Senin, 10 Desember 2012

Amin Abdullah: Deradikalisasi Harus Multi Approach




Kini dunia melaju dengan begitu cepat. Hingga terkadang kebenaran yang dipegang hari ini seketika usang di esok hari. Ini karena arus informasi dan wacana meluap ke mana-mana hingga pakem-pakem kebenaran terkikis dan bergeser. Dalam konstelasi dunia yang tunggang langgang seperti ini, tidak mengherankan jika banyak pihak merasa panik dan gagap dalam bersikap dan bertindak. Fenomena fundamentalisme, radikalisme dan terorisme atas nama agama misalnya, bisa dipahami dalam kerangka ini. Artinya fundamentalisme agama, beserta anak keturunannya seperti radikalisme dan terorisme, bukanlah sesederhana gerak kembali kepada cara pra-modern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respons panik dalam menghadapi modernitas dan globalisasi.

Menurut Prof. Dr. Amin Abdullah, MA potret fundamentalisme, radikalisme dan terorisme yang berkembang bak cendawan selepas hujan saat ini hanyalah fenomena hilir. Adapun hulu dari persoalan ini adalah tidak terintegrasikannya pola pikir dan pemahaman umat Islam dengan kondisi-kondisi kekinian. Akhirnya rasa aman ontologis yang merupakan pilar eksistensi manusia menjadi lenyap. Keadaan semakin menjadi-jadi ketika era globalisasi gagal menyajikan keadilan dan kesejahteraan sebagai menu wajibnya.

Begitu kompleksnya masalah fundamentalisme, radikalisme dan terorisme. Untuk itu, Amin Abdullah mengingatkan agar pendekatan untuk menanggulangi problematika ini tak tunggal. Menurut mantan rektor UIN Yogyakarta selama dua periode ini, lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam upaya deradikalisasi agama. Berikut ini perbincangan Lazuardi Birru dengan mantan Wakil Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005.

Belakangan ini perkembangan terorisme dan radikalisme semakin menggurita. Bagaimana pendapat Anda tentang fenomena ini?
Menurut saya radikalisme adalah anak kandung modernitas. Karena itu melihatnya harus multi perspektif. Secara paradigmatik, kita harus melihat dari pelbagai sisi dan dimensi. Lalu keterkaitan pelbagai dimensi itu seperti apa dan bagaimana bentuk worldview-nya kemudian memiliki implikasi sosial kemasyarakatan semacam apa. Saya kira momentumnya paskaperang dunia. Ketika negara-negara di bawah imperialisme merdeka lalu kemudian diuji. Artinya anak-anak negeri, pemimpin-pemimpin baru dalam dunia Islam ini seperti apa. Apakah bercita-cita ingin memakmurkan dunia versi Barat tercapai atau tidak. Misalnya kritik di Mesir dimulai dari sana. Terhadap kepemimpinan baru, mereka tidak puas. 

Entah itu Jamal Abdul Nasr bahkan Anwar Sadat. Kompleks masalahnya, karena terkait dengan masalah politik, agama atau ekonomi. Selain ketidakpuasan, mungkin ada juga ketidaksabaran. Bagaimana mungkin negara yang baru sepuluh atau dua puluh tahun lalu perform, itu tidak mungkin. Barat bisa seperti ini karena sudah pernah mengalami jatuh-bangun selama dua ratus hingga tiga ratus tahun. Ini baru tiga puluh tahun sudah macam-macam masalahnya, Anwar Sadat ditembak dan lain-lain. Dari situ bermula sebetulnya lalu mekar ke mana-mana termasuk di Indonesia.

Saat ini gerakan Islam semakin berani dan ekstrim. Apakah memang ada pembenaran dari agama Islam itu sendiri?
Di situ yang belum jelas saya kira. Karena ketika kita mendeklarasikan nation state pada tahun 1945, founding fathers tidak mendadak menemukan Pancasila sebagai basis kenegaraan. Lalu pemikiran mendalam para founding fathers menyimpulkan bahwa memang tidak bisa negara didasarkan atas agama. Jadi Pancasila dalam arti NKRI, persatuan Indonesia adalah fikih baru. Fikih NKRI inilah yang kemudian tidak matched dengan fikih siyasah era sebelumnya, fikih abad pertengahan atau klasik yang ada dalam kitab kuning. Orang-orang yang sekarang masih hidup, terkadang mempelajari fikih yang ada di kitab kuning. Tetapi tidak mempelajari dan mendalami bagaimana fikih siyasah dalam kitab putih yakni nation state. Itu agenda yang belum selesai sama sekali meskipun sudah merdeka 66 tahun.

Artinya belum ada fikih yang menjembatani antara paham agama dan nation state ini?
Sebagian seperti itu. Tidak hanya menjembatani tetapi juga mengawinkan atau menyatukan unsur-unsur kimiawinya. Unsur kimiawi antara agama, model teokrasi, dengan negara yang bermodel demokrasi. Dalam Islam belum ada penyatuan harmonis berbagai macam unsur kimiawi tersebut. Lihat saja mayoritas muslim seperti di Pakistan, Malaysia atau Indonesia.

Rupanya dinamika sekarang ditumpangi kelompok-kelompok kecil seperti kelompok Abu Bakar Ba’asyir atau yang semi ilmiah HTI. Mereka menafsirkan agama sedemikian ekstrim. Kira-kira civil society perlu agenda seperti apa untuk membendung dan mengikis paham-paham seperti itu?
Bagi saya langkahnya harus multi approach. Tidak bisa single approach untuk membendung pemahaman-pemahaman seperti itu. Kalau single approach terkesan reaktif dan kurang menyelesaikan masalah. Tetapi yang perlu digali adalah apa akar dari fenomena ini. Jadi orang yang hidup di era globalisasi dan berada dalam kondisi-kondisi paskamodernitas seperti sekarang ini harus menyadari hal-hal seperti adanya international law dan PBB.

Selain NKRI, ada PBB dengan hak-hak yang ditetapkan seperti kebebasan beragama atau berkeyakinan. Ini adalah fikih baru. Lantas bagaimana menghadapinya dengan prinsip-prinsip ushul fiqih lama? Artinya saat ini dalam benak kita berisi data-data dari tiga zaman yakni klasikal, modernitas dalam arti nation state, tetapi juga ada globalisasi dalam arti ada international law. Tiga bahan baku ini di dalam proses pengajaran agama, baik level apapun, harus dilihat. Jangan-jangan tidak menyentuh antara satu dengan yang lain. Terlebih lagi tidak pernah dibahas. Dibahas pun mungkin hanya terpenggal-penggal. Jadi fiqih kenegaraan kita tidak hanya fikih Islam lama tetapi juga Islam baru dalam arti nation state dan kemudian ada fiqih terbaru terkait dengan bagaimana berhubungan dengan dunia internasional. Saat ini ketiga hal tersebut harus menjadi satu paket dalam pembelajaran. Jadi saya bicara hulunya. Kalau hulunya saja tidak integrated, maka bagaimana hilirnya. Hilirnya sebagaimana anda katakan tentang kekerasan dan sebagainya. Jadi harus dicek ulang hulunya, bagaimana kurikulum di perguruan tinggi dan SMA misalnya.

Jadi sebenarnya yang berperan sangat krusial adalah lembaga pendidikan?
Persis. Lembaga pendidikan, institusi-institusi sosial-keagamaan termasuk lembaga-lembaga non-govermental sangat berperan dalam hal ini. Tetapi jangan lupa jangan-jangan mereka banyak menangani hilirnya saja. Belum menangani hulu. Jadi akan terus menerus terulang kejadian ini.

Terkait dengan hulu. Apakah itu bisa dikatakan sangat berhubungan dengan ideologi. Lantas dari mana munculnya ideologi semacam ini kalau dirunut dari pemikiran-pemikiran keislaman?
Ya bisa. Kurikulum juga ada ideologinya. Ideologi bukan berarti negara. Kurikulum baik di SLTP, SLTA apalagi perguruan tinggi memiliki ideologi. Ideologinya apakah hanya berbasis pada medieavel and traditional dan merasa cukup berada di situ tanpa mengawinkan dengan modernitas dalam arti nation state, NKRI. Itu sudah bisa dikatakan ideologi. Tetapi kalau kita ingin mengawinkan di antara dua unsur tersebut juga merupakan ideologi. Apalagi mengawinkan juga dengan unsur yang ketiga, hubungan internasional, ini yang paling berat. Kasus-kasus baru, seperti TKW atau TKI, itu terkait dengan hubungan internasional.

Ada dialog yang tidak sampai?
Ya. Bahkan tidak sampai ilmunya bahwa di situ ada PBB. Tidak memahami protokoler jika hendak menindaklanjuti eksekusi misalnya. Itu semua karena pendidikan. Jadi saya melihat ideologi kurikulum belum terarah ke hal-hal seperti ini. Berat memang orang yang hidup sekarang ini karena sudah mengalami tiga periodisasi tersebut. Jika periodesasi dipenggal maka akan bermasalah. Seperti sekarang ini misalnya, mengeksekusi namun tidak memberitahu pihak negara asal orang yang bermasalah tersebut. Itu sudah melanggar hubungan internasional protokoler. Itu potret kecil dari yang kita bicarakan.

Jadi kelompok radikal tidak memahami tiga gradasi zaman ini. Atau jangan-jangan mereka menutupi hal tersebut?
Semua sebetulnya perang kepentingan. Ada kepentingan nasionalisme, internasionalisme dan Islam. Tetapi ada juga kepentingan yang hanya memperjuangkan Islamisme, tidak perlu menyebut negara, meskipun orang tersebut adalah warga negara. Artinya ada gap, orang tidak peduli dengan negara karena baginya Islam yang paling penting. Jika Negara saja tidak dipedulikan, apalagi PBB, mereka semakin tidak peduli.

Kira-kira apa yang perlu dilakukan bersama-sama di kalangan umat muslim seperti NU, Muhammadiyah atau Persis untuk membangun paham keagamaan yang lebih toleran?     
Karena masalahnya sangat kompleks seperti itu, maka segala lapis atau lini harus dilewati. Dari segi pendidikan seperti yang saya ungkapkan tadi. Jadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama harus menyatu. Termasuk Kementerian Hukum dan HAM, juga Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi juga baru akan melakukan kampanye tentang ke-Indonesiaan, tentang konstitusi. Meskipun sebenarnya kesadaran konstitusi itu era modern. Jadi memang meskipun berumur 66 tahun, kita baru memulai kembali. Artinya nation building kita tertinggal. Gerakan-gerakan sipil seperti NU dan Muhammadiyah terkadang juga kurang konsisten. Mengatakan Pancasila sudah final saja masih ragu-ragu misalnya. Itu berarti ada sisa-sisa persoalan. Jadi saya kira semua lini harus berjalan untuk mengupayakan deradikalisasi agama.

Terkait dengan hadirnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, kiranya sudah cukup atau tidak?   
Tentu untuk penanganan terorisme tidak cukup sekedar undang-undang sebagaimana yang saya ungkapkan tadi. Karena di atas itu semua sebenarnya juga menyangkut kesejahteraan rakyat pada umumnya. Maka terkait kesejahtaraan ini, memang bagaimanapun negara harus memperhatikan. Nation-state harus fokus pada keadilan dan kesejahteraan. Jadi harus utuh melihat persoalan. Radikalisme juga bisa dikatakan sebagai ekspresi ketidakpuasan atas what’s going on. Tentu saja macam-macam persoalannya, bisa internal problem, kesejahtaraan atau trans-internasional problem, belum lagi pemahaman-pemahaman kemanusiaan universal. Jadi kompleks dan semuanya harus dirambah.

Di UI Jakarta sudah ada pascasarjana yang berkosentrasi pada studi antiterorisme. Kenapa tidak di UIN?
Saya pernah berbicara ketika hendak ada pembaharuan studi Islam di UII, sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Saya katakan ke teman-teman yang mengajar studi-studi Islam, “Sepertinya tidak ada perubahan di dalam kurikulum”. Saya ceritakan bahwa saya baru berkunjung ke Singapura, tepatnya Faculty of Education di NUS (National University of Singapore). Ketika saya membuka liflet di perguruan tersebut, ada mata kuliah introduction to terrorism yang kalau tidak salah untuk semester-semester awal. Saat itu saya mengingatkan pada pengajar-pengajar kajian Islam di UII bahwa jangan-jangan apa yang kita ajarkan sudah tidak kontekstual. Sebab selama ini tidak pernah menyentuh isu-isu terorisme.
Di Singapura yang tidak pernah terkena teror saja, mempelajari terorisme. Sementara kita yang terkena teror sejak tahun 2002 sampai sekarang malah tidak ada. Refleksi UII tersebut otomatis berimbas ke UIN juga. Maka memang harus ada gerakan moral yang luar biasa. Maksud saya seluruh anggota senat-senat di perguruan tinggi Islam, baik negeri ataupun swasta, harus berani memperbaiki kurikulumnya. Tetapi anda tahu mentalitas PNS. Jadi anggota senat pun tidak peduli. Mestinya ketika ada krisis menjadi momentum atau inspirasi untuk memperbaiki kurikulum (Emhajid).

 Biodata:
Nama Lengkap                                  : Prof. Dr. Amin Abdullah, MA
Tempat, Tanggal Lahir                    : Pati, 28 Juli 1953
Pekerjaan                                           : Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendidikan                                         : S3 Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

SumberLazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar