Selasa, 04 Desember 2012

Problem Poso Jangan Didekati Dengan Kekerasan


Poso, Sulawesi Tengah terbukti masih menjadi ladang subur pertumbuhan kader teroris baru. Kasus mutakhir adalah penangkapan tiga orang terduga teroris di Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah, Minggu dinihari, 25 November 2012.

Kenyataan tersebut menurut Muhammad Miqdad, Direktur Eksekutif Institut Titian Perdamaian (ITP), LSM di Jakarta yang memiliki program CEWARS (Conflict Early Warning System) di Poso, salah satunya dipicu aksi represif aparat terhadap kelompok-kelompok teror di Poso.

“Penangkapan yang dibarengi dengan aksi kekerasan seperti kasus penembakan terhadap Khoiri, terduga teroris asal Bima awal bulan ini, justru memupuk dendam dalam kelompok mereka sehingga membuat para kadernya tersulut untuk menjadi teroris,” ujar Miqdad kepada Lazuardi Birru, Sabtu (23/11/2012).

Pria asli Palu, Sulteng ini berkisah, dirinya pernah menyaksikan prosesi pemakaman salah satu DPO kasus terorisme yang tertembak mati oleh polisi. Saat itu ia mendengar teriakan ‘ini belum selesai, tunggu pembalasan kami.’

“Peristiwa Januari 2007 di mana Densus 88 melakukan operasi penangkapan terhadap DPO terorisme di Tanah Runtuh, Poso, hingga menewaskan beberapa terduga teroris dan seorang polisi karena baku tembak, itu jelas memicu kemarahan dan dendam. Walhasil terjadilah penembakan polisi di Kantor Cabang BCA di Palu pada 2011 dan terakhir pembunuhan 2 polisi di Poso Pesisir,” urai Miqdad yang baru saja kembali dari Poso sebelum wawancara dilakukan.

Lebih lanjut ia menganalisis selebaran yang berisi tantangan perang kelompok radikal di Poso terhadap polisi namun melarang keterlibatan TNI. Baginya, hal itu murni ekspresi balas dendam.
“Jika memang mereka menganggap Negara ini thaghut, sehingga seluruh instrumennya juga thaghut yang boleh diperangi, aka TNI juga akan mereka ajak perang. Namun ternyata mereka hanya mengincar polisi. Itu lantaran polisi merupakan instrumen Negara terdepan yang berhadapan dengan kelompok radikal di Poso,” ujarnya.

Karena itu, dalam hemat Miqdad, menangani persoalan kelompok-kelompok radikal di daerah pasca-konflik seperti Poso tidak boleh dengan cara kekerasan. Pasalnya mereka punya pengalaman traumatis terlibat aksi kekerasan dalam konflik horisontal. Saat konflik, mereka berani nekad lantaran dendam atas terbunuhnya saudara, kerabat, atau koleganya di depan mata mereka.

“Memutus mata rantai kekerasan dengan kekerasan hanya akan memunculkan kekerasan baru. Tidak akan ada proses perdamaian yang langgeng dengan cara kekerasan. Semua strategi penanganan masalah di daerah pascakonflik patut dicoba, asalkan tidak dengan kekerasan,” tutupnya. (fiQ)

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar