Selasa, 11 Desember 2012

Mahfud MD: Demokrasi Sehat, Radikalisme Wafat



Di Indonesia, kini perbedan dimusuhi. Ini tampak dari berbagai macam aksi radikalisme yang kian hari berada di atas normal. Fenomena perusakan rumah ibadah dan tindak kekerasan terhadap jemaat yang dianggap menyimpang misalnya, sesak memadati catatan harian kehidupan beragama di Indonesia. Berdasarkan panji-panji dan parameter kebenaran yang mereka imani, golongan radikal menyeret semua “yang lain” di hadapan altar pengadilan yang dimilikinya.

Bak virus, radikalisme dapat menjangkiti siapa saja. Ia bisa mengubah sosok yang alim menjadi bringas dan brutal. Pun radikalisme ada di mana-mana. Ia dapat bersemayam di masjid, gereja, wihara, pura dan tempat-tempat lainnya. Sudah saatnya fenomena ini direnungkan bersama. Karena jika tidak, maka tidak mustahil persatuan dan kesatuan Indonesia hanya tinggal kenangan.

Resep mujarab untuk menyembuhkan fenomena radikalisme ini, menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Mahfud MD, S.H. adalah dengan berjalannya proses demokrasi yang sehat. “Caranya dengan menumbuhkan demokrasi secara sehat. Sehingga orang tidak mencari jalan sendiri. Kalau demokrasi itu sehat, orang yang merasa punya pikiran sendiri tidak perlu melakukan tindakan-tindakan radikal. Tetapi bisa disalurkan melalui proses demokrasi,” katanya. Berikut perbincangan Lazuardi Birru dengan pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, 13 Mei 1957, di ruang kerjanya di gedung Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat 6 Jakarta.

Apa pendapat Anda mengenai radikalisme agama yang akhir-ahir ini kian marak?
Radikalisme ada di mana-mana. Tidak hanya di Islam. Kita ini selalu mengaitkan radikalisme dengan Islam. Padahal sebenarnya fenomena ini ada di mana-mana. Dan golongan radikal hanyalah minoritas. Pengikut kaum radikal di Indonesia misalnya, tidak ada setengah persen masyarakat Indonesia yang jumlahnya sekitar 190 juta.

Kami sempat merilis indeks paham radikalisme di Indonesia. Berdasarkan indeks tersebut memang sempat menurun. Tetapi setelah eksplorasi lebih jauh, sekarang ini menjadi rentan. Kira-kira bagaimana upaya negara yang menganut sistem demokrasi untuk memperkuat dan mengantisipasi ancaman-ancaman seperti itu?
Caranya dengan menumbuhkan demokrasi secara sehat. Sehingga orang tidak mencari jalan sendiri. Kalau demokrasi itu sehat, orang yang merasa punya pikiran sendiri tidak perlu melakukan tindakan-tindakan radikal. Tetapi bisa disalurkan melalui proses demokrasi. Kedua, jika demokrasi sudah dibuka sedemikian baik, tetapi masih ada yang melakukan tindakan-tindakan radikal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketertiban di tengah-tengah masyarakat,  maka negara harus mengambil tindakan. Dalam pengalaman kita banyak sekali contoh orang yang tadinya radikal, hendak mengganti dasar negara,  Pancasila, namun sesudah demokrasi dibuka kemudian berubah. Mereka yang memiliki pemikiran kemudian membuat partai, ikut pemilu dan masuk ke DPR. Di DPR lalu berdebat dan akhirnya mulai sadar bahwa bangsa ini tidak bisa dipaksa atas kehendaknya sendiri.  Oleh sebab itu mari sehatkan demokrasi, jangan seseorang diintimidasi ketika akan mengekspresikan pandangan-pandangannya.

Meskipun pandangan mereka berbeda dan bahkan mengancam nilai-nilai demokrasi itu sendiri? Misalnya dengan mempropagandakan, memprovokasi bahwa Pancasila dan Undang-undang Dasar itu produk kafir.
Itu adalah pernyataan-pernyataan ketika dia tidak masuk dalam proses demokrasi. Ketika orang seperti ini diberi kesempatan, “ayo kamu masuk, negara ini milik bersama, kamu tidak boleh bicara sendiri harus menjalin kesepakatan”. Sekarang anda lihat banyak tokoh-tokoh yang nasionalis, yang kita catat dulunya anti Pancasila, Undang-undang Dasar, sekarang mereka di DPR atau pemerintahan. Anda lihat tentunya, saya tidak perlu menyebut nama orang tersebut. Tapi saya kira itu fakta. Jadi ketika demokrasi ditutup, dia radikal, namun ketika dibuka dia masuk. Maka intinya demokrasi harus disehatkan jangan ada  intimidasi.

Namun rupanya selama ini, ketika kita terus membangun proses-proses transisi demokrasi, agar politik dan demokrasi semakin sehat, mereka tetap saja mengatakan bahwa itu katakanlah produk Barat yang tidak sesuai dengan apa yang diklaim mereka dengan nilai-nilai Alquran universal maknanya. Bagaimana langkah menyadarkan hal semacam ini? apakah kita mempunyai semacam mekanisme besar untuk menyadarkan masyarakat yang seperti ini?
Pertama produk Barat, produk kafir dan sebagainya, itu klaim mereka. Mereka menganggap orang Kristen itu kafir. Sebaliknya kata orang Kristen kita pun kafir. Itulah kenapa saya katakan mari berbicara bahwa kita sama-sama manusia, sama-sama mahluk Tuhan, lalu bersepakat hidup dalam negara demokrasi.
Di dalam negara demokrasi pun itu ada koridor. Itu yang disebut nomokrasi. Oleh sebab itu kalau anda bicara demokrasi tanpa nomokrasi, maka demokrasi bisa menjadi anarki. Artinya tergantung siapa yang kuat. Oleh sebab itu kita mempunyai konstitusi. Selain demokrasi kita harus tunduk pada nomokrasi, yaitu pada aturan-aturan hukum. Di dalam aturan hukum inilah orang diberi kesempatan berbicara tetapi ada batasan-batasan tertentu. Begitu keputusan itu diambil sesudah dimusyawarahkan bersama, semua harus tunduk. Siapa yang melawan, itu berarti  melawan negara dan itu artinya aparat negara bisa melakukan tindakan-tindakan.

Apa pandangan Anda secara pribadi memandang fenomena masyarakat atau sekelompok orang yang anti negara. Misalnya kemarin disebutkan bahwa kelompok radikal mengatakan jika SBY tidak bisa menuntaskan korupsi, kita akan kembali ke masa revolusi atau reformasi ulang yang arahnya seperti ingin merubah konstitusi negara?
Menurut saya mereka tidak anti negara. Karena tidak mungkin ada orang anti negara. Justru karena mereka ingin bernegara menurut versi mereka sendiri lalu mereka beranggapan seperti itu. Oleh sebab itu sekurang-kurangnya atau atau maksimalnya anda hanya bisa mengatakan itu bukan anti negara tapi anti pemerintah. Pemerintah itu bagian dari negara. Negara itu ada rakyat, ada wilayah, dan ada pemerintahnya. Jadi bukan anti negara tetapi anti pemerintah. Kalau alasannya penuntasan korupsi terlepas dari persoalan radikalisme, alasannya saya kira masuk akal. Bahwa pemerintah tidak mampu menuntaskan korupsi. Itu pemerintah yang sedang menuju jurang kehancuran.

Oleh sebab itu menurut saya tidak harus kaum radikal yang meneriakan bahwa pemerintahan SBY harus menuntaskan korupsi, tetapi kita semua. Dan itu bukan berarti juga anti pemerintah. Tetapi memang sebuah negara yang tidak bisa memerangi korupsi, maka tinggal tunggu saja kehancuran negara tersebut. Orang akan melakukan pembangkangan. Mungkin mula-mula apatis, sesudah itu tidak patuh lalu yang mulai melawan. Itu proses-proses kehancuran sebuah negara. Kalau korupsi tidak diberantas dengan benar, terlepas dari radikalisme, itu adalah concern masyarakat, siapapun orang yang cinta keadilan, baik orang radikal maupun tidak. Kalau korupsi tidak diberantas maka akan menjadi lahan atau peluru yang sangat dahsyat untuk menghantam keberlangsungan negara.

Ada sebagian orang yang menuduh bahwa Pancasila tidak islami. Bahkan ada yang lebih ekstrim mengatakan bahwa Pancasila menganut agama orang Yahudi, Zionis. Lalu bagaimana langkah memahamkan nilai-nilai Pancasila kepada kelompok-kelompok ekstrim?
Kalau ditanya bagaimana, kita bisa mengikuti cara Alquran sendiri. Alquran sendiri mengatakan, pertama dengan hikmah. Artinya kita langsung melaksanakan dan memberi contoh. Kedua Wal maidoh khasanah, memberi penjelasan secara baik, kalau perlu berdebat. Itu cara yang diajarkan oleh Alquran. Tetapi jangan khawatir pendapat seperti itu sangat kecil jumlahnya. Saya katakan tidak ada setengah persen dari jumlah rakyat Indonesia. Argumennya juga tidak pernah menang, mereka hanya ngotot saja. Jika diadu dengan argumen apapun mereka tidak pernah menang, karena kalau kita mau ber-Islam, menurut saya dalil-dalil yang mengajarkan bahwa Islam itu sejuk dan toleran lebih banyak daripada dalil yang menyeru ber-Islam dengan marah-marah. Nabi sudah mencontohkan hidup bersama dengan agama lain ketika membuat piagam Madinah. Perintah Allah juga sudah jelas, tidak boleh memaksakan orang lain untuk menganut agama Islam. Jika Allah menjadikan seluruh umat manusia menjadi Islam tentu bisa, tanpa perlu bantuan orang. Tetapi Allah menciptakan manusia berbeda-beda agar ada dinamika di dalam kehidupan.

Saya sendiri tidak khawatir dengan hal-hal seperti itu. Karena kecil sekali dan umumnya mereka tidak mengerti agamanya secara mendalam, tidak komprehensif dan kuper (kurang pergaulan). Coba lihat orang-orang yang pergaulannya luas dan pemahaman keislamannya mendalam. Contohnya Syafi’i Ma’arif, dulu ia terkenal sangat radikal, baginya saat itu Indonesia harus menjadi Negara Islam. Tetapi begitu dia pergaulannya meluas, sekolah ke berbagai negeri, lalu dia katakan tidak ada negara Islam, tidak ada ajaran mendirikan negara Islam. Negara itu harus adil, itu yang ada. Pemimpin harus jujur itu saja yang ada, tidak harus negara Islam. Atau taruhlah Gus Dur. Gus Dur sangat dikenal sebagai orang yang sangat pluralis, Islam kosmopolitan. Padahal Gus Dur adalah sebuah bibit Islam radikal, pada mulanya. Sehingga pada tahun 63, dia mendirikan cabang Ikhwanul Muslimin di Jombang yang tujuannya untuk mengubah negara Indonesia menjadi negara Islam. Itu tahun 63, tetapi begitu dia ke Eropa pindah ke Bagdad dan Mesir, tidak ada lagi negara Islam. Yang ada negara Indonesia berdasarkan Pancasila. Jadi kalau wawasan sudah luas akan seperti itu. Sehingga menurut saya pandangan-pandangan seperti itu argumennya gampang dipatahkan. Sekurang-kurangnya mereka tidak bakal menang kalau adu argumen.

Masih persoalan Pancasila. Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, sila ini titik tembak kritik kelompok radikal. Karena bagi mereka bahwa kedaulatan  seharusnya bukan di tangan rakyat tetapi di tangan Tuhan. Apa pendapat Anda?
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan itu berarti kita dasarnya adalah demokrasi. Demokrasi yang penuh hikmah, hikmah itu kebijaksanaan. Itu rumusan yang sudah bagus dan sangat Islami. Kita disuruh musyawarah di kehidupan bernegara dan musyawarah tidak boleh sewenang-wenang. Sebab terkadang bila tanpa hikmah, demokrasi menjadi sangat liberal. Siapa yang banyak, dia yang menang. Indonesia tidak seperti itu, meskipun banyak harus diperhatikan juga yang kecil. Itu hikmah namanya. Di situlah ajaran toleransi. Makanya disebut dalam permusyawaratan dan perwakilan. Permusyawaratan itu bukan pertarungan. Di dalam konsep ilmu modern, permusyawaratan disebut deliberative democracy. Demokrasi permusyawaratan yang hanya ada mula-mula di Indonesia. Sebelum itu di ilmu politik tidak ada. Indonesia yang mula-mula mengatakan bahwa di dalam demokrasi ada musyawarah. Bukan lalu 100 orang mendukung, 5 orang tidak mendukung, lalu berarti 100 orang mesti benar, tidak seperti itu. Itulah yang disebut musyawarah.

Apakah ada proses objektivikasi terhadap hukum Islam diserap menjadi hukum positif?
Ya bisa. Saya katakan ada formalisme,  ada subtansialisme. Di Indonesia ada 3 aliran formalisme; pertama Hizbut Tahrir Indonesia. Mereka ingin Indonesia menjadi negara Islam. Tetapi itu tidak masuk akal. Pasti akan ditolak dan dilawan oleh Islam sendiri. Kedua Majelis Mujahidin Indonesia, ketika dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Mereka tidak mengusulkan negara Islam tetapi mengusulkan hukum nasional harus diubah menjadi hukum Islam. Ketiga dimotori oleh KPPSI (Komite Persiapan Pemberlakuan Syariat Islam) di Sulawesi Selatan. Mereka mengusulkan, karena  tidak mungkin  ikut  Hizbut Tahrir mendirikan negara Islam dan tidak mungkin menjadikan hukum Islam menjadi hukum nasional,  maka KPPSI mengatakan hukum Islam diberlakukan melalui perda-perda. Itu aliran formalisme Islam. Tetapi aliran substansialisme seperti jumhur ulama di Indonesia, mainstream ulama atau umat Islam di Indonesia menyatakan tidak perlu negara Islam, tidak perlu hukum Islam, dan tidak perlu perda Islam, yang perlu adalah nilai-nilai substansial agama Islam. Misalnya nilai substansial tidak mengenal agama tertentu. Kalau anda bicara keadilan, semuanya setuju. Tidak perlu disebut keadilan Islam. Bahwa pemimpin harus jujur, itu substansi. Mari lawan korupsi, itu substansi. Mari banyak bermusyawarah, itu substansi. Tidak usah disebut-sebut Islam.  Kita tetap harus hati-hati menghadapi gerakan seperti itu, tetapi tidak perlu kekhawatiran yang berlebihan.

Saya ingin mengkonfirmasi pandangan HTI; tujuan tidak menggunakan cara yang absah, maka cara yang absah itu juga tidak akan mencapai tujuan yang sah?
Ya itu yang berlaku bagi Hizbut Tahrir, bukan berlaku bagi kita. HTI tidak bisa memaksakan karena kita sudah mempunyai cara. Kalau mau mengubah negara dengan cara yang absah, bicara di MPR dan kepada rakyat. Dan cara bicara kepada rakyat itu melalui pemilu. Ternyata dukungan rakyat dalam pemilu tidak pada gerakan radikal seperti itu (Emhajid).

Biodata:
Nama Lengkap                        : Prof. Dr. Mahfud MD, S.H.
Tempat, Tanggal Lahir                       : Sampang, 13 Mei 1957
Pekerjaan                                : Ketua Mahkamah Konstitusi RI
Pendidikan                              : S3 Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada yogyakarta

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar