Poso, Sulawesi Tengah terbukti masih
menjadi ladang subur pertumbuhan kader teroris baru. Kasus mutakhir
adalah penangkapan tiga orang terduga teroris di Kabupaten Tojo Una-una,
Sulawesi Tengah, Minggu dinihari, 25 November 2012.
Kenyataan tersebut menurut Muhammad
Miqdad, Direktur Eksekutif Institut Titian Perdamaian (ITP), LSM di
Jakarta yang memiliki program CEWARS (Conflict Early Warning System) di Poso, salah satunya dipicu aksi represif aparat terhadap kelompok-kelompok teror di Poso.
“Penangkapan yang dibarengi dengan aksi
kekerasan seperti kasus penembakan terhadap Khoiri, terduga teroris asal
Bima awal bulan ini, justru memupuk dendam dalam kelompok mereka
sehingga membuat para kadernya tersulut untuk menjadi teroris,” ujar
Miqdad kepada Lazuardi Birru, Sabtu (23/11/2012).
Pria asli Palu, Sulteng ini berkisah,
dirinya pernah menyaksikan prosesi pemakaman salah satu DPO kasus
terorisme yang tertembak mati oleh polisi. Saat itu ia mendengar
teriakan ‘ini belum selesai, tunggu pembalasan kami.’
“Peristiwa Januari 2007 di mana Densus 88
melakukan operasi penangkapan terhadap DPO terorisme di Tanah Runtuh,
Poso, hingga menewaskan beberapa terduga teroris dan seorang polisi
karena baku tembak, itu jelas memicu kemarahan dan dendam. Walhasil
terjadilah penembakan polisi di Kantor Cabang BCA di Palu pada 2011 dan
terakhir pembunuhan 2 polisi di Poso Pesisir,” urai Miqdad yang baru
saja kembali dari Poso sebelum wawancara dilakukan.
Lebih lanjut ia menganalisis selebaran
yang berisi tantangan perang kelompok radikal di Poso terhadap polisi
namun melarang keterlibatan TNI. Baginya, hal itu murni ekspresi balas
dendam.
“Jika memang mereka menganggap Negara ini
thaghut, sehingga seluruh instrumennya juga thaghut yang boleh
diperangi, aka TNI juga akan mereka ajak perang. Namun ternyata mereka
hanya mengincar polisi. Itu lantaran polisi merupakan instrumen Negara
terdepan yang berhadapan dengan kelompok radikal di Poso,” ujarnya.
Karena itu, dalam hemat Miqdad, menangani
persoalan kelompok-kelompok radikal di daerah pasca-konflik seperti
Poso tidak boleh dengan cara kekerasan. Pasalnya mereka punya pengalaman
traumatis terlibat aksi kekerasan dalam konflik horisontal. Saat
konflik, mereka berani nekad lantaran dendam atas terbunuhnya saudara,
kerabat, atau koleganya di depan mata mereka.
“Memutus mata rantai kekerasan dengan
kekerasan hanya akan memunculkan kekerasan baru. Tidak akan ada proses
perdamaian yang langgeng dengan cara kekerasan. Semua strategi
penanganan masalah di daerah pascakonflik patut dicoba, asalkan tidak
dengan kekerasan,” tutupnya. (fiQ)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar