Tak ada negara yang hukumnya ringan lalu
marak terorisme, sementara negara yang hukumnya berat tak ada terorisme.
Ukuran berat dan ringan hukuman di suatu negara tak mempengaruhi
konteks terorisme. Hal itu dikemukakan Adrianus Meliala, Kriminolog
Universitas Indonesia saat berbincang dengan Lazuardi Birru di Fab Café
Gramedia Grand Indonesia, Jakarta.
Menurut Adrianus berdasarkan pengalaman
berbagai negara bahwa hukum tidak mampu menangkal orang untuk tidak
berbuat terorisme. Misalnya, di Pakistan pelaku teror bom diancam
hukuman langsung mati. Namun hukuman tersebut tidak mampu membuat
masyarakat di sana berhenti menjadi teroris. Karena itu, pendekatan
hukum saja tidak cukup menangkal terorisme. Berikut penuturan
lengkapnya.
Bagaimana Anda melihat fenomena terorisme di Indonesia?
Fenomena terorisme di Tanah Air berbeda
dengan terorisme di negara lain. Di Indonesia terorisme lebih bernuansa
penggulingan kekuasaan, konflik antarsuku, antaretnis, atau upaya negara
untuk mengemilinasi orang yang berseberangan paham ideologi dengan
pemerintah. Di Indonesia terorisme berlatar belakang atau berbasis
keagamaan. Jadi berbeda antara terorisme agama dan terorisme yang
berbasis keagamaan. Terorisme berbasis keagamaan lebih memakai agama
sebagai topeng dan kuda tunggang untuk mencapai tujuannya. Tujuannya
memang politis tapi memakai alat agama, ini menjadi berbeda dengan agama
itu sendiri.
Dalam konteks terorisme berbasis agama
berawal adanya situasi dimana anak muda memiliki proses sosialisasi
dengan keluarga, lingkungan, dan pendidikan tentang Islam versi keras.
Karena hal itu dilakukan bertahun-tahun dan ia tidak keluar dari ajaran
itu maka Islam versi keras melekat ke dia. Hanya dibutuhkan faktor
pencetus untuk menjadikan anak muda tersebut menjadi radikal beneran.
Misalnya, menonton ketidakadilan dan punya patron yang memiliki
pemahaman jihad yang salah. Selanjutnya jika mereka sudah mempunyai
akses terhadap senjata dan bom. Faktor-faktor tersebut menjadi proses
radikalisasi yang langsung mengarah pada terorisme.
Sekarang strategi pemerintah lebih
mengejar dan menangkap anak muda yang sudah radikal dan mempunyai akses
senjata dan bahan peledak serta memiliki patron salah. Karena itu
selama sepuluh tahun masa berperang melawan terorisme aparat sudah
menangkap 560 orang terkait terorisme. Menurut saya pencegahan tahap
awal bukan hanya pekerjaan polisi melainkan tugas bersama. Kerja lebih
berat di tahap awal menjadi tanggung jawab Kemenag, Kemendiknas,
Kemensos, atau LSM. Mereka yang bertanggung jawab dalam rangka mencegah
anak muda menjadi radikal dan teroris.
Apakah terorisme di Indonesia berbasis agama atau terorisme agama?
Bukan berlatar belakang agama. Bagaimana
mungkin negara muslim tidak bereaksi ketika ada sekelompok orang yang
mengaku dirinya Islam dan memakai isu-isu Islam lalu melakukan tindakan
melanggar hukum. Hal itu justru mencerminkan ada yang berbeda antara
masyarakat muslim yang mayoritas dengan kelompok kecil yang memakai
Islam sebagai alat. Sekarang kita bicara anak muda yang rentan, masih
mencari jatidiri dan mudah dicekoki Islam versi keras yang bisa mengarah
kepada terorisme. Fokus strategi harus kearah sana menyelamatkan anak
muda agar tak radikal.
Belakangan ini masyarakat makin percaya diri berbuat anarkis bahkan terorisme, apakah ini karena hukum kita lemah?
Soal hukum berdasarkan pengalaman dari
mancanegara itu non isu. Artinya tidak ada suatu negara yang hukumnya
ringan maka masyarakatnya marak terorisme, sedangkan negara yang
hukumnya berat lalu tidak ada terorisme. Berat atau ringannya negara
dari segi hukum tidak mempengaruhi konteks terorisme.
Menurut Anda efektif atau tidak bila hukum diperberat?
Berdasarkan pengalaman berbagai negara
bahwa hukum tidak mampu menangkal orang untuk tidak berbuat terorisme.
Misalnya, di Pakistan ancaman hukuman bagi pelaku bom adalah langsung
hukuman mati, namun itu tidak mampu membuat orang berhenti menjadi
teroris. Sekarang ada harapan dari pemerintah dan DPR untuk merevisi UU
Antiterorisme dengan meningkatkan ancaman hukumannya. Saya yakin itu
tidak mampu menekan terorisme karena pelaku terorisme tidak mungkin
pilih-pilih dan membaca UU dulu sebelum beraksi. Menurut saya pendekatan
hukum saja tidak cukup menangkal terorisme.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Bagi-bagi tugas saja, mereka yang sudah
radikal menjadi tugas polisi, sedangkan mereka yang belum radikal
menjadi tugas semua elemen masyarakat. Untuk yang belum radikal caranya
bukan dengan pendekatan aparat keamanan dan hukum. Semua elemen dengan
cara masing-maisng agar mereka tak jadi radikal.
Apakah hal itu karena pendidikan keluarga lemah?
Tidak lepas dari kecenderungan pemahaman
agama yang berkembang di Indonesia. Ini tak hanya terjadi di muslim tapi
juga nonmuslim. Keluarga dan sekolah makin rajin mempraktikkan agamanya
namun masalahnya ada praktik agama yang benar dan tidak benar, apalagi
ada penafsiran yang multi persepsi. Untungnya sebagian besar masih
memakai persepsi masih aman seperti islam plural, moderat, dan toleran
tapi ada saja sedikit islam keras.
*******
Terorisme tak mudah untuk dibasmi.
Pemberantasan tindak kejahatan luar biasa ini masih belum optimal karena
sel terorisme belum dapat diamputasi. Deradikalisasi lebih banyak pada
seminar dan ceramah, sementara langkah nyata belum ada. Adrianus
berpendapat pemerintah boleh melibatkan TNI dalam masalah terorisme
namun lebih baik pada tahap pencegahan bukan pemberantasan. Keterlibatan
ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah juga penting.
Menurut Anda pencegahan terorisme yang dilakukan pemerintah sudah maksimal?
Jika sudah maksimal maka tidak berada
pada masalah seperti ini. Yang terjadi justru ketika orang bicara
deradikalisasi lebih banyak pidato, seminar dan makalah tapi belum ada
langkah nyata. Namun meski agak terlambat pemerintah mengubah BKPT
menjadi BNPT. Walaupun sudah menjadi BNPT tapi proses perkembangannya
amat lambat misalnya sekarang belum ada personil, anggaran, SOP, dan
belum jelas apakah mau menjadi regulator, fasilitator atau operator.
Mereka masih ribet dengan urusan sendiri dan belum mulai menghandle masalah.
Selama ini bagaimana peran BNPT?
Belum ada karena masih baru dibentuk.
Namun tidak berarti pemerintah belum serius mengatasi terorisme. Sejak
Bom Bali I hingga sekarang, pemerintah lebih sibuk mengurusi mereka yang
aktif dan tinggal mencari momen serta isu untuk melakukan aksi
terorisme. Hal ini terbukti karena polisi berhasil banyak menangkap dan
menewaskan pelaku terorisme. Namun setelah kelompok pertama habis (Nasir
Abas), kita bertemu dengan kelompok ketiga yang dulu masih kecil tapi
sekarang sudah besar. Mereka bukan lagi belajar dari Dr Azhari dan Ali
Imron atau lainnya melainkan belajar dari internet. Sekarang kita
menghadapi perang lain bukan lagi perang dengan baku tembak tapi perang
bersifat massif.
Langkah preventif pemerintah agar cepat berantas terorisme?
Negara kita berada pada negara bebas,
kita menyaring berita dan informasi salah. Bahkan sekarang ada kebebasan
informs publik. Kita sudah memiliki rambu-rambu untuk bebas bergerak
atau pindah-pindah. Permasalahannya dibalik kekuatan masyarakat
demokratis terdapat kelemahan yaitu dengan bebas bergerak maka tidak
terlacak. Nampaknya ini yang dipakai dan dimanfaatkan kelompok teroris.
Sebab di era demokrasi negara mengendurkan peranannya. Yang memanfaatkan
peran negara tersebut bukan hanya teroris melainkan juga kelompok
narkotika, pencuci uang, dan penyelundupan/perdaganagan manusia.
Apakah pemerintah perlu menerapkan kembali tindakan represif?
Dengan situasi seperti itu lalu ada
permintaan agar negara mulai menancapkan kembali kakinya. Namun jangan
lupa kita yang menolak kehadiran intel dan komkabtib masa sekarang kita
minta mereka hadir lagi kan lucu. Negara turun lagi sejauh mana masih
mencari titik temunya.
Menurut Anda lembaga negara apa yang efektif mencegah terorisme?
Saya menduga mengapa selama sepuluh tahun
BKPT tidak berubah-ubah karena banyak instansi tidak mau berkotor
tangan dengan isu teroris. Alhasil polisi yang memikul terlalu berat
dalam menanggulangi terorisme. Padahal tugas polisi hanya mengurusi di
ujung yang siap beraksi tapi karena kementerian pemerintah tidak bekerja
maka polisi bekerja sendirian. Misalnya ketika Abu Dujanah tertangkap
lalu polisi menyekolahkan anaknya, artinya polisi bertindak bukan hanya
bertindak sebagai polisi tapi menjadi Kemendiknas dan Kemensos. Saya
mengerti mengapa mereka cuci tangan karena berkotor tangan dengan isu
terorisme banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Seperti diketahui sempat beredar wacana agar TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme. Apa tanggapan Anda?
Itu penting tapi jangan dilibatkan dalam
ranah represif karena jika terlibat represif akan ada beberapa soal.
Pertama, dalam ranah represif polisi sudah kuat dan punya kemampuan
parameter, bahkan persenjataan polisi jauh lebih baik dari tentara.
Kedua, ada perbedaan ideologi dan cara bertindak, polisi menggunakan
kekerasan minimal, sedangkan militer membunuh. Alhasil jika ingin
membawa pelaku terorisme ke depan hukum maka militer tak cocok
dilibatkan.
Keterlibatan TNI lebih baik di ranah
pencegahan bukan penumpasan. Sebab TNI bisa memanfaatkan komando
teritorial yang rapih di semua wilayah untuk menjadi mata telinga jika
ada orang yang bergerak mencurigakan, lalu hasil investigasi TNI
ditindaklanjuti polisi. Namun masalahnya teman-teman TNI tak mau di
ranah pencegahan karena tak ramai, tak ada dana, dan tak disorot media
massa. Padahal sebenarnya di situ kontribusi besar TNI.
Secara normatif pemerintah
sudah memiliki UU Antiterorisme untuk menumpas terorisme, namun ada
keinginan agar UU tersebut direvisi. Apakah memang UU itu sudah saatnya
diperbaharui?
Iya sudah, UU akan diperbaharui beberapa
poin terkait konteks beracaranya. Misalnya selama ini polisi boleh
menahan seseorang selama 6 hari maka kedepan boleh menahan selama 30
hari. Sekarang penggunaan informasi intelejen sifatnya diperbolehkan
namun kedepan itu diharuskan.
Pelaku tindak pidana
terorisme sangat berbahaya, beberapa kalangan minta agar mereka tak
dicampur dengan narapidana kasus lain. Apakah perlu ada Lembaga
Pemasyarakatan khusus untuk mereka?
Terpidana teroris memang berbahaya,
mereka dibagi berdasarkan tingkat keberbahayaan orangnya. Para pelaku
teroris berbahaya maka dimasukkan pada maximum security, jadi jangan buat LP khusus teroris. Sekarang sudah ada buat menghukum mereka di Nusa Kambangan.
Menurut Anda bahaya terorisme seperti apa?
Secara teori terorisme adalah langkah
awal dari kelompok non negara untuk merebut kekuasaan. Ketika kelompok
masyarakat sudah punya dana dan pasukan yang cukup maka mereka tak
memilih terorisme tapi lebih milih kudeta dan gerilya. Namun karena
mereka masih kekurangan materi dan pendukung maka hanya mampu melakukan
terorisme. Bila mereka semakin kuat maka bisa melakukan kudeta dan
gerilya lalu mengambil kekuasaan.
Apakah perlu mencontoh Malaysia yang menerapkan ISA sebagai cara mencegah gerakan kelompok tersebut?
Saya kira cepat atau lambat kita akan
kearah sana. Pada dasarnya kita dari segi hukum semakin keras untuk
menangkal radikalisme dan terorisme.
NU dan Muhammadiyah punya potensi besar untuk membantu dalam tindakan preventif, apakah pemerintah sudah melibatkan mereka?
Sudah, mereka juga ada kemauan besar
untuk ikut serta dalam deradikalisasi. Permasalahannya pelaku teror
bukan berasal dari anggota mereka, artinya yang dibina mereka pada
dasarnya masyarakat yang plural. Pertanyaannya mau tidak NU dan
Muhammadiyah melakukan deradikalisasi kepada anggota di luar mereka agar
tak menjadi radikal. Jangan sampai mereka sibuk mengurusi umatnya tapi
lupa pada mereka yang potensial menjadi radikal.
Bagaimana Anda melihat metode deradikalisasi mereka?
Mereka punya cara masing-masing.
Muhammadiyah kuat di bidang dakwah, sedangkan NU lebih pada hubungan
kiyai dengan santri, dimana kiyai diberikan kesadaran untuk menyampaikan
pesan tersebut.
*******
Menurut Adrianus lembaga pendidikan
terutama pendidikan dasar jangan dirasuki cara-cara berpikir radikal.
Pendidikan sekolah jangan memberikan pemahaman yang salah kepada anak
didik. Misalnya larangan memberikan hormat kepada bendera saat upacara
adalah tindakan mencampuradukkan pemahaman agama dengan kesadaran
berbangsa. Bila ada tindakan masyarakat yang menjurus pada mengusik
pilar kebangsaan maka negara harus turun tangan. Kehadiran negara
penting untuk menjaga keutuhan NKRI.
Institusi pendidikan juga
memiliki peran strategis dalam upaya pencegahan radikalisme dan
terorisme. Menurut Anda bagaimana peran pendidikan?
Besar sekali apalagi pendidikan dasar. Di
tingkat pendidikan dasar jangan sampai disusupi cara berpikir keras
seperti siswa dilarang hormat pada bendera saat upacara. Larangan itu
mencampuradukan antara pemahaman agama dengan kesadaran berbangsa.
Pendidikan jangan sampai memberikan pemahaman yang salah kepada peserta
anak.
Apakah sudah ada indikasi sikap antikebangsaan menyusup ke pendidikan?
Kita sudah melihat indikasi kampus-kampus
yang semakin menghijau bukan berarti banyak menanam pohon melainkan
pemahaman agama yang diiringi dengan perilaku tidak toleran, tidak
plural, tidak terbuka bahkan konservatif. Bukankah seharusnya orang yang
semakin menghayati agamanya akan semakin menghormati orang lain.
Mengapa terjadi seperti itu?
Saya kira ini terkait konteks reformasi
kebangsaan. Dulu soal kebangsaan menjadi hegemoni negara tapi saat ini
itu dibebaskan. Alhasil ada masyarakat yang menanyakan bahkan menafikan
pilar kebangsaan, bila ada indikasi yang meresahkan maka negara harus
tegas. Pemerintah sudah layak turun tangan untuk meyakinkan pilar
kebangsaan agar utuh dan kokoh. Daripada negara ini pecah maka negara
lebih baik turun tangan lagi. Namun bentuk campur tangan negara tentu
tak seperti dulu seperti membentuk BP7 dan Santiaji Pancasila
dimana-mana. Sekarang bagaimana menjadikan Pancasila membumi, aplikatif
dan populer.
Apa pandangan Anda tentang terorisme kedepan?
Indonesia berada pada kategori lapangan
empuk untuk aksi terorisme karena generasi ketiga belum terpetakan atau
terdeteksi, meski kekuatannya sudah terdeteksi, tapi orang-orangnya
belum diketahui maka harus memakai kekuatan intelejen.[Akhwani]
Biodata:
Nama Lengkap : Prof. Dr. Adrianus Meliala, Ph.D
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 28 September 1966
Pekerjaan : Ketua Departemen Kriminologi Universitas Indonesia
Pendidikan : S3 Departemen Antropolgi & Sosiologi Universitas Queensland, Australia
Email : adrianusmeliala@gmail.com
(99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar