Di Indonesia, kini perbedan dimusuhi. Ini
tampak dari berbagai macam aksi radikalisme yang kian hari berada di
atas normal. Fenomena perusakan rumah ibadah dan tindak kekerasan
terhadap jemaat yang dianggap menyimpang misalnya, sesak memadati
catatan harian kehidupan beragama di Indonesia. Berdasarkan panji-panji
dan parameter kebenaran yang mereka imani, golongan radikal menyeret
semua “yang lain” di hadapan altar pengadilan yang dimilikinya.
Bak virus, radikalisme dapat menjangkiti
siapa saja. Ia bisa mengubah sosok yang alim menjadi bringas dan brutal.
Pun radikalisme ada di mana-mana. Ia dapat bersemayam di masjid,
gereja, wihara, pura dan tempat-tempat lainnya. Sudah saatnya fenomena
ini direnungkan bersama. Karena jika tidak, maka tidak mustahil
persatuan dan kesatuan Indonesia hanya tinggal kenangan.
Resep mujarab untuk menyembuhkan fenomena
radikalisme ini, menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Mahfud MD,
S.H. adalah dengan berjalannya proses demokrasi yang sehat. “Caranya
dengan menumbuhkan demokrasi secara sehat. Sehingga orang tidak mencari
jalan sendiri. Kalau demokrasi itu sehat, orang yang merasa punya
pikiran sendiri tidak perlu melakukan tindakan-tindakan radikal. Tetapi
bisa disalurkan melalui proses demokrasi,” katanya. Berikut perbincangan
Lazuardi Birru dengan pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, 13
Mei 1957, di ruang kerjanya di gedung Mahkamah Konstitusi Jl. Medan
Merdeka Barat 6 Jakarta.
Apa pendapat Anda mengenai radikalisme agama yang akhir-ahir ini kian marak?
Radikalisme ada di mana-mana. Tidak hanya
di Islam. Kita ini selalu mengaitkan radikalisme dengan Islam. Padahal
sebenarnya fenomena ini ada di mana-mana. Dan golongan radikal hanyalah
minoritas. Pengikut kaum radikal di Indonesia misalnya, tidak ada
setengah persen masyarakat Indonesia yang jumlahnya sekitar 190 juta.
Kami sempat merilis indeks
paham radikalisme di Indonesia. Berdasarkan indeks tersebut memang
sempat menurun. Tetapi setelah eksplorasi lebih jauh, sekarang ini
menjadi rentan. Kira-kira bagaimana upaya negara yang menganut sistem
demokrasi untuk memperkuat dan mengantisipasi ancaman-ancaman seperti
itu?
Caranya dengan menumbuhkan demokrasi
secara sehat. Sehingga orang tidak mencari jalan sendiri. Kalau
demokrasi itu sehat, orang yang merasa punya pikiran sendiri tidak perlu
melakukan tindakan-tindakan radikal. Tetapi bisa disalurkan melalui
proses demokrasi. Kedua, jika demokrasi sudah dibuka sedemikian baik,
tetapi masih ada yang melakukan tindakan-tindakan radikal yang
bertentangan dengan nilai-nilai ketertiban di tengah-tengah masyarakat,
maka negara harus mengambil tindakan. Dalam pengalaman kita banyak
sekali contoh orang yang tadinya radikal, hendak mengganti dasar negara,
Pancasila, namun sesudah demokrasi dibuka kemudian berubah. Mereka
yang memiliki pemikiran kemudian membuat partai, ikut pemilu dan masuk
ke DPR. Di DPR lalu berdebat dan akhirnya mulai sadar bahwa bangsa ini
tidak bisa dipaksa atas kehendaknya sendiri. Oleh sebab itu mari
sehatkan demokrasi, jangan seseorang diintimidasi ketika akan
mengekspresikan pandangan-pandangannya.
Meskipun pandangan mereka
berbeda dan bahkan mengancam nilai-nilai demokrasi itu sendiri? Misalnya
dengan mempropagandakan, memprovokasi bahwa Pancasila dan Undang-undang
Dasar itu produk kafir.
Itu adalah pernyataan-pernyataan ketika
dia tidak masuk dalam proses demokrasi. Ketika orang seperti ini diberi
kesempatan, “ayo kamu masuk, negara ini milik bersama, kamu tidak boleh
bicara sendiri harus menjalin kesepakatan”. Sekarang anda lihat banyak
tokoh-tokoh yang nasionalis, yang kita catat dulunya anti Pancasila,
Undang-undang Dasar, sekarang mereka di DPR atau pemerintahan. Anda
lihat tentunya, saya tidak perlu menyebut nama orang tersebut. Tapi saya
kira itu fakta. Jadi ketika demokrasi ditutup, dia radikal, namun
ketika dibuka dia masuk. Maka intinya demokrasi harus disehatkan jangan
ada intimidasi.
Namun rupanya selama ini,
ketika kita terus membangun proses-proses transisi demokrasi, agar
politik dan demokrasi semakin sehat, mereka tetap saja mengatakan bahwa
itu katakanlah produk Barat yang tidak sesuai dengan apa yang diklaim
mereka dengan nilai-nilai Alquran universal maknanya. Bagaimana langkah
menyadarkan hal semacam ini? apakah kita mempunyai semacam mekanisme
besar untuk menyadarkan masyarakat yang seperti ini?
Pertama produk Barat, produk kafir dan
sebagainya, itu klaim mereka. Mereka menganggap orang Kristen itu kafir.
Sebaliknya kata orang Kristen kita pun kafir. Itulah kenapa saya
katakan mari berbicara bahwa kita sama-sama manusia, sama-sama mahluk
Tuhan, lalu bersepakat hidup dalam negara demokrasi.
Di dalam negara demokrasi pun itu ada
koridor. Itu yang disebut nomokrasi. Oleh sebab itu kalau anda bicara
demokrasi tanpa nomokrasi, maka demokrasi bisa menjadi anarki. Artinya
tergantung siapa yang kuat. Oleh sebab itu kita mempunyai konstitusi.
Selain demokrasi kita harus tunduk pada nomokrasi, yaitu pada
aturan-aturan hukum. Di dalam aturan hukum inilah orang diberi
kesempatan berbicara tetapi ada batasan-batasan tertentu. Begitu
keputusan itu diambil sesudah dimusyawarahkan bersama, semua harus
tunduk. Siapa yang melawan, itu berarti melawan negara dan itu artinya
aparat negara bisa melakukan tindakan-tindakan.
Apa pandangan Anda secara pribadi memandang fenomena masyarakat atau sekelompok orang yang anti
negara. Misalnya kemarin disebutkan bahwa kelompok radikal mengatakan
jika SBY tidak bisa menuntaskan korupsi, kita akan kembali ke masa
revolusi atau reformasi ulang yang arahnya seperti ingin merubah
konstitusi negara?
Menurut saya mereka tidak anti negara.
Karena tidak mungkin ada orang anti negara. Justru karena mereka ingin
bernegara menurut versi mereka sendiri lalu mereka beranggapan seperti
itu. Oleh sebab itu sekurang-kurangnya atau atau maksimalnya anda hanya
bisa mengatakan itu bukan anti negara tapi anti pemerintah. Pemerintah
itu bagian dari negara. Negara itu ada rakyat, ada wilayah, dan ada
pemerintahnya. Jadi bukan anti negara tetapi anti pemerintah. Kalau
alasannya penuntasan korupsi terlepas dari persoalan radikalisme,
alasannya saya kira masuk akal. Bahwa pemerintah tidak mampu menuntaskan
korupsi. Itu pemerintah yang sedang menuju jurang kehancuran.
Oleh sebab itu menurut saya tidak harus
kaum radikal yang meneriakan bahwa pemerintahan SBY harus menuntaskan
korupsi, tetapi kita semua. Dan itu bukan berarti juga anti pemerintah.
Tetapi memang sebuah negara yang tidak bisa memerangi korupsi, maka
tinggal tunggu saja kehancuran negara tersebut. Orang akan melakukan
pembangkangan. Mungkin mula-mula apatis, sesudah itu tidak patuh lalu
yang mulai melawan. Itu proses-proses kehancuran sebuah negara. Kalau
korupsi tidak diberantas dengan benar, terlepas dari radikalisme, itu
adalah concern masyarakat, siapapun orang yang cinta keadilan,
baik orang radikal maupun tidak. Kalau korupsi tidak diberantas maka
akan menjadi lahan atau peluru yang sangat dahsyat untuk menghantam
keberlangsungan negara.
Ada sebagian orang yang
menuduh bahwa Pancasila tidak islami. Bahkan ada yang lebih ekstrim
mengatakan bahwa Pancasila menganut agama orang Yahudi, Zionis. Lalu
bagaimana langkah memahamkan nilai-nilai Pancasila kepada
kelompok-kelompok ekstrim?
Kalau ditanya bagaimana, kita bisa
mengikuti cara Alquran sendiri. Alquran sendiri mengatakan, pertama
dengan hikmah. Artinya kita langsung melaksanakan dan memberi contoh.
Kedua Wal maidoh khasanah, memberi penjelasan secara
baik, kalau perlu berdebat. Itu cara yang diajarkan oleh Alquran. Tetapi
jangan khawatir pendapat seperti itu sangat kecil jumlahnya. Saya
katakan tidak ada setengah persen dari jumlah rakyat Indonesia.
Argumennya juga tidak pernah menang, mereka hanya ngotot saja. Jika
diadu dengan argumen apapun mereka tidak pernah menang, karena kalau
kita mau ber-Islam, menurut saya dalil-dalil yang mengajarkan bahwa
Islam itu sejuk dan toleran lebih banyak daripada dalil yang menyeru
ber-Islam dengan marah-marah. Nabi sudah mencontohkan hidup bersama
dengan agama lain ketika membuat piagam Madinah. Perintah Allah juga
sudah jelas, tidak boleh memaksakan orang lain untuk menganut agama
Islam. Jika Allah menjadikan seluruh umat manusia menjadi Islam tentu
bisa, tanpa perlu bantuan orang. Tetapi Allah menciptakan manusia
berbeda-beda agar ada dinamika di dalam kehidupan.
Saya sendiri tidak khawatir dengan
hal-hal seperti itu. Karena kecil sekali dan umumnya mereka tidak
mengerti agamanya secara mendalam, tidak komprehensif dan kuper (kurang
pergaulan). Coba lihat orang-orang yang pergaulannya luas dan pemahaman
keislamannya mendalam. Contohnya Syafi’i Ma’arif, dulu ia terkenal
sangat radikal, baginya saat itu Indonesia harus menjadi Negara Islam.
Tetapi begitu dia pergaulannya meluas, sekolah ke berbagai negeri, lalu
dia katakan tidak ada negara Islam, tidak ada ajaran mendirikan negara
Islam. Negara itu harus adil, itu yang ada. Pemimpin harus jujur itu
saja yang ada, tidak harus negara Islam. Atau taruhlah Gus Dur. Gus Dur
sangat dikenal sebagai orang yang sangat pluralis, Islam kosmopolitan.
Padahal Gus Dur adalah sebuah bibit Islam radikal, pada mulanya.
Sehingga pada tahun 63, dia mendirikan cabang Ikhwanul Muslimin
di Jombang yang tujuannya untuk mengubah negara Indonesia menjadi
negara Islam. Itu tahun 63, tetapi begitu dia ke Eropa pindah ke Bagdad
dan Mesir, tidak ada lagi negara Islam. Yang ada negara Indonesia
berdasarkan Pancasila. Jadi kalau wawasan sudah luas akan seperti itu.
Sehingga menurut saya pandangan-pandangan seperti itu argumennya gampang
dipatahkan. Sekurang-kurangnya mereka tidak bakal menang kalau adu
argumen.
Masih persoalan Pancasila.
Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, sila ini titik tembak kritik kelompok
radikal. Karena bagi mereka bahwa kedaulatan seharusnya bukan di tangan
rakyat tetapi di tangan Tuhan. Apa pendapat Anda?
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan itu berarti kita dasarnya adalah demokrasi. Demokrasi yang
penuh hikmah, hikmah itu kebijaksanaan. Itu rumusan yang sudah bagus
dan sangat Islami. Kita disuruh musyawarah di kehidupan bernegara dan
musyawarah tidak boleh sewenang-wenang. Sebab terkadang bila tanpa
hikmah, demokrasi menjadi sangat liberal. Siapa yang banyak, dia yang
menang. Indonesia tidak seperti itu, meskipun banyak harus diperhatikan
juga yang kecil. Itu hikmah namanya. Di situlah ajaran toleransi.
Makanya disebut dalam permusyawaratan dan perwakilan. Permusyawaratan
itu bukan pertarungan. Di dalam konsep ilmu modern, permusyawaratan
disebut deliberative democracy. Demokrasi permusyawaratan yang
hanya ada mula-mula di Indonesia. Sebelum itu di ilmu politik tidak ada.
Indonesia yang mula-mula mengatakan bahwa di dalam demokrasi ada
musyawarah. Bukan lalu 100 orang mendukung, 5 orang tidak mendukung,
lalu berarti 100 orang mesti benar, tidak seperti itu. Itulah yang
disebut musyawarah.
Apakah ada proses objektivikasi terhadap hukum Islam diserap menjadi hukum positif?
Ya bisa. Saya katakan ada formalisme,
ada subtansialisme. Di Indonesia ada 3 aliran formalisme; pertama
Hizbut Tahrir Indonesia. Mereka ingin Indonesia menjadi negara Islam.
Tetapi itu tidak masuk akal. Pasti akan ditolak dan dilawan oleh Islam
sendiri. Kedua Majelis Mujahidin Indonesia, ketika dipimpin Abu Bakar
Ba’asyir. Mereka tidak mengusulkan negara Islam tetapi mengusulkan hukum
nasional harus diubah menjadi hukum Islam. Ketiga dimotori oleh KPPSI
(Komite Persiapan Pemberlakuan Syariat Islam) di Sulawesi Selatan.
Mereka mengusulkan, karena tidak mungkin ikut Hizbut Tahrir
mendirikan negara Islam dan tidak mungkin menjadikan hukum Islam menjadi
hukum nasional, maka KPPSI mengatakan hukum Islam diberlakukan melalui
perda-perda. Itu aliran formalisme Islam. Tetapi aliran substansialisme
seperti jumhur ulama di Indonesia, mainstream ulama atau umat
Islam di Indonesia menyatakan tidak perlu negara Islam, tidak perlu
hukum Islam, dan tidak perlu perda Islam, yang perlu adalah nilai-nilai
substansial agama Islam. Misalnya nilai substansial tidak mengenal agama
tertentu. Kalau anda bicara keadilan, semuanya setuju. Tidak perlu
disebut keadilan Islam. Bahwa pemimpin harus jujur, itu substansi. Mari
lawan korupsi, itu substansi. Mari banyak bermusyawarah, itu substansi.
Tidak usah disebut-sebut Islam. Kita tetap harus hati-hati menghadapi
gerakan seperti itu, tetapi tidak perlu kekhawatiran yang berlebihan.
Saya ingin mengkonfirmasi
pandangan HTI; tujuan tidak menggunakan cara yang absah, maka cara yang
absah itu juga tidak akan mencapai tujuan yang sah?
Ya itu yang berlaku bagi Hizbut Tahrir,
bukan berlaku bagi kita. HTI tidak bisa memaksakan karena kita sudah
mempunyai cara. Kalau mau mengubah negara dengan cara yang absah, bicara
di MPR dan kepada rakyat. Dan cara bicara kepada rakyat itu melalui
pemilu. Ternyata dukungan rakyat dalam pemilu tidak pada gerakan radikal
seperti itu (Emhajid).
Biodata:
Nama Lengkap : Prof. Dr. Mahfud MD, S.H.
Tempat, Tanggal Lahir : Sampang, 13 Mei 1957
Pekerjaan : Ketua Mahkamah Konstitusi RI
Pendidikan : S3 Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada yogyakarta
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar