Selasa, 18 Desember 2012

Ahmad Syafi’i Ma’arif: Teroris Juga Korban


Terkadang untuk memahami kekinian perlu untuk membuka kembali catatan-catatan silam. Demikian pula ketika kita mencoba memahami rangkaian pemboman ulah terorisme di negara ini, maka tidak bisa tidak museum sejarah harus dimasuki. Karena apa yang terjadi saat ini terjalin dengan jejak-jejak peristiwa masa lalu. Terorisme misalnya, sejatinya berhubungan dengan konstelasi perang dingin antara blok Barat dan Timur waktu itu.

Jadi terorisme bukan sekadar aksi yang mengaku berlandaskan teks-teks langit hingga subjek teror begitu berani untuk meminang maut. Ibarat benang yang kusut, fenomena terorisme berjalin kelindan dengan berbagai elemen, baik politik, ekonomi, militer, teritori dan lain sebagainya. Memang benar ada dalil suci yang dijadikan legitimasi. Namun bagi Buya Syafi’i Ma’arif dalil agama tersebut disalahtafsirkan. “Dalil agama betul, tetapi itu disalah-tafsirkan. Artinya mereka menafsirkan secara sangat subjektif. Sebab bagi mereka kebenaran adalah tunggal dan hanya mereka yang memilikinya. Padahal tafsir begitu beragam dan Al-Quran sendiri multi-tafsir,” dedah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.

Buya mengajak semua elemen, baik pemerintah maupun sipil, untuk bersungguh-sungguh menanggulangi penyebaran dan perkembangbiakan virus terorisme. Secara khusus Buya juga menyarankan agar kelompok Muslim moderat bersama-sama melakukan gerakan serius hingga teologi yang diimani para teroris kehilangan daya tariknya. Di sela-sela kesibukannya, Lazuardi Birru begitu beruntung dapat berbincang dengan salah satu murid Fazlur Rahman yang merupakan salah satu pemikir Islam Kontemporer. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana pendapat Buya tentang kondisi terakhir terorisme di Indonesia?
Saya rasa terorisme masih bersama kita. Walaupun Densus 88 sudah bekerja keras, namun akar persoalannya belum terselesaikan, seperti masalah keadilan. Itu dalam lingkup domestik. Untuk lingkup luar negeri ada banyak hal; seperti unsur Israel-Palestina, persoalan di Afghanistan, dan di Filipina Selatan. Jadi ada dua faktor yang saling menyatu. Sebagaimana diketahui teroris yang sudah tertangkap pernah dilatih oleh mujahidin di Afganistan. Tetapi harus diingat bahwa mujahidin juga dilatih oleh orang-orang Amerika, CIA. Pada saat perang dingin mereka melatih orang Islam untuk menghancurkan blok Uni Soviet. Orang Islam itu berani mati. Apalagi waktu itu Afganistan diduduki oleh Uni Soviet dengan membentuk Pupic Reign (rezim boneka). Momen ini adalah kesempatan baik bagi Amerika untuk mempersenjatai mujahidin. Bahkan strategi ini sudah berlangsung lama, sejak tahun 80-an. Uni Soviet menduduki Afganistan sekitar 1979.
Bahkan presiden Amerika waktu itu, Reagen, mengundang para mujahidin ke Gedung Putih. Setelah Uni Soviet hancur para mujahidin akhirnya kehilangan pekerjaan. Amerika tidak mau tahu lagi. Amerika terkenal sangat buruk dan licik. Setelah tujuan tercapai lalu para mujahidin dibiarkan begitu saja. Akhirnya para muhajidin menyebar ke mana-mana.

Menurut saya para mujahidin adalah orang-orang yang idealis, namun idealis konyol. Sebab mereka  menggunakan ayat-ayat Al-Quran dan agama untuk bertindak membabi buta. Bisa dilihat Osama bin Laden. Dia bersahabat dengan Bush, Amerika dan CIA. Namun setelah pecah kongsi terjadilah tragedi WTC. Osama sangat anti-Amerika. Di Indonesia Abu Bakar Ba’asyir sangat benci dengan Amerika. Kita setuju juga dengan itu, namun jangan membabi buta. Toh, yang menciptakan ini semua Amerika. Hal itu yang tidak dilihat dari Osama dan Ba’asyir. Jadi apa yang terjadi hari-hari ini adalah ekornya saja.

Para teroris selalu mengaku bahwa tindakan mereka berlandaskan dalil-dalil agama. Bagaimana pendapat Buya tentang hal itu?
Dalil agama betul, tetapi itu disalah-tafsirkan. Artinya mereka menafsirkan secara sangat subjektif. Sebab bagi mereka kebenaran adalah tunggal dan hanya mereka yang memilikinya. Padahal tafsir begitu beragam dan Al-Quran sendiri multi-tafsir. Payung besar Al-Quran adalah rahmatan lil ‘alamin, jadi semua gerakan apa pun namanya, jika tidak mengacu pada payung besar ini maka tidak benar. Para teroris tidak melihat itu. Mereka menganggap dunia Islam dikepung oleh kekuatan-kekuatan setan/thoghut, sebagaimana istilah mereka. Memang bisa saja seperti itu, namun dengan cara yang seperti itu apakah kita bisa menang. Apalagi yang dibunuh dengan bom banyak orang Islam. Terorisme adalah gerakan berani mati karena mereka tidak berani hidup.

Untuk saat ini kira-kira bagaimana untuk mengikis gerakan-gerakan tersebut?
Saya rasa perlu dilakukan gerakan oleh kelompok Muslim moderat, mutawassitun. Saat ini Ma’arif Institute juga melakukan gerakan tersebut, misalnya bekerja sama dengan Australia dan Selandia Baru membuat buku dan komik. Terutama anak-anak muda yang sangat rentan dengan ideologi semacam ini. Apalagi banyak sekali wajah-wajah yang memuat idelogi Islam garis keras seperti NII dan sebagainya. Bagi kita itu semua adalah beban. Tetapi begitu juga para teroris adalah korban, korban perang dingin. Tetapi mereka tidak sadar tentang hal itu.

Menurut Buya langkah pemerintah untuk menangani terorisme sudah benar atau belum?
Saya kira apa yang telah diupayakan pemerintah dilanjutkan saja. Namun itu semua belum cukup karena pemerintah, polisi dan Densus 88 harus mengerti akar pokoknya (the root of causes). Saya katakan ada dua akar utamanya; domestik dan luar negeri. Akar persoalan domestik seperti tidak ada keadilan, pemerintah tidak efektif, aparat tidak berfungsi dengan baik, dan hukum tidak ditegakkan. Adapun untuk persoalan luar negeri seperti pengalaman umat Islam di Afganistan, Irak dan terutama di Palestina misalnya. Untuk kasus Palestina, saya sedikit mempelajari, sebenarnya teror bisa dalam bentuk perorangan, tetapi juga ada teror yang disponsori oleh negara, yaitu yang dilakukan oleh Israel dan didukung oleh Amerika. Jadi Amerika mendukung terorisme negara. Itu bukan hal yang dibuat-buat tetapi memang benar-benar terjadi. Sekarang Israel bergerilya ke mana-mana, bahkan saya dengar ada negara-negara Islam kecil yang disogok agar suaranya di PBB tidak mendukung Palestina. Selama ini Amerika membela Israel karena begitu kuatnya lobi Yahudi Amerika. Mereka sebenarnya minoritas, namun menguasai banyak hal. Media, bank dan perguruan tinggi mereka kuasai. Untuk saat ini mata dunia, saya kira sudah terbelalak bahwa Israel adalah negara penipu dan kerap memutar balikkan fakta.

Apakah bisa dikatakan awal mula terorisme muncul dari konflik Israel-Pelstina atau sebaliknya?
Tidak seperti itu. Terorisme sudah lama ada dan yang melakukan tidak hanya orang Islam. Penganut  Budha, Hindu dan Kristen juga melakukannya. Jadi terorisme bukan monopoli orang Islam. Bahkan yang melakukannya tidak sekadar orang yang beragama, orang tidak beragama pun melakukannya. Tetapi karena dipicu kembali oleh buku karya Huntington, The Clash of Civilization, jadi seakan-akan Islam-lah yang paling berhadap-hadapan langsung dengan Barat. Dan kebetulan sekarang dunia Islam sedang berada di titik nadir. Orang yang berada di titik nadir pasti reaktif dan defensif.

Sekarang kita mempunyai Undang-undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Apakah UU tersebut sudah cukup mengatasi terorisme di Indonesia?
Undang-undang saja tidak cukup. Perlu ada pendekatan yang lebih persuasif. Saya mengenal beberapa jenderal polisi yang menangani persoalan terorisme dan mereka pun mengakui hal yang sama. Kalau hanya menggunakan pendekatan keamanan, itu tidak akan pernah efektif. Seorang teroris mati, kemudian bisa disusul oleh teroris lainnya bahkan tidak menutup kemungkinan jumlahnya lebih banyak. Sebab akar permasalahannya tidak tersentuh. Misalnya, sekarang Anda lihat sudah banyak orang tidak mempercayai lagi dengan kekuasaan yang ada. Ini masalah besar. Jadi sudah muncul semacam mistrust yang akhirnya membuat kita tidak saling percaya. Apalagi pemerintah saat ini tidak pernah sigap dan tangkas mengatasi keadaan ini. Tapi tentu saja kita tidak boleh memberi hati pada kaum garis keras seperti para teroris. Adanya ide tentang negara Islam, itu sebenarnya tidak masalah. Karena itu hanyalah ide, biarkan saja. Tetapi kalau sudah menghisab, menipu dan segala macam, ini sudah kriminal.

Beberapa narapidana yang sudah tertangkap dan ditahan setelah dilepas, mereka kambuh kembali. Bagaimana Buya menilai fenomena itu?
Saya kira fenomena itu terjadi karena sempurnanya cuci otak yang dilakukan kelompok teroris. Mereka sulit sekali keluar dari pemikiran-pemikiran ekstrim. Seharusnya ada upaya lain seperti menangani kesulitan ekonomi keluarga para teroris. Karena tentu saja para teroris memiliki keluarga; isteri dan anak. Tapi polisi dan umat Islam tidak ada yang menyentuh perkara ini. Saya memang pernah bersama polisi membentuk yayasan untuk menangani hal-hal semacam itu, tapi tidak jalan karena tidak ada biaya.

Perlu tidak kebijakan untuk memisahkan antara narapidana biasa dan teroris? Karena sebagaimana yang diketahui tiba-tiba ada pemain baru yang terlibat aksi terorisme.
Saya rasa perlu. Polisi juga harus meminta bantuan berbagai pihak. Artinya masalah ini harus ditangani dengan pendekatan multidimensi. Persoalan ini tidak bisa sekadar dipecahkan dari segi keamanan atau kekuasaan. Kecuali negeri ini melaksanakan Pancasila dan menegakkan keadilan sosial, maka terorisme akan berkurang dengan sendirinya, bahkan ketika faktor luar negeri masih ada. Bila kondisi domestik sehat tentu aksi teror akan kehilangan daya tarik. Bahkan berdasarkan penelitian di banyak negara, umat Islam secara global tidak percaya lagi dengan ideologi terorisme. Jadi gelombang terorisme global saat ini semakin melemah.

Untuk mengeliminir gerakan terorisme perlu atau tidak pemerintah bekerjasama dengan civil society?
Hal itu sudah dilakukan oleh pemerintah yang bekerja sama dengan NU dan Muhammadiyah. Namun memang belum efektif. Kelompok-kelompok civil society yang lain juga harus terlibat.

Ada yang memahami lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah sebagai lembaga moral kurang berperan dalam meminimalisir virus terorisme?
Bukan itu saja, sekolah-sekolah negeri juga termasuk di dalamnya. Bahkan ideologi radikal sekarang ini bersemi di lembaga-lembaga pendidikan sekuler. Jadi untuk permasalahan ini harus ditangani dengan serius dan berdasarkan data. Maka pemerintah melalui Kemendikbud dan Kemenag harus sungguh-sungguh. [Hajid].


Biodata:
Nama Lengkap                  : Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif, MA
Tempat, Tanggal Lahir       : Sumatera Barat, 31 Mei 1935
Pekerjaan                          : Pendiri Yayasan Ma’arif Institut
Pendidikan                : S3 Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, Amerika Serikat


(99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)


Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar