Pada dasarnya kita dari segi hukum semakin keras untuk menangkal radikalisme dan terorisme.

NU dan Muhammadiyah punya potensi besar untuk membantu dalam tindakan preventif, apakah pemerintah sudah melibatkan mereka?
Sudah, mereka juga ada kemauan besar untuk ikut serta dalam deradikalisasi. Permasalahannya pelaku teror bukan berasal dari anggota mereka, artinya yang dibina mereka pada dasarnya masyarakat yang plural. Pertanyaannya mau tidak NU dan Muhammadiyah melakukan deradikalisasi kepada anggota di luar mereka agar tak menjadi radikal. Jangan sampai mereka sibuk mengurusi umatnya tapi lupa pada mereka yang potensial menjadi radikal.

Bagaimana Anda melihat metode deradikalisasi mereka?
Mereka punya cara masing-masing. Muhammadiyah kuat di bidang dakwah, sedangkan NU lebih pada hubungan kiyai dengan santri, dimana kiyai diberikan kesadaran untuk menyampaikan pesan tersebut.
*******
Menurut Adrianus lembaga pendidikan terutama pendidikan dasar jangan dirasuki cara-cara berpikir radikal. Pendidikan sekolah jangan memberikan pemahaman yang salah kepada anak didik. Misalnya larangan memberikan hormat kepada bendera saat upacara adalah tindakan mencampuradukkan pemahaman agama dengan kesadaran berbangsa. Bila ada tindakan masyarakat yang menjurus pada mengusik pilar kebangsaan maka negara harus turun tangan. Kehadiran negara penting untuk menjaga keutuhan NKRI.

Institusi pendidikan juga memiliki peran strategis dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme. Menurut Anda bagaimana peran pendidikan?
Besar sekali apalagi pendidikan dasar. Di tingkat pendidikan dasar jangan sampai disusupi cara berpikir keras seperti siswa dilarang hormat pada bendera saat upacara. Larangan itu mencampuradukan antara pemahaman agama dengan kesadaran berbangsa. Pendidikan jangan sampai memberikan pemahaman yang salah kepada peserta anak.

Apakah sudah ada indikasi sikap antikebangsaan menyusup ke pendidikan?
Kita sudah melihat indikasi kampus-kampus yang semakin menghijau bukan berarti banyak menanam pohon melainkan pemahaman agama yang diiringi dengan perilaku tidak toleran, tidak plural, tidak terbuka bahkan konservatif. Bukankah seharusnya orang yang semakin menghayati agamanya akan semakin menghormati orang lain.

Mengapa terjadi seperti itu?
Saya kira ini terkait konteks reformasi kebangsaan. Dulu soal kebangsaan menjadi hegemoni negara tapi saat ini itu dibebaskan. Alhasil ada masyarakat yang menanyakan bahkan menafikan pilar kebangsaan, bila ada indikasi yang meresahkan maka negara harus tegas. Pemerintah sudah layak turun tangan untuk meyakinkan pilar kebangsaan agar utuh dan kokoh. Daripada negara ini pecah maka negara lebih baik turun tangan lagi. Namun bentuk campur tangan negara tentu tak seperti dulu seperti membentuk BP7 dan Santiaji Pancasila dimana-mana. Sekarang bagaimana menjadikan Pancasila membumi, aplikatif dan populer.

Apa pandangan Anda tentang terorisme kedepan?
Indonesia berada pada kategori lapangan empuk untuk aksi terorisme karena generasi ketiga belum terpetakan atau terdeteksi, meski kekuatannya sudah terdeteksi, tapi orang-orangnya belum diketahui maka harus memakai kekuatan intelejen.[Akhwani]

Biodata:
Nama Lengkap                        : Prof. Dr. Adrianus Meliala, Ph.D
Tempat, Tanggal Lahir            : Jakarta, 28 September 1966
Pekerjaan                                : Ketua Departemen Kriminologi Universitas Indonesia
Pendidikan              : S3 Departemen Antropolgi & Sosiologi Universitas Queensland, Australia
Email                                       : adrianusmeliala@gmail.com

(99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)


SumberLazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar