Saat ini Kementerian Pendidikan
Kebudayaan sedang menggodok rumusan kurikulum untuk tingkat pendidikan
dasar dan menengah. Sempat muncul isu akan diselenggarakan kurikulum
khusus antiradikalisme. Hal Itu menyikapi beberapa hasil penelitian yang
menyatakan banyak siswa tingkat menengah yang setuju dengan aksi-aksi
kekerasan, dan sebagian lain bahkan setuju dengan aksi teror.
Namun Dr. Irwan Baadila, M.Pd, anggota
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah
menilai, saat ini kurikulum antiradikalisme masih belum penting dalam
konteks Indonesia. Pasalnya, peran organisasi kemasyarakatan (Ormas)
dalam menangkal radikalisme sudah cukup kuat. Selain itu, sebenarnya
proses pendidikan di sekolah hanya sebagian dari keseluruhan proses
pendidikan anak.
“Ormas tinggal didorong untuk memberikan
penangkalan yang lebih kuat terhadap radikalisme. Sementara di sekolah,
ajaran-ajaran seperti toleransi, kemajemukan, musyawarah bisa disisipkan
dalam pelbagai mata pelajaran,” ujarnya kepada Lazuardi Birru di Kampus
UHAMKA Pasar Rebo Jakarta, Rabu (28/11/2012).
Lebih lanjut, menurut pengajar Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UHAMKA ini, radikalisme tidak dipicu
oleh faktor tunggal, agama Islam misalnya. “Islam tidak pernah
mengajarkan kekerasan. Dalam pelajaran agama Islam, guru dapat
menegaskan bahwa kekerasan dalam berdakwah bukan ajaran Islam,”
tandasnya.
Kendati demikian, lanjut mantan Ketua
Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini, secara teoretis sebetulnya
setiap kurikulum pendidikan dibuat untuk mencapai output yang mau dicapai.
“Jika output yang mau dicapai
adalah siswa memiliki sikap toleransi sosial yang kuat misalnya, bisa
saja diadakan program khusus antiradikalisme untuk men-drill itu,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa
pendidikan sebenarnya adalah proses rekayasa agar anak dapat menjadi
lebih baik. Namun sebagai ruang rekayasa, sekolah formal hanya memeroleh
waktu 7-8 jam. Dalam konteks rekayasa, hal itu tidak cukup. Ada banyak
waktu di mana anak didik bisa direkayasa oleh keluarga atau lingkungan
sosial.
“Maka dalam hemat saya, yang terpenting
dilakukan adalah kurikulum dasar pendidikan karakter terutama untuk
tingkat pendidikan dasar dan keluarga. Itu sebagai basis pembentukan
karakter. Sehingga di tingkat menengah dan tinggi nantinya, anak sudah
mempunyai filter yang kuat,” paparnya.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar