Kini dunia melaju dengan begitu cepat.
Hingga terkadang kebenaran yang dipegang hari ini seketika usang di esok
hari. Ini karena arus informasi dan wacana meluap ke mana-mana hingga
pakem-pakem kebenaran terkikis dan bergeser. Dalam konstelasi dunia yang
tunggang langgang seperti ini, tidak mengherankan jika banyak pihak
merasa panik dan gagap dalam bersikap dan bertindak. Fenomena
fundamentalisme, radikalisme dan terorisme atas nama agama misalnya,
bisa dipahami dalam kerangka ini. Artinya fundamentalisme agama, beserta
anak keturunannya seperti radikalisme dan terorisme, bukanlah
sesederhana gerak kembali kepada cara pra-modern dalam memahami agama,
tetapi lebih sebagai respons panik dalam menghadapi modernitas dan
globalisasi.
Menurut Prof. Dr. Amin Abdullah, MA
potret fundamentalisme, radikalisme dan terorisme yang berkembang bak
cendawan selepas hujan saat ini hanyalah fenomena hilir. Adapun hulu
dari persoalan ini adalah tidak terintegrasikannya pola pikir dan
pemahaman umat Islam dengan kondisi-kondisi kekinian. Akhirnya rasa aman
ontologis yang merupakan pilar eksistensi manusia menjadi lenyap.
Keadaan semakin menjadi-jadi ketika era globalisasi gagal menyajikan
keadilan dan kesejahteraan sebagai menu wajibnya.
Begitu kompleksnya masalah
fundamentalisme, radikalisme dan terorisme. Untuk itu, Amin Abdullah
mengingatkan agar pendekatan untuk menanggulangi problematika ini tak
tunggal. Menurut mantan rektor UIN Yogyakarta selama dua periode ini,
lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam upaya deradikalisasi
agama. Berikut ini perbincangan Lazuardi Birru dengan mantan Wakil Ketua
Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005.
Belakangan ini perkembangan terorisme dan radikalisme semakin menggurita. Bagaimana pendapat Anda tentang fenomena ini?
Menurut saya radikalisme adalah anak
kandung modernitas. Karena itu melihatnya harus multi perspektif. Secara
paradigmatik, kita harus melihat dari pelbagai sisi dan dimensi. Lalu
keterkaitan pelbagai dimensi itu seperti apa dan bagaimana bentuk worldview-nya
kemudian memiliki implikasi sosial kemasyarakatan semacam apa. Saya
kira momentumnya paskaperang dunia. Ketika negara-negara di bawah
imperialisme merdeka lalu kemudian diuji. Artinya anak-anak negeri,
pemimpin-pemimpin baru dalam dunia Islam ini seperti apa. Apakah
bercita-cita ingin memakmurkan dunia versi Barat tercapai atau tidak.
Misalnya kritik di Mesir dimulai dari sana. Terhadap kepemimpinan baru,
mereka tidak puas.
Entah itu Jamal Abdul Nasr bahkan Anwar Sadat.
Kompleks masalahnya, karena terkait dengan masalah politik, agama atau
ekonomi. Selain ketidakpuasan, mungkin ada juga ketidaksabaran.
Bagaimana mungkin negara yang baru sepuluh atau dua puluh tahun lalu
perform, itu tidak mungkin. Barat bisa seperti ini karena sudah pernah
mengalami jatuh-bangun selama dua ratus hingga tiga ratus tahun. Ini
baru tiga puluh tahun sudah macam-macam masalahnya, Anwar Sadat ditembak
dan lain-lain. Dari situ bermula sebetulnya lalu mekar ke mana-mana
termasuk di Indonesia.
Saat ini gerakan Islam semakin berani dan ekstrim. Apakah memang ada pembenaran dari agama Islam itu sendiri?
Di situ yang belum jelas saya kira. Karena ketika kita mendeklarasikan nation state pada tahun 1945, founding fathers tidak mendadak menemukan Pancasila sebagai basis kenegaraan. Lalu pemikiran mendalam para founding fathers
menyimpulkan bahwa memang tidak bisa negara didasarkan atas agama. Jadi
Pancasila dalam arti NKRI, persatuan Indonesia adalah fikih baru. Fikih
NKRI inilah yang kemudian tidak matched dengan fikih siyasah
era sebelumnya, fikih abad pertengahan atau klasik yang ada dalam kitab
kuning. Orang-orang yang sekarang masih hidup, terkadang mempelajari
fikih yang ada di kitab kuning. Tetapi tidak mempelajari dan mendalami
bagaimana fikih siyasah dalam kitab putih yakni nation state. Itu agenda yang belum selesai sama sekali meskipun sudah merdeka 66 tahun.
Artinya belum ada fikih yang menjembatani antara paham agama dan nation state ini?
Sebagian seperti itu. Tidak hanya
menjembatani tetapi juga mengawinkan atau menyatukan unsur-unsur
kimiawinya. Unsur kimiawi antara agama, model teokrasi, dengan negara
yang bermodel demokrasi. Dalam Islam belum ada penyatuan harmonis
berbagai macam unsur kimiawi tersebut. Lihat saja mayoritas muslim
seperti di Pakistan, Malaysia atau Indonesia.
Rupanya dinamika sekarang
ditumpangi kelompok-kelompok kecil seperti kelompok Abu Bakar Ba’asyir
atau yang semi ilmiah HTI. Mereka menafsirkan agama sedemikian ekstrim.
Kira-kira civil society perlu agenda seperti apa untuk membendung dan
mengikis paham-paham seperti itu?
Bagi saya langkahnya harus multi approach. Tidak bisa single approach untuk membendung pemahaman-pemahaman seperti itu. Kalau single approach
terkesan reaktif dan kurang menyelesaikan masalah. Tetapi yang perlu
digali adalah apa akar dari fenomena ini. Jadi orang yang hidup di era
globalisasi dan berada dalam kondisi-kondisi paskamodernitas seperti
sekarang ini harus menyadari hal-hal seperti adanya international law dan PBB.
Selain NKRI, ada PBB dengan hak-hak yang
ditetapkan seperti kebebasan beragama atau berkeyakinan. Ini adalah
fikih baru. Lantas bagaimana menghadapinya dengan prinsip-prinsip ushul fiqih lama? Artinya saat ini dalam benak kita berisi data-data dari tiga zaman yakni klasikal, modernitas dalam arti nation state, tetapi juga ada globalisasi dalam arti ada international law.
Tiga bahan baku ini di dalam proses pengajaran agama, baik level
apapun, harus dilihat. Jangan-jangan tidak menyentuh antara satu dengan
yang lain. Terlebih lagi tidak pernah dibahas. Dibahas pun mungkin hanya
terpenggal-penggal. Jadi fiqih kenegaraan kita tidak hanya fikih Islam
lama tetapi juga Islam baru dalam arti nation state dan
kemudian ada fiqih terbaru terkait dengan bagaimana berhubungan dengan
dunia internasional. Saat ini ketiga hal tersebut harus menjadi satu
paket dalam pembelajaran. Jadi saya bicara hulunya. Kalau hulunya saja
tidak integrated, maka bagaimana hilirnya. Hilirnya sebagaimana anda
katakan tentang kekerasan dan sebagainya. Jadi harus dicek ulang
hulunya, bagaimana kurikulum di perguruan tinggi dan SMA misalnya.
Jadi sebenarnya yang berperan sangat krusial adalah lembaga pendidikan?
Persis. Lembaga pendidikan,
institusi-institusi sosial-keagamaan termasuk lembaga-lembaga
non-govermental sangat berperan dalam hal ini. Tetapi jangan lupa
jangan-jangan mereka banyak menangani hilirnya saja. Belum menangani
hulu. Jadi akan terus menerus terulang kejadian ini.
Terkait dengan hulu. Apakah
itu bisa dikatakan sangat berhubungan dengan ideologi. Lantas dari mana
munculnya ideologi semacam ini kalau dirunut dari pemikiran-pemikiran
keislaman?
Ya bisa. Kurikulum juga ada ideologinya.
Ideologi bukan berarti negara. Kurikulum baik di SLTP, SLTA apalagi
perguruan tinggi memiliki ideologi. Ideologinya apakah hanya berbasis
pada medieavel and traditional dan merasa cukup berada di situ tanpa mengawinkan dengan modernitas dalam arti nation state,
NKRI. Itu sudah bisa dikatakan ideologi. Tetapi kalau kita ingin
mengawinkan di antara dua unsur tersebut juga merupakan ideologi.
Apalagi mengawinkan juga dengan unsur yang ketiga, hubungan
internasional, ini yang paling berat. Kasus-kasus baru, seperti TKW atau
TKI, itu terkait dengan hubungan internasional.
Ada dialog yang tidak sampai?
Ya. Bahkan tidak sampai ilmunya bahwa di
situ ada PBB. Tidak memahami protokoler jika hendak menindaklanjuti
eksekusi misalnya. Itu semua karena pendidikan. Jadi saya melihat
ideologi kurikulum belum terarah ke hal-hal seperti ini. Berat memang
orang yang hidup sekarang ini karena sudah mengalami tiga periodisasi
tersebut. Jika periodesasi dipenggal maka akan bermasalah. Seperti
sekarang ini misalnya, mengeksekusi namun tidak memberitahu pihak negara
asal orang yang bermasalah tersebut. Itu sudah melanggar hubungan
internasional protokoler. Itu potret kecil dari yang kita bicarakan.
Jadi kelompok radikal tidak memahami tiga gradasi zaman ini. Atau jangan-jangan mereka menutupi hal tersebut?
Semua sebetulnya perang kepentingan. Ada
kepentingan nasionalisme, internasionalisme dan Islam. Tetapi ada juga
kepentingan yang hanya memperjuangkan Islamisme, tidak perlu menyebut
negara, meskipun orang tersebut adalah warga negara. Artinya ada gap,
orang tidak peduli dengan negara karena baginya Islam yang paling
penting. Jika Negara saja tidak dipedulikan, apalagi PBB, mereka semakin
tidak peduli.
Kira-kira apa yang perlu
dilakukan bersama-sama di kalangan umat muslim seperti NU, Muhammadiyah
atau Persis untuk membangun paham keagamaan yang lebih toleran?
Karena masalahnya sangat kompleks seperti
itu, maka segala lapis atau lini harus dilewati. Dari segi pendidikan
seperti yang saya ungkapkan tadi. Jadi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dan Kementerian Agama harus menyatu. Termasuk Kementerian
Hukum dan HAM, juga Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi juga baru
akan melakukan kampanye tentang ke-Indonesiaan, tentang konstitusi.
Meskipun sebenarnya kesadaran konstitusi itu era modern. Jadi memang
meskipun berumur 66 tahun, kita baru memulai kembali. Artinya nation building
kita tertinggal. Gerakan-gerakan sipil seperti NU dan Muhammadiyah
terkadang juga kurang konsisten. Mengatakan Pancasila sudah final saja
masih ragu-ragu misalnya. Itu berarti ada sisa-sisa persoalan. Jadi saya
kira semua lini harus berjalan untuk mengupayakan deradikalisasi agama.
Terkait dengan hadirnya
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme, kiranya sudah cukup atau tidak?
Tentu untuk penanganan terorisme tidak
cukup sekedar undang-undang sebagaimana yang saya ungkapkan tadi. Karena
di atas itu semua sebenarnya juga menyangkut kesejahteraan rakyat pada
umumnya. Maka terkait kesejahtaraan ini, memang bagaimanapun negara
harus memperhatikan. Nation-state harus fokus pada keadilan dan
kesejahteraan. Jadi harus utuh melihat persoalan. Radikalisme juga bisa
dikatakan sebagai ekspresi ketidakpuasan atas what’s going on.
Tentu saja macam-macam persoalannya, bisa internal problem,
kesejahtaraan atau trans-internasional problem, belum lagi
pemahaman-pemahaman kemanusiaan universal. Jadi kompleks dan semuanya
harus dirambah.
Di UI Jakarta sudah ada pascasarjana yang berkosentrasi pada studi antiterorisme. Kenapa tidak di UIN?
Saya pernah berbicara ketika hendak ada
pembaharuan studi Islam di UII, sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Saya
katakan ke teman-teman yang mengajar studi-studi Islam, “Sepertinya
tidak ada perubahan di dalam kurikulum”. Saya ceritakan bahwa saya baru
berkunjung ke Singapura, tepatnya Faculty of Education di NUS (National University of Singapore). Ketika saya membuka liflet di perguruan tersebut, ada mata kuliah introduction to terrorism
yang kalau tidak salah untuk semester-semester awal. Saat itu saya
mengingatkan pada pengajar-pengajar kajian Islam di UII bahwa
jangan-jangan apa yang kita ajarkan sudah tidak kontekstual. Sebab
selama ini tidak pernah menyentuh isu-isu terorisme.
Di Singapura yang tidak pernah terkena
teror saja, mempelajari terorisme. Sementara kita yang terkena teror
sejak tahun 2002 sampai sekarang malah tidak ada. Refleksi UII tersebut
otomatis berimbas ke UIN juga. Maka memang harus ada gerakan moral yang
luar biasa. Maksud saya seluruh anggota senat-senat di perguruan tinggi
Islam, baik negeri ataupun swasta, harus berani memperbaiki
kurikulumnya. Tetapi anda tahu mentalitas PNS. Jadi anggota senat pun
tidak peduli. Mestinya ketika ada krisis menjadi momentum atau inspirasi
untuk memperbaiki kurikulum (Emhajid).
Biodata:
Nama Lengkap : Prof. Dr. Amin Abdullah, MA
Tempat, Tanggal Lahir : Pati, 28 Juli 1953
Pekerjaan : Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendidikan : S3 Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar