Kamis, 20 Desember 2012

Azyumardi Azra: Penanganan Terorisme Harus Komprehensif



Peristiwa serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon Washington DC, Amerika Serikat pada 11 September 2001 silam, membuat negara adikuasa tersebut murka. Beberapa waktu setelah insiden itu, Presiden George W Bush langsung mengeluarkan pernyataan perang melawan teror (war on terror). Peristiwa serangan ini adalah aksi teror terbesar yang terjadi di negara Amerika dan terdahsyat di abad modern ini.

Menurut Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Azyumardi Azra, salah satu tantangan besar yang dihadapi umat muslim dan organisasi masyarakat arus utama Islam lainnya di Indonesia bahkan di dunia Islam lainnya adalah meningkatnya radikalisme dan bahkan terorisme di kalangan muslim. Peristiwa 11 September 2001 yang diikuti serangan Amerika dan para sekutunya ke Afganistan dan Irak serta konflik Israel dan Palestina menjadi salah satu faktor terpenting meningkatnya radikalisme dan terorisme di kalangan muslim tertentu.

Azyumardi mengatakan, salah satu penyebab terpenting munculnya radikalisme dan terorisme adalah kegagalan negara-negara muslim sendiri dalam mengembangkan model pembangunan politik dan ekonomi yang viable untuk memperbaiki kesejahteraan warga. Para penguasa di negara-negara muslim gagal memenuhi janji-jani kemajuan politik dan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Kondisi tersebut mendorong tidak hanya kekecewaan, apatisme dan alienasi, tetapi juga perlawanan terhadap rezim-rezim penguasa muslim dan Dunia Barat sebagai pendukung mereka.

Ia berpendapat proses radikalisasi di kalangan masyarakat muslim tidak sederhana, sumbernya terdapat secara internal di dalam masalah-masalah di negara-negara muslim sendiri, penafsiran konsep jihad yang keliru, dan adanya faktor-faktor eksternal yang mendorongnya. Sedangkan akar terorisme sangat kompleks yang bisa merupakan gabungan dari berbagai faktor, sejak dari ketidakpuasan politik domestik dan internasional, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, penafsiran literal dan sepotong-potong atas agama, alienasi dan ketercerabutan budaya.

Penyelesaian radikalisasi, kata dia, memerlukan pembenahan seperti kebijakan politik di wilayah-wilayah kaum muslim sendiri, sosialisasi pemahaman yang benar tentang jihad dan penyelesaian masalah-masalah di dunia muslim yang melibatkan Amerika dan Dunia Barat umumnya. Sementara penanganan terorisme memerlukan multi-facetted, multi-track dan komprehensif. Respon militer dan keamanan tak akan mampu menangani terorisme. Sebaliknya, justru dapat kontraproduktif dan menciptakan berbagai ekses yang pada gilirannya menciptakan “lingkaran terorisme” yang sulit diakhiri.

Menurut dia terorisme tak dapat dibasmi melalui tindakan unilateral, melainkan harus kerjasama multi-lateral khususunya lembaga internasional seperti PBB. Unilateralisme negara pada tingkat internasional hanya akan menumbuhkan ketegangan internasional dan meningkatkan ketegangan di antara masyarakat-masyarakat dunia.

Berikut perbincangan Lazuardi Birru dengan pria asal Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat ini.

Bagaimana pandangan Anda soal terorisme berbasis agama di Indonesia?
Saya tidak sebut sebagai terorisme berbasis agama. Terorisme bukan berbasis agama melainkan dijustifikasi dengan doktrin-doktrin agama. Jadi bukan agamanya menjadi basis namun kegiatan terorisme coba dijustifikasi dengan ajaran agama atau konsep tertentu di dalam agama. Atas dasar ajaran agama mereka melakukan terorisme. Terorisme lebih banyak didasarkan atas dasar kepentingan politik namun kemudian coba diberikan justifikasi keagamaan.

Bukankah terorisme dipicu karena pemahaman agama yang radikal?
Memang ada pemahaman keagamaan yang radikal namun bukan agama yang mendasari seseorang melakukan terorisme, tetapi motif dasarnya kepentingan politik. Misalnya kelompok mereka ingin membentuk negara Islam maka untuk mencapainya mereka melakukan kekerasan di antaranya dengan teror.

Apa pendapat Anda tentang jihad bom bunuh diri yang menyerang non-muslim?
Aksi gerakan radikal seperti itu tidak berdiri sendiri tapi banyak faktornya. Di antaranya pemahaman keagamaan yang sempit dan sepotong-potong dan kebijakan/langkah politik di tingkat internasional yang menimbulkan kemarahan seperti konflik Israel-Palestin. Hal itu dijadikan alasan bagi gerakan radikal untuk melakukan kekerasan. Padahal Islam secara keseluruhan tidak menganjurkan kekerasan melainkan harus dicari cara damainya. Saya melihat gerakan-gerakan radikal dan teror lebih terkait dengan agenda-agenda politik dibanding agenda keagamaan.

Pelaku teror mengklaim bahwa aksinya karena perintah kitab suci. Menurut Anda apakah benar demikian?
Di dalam kitab suci tidak ada ajaran yang mengajarkan kekerasan. Mereka memiliki motif politik kemudian dicari justifikasi berupa ayat-ayat tertentu dan ditafsirkan sendiri yang dilepas dari konteksnya lalu seolah-olah agama mengajarkan/menganjurkan terorisme. Mana ada Islam mengajarkan terorisme? Al-quran dan hadis tidak ada yang mengajarkan terorisme. Pada dasarnya agama tidak mengajarkan terorisme.

Apakah pemerintah sudah mengambil langkah penanganan maksimal soal terorisme?
Sebagian sudah terutama melalui Densus 88 dan BNPT. Namun cara penanggulangannya banyak sporadis seperti kegiatan deradikalisasi. Program deradikalisasi seolah-olah diserahkan kepada Densus dan BNPT padahal mesti dilakukan multi kementerian misalnya Kemensos, Kemenag, Kemendikbud, dan Kemenakertrans. Setahu saya penanggulangan terorisme sporadis dan tidak komprehensif. Sebab tidak ada keterlibatan kementerian.

Misalnya, Bimas Islam Kementerian Agama mengirimkan ustadz untuk diskusi dengan tahanan pelaku terorisme. Setahu saya itu tidak ada diskusi seperti itu, hanya ngomong saja. Berdiskusi soal agama dengan mereka tentang penafsiran eks teroris yang sudah sadar seperti Nasir Abas. Ia sering berdiskusi dengan pelaku terorisme. Kemenag tidak pernah melakukan itu. Berbeda dengan Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS) yang turun tangan mengirimkan ustadz ke penjara yang ada orang JI dan melakukan diskusi.

Bagaimana agar langkah penanganan terorisme efektif. Apakah perlu meniru negara lain?
Kita tidak harus meniru Singapura. Soal program tidak usah meniru negara lain, saya hanya menekankan penanganannya harus komprehensif melibatkan kementerian terkait dan organisasi relevan. Mereka harus dilibatkan karena sel teroris merekrut anak di sekolah.

Apakah perlu hukuman pelaku terorisme diperberat?
Itu langkah berikutnya. Sebetulnya jika penanganan deradikalisasi cukup baik, saya kira hukuman berat belum tentu membuat orang jera. Yang penting memberikan keinsafan dan kesadaran kepada mereka bahwa tindakan kekerasan dan terorisme tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Mereka harus diajak diskusi.

Bagaimana pembagian peran antara pemerintah dan ormas dalam pencegahan terorisme?
Tidak usah bagi-bagi tugas tetapi yang penting pemerintah memfasilitasi saja karena organisasi masyakarat sipil tidak punya dana untuk itu. Pemerintah jangan hanya teriak untuk membantu tapi tidak memfasilitasi, hanya ada beberapa organisasi yang berperan salah satunya Lazuardi Birru. Namun LSM tidak punya jaringan ke bawah, sedangkan yang memiliki jaringan ke bawah yaitu NU dan Muhammadiyah. Mereka harus difasilitasi pemerintah. Setahu saya, selama ini tidak ada dan jika ada hanya basa basi saja tidak serius.

Seberapa potensial peran ormas tersebut?
Mereka potensial namun tidak punya dana. Sementara dana penanggulangan dana terorisme besar tapi tidak digunakan secara efektif dan efesien misalnya melibatkan sivil society. Setahu saya ada MoU antara NU dengan BNPT tapi tidak ada tindaklanjutnya. Mungkin kerjasamanaya masih diskusi program. Saya melihat NU dan Muhammadiyah memiliki program deradikalisasi atau pencegahan terorisme.

Pemerintah tidak melihat potensi mereka?
Pemerintah tidak peduli atau tidak mau tahu. Pemerintah sekarang bukan hanya soal terorisme tapi soal lain juga tidak bisa berjalan dengan baik. Masyarakat berjalan sendiri, jadi ada pemerintah atau tidak tidak terlalu penting. Ironis memang padahal duitnya banyak. Semestinya pemerintah jika ingin menyelesaikan itu  maka bisa melaksanakannya namun sayang tidak ada kemauan.

Ada usulan TNI perlu dilibatkan dalam penanganan terorisme. Apa pendapat Anda?
Tidak usah nanti menimbulkan komplikasi baru. Tingkatkan saja kinerja Densus 88 karena selama ini sudah cukup berhasil. Di mata dunia Densus 88 sudah termasuk paling sukses dalam memberantas terorisme. Jika instansi tidak terlalu berat maka masyarakat sipil bisa dengan mudah mengontrolnya. Hanya saya kira tidak punya mitra yang memadai dari masyarakat sipil karena kebijakan pemerintah tidak jelas. Pemerintah menyerahkan semuanya ke Densus 88 tapi tidak ada kebijakan komprehensif untuk melakukan deradikalisasi dan pencegahan terorisme serta pelibatan masyarakat sipil. Bahkan komunikasi presiden dengan masyarakat sipil tidak berjalan baik.

Apakah UU Antiterorisme tidak cukup untuk penanganan terorisme?
Sementara cukup. Saya mendengar agar hukumannya akan lebih berat. Saya kira tidak usah berlebihan karena yang ada sekarang sudah memadai dan kegiatan terorisme relatif berkurang meskipun tidak bisa dibilang sudah hilang sama sekali. Tidak usah berlebihan tapi yang ada dimanfaatkan lalu didukung masyarakat.

BNPT mengusulkan ada pengadilan khusus untuk pelaku terorisme. Apa komentar Anda?
Tidak usah, saya kira itu berlebihan. Memang terorisme tindakan kejahatan luar biasa tapi penanganganannya tidak usaha berlebihan. Efektifkan saja yang ada. Saya setuju misalnya orang yang terbukti terlibat terorisme penjaranya dipisahkan dan jangan dicampur dengan tahanan narkoba atau tahanan lainnya. Kalau bisa ada tahanan terpisah, tapi saya tidak bisa menggambarkannya karena itu soal teknis.

Fenomena terorisme di Indonesia tak seperti di Malaysia dan Singapura. Misalnya di Malaysia menerapkan ISA untuk menangani terorisme?
Tidak bisa dibandingkan dengan mereka. Saya tidak suka jika Indonesia dibandingkan dengan mereka. Indonesia negara demokratis sementara Malaysia dan Singapura negara totaliter. Luas dan besar negara Indonesia juga tidak sebanding dengan mereka. Saya juga tidak setuju jika berlebih-lebihan. Yang sudah ada cukup memadai jadi jangan dipaksakan supaya modelnya seperti Malaysia atau menghidupkan kembali UU antisubversif atau akta keamanan dalam negeri. Saya tidak setuju dengan itu semua. Kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat sipil saja ditingkatkan, itu yang penting. Jika berlebihan bisa menimbulkan kontraproduktif atau menimbulkan perlawanan dari masyarakat.

Pendidikan dinilai memiliki peran efektif mencegah terorisme. Bagaimana Anda melihat peran pendidikan dalam mencegah terorisme?
Peran dan potensi lembaga pendidikan besar tapi tidak dilakukan. Saya kira pemerintah tidak melakukan pembinaan terhadap OSIS dan organisasi kemahasiswaan. Kemendiknas dan Kemenag tidak punya kepedulian karena tidak ada langkah koordinatif di antara mereka.

Apakah perlu muatan kurikulum antiterorisme?
Tidak perlu karena muatan kurikulum saat ini sudah terlalu banyak. Yang penting pemberian perspektif melalui guru agama dan mata pelajaran Pancasila atau pelajaran lain yang relevan. Beban pendidikan kita sudah terlalu banyak jadi jangan ditambah dengan pendidkan antiterorisme. Yang penting kepala sekolah, guru, siswa, dan aktifis organisasi kemahasiswaan harus  disadarkan tentang bahaya terorisme.

Menurut Anda apakah pemahaman guru agama sudah moderat?
Kita tidak bisa mengeneralisasi, memang ada guru atau dosen yang pemahaman keagamaannya harfiah atau radikal seolah membenarkan terorisme. Karena itu, program sosialisasi bahaya terorisme dan peningkatan paham kebangsaan sangat penting [Akhwani].

Biodata:
Nama Lengkap                        : Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
Tempat, Tanggal Lahir           : Lubuk Alung, 4 Maret 1955
Pekerjaan                                : Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan                              : S3 Departemen Sejarah Universitas Columbia, Amerika Serikat
Email                                       : azyumardiazra@yahoo.com

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)



SumberLazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar