Kamis, 06 Desember 2012

Febby Firmasyah: Tak Mau Ada Dendam, Korban Maafkan Teroris



16 Agustus 2003, Febby Firmansyah berencana melangsungkan akad nikah dengan pujaan hatinya. Semua keperluan pernikahan dan resepsi sudah siap. Undangan sudah tersebar. Namun malang, rencana mulia itu gagal berantakan oleh ulah teroris. Hari pernikahan yang ditunggu itu akhirnya kandas.

Ledakan yang terjadi di Hotel JW Marriott, 5 Agustus 2003 itu tidak hanya menggagalkan pernikahan Febby, tapi juga memakan korban yang cukup banyak. 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.

Siang itu, Febby sedang menemani tamu untuk makan siang. Karena kantor Febby kebetulan di Kuningan, akhirnya ia memutuskan untuk mengajak tamunya ke Syailendra, Coffee Shop Hotel JW Marriot.
Sekitar jam dua belas lebih, mereka sampai di lobby Hotel JW Marriot. “Setelah mengunjungi pabrik di daerah Cakung, Jakarta Timur, kita tidak ke kantor lagi, langsung menuju Hotel JW Marriot, karena sudah ditunggu teman dan sudah booking tempat,” Febby mengisahkan saat detik-detik ledakan bom itu.

Kurang lebih lima menit Febby berjalan menuju rekan kantornya yang sudah menunggu, tiba-tiba ada suara, tidak besar, hanya seperti suara listrik korslet “Stak, Stak!”, tiba-tiba “DOUAR”. Rekan Febby sempat bertanya, “Apa ini?” “Wah, tidak tahu Pak” timpal Febby. Waktu menjawab pertanyaan rekannya itu, Febby terpental. “Saya terpental, saya belum tahu itu apa, keadaan gelap,” kenang Febby.

Setelah terpental jauh, Febby mencoba bangun, berupaya tegak berdiri. Kedua tangannya penuh kobaran api. Ia keluar dari tempat itu sambil mematikan kobaran api di kedua tangannya. “Jangan lewat situ, lewat sini, lewat sini” begitu suara yang terdengar, yang ternyata petugas evakuasi dari pihak hotel.
Meskipun gelap, Febby samar-samar melihat bayangan orang-orang lari. Teriakan terdengar jelas seperti kata “Kiamat”, “Gempa Bumi”. “Saat itu, saya belum tahu apa yang terjadi, begitu saya keluar ada yang bilang kalau itu bom, di situ sudah berantakan semua,” ungkap Febby.

“Begitu keluar, saya melihat bongkahan bom itu dan lubang cukup besar ke bawah, ke basement, saya melihat beberapa seperti bongkahan taksi yang meledak, di situlah saya baru sadar bahwa ini bom,” imbuhnya.

Sesaat kemudian, Febby dan beberapa korban lainnya dibawa ke Rumah Sakit Jakarta. “Namun saat itu, kita tidak langsung ditangani, karena dianggapnya belum ada yang menjamin,” sesalnya pada pelayanan rumah sakit kala itu.

Dalam kondisi yang memperihatinkan, Febby masih harus berpikir bagaimana agar ia cepat mendapat penanganan medis. Ia berinisiatif menelpon ibunya, ia mencoba menenangkan diri dan berusaha membuat keluarganya tidak panik mendengar musibah yang telah menimpa dirinya. “Gak apa-apa. Ke sini biar cepat diobati dan ada yang jamin,” kenang Febby.

Setelah mendapatkan perawatan sekedarnya di Rumah Sakit Jakarta, ia disarankan untuk pindah rumah sakit. Karena Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) saat itu penuh, akhirnya Febby dirujuk ke Rumah Sakit Kramat 128. Di rumah sakit ini pertama kali Febby dioperasi. Ia tidak sadarkan diri selama enam jam. “Tahapan selanjutnya itu semua kulit-kulit yang kotor di keletek, meskipun sudah dibius, saya merasa seperti disiksa,” kisah Febby.

Empat hari lamanya Febby dirawat di Rumah Sakit Kramat. Hari kelima ia dirujuk ke RSPP karena dokter spesialis luka bakar yang menanganinya di sana. Ia menjalani perawatan di RSPP selama harmpir empat bulan.

Penderitaan yang dialami Febby dan korban bom lainnya akibat ledakan itu, tidak pernah terpikirkan oleh para pelaku. Mereka beranggapan apa yang telah dilakukannya bagian dari jihad dan membela agama (Islam). Padahal tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan, apalagi melakukan pengeboman yang merugikan orang banyak.

Sebagai korban, perasaan Anda terhadap para pelaku bagaimana?
Saat masih dirawat jalan, saya pernah bertemu dengan para pelaku pengeboman JW Marriott. Waktu pertama kali bertemu dengan mereka, di saat itu saya sudah berjanji sama diri sendiri akan memaafkan mereka dari hati saya yang paling dalam. Karena kalau mengikuti dendam, tujuh turunan mungkin tidak akan pernah habis, tidak akan berhenti sampai di sini. Jadi, saya berpikir hari itu apapun yang terjadi memang sudah kodrat dan takdir Tuhan.

Saat masih dalam perawatan Anda bertemu dengan para pelaku, bisa diceritakan?
Iya, November saya keluar dari rumah sakit, setelah dirawat selama hampir empat bulan. Saat itu, saya masih belum masuk kerja, karena masih berobat jalan sampai Desember. Kemudian pada Januari baru bisa masuk kerja, tapi masih belum bisa full, beberapa anggota badan saya juga masih ada yang diperban.
Febuari 2003, saya sedang bekerja di kantor, tapi kok di bawah ramai. Waktu itu, sebagian pelaku pengeboman JW Marriott sudah tertangkap. Namun saya tidak tahu kalau hari itu sedang ada rekonstruksi. Para pelaku yang sedang menjalani rekonstruksi adalah Ismail, Tohir, dan Rais.
Begitu saya mengetahui ada rekonstruksi, saya langsung ke lokasi. Teman saya bilang “Feb, ada rekonstruksi tuh”, akhirnya saya, Pak Tony, dan salah satu temen yang kerja di Hotel Marriott sebagai waiter (sekarang bekerja di Amerika) turun melihat.

Awalnya kita melihat saja. Kita tidak bisa mendekat, karena ramai dan dijaga ketat oleh polisi. Kemudian saya ngajak mereka untuk ketemu para pelaku. Akhirnya kita coba tanya pada kepala yang memimpin rekonstruksi itu, “Gimana Pak, kita bisa ketemu?” Saat itu, polisi bilang “Oke”, tapi para pelaku tidak berani dan menolak untuk ketemu. Polisi juga tidak berani karena khawatir ada provokasi.

Tapi kita tetap ngotot dan berusaha untuk ketemu. Tujuan kita sebagai korban hanya ingin tahu apa tujuan mereka melakukan pengeboman itu? Waktu itu tidak diizinkan, namun kita tetap disuruh menunggu dan akhirnya kita diperbolehkan asalkan tidak di TKP rekonstruksi.
Selesai rekonstruksi mereka balik, namun ada mobil patroli polisi yang nungguin kita, dan kita dibawa ke Polda. Sampai di sana, kita dipertemukan dengan mereka. Awalnya mereka takut bertemu dengan kita, para korban.

Begitu kita diperkenalkan dengan para pelaku Bom JW Marriott, Tohir dan Ismail langsung sujud minta maaf kepada kita. Di situ juga ada Idris alias Gembrot, pelaku Bom Bali I. Idris langsung mendoakan kita.
Mereka (Islamil, Tohir, red) sujud sama kita, minta maaf. Lalu saya bilang “Bangun, jangan sujud sama kita. Sujud sama Tuhan, Anda kan orang Islam, jangan menyembah manusia”.
Saat itu, polisi memberi kesempatan bagi kita untuk ngobrol-ngobrol. Mereka tidak berani memandang kita, mereka hanya merunduk saja.
*******
30 Oktober 2003. Dua tersangka peledakan bom di Hotel JW Marriott tertangkap di Ceribon. Mereka adalah Tohir, 29 Tahun, dan Ismail, 28 Tahun. Kedua tersangka ditangkap saat hendak menelpon mertuanya, Noordin M Top. Noordin adalah rekan Dr. Azahari, yang diduga polisi sebagai salah satu otak pengeboman di Hotel JW Marriott, 5 Agustus 2003, dan Bom Bali I, 12 Oktober 2002., (Tempointraktif, 02/11/2003).
Para pengamat menyebut aksi-aksi teror bom di Indonesia dipicu oleh fatwa Osama bin Laden pada Februari 1998. Kala itu Osama mendeklarasikan World Islamic Front dan mengeluarkan fatwa yang menyerukan kewajiban berjihad melawan tentara dan warga sipil Amerika Serikat di mana pun berada. Tak heran kemudian beberapa aksi pengeboman yang terjadi di Tanah Air menjadikan simbol-simbol asing sebagai sasaran, misalnya Sari Club dan Paddys Café pada Bom Bali I, JW Marriott, Kedutaan Besar Australia, dan lain sebagainya.

Banyak diantara pelaku terorisme, seperti Imam Samudra dan Mukhlas (dalang Bom Bali I) menggunakan ayat-ayat Alquran dan Hadis untuk menjustifikasi tindakannya. Begitu juga dengan para pelaku pengeboman Hotel JW Marriott, dan pengeboman lainnya. Mereka menjadikan agama sebagai pembenar tindakannya. Bahkan mereka beralasan, jatuhnya korban sipil merupakan pengorbanan dari perjuangan mereka.
“Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan. Setiap pengorbanan itu bisa dibilang jihad dan pasti masuk surga,” kata Febby menirukan jawaban pelaku terorisme saat dirinya bertemu para pelaku di penjara.

Mereka melakukan pengeboman dan bom bunuh diri dengan dalih agama. Komentar Anda sebagai korban seperti apa?
Saya berani mengatakan bahwa perbuatan mereka itu salah. Mereka melakukan itu semua dengan dalih agama, padahal tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan seperti itu. Sebagai seorang Muslim, sejak kecil saya diajari oleh orangtua tentang Islam sebagai agama yang cinta damai, saling menghormati, menghargai perbedaan dalam beragama, ras, bahasa, dan bangsa. Jadi, agama yang saya pelajari tidak membenarkan tindakan itu, karena dalam Islam tidak ada ajaran saling menyakiti.

Saya juga diajari bahwa ketika Nabi Muhammad SAW sedang berperang melawan musuh-musuhnya, beliau selalu mengatakan “rangkulah musuhmu, jangan sakiti mereka”. Jadi, kita sebagai seorang Muslim selama tidak merasa terancam dengan senjata, maka janganlah mengangkat senjata juga, pantanglah bagi seorang Muslim itu mengacungkan senjata duluan sebelum dirinya terancam. Jadi bagi saya, Islam itu cinta damai, tidak ada sedikitpun Islam yang saya pahami itu menyakiti orang lain, bahkan kepada binatang sekalipun.

Karena ulah kelompok yang tidak bertanggung jawab ini, Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta tercoreng. Bagaimana Anda melihatnya?
Selama ini yang saya lakukan ketika mengikuti seminar di dalam dan di luar negeri, saya sebagai seorang Muslim selalu membela agama saya. Artinya, saya sebagai seorang Muslim juga menjadi korban bom yang dilakukan oleh seorang yang beragama Islam juga.
Saya selalu mengatakan bahwa mereka (pelaku terorisme, red) melakukan pengeboman dan bom bunuh diri memakai dan memanfaatkan agama sebagai alat. Mereka tidak mewakili Islam, karena Islam itu adalah agama yang mengajarkan kedamaian dan kasih sayang.

Selama ini terorisme selalu identik dengan Islam, padahal faktanya tidak seperti itu. Misalnya kasus terorisme yang terjadi di Norwegia. Kejadian ini membuka mata dunia bahwa pelaku terorisme itu tidak hanya orang Islam. Saya sebagai seorang Muslim akan tetap berusaha menjelaskan bahwa Islam itu bukan teroris.

Sebagai orang yang pernah menjadi korban bom, Anda melihat peran pemerintah dalam penanganan aksi terorisme seperti apa?
Sejauh ini, saya pikir cukup baik, namun tidak seratus persen berhasil. Justru saya melihat bahwa pemerintah itu melakukan penyikapan terhadap pemberantasan terorisme ini kadang berlebihan, sangat agresif, sehingga kadang-kadang salah tangkap. Itu kan justru merugikan orang yang bersangkutan. Saya berharap agar orang yang salah tangkap ini dibersihkan nama baiknya.
Dalam konteks ini (peran pemerintah, red), justru pemerintah kurang memperhatikan korban. Artinya penanganan terhadap para korban itu sangat kurang. Korban dianggapnya hanyalah korban, tanpa melihat kehidupan para korban ini dalam menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari, seperti trauma, cacat, dan lain sebagainya.

Kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini?
Dalam konteks ini, pemerintah harus bekerja lebah konkrit lagi, khususnya dalam menangani korban terorisme dan melakukan upaya preventif agar terorisme tidak menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang damai. Pemerintah juga harus bekerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat. Dan masyarakat itu juga harus pro aktif, misalnya melaporkan kalau ada hal-hal yang mencurigakan.
******
Maraknya aksi terorisme di Indonesia mendorong para korban bom mengkonsolidasikan diri membentuk paguyuban sebagai wadah untuk membantu para korban lainnya di Indonesia. Mereka juga berupaya melakukan upaya preventif menanggulangi aksi terorisme yang marak terjadi di Tanah Air.

Misalnya para korban Bom Bali membentuk paguyuban ISANA DEWATA, korban Bom Kuningan membentuk Forum Kuningan, dan para korban Bom JW Marriott I membentuk Yayasan Lima Delapan. Tiga peguyuban ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Asosiasi Korban Bom Terorisme di Indonesia (ASKOBI).
Asosiasi yang dideklarasikan di Bali pada 12 Oktober 2009 ini, tidak lagi sekedar menjadi wadah guna menyuarakan keluhan-keluhan personal dan sektoral dari korban-korban dan keluarga korban lantaran kurang perhatian dan kepedulian pemerintah Indonesia dalam penanganan pasca ledakan bom, tapi telah bergerak lebih jauh menyebarluaskan pesan-pesan perdamaian dengan berbagai program dan kegiatan yang terencana, terukur, dalam upaya mencegah aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan ideologi tertentu di masa mendatang, (Askobi.org).

Febby adalah salah satu korban yang mempunyai kepedulian terhadap maraknya aksi terorisme ini, terutama dalam soal penanganan para korban. Misalnya, waktu peristiwa Bom Kuningan 2004, ia bersama rekan-rekan korban lainnya ikut membantu menangani para korban di rumah sakit.

Hal tersebut dilakukan Febby karena pengalaman dirinya sebagai korban Bom JW Marriott yang tidak langsung ditangani cepat oleh pihak rumah sakit dengan alasan masih menunggu siapa yang akan menjaminnya. “Kita punya pengalaman pada saat kita jadi korban, saat itu penanganannya telat. Harus nunggu dulu ada yang menjamin, padahal waktu itu kita butuh pertolongan medis,” kata Febby.

“2004 kita turun ke jalan, saya kebagian di Rumah Sakit Jakarta untuk mendata korban, lalu masukkan data itu ke Depkes, kita yang buat suratnya ke rumah sakit-rumah sakit itu,” imbuhnya.
Saat itu, kata Febby, belum ada ASKOBI, namun Yayasan Lima Delapan sebagai wadah dari korban JW Marriott I sudah terbentuk. Lewat wadah ini kemudian Febby dan rekan-rekan yang pernah menjadi korban bom melakukan advokasi terhadap korban Bom Kuningan 2004. “Itu kita lagi trauma-traumanya turun ke  jalan,” kisah Febby.

Langkah maju ketika para korban bom di Indonesia bersatu dalam naungan organisasi. Bisa diceritakan apa saja yang sudah dilakukan Askobi dalam hal ini?
Kalau untuk saat ini kita baru jalan, karena selama ini kita sebagai anggota Askobi tidak punya keahlian dalam menangani terorisme yang terjadi. Bahkan kita juga tidak punya dana untuk melakukan sesuatu yang besar, apa yang kita lakukan sangat terbatas. Tapi kita tetap mencoba untuk melakukan sesuatu yang berarti untuk membantu pencegahan terorisme di Indonesia dan juga membantu para korban.
Saya berharap beberapa lembaga seperti BNPT dan lembaga lainnya mau menjadi patner dan bekerja sama dengan para korban untuk saling membantu dalam melakukan pencegahan, dan meminimalisir pengkaderan terorisme di Indonesia melalui sosialisasi, seminar, dan kegiatan lainnya.

Sebagai seorang korban, apa yang Anda akan lakukan dalam konteks Indonesia ke depan?
Apa artinya saya sendiri tanpa bantuan dari yang lain, namun saya punya cita-cita bahwa untuk ke depanya hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi. Dalam kata lain, saya ingin mencurahkan segala kemampuan saya untuk meminimalisir terorisme ini.
Paling tidak saya melakukan sesuatu untuk menyuarakan bahwa saya ini seorang yang anti kekerasan, bukan hanya dalam konteks terorisme saja. Selama saya masih hidup, selama masih bernafas di muka bumi ini, saya akan terus berjuang dalam melakukan hal ini, karena sebagai orang yang pernah menjadi korban pengeboman, saya merasakan tidak enak hidup sebagai korban.

Apa pesan Anda terhadap generasi muda?
Para generasi muda, para calon pemimpin bangsa, kita harus selalu waspada dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Kita harus saling menjaga dan jangan gampang terpancing tindakan dari oknum-oknum yang ingin memecah belah bangsa Indonesia, jangan terlalu percaya dengan isu-isu yang tidak jelas sumbernya (provokasi, red), jangan mendengarkan dan mebalajar hanya dari satu sumber, kita harus mencari kebenarannya baru yang kita percayai, dan kita juga harus menjaga kerukunan sesama bangsa Indonesia walaupun berbeda suku, ras dan agama, karena perpecahan yang dimulai dengan mengatasnamakan agama adalah hal yang paling sensitif dan gampang sekali memicu perpecahan itu [Aziz].

Biodata
Nama                          : Febby Firmansyah
Tanggal Lahir              : 10 Februari 1977
Email                           : febbyisran@gmail.com
Pendidikan                  : 1995-1999 Bachelor of Management & Industrial Engineering, Faculty of Industrial Engineering, at Institute Technology Indonesia with GPA 2.9

 (Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar