Senin, 03 Desember 2012

Eko Prasetyo: Ideologi Tak Bisa Dibunuh, tapi Harus Diajak Dialog



Sejak tahun 2000 hingga kini ratusan terpidana kasus terorisme telah diproses hukum oleh pemerintah. Sebagian besar mereka bahkan sudah kembali ke masyarakat. Walhasil aksi teror bom kian menyurut. Terakhir adalah tahun 2009 saat bom kembali menerjang Hotel JW Marriot Jakarta dan 9 korban menyurut.
Setelah itu beberapa aksi teror bom memang masih muncul. Awal 2011 misalnya, Jakarta diguncang teror bom buku yang diarahkan kepada sejumlah tokoh yang dianggap sebagai “musuh Islam”. Menyusul berikutnya adalah aksi bom di Masjid Adzikra Komplek Mapolresta Cirebon pada April 2011, dan bulan September di tahun yang sama, Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo juga menjadi target teror bom.

Namun bom-bom yang digunakan dalam tiga aksi tersebut bersifat low explosive sehingga tidak menimbulkan korban jiwa selain pelaku. Di Cirebon dan  Solo, korban tewas adalah pelakunya sendiri. Sedangkan aksi bom buku mencederai seorang aparat kepolisian yang mencoba menjinakkannya.
Kendati demikian, tetap saja aksi-aksi tersebut mencederai puluhan masyarakat sipil yang tak bersalah. Dan yang lebih penting, memicu ketakutan dan terkikisnya rasa aman masyarakat. Lebih dari itu, ternyata teroris terus melakukan regenerasi. Jika dulu para dalang terorisme adalah mantan kombatan di daerah konflik, tapi teroris mutakhir adalah orang-orang yang belajar dari kelompok-kelompok pengajian radikal yang belajar merakit bom dari buku-buku dan internet.

Bahkan kemudian mereka bisa menemukan modus baru. Seperti teroris kelompok Kemayoran Jakarta yang berniat meracuni polisi dengan bahan-bahan nabati di kantin-kantin markas kepolisian di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah, meski rencana itu berhasil digagalkan. Jika sebelumnya aksi teror menyasar pada fasilitas-fasilitas publik dan simbol-simbol Barat, maka sekarang markas kepolisian Indonesia menjadi target.

Inilah yang dikatakan oleh Eko Prasetyo, Direktur Program Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta bahwa ideologi terorisme tak bisa diberangus.
“Upaya-upaya represif yang dilakukan oleh aparat tidak pernah bisa membuat teror mereda. Selalu muncul dan selalu muncul. Maka menurut saya upaya yang harus lebih ditekankan adalah menggalang dialog dan komunikasi intensif antarkelompok keagamaan yang ada,” ujarnya kepada Lazuardi Birru.

Selain itu, mantan anggota Tim Pembela Muslim (TPM) dalam kasus yang menimpa Laskar Jihad ini, berpandangan bahwa sikap represif aparat justru bisa memunculkan sikap keras yang serupa dari kelompok-kelompok keagamaan radikal. Kekerasan memancing kekerasan.

“Dialog antarkelompok dalam Islam itu penting untuk membuka pintu perdamaian. Kemudian harus diciptakan situasi kondusif untuk mendorong penegakan hukum yang adil,” sambung Eko. Berikut petikan wawancara Lazuardi Birru dengan mantan wartawan Harian Republika ini.

Apa cara efektif untuk meminimalisir potensi terorisme di Indonesia?
Pertama, upaya dialog itu harus lebih diprioritaskan. Pemerintah harus bersikap aktif dalam hal ini. Demikian pula dengan Majelis Ulama Indonesia dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis. Kelompok-kelompok sipil tersebut harus aktif menyapa kelompok-kelompok radikal yang berpotensi melakukan aksi teror.

Kedua, pemerintah harus memberikan proses peradilan kepada terdakwa-terdakwa terorisme secara adil. Hak hukum terdakwa tetap harus dilindungi, misalnya berhak ditemani oleh pengacara.
Ketiga semua tindakan aparat yang sewenang-wenang seperti intimidasi, apalagi salah tembak itu tetap harus memeroleh proses hukum sebagai pendisiplinan.
Intinya upaya penanganan terorisme tidak bisa hanya dengan cara-cara represif tetapi harus lebih mengedepankan soft approach (pendekatan halus).

Berarti represifitas aparat  dalam penanganan terorisme harus diminimalisir?
Hemat saya, cara kekerasan tidak akan menghasilkan dampak signifikan. Sejarah membuktikan itu. Hasan al Banna dan Sayyid Quthub dibunuh, namun toh ajarannya masih kuat hingga kini. Ideologi itu tidak akan bisa dibunuh. Ideologi hanya bisa diwacanakan kemudian didialogkan dan didiskusikan.
Berbekal sejarah itu, kalau penanganan terorisme masih mengutamakan represifitas justru akan mengalami kendala besar dan membawa dampak buruk bagi masa depan.

Apakah pemerintah perlu bekerjasama dengan civil society dalam penanganan terorisme?
Itu pasti. Saya rasa pemerintah tidak mungkin bisa bekerja sendiri. Pemerintah harus melibatkan lembaga-lembaga non pemerintahan. Bahkan perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan. Saya kira cara itu lebih efektif membantu pemerintah menangani masalah terorisme.
Tak hanya berhenti di tingkat lokal, kelompok sipil yang memiliki jaringan internasional juga bisa terlibat dalam upaya dialog perdamaian global. Sebab kelompok teroris biasanya memiliki jaringan lintas negara.

Selain kepolisian, di antara sekian instansi pemerintah, menurut Anda kementerian apa yang cukup kapabel untuk menangani terorisme?
Kementerian Pendidikan dan Kementerian Keagamaan sangat penting karena bisa mengedepankan dialog untuk mendiskusikan topik-topik seputar sosial keagamaan sehingga bisa menyemaikan Islam yang lebih terbuka dan toleran. Kementerian Hukum dan HAM juga penting untuk melindungi terdakwa terorisme dari tindakan sewenang-wenang aparat. Sementara Kementerian Sosial bekerja memberikan perlindungan sosial kepada keluarga korban terorisme, keluarga terdakwa, dan terdakwa terorisme sendiri.
*****
Sebagian kalangan menyimpulkan bahwa akar masalah terorisme adalah tafsir-tafsir keagamaan yang radikal yang menghalalkan kekerasan demi menegakkan panji Islam di muka bumi. Iming-iming mati syahid dan dijamin masuk surga saat melakukan aksi terorisme meneguhkan keyakinan pelaku bahwa tindakannya murni atas nama Allah.
Namun hipotesa ini dibantah oleh Eko Prasetyo. Penulis yang produktif menelurkan banyak buku ini, salah satunya berjudul Astaghfirullah, Islam Jangan Dijual (2007), memandang bahwa tafsir keagamaan sengaja dihadirkan untuk menyulut semangat individu yang sebelumnya sudah terbelit masalah sosial. “Dalam konteks ini, agama ibarat minyak di rumput kering,” ujarnya.
Pasalnya, lanjut lulusan Fakultas Hukum UII ini, pada dasarnya agama melarang kekerasan. Banyak ayat dalam Alquran yang menjelaskan itu. Kendati banyak pula ayat yang berkisah seputar peperangan dan kerap dijadikan sebagai justifikasi tindak kekerasan, tetapi mestinya ayat itu ditafsirkan menurut konteksnya.

Bagaimana sebenarnya hubungan tafsir keagamaan dengan terorisme?
Saya melihat bahwa terorisme itu sebagian besar berangkat bukan dari doktrin keagamaan tetapi dari situasi sosial. Situasi sosial itulah yang memicu tindakan kekerasan, dan agama hanya menjadi justifikasi semata ketika situasi sosial membenarkan tindakan terorisme.
Banyak pelaku yang sudah ditangkap oleh Densus 88 Mabes Polri walaupun ekspresinya adalah pengamalan sebuah doktrin. Tetapi saya melihat kecenderungannya mengambil sikap itu lebih dipicu oleh masalah sosial ketimbang ajaran dan amalan keagamaan. Maka saya meyakini bahwa terorisme itu muncul karena situasi sosial yang memperkenankan tindakan itu hadir.

Di sinilah alasan mengapa dalam satu dasawarsa ini kelompok-kelompok radikal terus bermunculan. Dalam hal ini menurut saya ada tiga situasi sosial yang memicu kehadiran mereka yakni; pertama, momentum perubahan politik yang memungkinkan tumbuh suburnya kelompok-kelompok tersebut.
Kedua, situasi kekacauan politik yang berjalan memudahkan setiap orang untuk punya alasan melakukan tindakan kekerasan.
Ketiga adalah matinya fungsi kontrol agama. Dalam situasi sosial politik yang karut-marut, agama lantas menjadi sangat dipersonalisasikan sehingga menghilangkan kekuatan agama sebagai pembebas.
Situasi-situasi itulah yang membuat kelompok radikal itu hadir untuk mengembalikan agama pada ranah sosialnya.

Selama ini kelompok-kelompok radikal selalu berlandaskan teks agama ketika melakukan aksinya. Bagaimana Anda melihat ini?
Landasan keagamaan yang dibangun oleh kelompok itu semata-mata dipicu oleh situasi sosial yang mereka hadapi. Saya melihat Amrozi, Imam Samudra, dan beberapa orang lain yang terlibat Bom Bali I lebih dipicu oleh situasi sosial. Mereka merasa teralienasi dari kondisi sosial yang ada dan melihat bahwa kemajuan modernitas semakin tidak bermoral. Sehingga harus ada alasan untuk menghentikan proses tersebut.
Mereka ingin mengembalikan agama sebagai kekuatan pembebas. Dan itulah yang memicu kemunculan doktrin-doktrin agama untuk membenarkan tindakan tersebut.

Langkah preventif seperti apa agar ideologi terorisme bisa diminimalisir pengaruhnya?
Pendidikan kita harus lebih terbuka, itu yang utama. Lembaga pendidikan harus mampu memberikan perspektif yang kaya kepada anak-anak muda. Jika metode pembelajarannya masih berpola konvensional yang cenderung doktriner dan dogmatis tanpa membuka ruang partisipasi kepada peserta didik, sampai kapan pun pendidikan kita tidak akan mampu melahirkan anak-anak yang berpikiran matang dan mampu mengambil pihannya sendiri.
Proses belajar-mengajar juga tidak semata dalam kelas tetapi juga perlu dilakukan eksperimentasi di luar kelas. Proses belajar-mengajar kita selama ini terlalu monoton sehingga membuat anak mencari pengalaman-penegalaman lain. Di sinilah majelis-majelis pengajian radikal menjadi pengalaman baru bagi mereka.
Selain itu perlu dibuka ruang lebar bagi anak muda untuk mengaktualisasikan dirinya. Namun sekarang ruang aktualisasi itu dikapitalisasi semua. Ekspresi mereka bisa tersalurkan di ruang-ruang yang harus mengeluarkan biaya seperti di mall. Seharusnya lembaga pendidikan dan masjid memberikan ruang itu.

Dalam hal kontraterorisme, apakah Polri perlu menggandeng TNI?
Menurut saya tidak perlu melibatkan TNI. Kepolisian bersama masyarakat sipil sudah cukup. TNI punya pengalaman buruk dalam penanganan konflik seperti di Aceh dan Papua.

Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Bagaimana Anda melihat UU tersebut?
Ada beberapa pasal yang berpotensi memicu pelanggaran HAM, khususnya tidak adanya perlindungan bagi para pelaku yang belum di sidang. UU ini terlalu memberikan wewenang penuh kepada aparat keamanan untuk melakukan langkah-langkah represif. Selain itu, UU ini juga tidak memberikan perlindungan bagi keluarga pelaku maupun korban tindak terorisme. Karena itu, saya kira perlu ada revisi. Atau bahkan jika situasi sudah cukup kondusif, UU ini bisa diganti dengan UU yang lebih mengedepankan soft approach.

Menurut Anda UU pemberantasan terorisme itu mestinya seperti apa?
Pertama, UU itu harus mengandung unsur preventif dengan memberikan wewenang kepada aparat hukum untuk mendeteksi semua potensi kekerasan di masyarakat. Kedua, harus memberikan payung hukum kepada masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses preventif itu. Ketiga, harus mengandung unsur represif. Keempat, memberikan perlindungan bagi keluarga pelaku, korban terorisme, dan lingkungan yang menjadi “korban” kegiatan operasi kontrateroris.

Apakah perlu dibuat lembaga pemasyarakatan khusus bagi terpidana terorisme?
Terpidana terorisme harus dibaurkan dengan terpidana lain agar mereka terbiasa hidup dalam kemajemukan. Itu lebih memberikan peluang bagi mereka untuk untuk berdialog dan bertukar pikiran ketimbang menempatkan mereka dalam Lapas khusus. Jika dikucilkan, justru akan mengukuhkan ideologi dan keyakinan para terpidana terorisme.

Apakah kita perlu meniru Malaysia dan Singapura yang menerapkan sistem Internal Security Act (ISA)?
Saya sangat tidak setuju dengan ide itu. Pemerintah kita masih belum bisa bekerja seperti pemerintah Malaysia yang bersih dan tidak korup. Sistem pemerintahan yang koruptif juga menjadi pendorong tindak terorisme karena pasti memicu ketidakadilan sosial.
Kedua, dengan sistem seperti ISA, aparat keamanan berpotensi untuk menyalahgunakan wewenang. Kasus Komando Jihad pada masa lalu memberi bukti betapa banyak unsur rekayasa ketimbang apa yang terjadi sesungguhnya.
Ketiga, kontrol sipil terhadap negara masih lemah. Sipil belum memiliki kekuatan untuk mengontrol tindak sewenang-wenang aparat. Maka pemberlakuan ISA justru berpotensi destruktif karena bisa memicu tindak terorisme yang lebih merusak.
*****
Bagi Eko Prasetyo, terorisme bukan sekadar masalah kriminalitas yang menyangkut keamanan bangsa dan negara sehingga cukup ditangani dengan pendekatan keamanan. “Marilah kita pandang terorisme sebagai persoalan kemanusiaan sehingga perlu ditangani dengan pendekatan yang manusiawi pula,” pungkasnya.[Syafiq]
Biodata:
Nama Lengkap                     : Eko Prasetyo, SH, M.Hum
Tempat, Tanggal Lahir           : Pacitan, 06 Januari 1972
Pekerjaan                            : Direktur Program Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia    (PUSHAM) UII
Pendidikan                             :S2 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

SumberLazuardi Birru


Tidak ada komentar:

Posting Komentar