Peran media cukup efektif sebagai medium
untuk mencounter penyebaran ideologi radikal yang menjadi sumber
tindakan terorisme. Namun media juga secara tidak sadar kadang menjadi
pendukung pasif penyebaran gagasan ideologi ini. Letak pendukung
pasifnya pada pilihan diksi, istilah-istilah yang digunakan oleh pelaku
terorisme, seperti kata “pengantin dan mujahid.”
“Istilah ini mereka agungkan dan mereka
muliakan. Jadi kalau media menggunakan istilah ini (pengantin dan
mujahid, red) dalam memberitakan terorisme, berarti media telah membantu
menyebarkan pemahaman mereka,” kata mantan Ketua Mantiqi III Jamaah
Islamiyah, Nasir Abas pada Lazuardi Birru, di Jakarta.
Menurut Nasir, ketika media menggunakan
istilah-istilah yang menjadi motivasi kelompok radikal dalam melakukan
tindakan terorisme, seperti kata “pengantin, mujahid, dan bom bunuh
diri” secara tidak sadar media telah mendukung dan menyebarkan istilah
itu. “Seolah-olah tindakan meledakkan diri sendiri merupakan pengantin
dan mati syahid. Dan dia akan menikah dengan bidadari di surga,” kata
pengamat terorisme ini.
“Dengan mengunakan istilah itu berarti media telah membantu menyebarkan pemahaman mereka,” imbuhnya.
Sementara itu, Peneliti Media dan
Komunikasi Politik The Habibie Center, Wenny Pahlemy mengatakan, media
sebagai pilar keempat demokrasi sangat berperan penting dalam menggiring
opini publik. Namun, kadangkala fungsi media sebagai kontrol sosial dan
pendidikan bagi khalayak kerap disalahgunakan.
Karena itu, kata Wenny, perlu upaya
kritis agar khalayak bisa memfilter informasi yang termaktub dalam
pelbagai pemberitaan. “Di satu sisi kebebasan pers menjadi nilai lebih
dan kemajuan, karena sebelumnya hanya isu-isu tertentu yang bisa
diekspos. Namun kebebasan pers pascareformasi bukan berarti tidak
berpotensi negatif,” kata dia pada Lazuardi Birru, di Jakarta.
Salah satu dampak negatifnya, lanjut
Dosen Universitas Mercu Buana ini, adalah sulitnya mengontrol substansi
pemberitaan, terutama media online. Bahkan, tidak sedikit internet yang
memuat tentang paham radikalisme dan provokasi.
Selaian mudahnya proses pembuatan media,
Wenny juga menyayangkan tulisan yang tidak jelas sumbernya. Penulis dan
narasumbernya anoname. Tidak mengindahkan prinsip-prinsip jurnalisme,
seperti akurasi data. Ia juga menyayangkan berita atau tulisan yang
cenderung provokatif.[Az]
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar