Terkadang untuk memahami kekinian perlu
untuk membuka kembali catatan-catatan silam. Demikian pula ketika kita
mencoba memahami rangkaian pemboman ulah terorisme di negara ini, maka
tidak bisa tidak museum sejarah harus dimasuki. Karena apa yang terjadi
saat ini terjalin dengan jejak-jejak peristiwa masa lalu. Terorisme
misalnya, sejatinya berhubungan dengan konstelasi perang dingin antara
blok Barat dan Timur waktu itu.
Jadi terorisme bukan sekadar aksi yang
mengaku berlandaskan teks-teks langit hingga subjek teror begitu berani
untuk meminang maut. Ibarat benang yang kusut, fenomena terorisme
berjalin kelindan dengan berbagai elemen, baik politik, ekonomi,
militer, teritori dan lain sebagainya. Memang benar ada dalil suci yang
dijadikan legitimasi. Namun bagi Buya Syafi’i Ma’arif dalil agama
tersebut disalahtafsirkan. “Dalil agama betul, tetapi itu
disalah-tafsirkan. Artinya mereka menafsirkan secara sangat subjektif.
Sebab bagi mereka kebenaran adalah tunggal dan hanya mereka yang
memilikinya. Padahal tafsir begitu beragam dan Al-Quran sendiri
multi-tafsir,” dedah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Buya mengajak semua elemen, baik
pemerintah maupun sipil, untuk bersungguh-sungguh menanggulangi
penyebaran dan perkembangbiakan virus terorisme. Secara khusus Buya juga
menyarankan agar kelompok Muslim moderat bersama-sama melakukan gerakan
serius hingga teologi yang diimani para teroris kehilangan daya
tariknya. Di sela-sela kesibukannya, Lazuardi Birru begitu beruntung
dapat berbincang dengan salah satu murid Fazlur Rahman yang merupakan
salah satu pemikir Islam Kontemporer. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana pendapat Buya tentang kondisi terakhir terorisme di Indonesia?
Saya rasa terorisme masih bersama kita.
Walaupun Densus 88 sudah bekerja keras, namun akar persoalannya belum
terselesaikan, seperti masalah keadilan. Itu dalam lingkup domestik.
Untuk lingkup luar negeri ada banyak hal; seperti unsur
Israel-Palestina, persoalan di Afghanistan, dan di Filipina Selatan.
Jadi ada dua faktor yang saling menyatu. Sebagaimana diketahui teroris
yang sudah tertangkap pernah dilatih oleh mujahidin di Afganistan.
Tetapi harus diingat bahwa mujahidin juga dilatih oleh orang-orang
Amerika, CIA. Pada saat perang dingin mereka melatih orang Islam untuk
menghancurkan blok Uni Soviet. Orang Islam itu berani mati. Apalagi
waktu itu Afganistan diduduki oleh Uni Soviet dengan membentuk Pupic Reign (rezim
boneka). Momen ini adalah kesempatan baik bagi Amerika untuk
mempersenjatai mujahidin. Bahkan strategi ini sudah berlangsung lama,
sejak tahun 80-an. Uni Soviet menduduki Afganistan sekitar 1979.
Bahkan presiden Amerika waktu itu,
Reagen, mengundang para mujahidin ke Gedung Putih. Setelah Uni Soviet
hancur para mujahidin akhirnya kehilangan pekerjaan. Amerika tidak mau
tahu lagi. Amerika terkenal sangat buruk dan licik. Setelah tujuan
tercapai lalu para mujahidin dibiarkan begitu saja. Akhirnya para
muhajidin menyebar ke mana-mana.
Menurut saya para mujahidin adalah
orang-orang yang idealis, namun idealis konyol. Sebab mereka
menggunakan ayat-ayat Al-Quran dan agama untuk bertindak membabi buta.
Bisa dilihat Osama bin Laden. Dia bersahabat dengan Bush, Amerika dan
CIA. Namun setelah pecah kongsi terjadilah tragedi WTC. Osama sangat
anti-Amerika. Di Indonesia Abu Bakar Ba’asyir sangat benci dengan
Amerika. Kita setuju juga dengan itu, namun jangan membabi buta. Toh,
yang menciptakan ini semua Amerika. Hal itu yang tidak dilihat dari
Osama dan Ba’asyir. Jadi apa yang terjadi hari-hari ini adalah ekornya
saja.
Para teroris selalu mengaku bahwa tindakan mereka berlandaskan dalil-dalil agama. Bagaimana pendapat Buya tentang hal itu?
Dalil agama betul, tetapi itu
disalah-tafsirkan. Artinya mereka menafsirkan secara sangat subjektif.
Sebab bagi mereka kebenaran adalah tunggal dan hanya mereka yang
memilikinya. Padahal tafsir begitu beragam dan Al-Quran sendiri
multi-tafsir. Payung besar Al-Quran adalah rahmatan lil ‘alamin,
jadi semua gerakan apa pun namanya, jika tidak mengacu pada payung
besar ini maka tidak benar. Para teroris tidak melihat itu. Mereka
menganggap dunia Islam dikepung oleh kekuatan-kekuatan setan/thoghut,
sebagaimana istilah mereka. Memang bisa saja seperti itu, namun dengan
cara yang seperti itu apakah kita bisa menang. Apalagi yang dibunuh
dengan bom banyak orang Islam. Terorisme adalah gerakan berani mati
karena mereka tidak berani hidup.
Untuk saat ini kira-kira bagaimana untuk mengikis gerakan-gerakan tersebut?
Saya rasa perlu dilakukan gerakan oleh kelompok Muslim moderat, mutawassitun.
Saat ini Ma’arif Institute juga melakukan gerakan tersebut, misalnya
bekerja sama dengan Australia dan Selandia Baru membuat buku dan komik.
Terutama anak-anak muda yang sangat rentan dengan ideologi semacam ini.
Apalagi banyak sekali wajah-wajah yang memuat idelogi Islam garis keras
seperti NII dan sebagainya. Bagi kita itu semua adalah beban. Tetapi
begitu juga para teroris adalah korban, korban perang dingin. Tetapi
mereka tidak sadar tentang hal itu.
Menurut Buya langkah pemerintah untuk menangani terorisme sudah benar atau belum?
Saya kira apa yang telah diupayakan
pemerintah dilanjutkan saja. Namun itu semua belum cukup karena
pemerintah, polisi dan Densus 88 harus mengerti akar pokoknya (the root of causes).
Saya katakan ada dua akar utamanya; domestik dan luar negeri. Akar
persoalan domestik seperti tidak ada keadilan, pemerintah tidak efektif,
aparat tidak berfungsi dengan baik, dan hukum tidak ditegakkan. Adapun
untuk persoalan luar negeri seperti pengalaman umat Islam di Afganistan,
Irak dan terutama di Palestina misalnya. Untuk kasus Palestina, saya
sedikit mempelajari, sebenarnya teror bisa dalam bentuk perorangan,
tetapi juga ada teror yang disponsori oleh negara, yaitu yang dilakukan
oleh Israel dan didukung oleh Amerika. Jadi Amerika mendukung terorisme
negara. Itu bukan hal yang dibuat-buat tetapi memang benar-benar
terjadi. Sekarang Israel bergerilya ke mana-mana, bahkan saya dengar ada
negara-negara Islam kecil yang disogok agar suaranya di PBB tidak
mendukung Palestina. Selama ini Amerika membela Israel karena begitu
kuatnya lobi Yahudi Amerika. Mereka sebenarnya minoritas, namun
menguasai banyak hal. Media, bank dan perguruan tinggi mereka kuasai.
Untuk saat ini mata dunia, saya kira sudah terbelalak bahwa Israel
adalah negara penipu dan kerap memutar balikkan fakta.
Apakah bisa dikatakan awal mula terorisme muncul dari konflik Israel-Pelstina atau sebaliknya?
Tidak seperti itu. Terorisme sudah lama
ada dan yang melakukan tidak hanya orang Islam. Penganut Budha, Hindu
dan Kristen juga melakukannya. Jadi terorisme bukan monopoli orang
Islam. Bahkan yang melakukannya tidak sekadar orang yang beragama, orang
tidak beragama pun melakukannya. Tetapi karena dipicu kembali oleh buku
karya Huntington, The Clash of Civilization, jadi seakan-akan
Islam-lah yang paling berhadap-hadapan langsung dengan Barat. Dan
kebetulan sekarang dunia Islam sedang berada di titik nadir. Orang yang
berada di titik nadir pasti reaktif dan defensif.
Sekarang kita mempunyai
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Apakah UU tersebut sudah cukup mengatasi terorisme di
Indonesia?
Undang-undang saja tidak cukup. Perlu
ada pendekatan yang lebih persuasif. Saya mengenal beberapa jenderal
polisi yang menangani persoalan terorisme dan mereka pun mengakui hal
yang sama. Kalau hanya menggunakan pendekatan keamanan, itu tidak akan
pernah efektif. Seorang teroris mati, kemudian bisa disusul oleh teroris
lainnya bahkan tidak menutup kemungkinan jumlahnya lebih banyak. Sebab
akar permasalahannya tidak tersentuh. Misalnya, sekarang Anda lihat
sudah banyak orang tidak mempercayai lagi dengan kekuasaan yang ada. Ini
masalah besar. Jadi sudah muncul semacam mistrust yang
akhirnya membuat kita tidak saling percaya. Apalagi pemerintah saat ini
tidak pernah sigap dan tangkas mengatasi keadaan ini. Tapi tentu saja
kita tidak boleh memberi hati pada kaum garis keras seperti para
teroris. Adanya ide tentang negara Islam, itu sebenarnya tidak masalah.
Karena itu hanyalah ide, biarkan saja. Tetapi kalau sudah menghisab,
menipu dan segala macam, ini sudah kriminal.
Beberapa narapidana yang
sudah tertangkap dan ditahan setelah dilepas, mereka kambuh kembali.
Bagaimana Buya menilai fenomena itu?
Saya kira fenomena itu terjadi karena
sempurnanya cuci otak yang dilakukan kelompok teroris. Mereka sulit
sekali keluar dari pemikiran-pemikiran ekstrim. Seharusnya ada upaya
lain seperti menangani kesulitan ekonomi keluarga para teroris. Karena
tentu saja para teroris memiliki keluarga; isteri dan anak. Tapi polisi
dan umat Islam tidak ada yang menyentuh perkara ini. Saya memang pernah
bersama polisi membentuk yayasan untuk menangani hal-hal semacam itu,
tapi tidak jalan karena tidak ada biaya.
Perlu tidak kebijakan untuk
memisahkan antara narapidana biasa dan teroris? Karena sebagaimana yang
diketahui tiba-tiba ada pemain baru yang terlibat aksi terorisme.
Saya rasa perlu. Polisi juga harus
meminta bantuan berbagai pihak. Artinya masalah ini harus ditangani
dengan pendekatan multidimensi. Persoalan ini tidak bisa sekadar
dipecahkan dari segi keamanan atau kekuasaan. Kecuali negeri ini
melaksanakan Pancasila dan menegakkan keadilan sosial, maka terorisme
akan berkurang dengan sendirinya, bahkan ketika faktor luar negeri masih
ada. Bila kondisi domestik sehat tentu aksi teror akan kehilangan daya
tarik. Bahkan berdasarkan penelitian di banyak negara, umat Islam secara
global tidak percaya lagi dengan ideologi terorisme. Jadi gelombang
terorisme global saat ini semakin melemah.
Untuk mengeliminir gerakan terorisme perlu atau tidak pemerintah bekerjasama dengan civil society?
Hal itu sudah dilakukan oleh pemerintah
yang bekerja sama dengan NU dan Muhammadiyah. Namun memang belum
efektif. Kelompok-kelompok civil society yang lain juga harus terlibat.
Ada yang memahami lembaga
pendidikan seperti pesantren dan madrasah sebagai lembaga moral kurang
berperan dalam meminimalisir virus terorisme?
Bukan itu saja, sekolah-sekolah negeri
juga termasuk di dalamnya. Bahkan ideologi radikal sekarang ini bersemi
di lembaga-lembaga pendidikan sekuler. Jadi untuk permasalahan ini harus
ditangani dengan serius dan berdasarkan data. Maka pemerintah melalui
Kemendikbud dan Kemenag harus sungguh-sungguh. [Hajid].
Biodata:
Nama Lengkap : Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, MA
Tempat, Tanggal Lahir : Sumatera Barat, 31 Mei 1935
Pekerjaan : Pendiri Yayasan Ma’arif Institut
Pendidikan : S3 Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, Amerika Serikat
(99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar