Peristiwa serangan terhadap menara kembar World Trade Center
(WTC) dan gedung Pentagon Washington DC, Amerika Serikat pada 11
September 2001 silam, membuat negara adikuasa tersebut murka. Beberapa
waktu setelah insiden itu, Presiden George W Bush langsung mengeluarkan
pernyataan perang melawan teror (war on terror). Peristiwa serangan ini adalah aksi teror terbesar yang terjadi di negara Amerika dan terdahsyat di abad modern ini.
Menurut Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Azyumardi Azra, salah satu
tantangan besar yang dihadapi umat muslim dan organisasi masyarakat arus
utama Islam lainnya di Indonesia bahkan di dunia Islam lainnya adalah
meningkatnya radikalisme dan bahkan terorisme di kalangan muslim.
Peristiwa 11 September 2001 yang diikuti serangan Amerika dan para
sekutunya ke Afganistan dan Irak serta konflik Israel dan Palestina
menjadi salah satu faktor terpenting meningkatnya radikalisme dan
terorisme di kalangan muslim tertentu.
Azyumardi mengatakan, salah satu penyebab
terpenting munculnya radikalisme dan terorisme adalah kegagalan
negara-negara muslim sendiri dalam mengembangkan model pembangunan
politik dan ekonomi yang viable untuk memperbaiki kesejahteraan
warga. Para penguasa di negara-negara muslim gagal memenuhi janji-jani
kemajuan politik dan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Kondisi tersebut
mendorong tidak hanya kekecewaan, apatisme dan alienasi, tetapi juga
perlawanan terhadap rezim-rezim penguasa muslim dan Dunia Barat sebagai
pendukung mereka.
Ia berpendapat proses radikalisasi di
kalangan masyarakat muslim tidak sederhana, sumbernya terdapat secara
internal di dalam masalah-masalah di negara-negara muslim sendiri,
penafsiran konsep jihad yang keliru, dan adanya faktor-faktor eksternal
yang mendorongnya. Sedangkan akar terorisme sangat kompleks yang bisa
merupakan gabungan dari berbagai faktor, sejak dari ketidakpuasan
politik domestik dan internasional, kemiskinan, keterbelakangan
pendidikan, penafsiran literal dan sepotong-potong atas agama, alienasi
dan ketercerabutan budaya.
Penyelesaian radikalisasi, kata dia,
memerlukan pembenahan seperti kebijakan politik di wilayah-wilayah kaum
muslim sendiri, sosialisasi pemahaman yang benar tentang jihad dan
penyelesaian masalah-masalah di dunia muslim yang melibatkan Amerika dan
Dunia Barat umumnya. Sementara penanganan terorisme memerlukan
multi-facetted, multi-track dan komprehensif. Respon militer dan
keamanan tak akan mampu menangani terorisme. Sebaliknya, justru dapat
kontraproduktif dan menciptakan berbagai ekses yang pada gilirannya
menciptakan “lingkaran terorisme” yang sulit diakhiri.
Menurut dia terorisme tak dapat dibasmi
melalui tindakan unilateral, melainkan harus kerjasama multi-lateral
khususunya lembaga internasional seperti PBB. Unilateralisme negara pada
tingkat internasional hanya akan menumbuhkan ketegangan internasional
dan meningkatkan ketegangan di antara masyarakat-masyarakat dunia.
Berikut perbincangan Lazuardi Birru dengan pria asal Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat ini.
Bagaimana pandangan Anda soal terorisme berbasis agama di Indonesia?
Saya tidak sebut sebagai terorisme
berbasis agama. Terorisme bukan berbasis agama melainkan dijustifikasi
dengan doktrin-doktrin agama. Jadi bukan agamanya menjadi basis namun
kegiatan terorisme coba dijustifikasi dengan ajaran agama atau konsep
tertentu di dalam agama. Atas dasar ajaran agama mereka melakukan
terorisme. Terorisme lebih banyak didasarkan atas dasar kepentingan
politik namun kemudian coba diberikan justifikasi keagamaan.
Bukankah terorisme dipicu karena pemahaman agama yang radikal?
Memang ada pemahaman keagamaan yang
radikal namun bukan agama yang mendasari seseorang melakukan terorisme,
tetapi motif dasarnya kepentingan politik. Misalnya kelompok mereka
ingin membentuk negara Islam maka untuk mencapainya mereka melakukan
kekerasan di antaranya dengan teror.
Apa pendapat Anda tentang jihad bom bunuh diri yang menyerang non-muslim?
Aksi gerakan radikal seperti itu tidak
berdiri sendiri tapi banyak faktornya. Di antaranya pemahaman keagamaan
yang sempit dan sepotong-potong dan kebijakan/langkah politik di tingkat
internasional yang menimbulkan kemarahan seperti konflik
Israel-Palestin. Hal itu dijadikan alasan bagi gerakan radikal untuk
melakukan kekerasan. Padahal Islam secara keseluruhan tidak menganjurkan
kekerasan melainkan harus dicari cara damainya. Saya melihat
gerakan-gerakan radikal dan teror lebih terkait dengan agenda-agenda
politik dibanding agenda keagamaan.
Pelaku teror mengklaim bahwa aksinya karena perintah kitab suci. Menurut Anda apakah benar demikian?
Di dalam kitab suci tidak ada ajaran yang
mengajarkan kekerasan. Mereka memiliki motif politik kemudian dicari
justifikasi berupa ayat-ayat tertentu dan ditafsirkan sendiri yang
dilepas dari konteksnya lalu seolah-olah agama mengajarkan/menganjurkan
terorisme. Mana ada Islam mengajarkan terorisme? Al-quran dan hadis
tidak ada yang mengajarkan terorisme. Pada dasarnya agama tidak
mengajarkan terorisme.
Apakah pemerintah sudah mengambil langkah penanganan maksimal soal terorisme?
Sebagian sudah terutama melalui Densus 88
dan BNPT. Namun cara penanggulangannya banyak sporadis seperti kegiatan
deradikalisasi. Program deradikalisasi seolah-olah diserahkan kepada
Densus dan BNPT padahal mesti dilakukan multi kementerian misalnya
Kemensos, Kemenag, Kemendikbud, dan Kemenakertrans. Setahu saya
penanggulangan terorisme sporadis dan tidak komprehensif. Sebab tidak
ada keterlibatan kementerian.
Misalnya, Bimas Islam Kementerian Agama
mengirimkan ustadz untuk diskusi dengan tahanan pelaku terorisme. Setahu
saya itu tidak ada diskusi seperti itu, hanya ngomong saja.
Berdiskusi soal agama dengan mereka tentang penafsiran eks teroris yang
sudah sadar seperti Nasir Abas. Ia sering berdiskusi dengan pelaku
terorisme. Kemenag tidak pernah melakukan itu. Berbeda dengan Majelis
Ulama Islam Singapura (MUIS) yang turun tangan mengirimkan ustadz ke
penjara yang ada orang JI dan melakukan diskusi.
Bagaimana agar langkah penanganan terorisme efektif. Apakah perlu meniru negara lain?
Kita tidak harus meniru Singapura. Soal
program tidak usah meniru negara lain, saya hanya menekankan
penanganannya harus komprehensif melibatkan kementerian terkait dan
organisasi relevan. Mereka harus dilibatkan karena sel teroris merekrut
anak di sekolah.
Apakah perlu hukuman pelaku terorisme diperberat?
Itu langkah berikutnya. Sebetulnya jika
penanganan deradikalisasi cukup baik, saya kira hukuman berat belum
tentu membuat orang jera. Yang penting memberikan keinsafan dan
kesadaran kepada mereka bahwa tindakan kekerasan dan terorisme tidak
akan pernah menyelesaikan masalah. Mereka harus diajak diskusi.
Bagaimana pembagian peran antara pemerintah dan ormas dalam pencegahan terorisme?
Tidak usah bagi-bagi tugas tetapi yang
penting pemerintah memfasilitasi saja karena organisasi masyakarat sipil
tidak punya dana untuk itu. Pemerintah jangan hanya teriak untuk
membantu tapi tidak memfasilitasi, hanya ada beberapa organisasi yang
berperan salah satunya Lazuardi Birru. Namun LSM tidak punya jaringan ke
bawah, sedangkan yang memiliki jaringan ke bawah yaitu NU dan
Muhammadiyah. Mereka harus difasilitasi pemerintah. Setahu saya, selama
ini tidak ada dan jika ada hanya basa basi saja tidak serius.
Seberapa potensial peran ormas tersebut?
Mereka potensial namun tidak punya dana.
Sementara dana penanggulangan dana terorisme besar tapi tidak digunakan
secara efektif dan efesien misalnya melibatkan sivil society.
Setahu saya ada MoU antara NU dengan BNPT tapi tidak ada
tindaklanjutnya. Mungkin kerjasamanaya masih diskusi program. Saya
melihat NU dan Muhammadiyah memiliki program deradikalisasi atau
pencegahan terorisme.
Pemerintah tidak melihat potensi mereka?
Pemerintah tidak peduli atau tidak mau
tahu. Pemerintah sekarang bukan hanya soal terorisme tapi soal lain juga
tidak bisa berjalan dengan baik. Masyarakat berjalan sendiri, jadi ada
pemerintah atau tidak tidak terlalu penting. Ironis memang padahal
duitnya banyak. Semestinya pemerintah jika ingin menyelesaikan itu maka
bisa melaksanakannya namun sayang tidak ada kemauan.
Ada usulan TNI perlu dilibatkan dalam penanganan terorisme. Apa pendapat Anda?
Tidak usah nanti menimbulkan komplikasi
baru. Tingkatkan saja kinerja Densus 88 karena selama ini sudah cukup
berhasil. Di mata dunia Densus 88 sudah termasuk paling sukses dalam
memberantas terorisme. Jika instansi tidak terlalu berat maka masyarakat
sipil bisa dengan mudah mengontrolnya. Hanya saya kira tidak punya
mitra yang memadai dari masyarakat sipil karena kebijakan pemerintah
tidak jelas. Pemerintah menyerahkan semuanya ke Densus 88 tapi tidak ada
kebijakan komprehensif untuk melakukan deradikalisasi dan pencegahan
terorisme serta pelibatan masyarakat sipil. Bahkan komunikasi presiden
dengan masyarakat sipil tidak berjalan baik.
Apakah UU Antiterorisme tidak cukup untuk penanganan terorisme?
Sementara cukup. Saya mendengar agar
hukumannya akan lebih berat. Saya kira tidak usah berlebihan karena yang
ada sekarang sudah memadai dan kegiatan terorisme relatif berkurang
meskipun tidak bisa dibilang sudah hilang sama sekali. Tidak usah
berlebihan tapi yang ada dimanfaatkan lalu didukung masyarakat.
BNPT mengusulkan ada pengadilan khusus untuk pelaku terorisme. Apa komentar Anda?
Tidak usah, saya kira itu berlebihan.
Memang terorisme tindakan kejahatan luar biasa tapi penanganganannya
tidak usaha berlebihan. Efektifkan saja yang ada. Saya setuju misalnya
orang yang terbukti terlibat terorisme penjaranya dipisahkan dan jangan
dicampur dengan tahanan narkoba atau tahanan lainnya. Kalau bisa ada
tahanan terpisah, tapi saya tidak bisa menggambarkannya karena itu soal
teknis.
Fenomena terorisme di
Indonesia tak seperti di Malaysia dan Singapura. Misalnya di Malaysia
menerapkan ISA untuk menangani terorisme?
Tidak bisa dibandingkan dengan mereka.
Saya tidak suka jika Indonesia dibandingkan dengan mereka. Indonesia
negara demokratis sementara Malaysia dan Singapura negara totaliter.
Luas dan besar negara Indonesia juga tidak sebanding dengan mereka. Saya
juga tidak setuju jika berlebih-lebihan. Yang sudah ada cukup memadai
jadi jangan dipaksakan supaya modelnya seperti Malaysia atau
menghidupkan kembali UU antisubversif atau akta keamanan dalam negeri.
Saya tidak setuju dengan itu semua. Kerjasama antara pemerintah dengan
masyarakat sipil saja ditingkatkan, itu yang penting. Jika berlebihan
bisa menimbulkan kontraproduktif atau menimbulkan perlawanan dari
masyarakat.
Pendidikan dinilai memiliki peran efektif mencegah terorisme. Bagaimana Anda melihat peran pendidikan dalam mencegah terorisme?
Peran dan potensi lembaga pendidikan
besar tapi tidak dilakukan. Saya kira pemerintah tidak melakukan
pembinaan terhadap OSIS dan organisasi kemahasiswaan. Kemendiknas dan
Kemenag tidak punya kepedulian karena tidak ada langkah koordinatif di
antara mereka.
Apakah perlu muatan kurikulum antiterorisme?
Tidak perlu karena muatan kurikulum saat
ini sudah terlalu banyak. Yang penting pemberian perspektif melalui guru
agama dan mata pelajaran Pancasila atau pelajaran lain yang relevan.
Beban pendidikan kita sudah terlalu banyak jadi jangan ditambah dengan
pendidkan antiterorisme. Yang penting kepala sekolah, guru, siswa, dan
aktifis organisasi kemahasiswaan harus disadarkan tentang bahaya
terorisme.
Menurut Anda apakah pemahaman guru agama sudah moderat?
Kita tidak bisa mengeneralisasi, memang
ada guru atau dosen yang pemahaman keagamaannya harfiah atau radikal
seolah membenarkan terorisme. Karena itu, program sosialisasi bahaya
terorisme dan peningkatan paham kebangsaan sangat penting [Akhwani].
Biodata:
Nama Lengkap : Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Tempat, Tanggal Lahir : Lubuk Alung, 4 Maret 1955
Pekerjaan : Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan : S3 Departemen Sejarah Universitas Columbia, Amerika Serikat
Email : azyumardiazra@yahoo.com
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar