Islam dan terorisme belakangan
dikait-kaitkan oleh pihak tertentu, walaupun antara Islam dan terorisme
sesungguhnya tidak ada kaitan ataupun hubungan apa pun. Di banyak media,
baik cetak maupun elektronik, kerap disuguhkan aksi-aksi teror yang
diimbuhi dengan aroma keislaman. Sejumlah ajaran dalam Islam yang kerap
disalahpahami oleh kelompok teroris (seperti jihad, mati syahid, fa’
dll) dijadikan sebagai “mata rantai” dalam menghubung-hubungkan antara
Islam dengan terorisme.
Menurut Ismail Yusanto, memang benar bahwa makna jihad adalah qital (perang),
namun harus jelas syarat-syarat kemungkin jihadnya. Hal ini terkait
siapa yang diperangi, mengapa harus diperangi, kapan dan di mana zona
jihad diberlakukan, bagaimana bentuk jihad dan hal-hal lainnya. Artinya
pemahaman tentang jihad tidak sesedarhana yang dipahami oleh para
teroris. Terlebih lagi menurut juru bicara Hizbut Tahrir ini bahwa
korban aksi terorisme di Indonesia kebanyakan orang-orang muslim
sendiri.
Ismail juga mengingatkan bahwa ada
banyak hal jangggal terkait permasalahan terorisme. Artinya bisa saja
terorisme menjadi komoditas politik untuk menyudutkan umat Islam. Bahkan
secara eksplisit salah satu tokoh FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga
Dakwah Kampus) ini mengatakan “Kita justru menduga ada semacam strategi
Amerika seperti infiltrasi, radikalisasi, provokasi lalu stigmatisasi
seperti Islam adalah teroris, pesantren Indonesia adalah sarang teroris
dan hal-hal lain yang serupa”. Berikut perbincangan Lazuardi Birru
dengan Ismail terkait soal terorisme.
Bagaimana pendapat Bang Ismail tentang aksi-aksi terorisme belakangan ini?
Perlu diklarifikasi apa yang dimaksud
dengan terorisme di sini. Sebab sampai sekarang banyak orang mengatakan
tidak ada definisi tunggal tentang terorisme. Apalagi saat ini ada
kecenderungan terorisme menjadi suatu komoditas politik dan digunakan
untuk latar belakang politik. Contoh, kalau kita mendefinisikan
terorisme sebagai kegiatan yang digunakan siapa saja, baik perorangan,
kelompok atau negara, untuk meraih tujuan dengan menggunakan kekerasan,
tapi pada kenyataannya tidak sesedarhana demikian pendefinisiannya.
Dalam daftar FTO (Foreign Terorist Organisation)
yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), lebih dari 90%
organisasi yang disebut teroris berasal dari Islam. Salah satunya
disebutkan Hamas (faksi politik di Palestina) termasuk juga Syaikh Ahmad
Yasin (tokoh spiritual Hamas). Coba dipikirkan, bagaimana mungkin Hamas
dan Syaikh Ahmad Yasin disebut sebagai teroris? Mereka memang memerangi
Israel namun dalam rangka merebut kembali hak-hak mereka. Jadi
bagaimana mungkin orang yang sedang berjuang merebut haknya disebut
dengan teroris.
Sementara Israel, dengan tokoh-tokohnya
seperti Sharon, yang jelas-jelas merebut hak orang lain tidak dianggap
sebagai teroris. Begitu juga dengan negara, jika dikatakan bahwa siapa
saja yang menggunakan kekerasan untuk meraih tujuan disebut teroris,
kenapa ketika negara menggunakan kekerasan tidak disebut teroris?
Sekarang apabila kita jujur, siapa yang
paling banyak menggunakan kekerasan, pasti jawabannya adalah Amerika
Serikat (AS). Tapi kenapa AS tidak pernah disebut sebagai teroris. Lalu
presidennya yang kerap memerintahkan perang di mana-mana juga tidak
dianggap sebagai teroris. Perang-perang yang dilakoni Amerika semuanya
tidak bisa diterima, tidak ada alasan yang bisa diterima jangankan oleh
hukum, rasionalitas saja menolak alasan-alasan tersebut.
Jadi istilah terorisme sudah berkembang
menjadi peyoratif yang mengandung suatu pengertian tertentu yang
negatif, khususnya untuk konteks Islam. Karena itu kita tidak bisa serta
merta mengatakan bahwa terorisme itu buruk, sebagaimana juga kita tidak
bisa menyebut terorisme itu baik. Karena harus jelas terlebih dahulu
apa yang dimaksud.
Kalau konteks Indonesia, seperti Ali Imron dan Imam Samudera bagaimana menurut Bang Ismail?
Kalau konteks itu kita harus menilainya dari beberapa sudut. Pertama,
kita harus tegas mengatakan bahwa syariat Islam melarang membunuh siapa
pun tanpa alasan yang disyahkan oleh syariat. Setidaknya ada empat
kriteria yang ditetapkan syariat terkait dengan siapa yang boleh
dibunuh; yaitu dalam konteks penegakan hukum (qisosh), zina muhson, bughot (pemberontakan) dan orang yang diputuskan dihukum mati. Jadi apa yang dilakukan oleh kelompok-kelomok seperti Ali Imron dan Imam Samudera adalah membunuh orang tanpa haq.
Apalagi menimbulkan kerusakan pada milik pribadi atau umum lalu memicu
ketakutan yang meluas. Hal semacam itu tidak ada dalam syari’at Islam.
Karena itu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
mengutuk aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Namun kita juga
mengingatkan bahwa ada hal yang aneh. Kalau benar bom-bom tersebut
adalah dalam rangka berjuang melawan Amerika, kenapa tidak satupun aset
asing yang terkena bom? Kita justru menduga ada semacam strategi Amerika
seperti infiltrasi, radikalisasi, provokasi lalu stigmatisasi seperti
Islam adalah teroris, pesantren Indonesia adalah sarang teroris dan
hal-hal lain yang serupa.
Bagaimana agar umat Islam, khususnya anak muda, tidak termakan menjadi korban bom bunuh diri?
Harus ada suatu ada pembinaan yang
benar. Jadi harus ditumbuhkan suatu pemahaman tauhid yang benar dan
kemudian harus diikuti dengan pemahaman syariat yang benar, khususnya
mengenai perjuangan. Bagaimana sebenarnya perjuangan harus dilakukan?
Tentu saja dengan mencontoh dakwah Rasulullah SAW dari Mekkah ke
Madinah. Ketika di Madinah tujuan dakwah Rasulullah adalah tegaknya
syari’at Islam dalam kehidupan Islam. Di Mekkah ada dua fase; pertama, fase pembinaan dan pengkaderan. Kedua,
fase berkomunikasi dengan masyarakat. Di Mekkah semuanya tidak ada yang
menggunakan kekerasan. Begitu di Madinah, setelah memiliki daulah
Islam, Nabi sebagai pemimpin negara melakukan jihad. Strategi dakwah
seperti itulah yang diadopsi oleh HTI.
Kemudian juga, para pemuda-pemuda Islam
harus diberi pemahaman tentang jihad. Karena jihad bagaimanapun tidak
bisa dihapus. Oleh karenaya kita juga tidak setuju pada usaha yang
mencoba menyimpangkan makna jihad. Pengertian syar’i (baca: menurut syariat) jihad adalah qithal.
Kalau mengutip Syeikh Yusuf Qordhowi; “jihad adalah memerangi
orang-orang kafir di jalan Allah untuk menegakkan kalimat Allah”.
Definisi ini tidak bisa diubah karena itu adalah pengertian jihad
menurut syar’I (syariat).
Kalau dilihat dari hukum perang Islam praktek-praktek teror apakah sudah sesuai atau tidak?
Oleh karenanya perlu dijelaskan pada para generasi muda tentang fikih jihad. Tadi disebutkan bahwa jihad adalah qithal kepada orang kafir. Kafir di sini bukan sembarang kafir tetapi kafir harbi (perang). Jihad itu sendiri ada dua, jihad difa’i (defensif) dan jihad hujumi (ofensif). Yang pertama adalah jihad mempertahankan diri. Sedangkan makna jihad yang kedua adalah bersifat ofensif. Kasus-kasus seperti di Afganistan, Irak dan Ambon adalah jihad difa’i.
Jadi menurut saya ada tempat-tempat yang memang kita harus berjihad
seperti di Palestina, tetapi bukan di Indonesia. Apalagi mereka yang
mengatasnamakan jihad di Indonesia sasarannya orang-orang Islam.
Terbukti dari bom Bali II, 19 orang dari 22 yang terbunuh adalah muslim.
Aksi terorisme di Indonesia ada yang mengaitkan dengan Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Bagaimana pendapat Anda?
Itu sudah di level analisis. Posisi HTI
tegas berdasarkan fakta dan peristiwa. Karena analisis sifatnya relatif,
bisa begini dan bisa juga begitu, tergantung dari subjek yang
menganalisis. Bahkan ada banyak nama-nama seperti itu adalah buatan
intelejen. Sebagai contoh Komando Jihad belakangan diketahui buatan Ali
Moertopo. Namanya memang berkonotasi Islam, tetapi yang membuatnya
adalah intelejen. Begitu juga dengan Alqaeda. Saya membaca karya yang
ditulis oleh Husein Abbas (kalau tidak salah). Dalam bukunya tersebut
dinyatakan bahwa sebenarnya Al-Qaeda awalnya hanyalah istilah yang
digunakan Osama bin Laden untuk menyebut semacam database.
Jadi ketika Afganistan melawan Rusia,
banyak sekali berdatangan para mujahidin dari berbagai negara tanpa ada
pengorganisasian data yang bagus. Padahal itu diperlukan untuk
penyaluran logistik dan sebagainya. Jadi aneh rasanya saat ini Al-Qaeda
menjadi nama suatu kelompok. Dan yang selalu menyebut Al-Qaeda adalah
orang lain bukan dari anggotanya tersebut.
Tapi di beberapa belahan dunia lain nama kelompok-kelompok militan seperti Tanzim dan Al-Qaeda diakui keberadaanya?
Memang benar. Tapi hal itu sangat sulit
diklarifikasi. Orang-orang mengenal gerakan-gerakan radikal tersebut
dari situs. Pertanyaannya siapa yang membuat situs tersebut? Saya tidak
memiliki facebook, tapi ada tiga akun facebook yang mengatasnamakan nama
saya. Jadi maksud saya, semuanya harus diverifikasi jangan sekadar
mengklaim saja. Seperti Komando Jihad yang mengklaim juga tokoh-tokoh
Islam, tetapi ternyata buatan intelejen. Demikian juga dengan Jamaah
Islamiyah (JI). Banyak orang percaya keberadaannya tetapi ada juga yang
tidak. Bahkan beberapa orang menyebut amirnya adalah Abu Bakar Ba’asyir.
Apakah itu benar atau tidak, bagi saya ada cara untuk tabayyun.
Saya bertanya langsung pada ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan beliau
menjawab bahwa Jamaah Islamiyah tidak ada. Saya pegang ucapan itu, saya
percaya beliau. Jadi menurut saya untuk persoalan terorisme kita
harusnya berbicara di wilayah fakta bukan analisis. Karena sekali lagi
tidak semua analisis berdasarkan fakta, tetapi berdasar pada kepentingan
tertentu.
Bagaimana pendapat Bangsa
Ismail terkait peristiwa yang terjadi pada salah satu pondok pesantren
di Bima yang rupanya diduga membuat bom?
Hal seperti itu perlu diklarifikasi.
Karena kecenderungan pola pikir kita, apabila ada bom berarti orang
tersebut adalah teroris. Sama halnya dengan kasus pelatihan di Aceh. Itu
adalah pelatihan persiapan jihad di Gaza. Delegasi umat Islam melihat
ada invasi Israel ke jalur Gaza pada awal tahun 2009. Tetapi tiba-tiba
kemudian dibingkai bahwa pelatihan tersebut adalah pelatihan terorisme.
Kenapa bisa terjadi? Jadi kadang-kadang aparat tidak menemukan barang
bukti tetapi mengadakan barang bukti.
******
Perjalanan sejarah Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari eksistensi umat Islam. Layaknya sebuah hubungan sepasang
kekasih, relasi antara Indonesia dan Islam pun mengalami pasang surut.
Suatu ketika di awal rentang sejarah bangsa, tatkala imperialisme masih
bercokol di bumi pertiwi, harmoni antara Islam dan Indonesia begitu
lekat. Namun memasuki era kemerdekaan keseimbangan hubungan antara Islam
dan Indonesia mulai goyah. Ini karena komponen-komponen perjuangan
bangsa mengalami perpecahan ideologi politik. Secara sederhana Indonesia
diperebutkan oleh kubu Nasionalis yang menghendaki berdirinya suatu nation-state dan kubu Islamis yang hanya merestui status negara Islam.
Beruntung riak-riak sejarah bisa
diredam. Ini berkat gagasan-gagasan gemilang para intelegensia muslim
hingga antara keislaman dan keindonesiaan tampak begitu saling
melengkapi. Namun memang harus diakui tidak sepenuhnya muslim Indonesia legowo
(menerima) dengan keputusan-keputusan sejarah terkait dengan status
Islam. Benar kiranya Liddle membagi wajah Islam Indonesia menjadi dua;
muslim Simbolik dan muslim Substantif. Yang pertama memperjuangkan agar
simbol-simbol Islam menjadi asas kenegaraan. Tuntutan formalisasi
syari’at Islam dan bahkan negara Islam adalah representasi wajah muslim
yang pertama ini. Sedangkan kedua diisi oleh para muslim yang menekankan
nilai-nilai keislaman sehingga bisa melepaskan ego skriptualistik dan
simbolistik agama. Artinya sepanjang sistem tertentu mempromosikan
ketertiban sosial, kenyamanan, keadilan dan kesejahteraan maka sistem
semacam itu bisa dikatakan sebagai sistem yang islami.
Runtuhnya Orde Baru meniupkan angin
segar bagi semua pihak. Mereka yang dibungkam oleh rezim ini kembali
bersuara dan berteriak. Tuntutan seperti formalisasi syari’at Islam,
berdirinya khilafah Islamiyyah atau bahkan negara Islam kini mencuat ke
permukaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu organisasi yang
berada di jalur perjuangan Islam simbolik semacam ini adalah HTI.
Bagaimana sekilas pandangan-pandangan organisasi yang mulai mencuat di
Indonesia sekitar tahun 1980-an ini? Berikut telisik Lazuardi Birru.
Belakangan ghiroh (semangat)
ke-Islam-an di Indonesia semakin naik. Satu sisi ada yang
memperjuangkan Khilafah Islamiyyah seperti HTI, di sisi yang lain
menggagap hal itu tidak perlu karena yang terpenting adalah semangat
Islam atau ruh Islam tanpa sistem Khilafah Islamiyyah. Bagaimana menurut
pendapat Bang Ismail?
Itu adalah fenomena yang wajar. Karena
fitrah seorang muslim pasti akan cenderung lebih dekat ke Islam. Jadi
kalau ada proses naiknya ghiroh ke-Islam-an di Indonesia, itu adalah hal yang biasa. Ini karena dakwah selalu mengingatkan, amar ma’ruf dan nahi mungkar
berproses. Ketika dakwah dan penyadaran berjalan terus menerus,
kemudian cepat atau lambat akan sampai pada suatu level yang lebih
tinggi, yaitu kesadaran politik Islam.
HTI sendiri sebenarnya memahami spektrum
dakwah dari level yang paling elementer hingga ke level yang paling
tinggi. Tujuan HTI adanya berdirinya khilafah Islam. Itu dipahami
sebagai alat untuk menerapkan syariat Islam dan syari’at Islam itu untuk
mewujudkan seluruh maqasid syari’ah. Jangan dibalik seperti
yang sering terdengar; “yang penting adil, tidak perlu syari’at”. Itu
terbalik. Justru dengan syari’at keadilan akan terwujud. Bagaimana
berbicara keadilan kalau tidak menggunakan syari’at yang merupakan hukum
yang dijamin keadilannya. Analoginya seperti ini, “yang penting lalu
lintas tertib tidak perlu aturan”. Ini tidak masuk akal. Justru aturan
itu diperlukan untuk bisa tertib.
Kenapa aspirasi HTI tidak disalurkan lewat parlemen atau partai dan bahkan mungkin menjadi partai?
HTI menyampaikan aspirasi tesebut.
Tuntutan-tuntutan seperi penegakan syari’at dan khilafah kita sudah
sampaikan, baik kepada partai Islam maupun yang non-Islam. Kemudian kita
sebagaimana masyarakat juga menilai apakah aspirasi tersebut
dilaksanakan atau tidak.
Negara bersifat profan sedangkan agama sakral. Bisakah keduanya didekatkan satu sama lain?
Itu pemikiran yang keliru. Selama ini
memang selalu dikontradiksikan, seolah-olah negara profan dan agama
transenden. Tidak begitu. Kalau kita bicara tentang pelaksanaan
ketentuan-ketentuan syari’at, subjeknya itu ada tiga; individu, kelompok
dan negara. Bicara tentang shalat, puasa dan zakat itu adalah level
individu. Artinya seolah-olah tidak memerlukan peran orang lain. Untuk
level kelompok bisa dicontohkan seperti jual-beli yang selalu
membutuhkan orang lain. Jual-beli islami terjadi jika penjual dan
pembelinya menggunakan cara Islam. Kemudian pada level berikutnya,
subjek pelaksananya bukan individu dan juga bukan kelompok, melainkan
otoritas politik. Misalnya, ada orang mencuri, maka dia harus dihukum
dan yang menetapkan hukumannya adalah negara.
Jadi negara bukan institusi profan,
tetapi juga transenden. Karena negara adalah institusi politik yang
memiliki kewenangan politik yang dibenarkan oleh syara’ (baca;
syariat). Justru negara sangat diperlukan untuk mensukseskan
pelaksanaan di level individu dan kelompok. Jadi kewenangan politik
tanpa kewenangan agama akan menjadi kewenangan yang sangat destruktif.
Dalam Islam ada tidak batasan-batasan bagi para pemimpin atau apakah mungkin batasan tersebut didasarkan pada konsensus?
Batasannya ada dua, akidah dan syariat.
Bahwa seorang pemimpin tidak boleh memimpin bertentangan dengan akidah
dan syariat. Kalau pemimpin melegalisasi bunga bank riba, tidak menutup
tempat-tempat maksiat, membiarkan korupsi, maka dia bertentangan dengan
syariat. Jadi sebenarnya sangat jelas.
Apakah pada tahap tertentu,
negara Islam sangat beragam. Misalnya Pakistan yang mengklaim sebagai
negara Islam berbeda dengan negara-negara lain yang juga mengaku sebagai
negara Islam?
Tidak demikian. Istilah politik lebih rigid.
Satu istilah politik membawa satu pengertian. Republik, monarki,
teokrasi, demokrasi, diktator, presiden, kaisar, perdana menteri dan
istilah lainnya memiliki maknanya sendiri-sendiri, tidak bisa
dibolak-balik. Kalau di dalam teori politik semacam ini boleh memiliki
pengertiannya sendiri-sendiri, kenapa Islam tidak boleh. Islam juga
memeiliki pengertiannya sendiri. Itulah khilafah. Jadi sistem politik
Islam itu apa, khilafah jawabannya. Tidak ada yang lain. Apakah khilafah
itu berbeda dengan sistem politik lain? Tentu berbeda sebagaimana
istilah demokrasi berbeda dengan monarki.
Jadi memang selama ini umat Islam sudah terjebak dalam mainstream intelectual track (pola umum intelektualisme). Seolah-olah
kita harus menyesuaikan dengan istilah-istilah yang sudah berkembang
dan tidak boleh memiliki istilah-istilah sendiri. Misalnya politik harus
menganut trias politica; legislatif, yudikatif dan eksekutif. Tidak ada yang mengharuskan seperti itu. Kenapa harus dipaksakan pada Islam.
Bisa tidak musyawarah dikatakan sebagai demokrasi?
Musyawarah itu ada dalam Islam. Nabi
adalah orang yang paling gemar bermusyawarah. Jadi musyawarah adalah
cara pengambilan keputusan dalam Islam. Tapi cara pengambilan keputusan
dalam Islam tidak hanya musyawarah. Dengan kata lain, dalam Islam
musyawarah bukanlah satu-satunya jalan untuk mengambil keputusan. Ketika
Nabi ditanya tentang anfal (harta rampasan), Nabi tidak
bermusyawarah dengan sahabat. Kemudian turunlah wahyu. Artinya Nabi
kembali ke dalil-dalil syariat. Lalu di mana musyawarah? Musyawarah itu
ada untuk pelaksanaan teknis dari syariat.
Dalam perang Uhud, misalnya, Rasulullah
bermusyawarah tentang apakah orang-orang kafir akan dihadapi di dalam
atau di luar kota Madinah. Bukan bermusyawarah tentang jihad yang
jelas-jelas merupakan ketentuan hukum syariat. Misalnya Anda mudik
bersama keluarga dengan mobil. Anda boleh bermusyawarah tentang shalat
dhuhur mau dilaksanakan di masjid mana, tetapi jangan sekali-kali
bermusyawarah tentang apakah dhuhur kita shalat atau tidak. Selama ini
banyak di kalangan umat Islam menyamakan dua hal yang pada dasarnya
berbeda, hanya karena ada satu atau dua unsur yang sama. Ini tidak
boleh. Misalnya manusia tidak bisa disamakan dengan monyet meskipun
sama-sama memiliki dua kaki.
Jadi meskipun di Islam ada musyawarah,
sebagaimana demokrasi, tetapi tidak bisa disamakan. Sebab musyawarah
dalam Islam ada ketentuannya sendiri. HTI dengan jelas mengatakan
demokrasi bukan dari Islam. Karena demokrasi mengajarkan kedaulatan di
tangan rakyat, namun bagi Islam kedaulatan di tangan Allah. Kedaulatan
adalah yang memiliki kehendak paling tinggi dan ke mana pun kita harus
tunduk. Kalau dalam demokrasi benar dan salah ditetapkan oleh wakil
rakyat. Kalau dalam Islam yang harus diikuti adalah Allah SWT, lainnya
tidak pantas. Itulah makna dari kedaulatan di tangan Allah.
Representasinya nanti di mana?
Representasi kedaulatan ada majelis umat. Tetapi majelis umat bukanlah parlemen, tetapi wakil umat. Untuk melakukan muhasabah, koreksi atau check and balance. Tetapi bukan fungsi legislasi. Karena hukum ditetapkan melalui ijtihad. Wakil umat bisa siapa saja dan tidak ada nilai bargaining
antara legislatif dan eksekutif sebagaimana yang terjadi sekarang. Ini
karena ketentuannya adalah syariat. Artinya ketika khalifah konsisten
melaksanakan ketentuan syariat dan akidah, maka majelis umat tidak
mempunyai alasan untuk mempersalahkan tindakan tersebut. Tetapi ketika
khalifah melanggar ketentuan syariat apalagi akidah, maka majelis umat
memiliki hak untuk menurunkan. [Hajid]
Biodata:
Nama Lengkap : Ismail Yusanto
Pekerjaan : Juru Bicar Hizbut Tahrir Indonesia
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar