16 Agustus 2003, Febby Firmansyah
berencana melangsungkan akad nikah dengan pujaan hatinya. Semua
keperluan pernikahan dan resepsi sudah siap. Undangan sudah tersebar.
Namun malang, rencana mulia itu gagal berantakan oleh ulah teroris. Hari
pernikahan yang ditunggu itu akhirnya kandas.
Ledakan yang terjadi di Hotel JW
Marriott, 5 Agustus 2003 itu tidak hanya menggagalkan pernikahan Febby,
tapi juga memakan korban yang cukup banyak. 11 orang meninggal, dan 152
orang lainnya mengalami luka-luka.
Siang itu, Febby sedang menemani tamu
untuk makan siang. Karena kantor Febby kebetulan di Kuningan, akhirnya
ia memutuskan untuk mengajak tamunya ke Syailendra, Coffee Shop Hotel JW
Marriot.
Sekitar jam dua belas lebih, mereka
sampai di lobby Hotel JW Marriot. “Setelah mengunjungi pabrik di daerah
Cakung, Jakarta Timur, kita tidak ke kantor lagi, langsung menuju Hotel
JW Marriot, karena sudah ditunggu teman dan sudah booking tempat,” Febby mengisahkan saat detik-detik ledakan bom itu.
Kurang lebih lima menit Febby berjalan
menuju rekan kantornya yang sudah menunggu, tiba-tiba ada suara, tidak
besar, hanya seperti suara listrik korslet “Stak, Stak!”, tiba-tiba “DOUAR”.
Rekan Febby sempat bertanya, “Apa ini?” “Wah, tidak tahu Pak” timpal
Febby. Waktu menjawab pertanyaan rekannya itu, Febby terpental. “Saya
terpental, saya belum tahu itu apa, keadaan gelap,” kenang Febby.
Setelah terpental jauh, Febby mencoba
bangun, berupaya tegak berdiri. Kedua tangannya penuh kobaran api. Ia
keluar dari tempat itu sambil mematikan kobaran api di kedua tangannya.
“Jangan lewat situ, lewat sini, lewat sini” begitu suara yang terdengar,
yang ternyata petugas evakuasi dari pihak hotel.
Meskipun gelap, Febby samar-samar melihat
bayangan orang-orang lari. Teriakan terdengar jelas seperti kata
“Kiamat”, “Gempa Bumi”. “Saat itu, saya belum tahu apa yang terjadi,
begitu saya keluar ada yang bilang kalau itu bom, di situ sudah
berantakan semua,” ungkap Febby.
“Begitu keluar, saya melihat bongkahan bom itu dan lubang cukup besar ke bawah, ke basement, saya melihat beberapa seperti bongkahan taksi yang meledak, di situlah saya baru sadar bahwa ini bom,” imbuhnya.
Sesaat kemudian, Febby dan beberapa
korban lainnya dibawa ke Rumah Sakit Jakarta. “Namun saat itu, kita
tidak langsung ditangani, karena dianggapnya belum ada yang menjamin,”
sesalnya pada pelayanan rumah sakit kala itu.
Dalam kondisi yang memperihatinkan, Febby
masih harus berpikir bagaimana agar ia cepat mendapat penanganan medis.
Ia berinisiatif menelpon ibunya, ia mencoba menenangkan diri dan
berusaha membuat keluarganya tidak panik mendengar musibah yang telah
menimpa dirinya. “Gak apa-apa. Ke sini biar cepat diobati dan ada yang
jamin,” kenang Febby.
Setelah mendapatkan perawatan sekedarnya
di Rumah Sakit Jakarta, ia disarankan untuk pindah rumah sakit. Karena
Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) saat itu penuh, akhirnya Febby
dirujuk ke Rumah Sakit Kramat 128. Di rumah sakit ini pertama kali Febby
dioperasi. Ia tidak sadarkan diri selama enam jam. “Tahapan selanjutnya
itu semua kulit-kulit yang kotor di keletek, meskipun sudah dibius, saya merasa seperti disiksa,” kisah Febby.
Empat hari lamanya Febby dirawat di Rumah
Sakit Kramat. Hari kelima ia dirujuk ke RSPP karena dokter spesialis
luka bakar yang menanganinya di sana. Ia menjalani perawatan di RSPP
selama harmpir empat bulan.
Penderitaan yang dialami Febby dan korban
bom lainnya akibat ledakan itu, tidak pernah terpikirkan oleh para
pelaku. Mereka beranggapan apa yang telah dilakukannya bagian dari jihad
dan membela agama (Islam). Padahal tidak ada satupun agama yang
mengajarkan kekerasan, apalagi melakukan pengeboman yang merugikan orang
banyak.
Sebagai korban, perasaan Anda terhadap para pelaku bagaimana?
Saat masih dirawat jalan, saya pernah
bertemu dengan para pelaku pengeboman JW Marriott. Waktu pertama kali
bertemu dengan mereka, di saat itu saya sudah berjanji sama diri sendiri
akan memaafkan mereka dari hati saya yang paling dalam. Karena kalau
mengikuti dendam, tujuh turunan mungkin tidak akan pernah habis, tidak
akan berhenti sampai di sini. Jadi, saya berpikir hari itu apapun yang
terjadi memang sudah kodrat dan takdir Tuhan.
Saat masih dalam perawatan Anda bertemu dengan para pelaku, bisa diceritakan?
Iya, November saya keluar dari rumah
sakit, setelah dirawat selama hampir empat bulan. Saat itu, saya masih
belum masuk kerja, karena masih berobat jalan sampai Desember. Kemudian
pada Januari baru bisa masuk kerja, tapi masih belum bisa full, beberapa
anggota badan saya juga masih ada yang diperban.
Febuari 2003, saya sedang bekerja di
kantor, tapi kok di bawah ramai. Waktu itu, sebagian pelaku pengeboman
JW Marriott sudah tertangkap. Namun saya tidak tahu kalau hari itu
sedang ada rekonstruksi. Para pelaku yang sedang menjalani rekonstruksi
adalah Ismail, Tohir, dan Rais.
Begitu saya mengetahui ada rekonstruksi,
saya langsung ke lokasi. Teman saya bilang “Feb, ada rekonstruksi tuh”,
akhirnya saya, Pak Tony, dan salah satu temen yang kerja di Hotel
Marriott sebagai waiter (sekarang bekerja di Amerika) turun melihat.
Awalnya kita melihat saja. Kita tidak
bisa mendekat, karena ramai dan dijaga ketat oleh polisi. Kemudian saya
ngajak mereka untuk ketemu para pelaku. Akhirnya kita coba tanya pada
kepala yang memimpin rekonstruksi itu, “Gimana Pak, kita bisa ketemu?”
Saat itu, polisi bilang “Oke”, tapi para pelaku tidak berani dan menolak
untuk ketemu. Polisi juga tidak berani karena khawatir ada provokasi.
Tapi kita tetap ngotot dan berusaha untuk
ketemu. Tujuan kita sebagai korban hanya ingin tahu apa tujuan mereka
melakukan pengeboman itu? Waktu itu tidak diizinkan, namun kita tetap
disuruh menunggu dan akhirnya kita diperbolehkan asalkan tidak di TKP
rekonstruksi.
Selesai rekonstruksi mereka balik, namun
ada mobil patroli polisi yang nungguin kita, dan kita dibawa ke Polda.
Sampai di sana, kita dipertemukan dengan mereka. Awalnya mereka takut
bertemu dengan kita, para korban.
Begitu kita diperkenalkan dengan para
pelaku Bom JW Marriott, Tohir dan Ismail langsung sujud minta maaf
kepada kita. Di situ juga ada Idris alias Gembrot, pelaku Bom Bali I.
Idris langsung mendoakan kita.
Mereka (Islamil, Tohir, red) sujud sama
kita, minta maaf. Lalu saya bilang “Bangun, jangan sujud sama kita.
Sujud sama Tuhan, Anda kan orang Islam, jangan menyembah manusia”.
Saat itu, polisi memberi kesempatan bagi
kita untuk ngobrol-ngobrol. Mereka tidak berani memandang kita, mereka
hanya merunduk saja.
*******
30 Oktober 2003. Dua tersangka peledakan
bom di Hotel JW Marriott tertangkap di Ceribon. Mereka adalah Tohir, 29
Tahun, dan Ismail, 28 Tahun. Kedua tersangka ditangkap saat hendak
menelpon mertuanya, Noordin M Top. Noordin adalah rekan Dr. Azahari,
yang diduga polisi sebagai salah satu otak pengeboman di Hotel JW
Marriott, 5 Agustus 2003, dan Bom Bali I, 12 Oktober 2002.,
(Tempointraktif, 02/11/2003).
Para pengamat menyebut aksi-aksi teror
bom di Indonesia dipicu oleh fatwa Osama bin Laden pada Februari 1998.
Kala itu Osama mendeklarasikan World Islamic Front dan
mengeluarkan fatwa yang menyerukan kewajiban berjihad melawan tentara
dan warga sipil Amerika Serikat di mana pun berada. Tak heran kemudian
beberapa aksi pengeboman yang terjadi di Tanah Air menjadikan
simbol-simbol asing sebagai sasaran, misalnya Sari Club dan Paddys Café
pada Bom Bali I, JW Marriott, Kedutaan Besar Australia, dan lain
sebagainya.
Banyak diantara pelaku terorisme, seperti
Imam Samudra dan Mukhlas (dalang Bom Bali I) menggunakan ayat-ayat
Alquran dan Hadis untuk menjustifikasi tindakannya. Begitu juga dengan
para pelaku pengeboman Hotel JW Marriott, dan pengeboman lainnya. Mereka
menjadikan agama sebagai pembenar tindakannya. Bahkan mereka beralasan,
jatuhnya korban sipil merupakan pengorbanan dari perjuangan mereka.
“Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan.
Setiap pengorbanan itu bisa dibilang jihad dan pasti masuk surga,” kata
Febby menirukan jawaban pelaku terorisme saat dirinya bertemu para
pelaku di penjara.
Mereka melakukan pengeboman dan bom bunuh diri dengan dalih agama. Komentar Anda sebagai korban seperti apa?
Saya berani mengatakan bahwa perbuatan
mereka itu salah. Mereka melakukan itu semua dengan dalih agama, padahal
tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan seperti itu. Sebagai seorang
Muslim, sejak kecil saya diajari oleh orangtua tentang Islam sebagai
agama yang cinta damai, saling menghormati, menghargai perbedaan dalam
beragama, ras, bahasa, dan bangsa. Jadi, agama yang saya pelajari tidak
membenarkan tindakan itu, karena dalam Islam tidak ada ajaran saling
menyakiti.
Saya juga diajari bahwa ketika Nabi
Muhammad SAW sedang berperang melawan musuh-musuhnya, beliau selalu
mengatakan “rangkulah musuhmu, jangan sakiti mereka”. Jadi, kita sebagai
seorang Muslim selama tidak merasa terancam dengan senjata, maka
janganlah mengangkat senjata juga, pantanglah bagi seorang Muslim itu
mengacungkan senjata duluan sebelum dirinya terancam. Jadi bagi saya,
Islam itu cinta damai, tidak ada sedikitpun Islam yang saya pahami itu
menyakiti orang lain, bahkan kepada binatang sekalipun.
Karena ulah kelompok yang
tidak bertanggung jawab ini, Islam sebagai agama rahmat bagi alam
semesta tercoreng. Bagaimana Anda melihatnya?
Selama ini yang saya lakukan ketika
mengikuti seminar di dalam dan di luar negeri, saya sebagai seorang
Muslim selalu membela agama saya. Artinya, saya sebagai seorang Muslim
juga menjadi korban bom yang dilakukan oleh seorang yang beragama Islam
juga.
Saya selalu mengatakan bahwa mereka
(pelaku terorisme, red) melakukan pengeboman dan bom bunuh diri memakai
dan memanfaatkan agama sebagai alat. Mereka tidak mewakili Islam, karena
Islam itu adalah agama yang mengajarkan kedamaian dan kasih sayang.
Selama ini terorisme selalu identik
dengan Islam, padahal faktanya tidak seperti itu. Misalnya kasus
terorisme yang terjadi di Norwegia. Kejadian ini membuka mata dunia
bahwa pelaku terorisme itu tidak hanya orang Islam. Saya sebagai seorang
Muslim akan tetap berusaha menjelaskan bahwa Islam itu bukan teroris.
Sebagai orang yang pernah menjadi korban bom, Anda melihat peran pemerintah dalam penanganan aksi terorisme seperti apa?
Sejauh ini, saya pikir cukup baik, namun
tidak seratus persen berhasil. Justru saya melihat bahwa pemerintah itu
melakukan penyikapan terhadap pemberantasan terorisme ini kadang
berlebihan, sangat agresif, sehingga kadang-kadang salah tangkap. Itu
kan justru merugikan orang yang bersangkutan. Saya berharap agar orang
yang salah tangkap ini dibersihkan nama baiknya.
Dalam konteks ini (peran pemerintah,
red), justru pemerintah kurang memperhatikan korban. Artinya penanganan
terhadap para korban itu sangat kurang. Korban dianggapnya hanyalah
korban, tanpa melihat kehidupan para korban ini dalam menjalani
aktivitas kehidupannya sehari-hari, seperti trauma, cacat, dan lain
sebagainya.
Kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini?
Dalam konteks ini, pemerintah harus
bekerja lebah konkrit lagi, khususnya dalam menangani korban terorisme
dan melakukan upaya preventif agar terorisme tidak menjadi ancaman bagi
kehidupan masyarakat Indonesia yang damai. Pemerintah juga harus bekerja
sama dengan seluruh lapisan masyarakat. Dan masyarakat itu juga harus
pro aktif, misalnya melaporkan kalau ada hal-hal yang mencurigakan.
******
Maraknya aksi terorisme di Indonesia
mendorong para korban bom mengkonsolidasikan diri membentuk paguyuban
sebagai wadah untuk membantu para korban lainnya di Indonesia. Mereka
juga berupaya melakukan upaya preventif menanggulangi aksi terorisme
yang marak terjadi di Tanah Air.
Misalnya para korban Bom Bali membentuk
paguyuban ISANA DEWATA, korban Bom Kuningan membentuk Forum Kuningan,
dan para korban Bom JW Marriott I membentuk Yayasan Lima Delapan. Tiga
peguyuban ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Asosiasi Korban
Bom Terorisme di Indonesia (ASKOBI).
Asosiasi yang dideklarasikan di Bali pada
12 Oktober 2009 ini, tidak lagi sekedar menjadi wadah guna menyuarakan
keluhan-keluhan personal dan sektoral dari korban-korban dan keluarga
korban lantaran kurang perhatian dan kepedulian pemerintah Indonesia
dalam penanganan pasca ledakan bom, tapi telah bergerak lebih jauh
menyebarluaskan pesan-pesan perdamaian dengan berbagai program dan
kegiatan yang terencana, terukur, dalam upaya mencegah aksi-aksi
terorisme yang mengatasnamakan ideologi tertentu di masa mendatang,
(Askobi.org).
Febby adalah salah satu korban yang
mempunyai kepedulian terhadap maraknya aksi terorisme ini, terutama
dalam soal penanganan para korban. Misalnya, waktu peristiwa Bom
Kuningan 2004, ia bersama rekan-rekan korban lainnya ikut membantu
menangani para korban di rumah sakit.
Hal tersebut dilakukan Febby karena
pengalaman dirinya sebagai korban Bom JW Marriott yang tidak langsung
ditangani cepat oleh pihak rumah sakit dengan alasan masih menunggu
siapa yang akan menjaminnya. “Kita punya pengalaman pada saat kita jadi
korban, saat itu penanganannya telat. Harus nunggu dulu ada yang
menjamin, padahal waktu itu kita butuh pertolongan medis,” kata Febby.
“2004 kita turun ke jalan, saya kebagian
di Rumah Sakit Jakarta untuk mendata korban, lalu masukkan data itu ke
Depkes, kita yang buat suratnya ke rumah sakit-rumah sakit itu,”
imbuhnya.
Saat itu, kata Febby, belum ada ASKOBI,
namun Yayasan Lima Delapan sebagai wadah dari korban JW Marriott I sudah
terbentuk. Lewat wadah ini kemudian Febby dan rekan-rekan yang pernah
menjadi korban bom melakukan advokasi terhadap korban Bom Kuningan 2004.
“Itu kita lagi trauma-traumanya turun ke jalan,” kisah Febby.
Langkah maju ketika para
korban bom di Indonesia bersatu dalam naungan organisasi. Bisa
diceritakan apa saja yang sudah dilakukan Askobi dalam hal ini?
Kalau untuk saat ini kita baru jalan,
karena selama ini kita sebagai anggota Askobi tidak punya keahlian dalam
menangani terorisme yang terjadi. Bahkan kita juga tidak punya dana
untuk melakukan sesuatu yang besar, apa yang kita lakukan sangat
terbatas. Tapi kita tetap mencoba untuk melakukan sesuatu yang berarti
untuk membantu pencegahan terorisme di Indonesia dan juga membantu para
korban.
Saya berharap beberapa lembaga seperti
BNPT dan lembaga lainnya mau menjadi patner dan bekerja sama dengan para
korban untuk saling membantu dalam melakukan pencegahan, dan
meminimalisir pengkaderan terorisme di Indonesia melalui sosialisasi,
seminar, dan kegiatan lainnya.
Sebagai seorang korban, apa yang Anda akan lakukan dalam konteks Indonesia ke depan?
Apa artinya saya sendiri tanpa bantuan
dari yang lain, namun saya punya cita-cita bahwa untuk ke depanya
hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi. Dalam kata lain, saya ingin
mencurahkan segala kemampuan saya untuk meminimalisir terorisme ini.
Paling tidak saya melakukan sesuatu untuk
menyuarakan bahwa saya ini seorang yang anti kekerasan, bukan hanya
dalam konteks terorisme saja. Selama saya masih hidup, selama masih
bernafas di muka bumi ini, saya akan terus berjuang dalam melakukan hal
ini, karena sebagai orang yang pernah menjadi korban pengeboman, saya
merasakan tidak enak hidup sebagai korban.
Apa pesan Anda terhadap generasi muda?
Para generasi muda, para calon pemimpin
bangsa, kita harus selalu waspada dengan apa yang terjadi di sekitar
kita. Kita harus saling menjaga dan jangan gampang terpancing tindakan
dari oknum-oknum yang ingin memecah belah bangsa Indonesia, jangan
terlalu percaya dengan isu-isu yang tidak jelas sumbernya (provokasi,
red), jangan mendengarkan dan mebalajar hanya dari satu sumber, kita
harus mencari kebenarannya baru yang kita percayai, dan kita juga harus
menjaga kerukunan sesama bangsa Indonesia walaupun berbeda suku, ras dan
agama, karena perpecahan yang dimulai dengan mengatasnamakan agama
adalah hal yang paling sensitif dan gampang sekali memicu perpecahan itu
[Aziz].
Biodata
Nama : Febby Firmansyah
Tanggal Lahir : 10 Februari 1977
Email : febbyisran@gmail.com
Pendidikan : 1995-1999
Bachelor of Management & Industrial Engineering, Faculty of
Industrial Engineering, at Institute Technology Indonesia with GPA 2.9
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar