Sejak tahun 2000 hingga kini ratusan
terpidana kasus terorisme telah diproses hukum oleh pemerintah. Sebagian
besar mereka bahkan sudah kembali ke masyarakat. Walhasil aksi teror
bom kian menyurut. Terakhir adalah tahun 2009 saat bom kembali menerjang
Hotel JW Marriot Jakarta dan 9 korban menyurut.
Setelah itu beberapa aksi teror bom
memang masih muncul. Awal 2011 misalnya, Jakarta diguncang teror bom
buku yang diarahkan kepada sejumlah tokoh yang dianggap sebagai “musuh
Islam”. Menyusul berikutnya adalah aksi bom di Masjid Adzikra Komplek
Mapolresta Cirebon pada April 2011, dan bulan September di tahun yang
sama, Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo juga menjadi
target teror bom.
Namun bom-bom yang digunakan dalam tiga aksi tersebut bersifat low explosive
sehingga tidak menimbulkan korban jiwa selain pelaku. Di Cirebon dan
Solo, korban tewas adalah pelakunya sendiri. Sedangkan aksi bom buku
mencederai seorang aparat kepolisian yang mencoba menjinakkannya.
Kendati demikian, tetap saja aksi-aksi
tersebut mencederai puluhan masyarakat sipil yang tak bersalah. Dan yang
lebih penting, memicu ketakutan dan terkikisnya rasa aman masyarakat.
Lebih dari itu, ternyata teroris terus melakukan regenerasi. Jika dulu
para dalang terorisme adalah mantan kombatan di daerah konflik, tapi
teroris mutakhir adalah orang-orang yang belajar dari kelompok-kelompok
pengajian radikal yang belajar merakit bom dari buku-buku dan internet.
Bahkan kemudian mereka bisa menemukan
modus baru. Seperti teroris kelompok Kemayoran Jakarta yang berniat
meracuni polisi dengan bahan-bahan nabati di kantin-kantin markas
kepolisian di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah,
meski rencana itu berhasil digagalkan. Jika sebelumnya aksi teror
menyasar pada fasilitas-fasilitas publik dan simbol-simbol Barat, maka
sekarang markas kepolisian Indonesia menjadi target.
Inilah yang dikatakan oleh Eko Prasetyo,
Direktur Program Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham)
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta bahwa ideologi terorisme
tak bisa diberangus.
“Upaya-upaya represif yang dilakukan oleh
aparat tidak pernah bisa membuat teror mereda. Selalu muncul dan selalu
muncul. Maka menurut saya upaya yang harus lebih ditekankan adalah
menggalang dialog dan komunikasi intensif antarkelompok keagamaan yang
ada,” ujarnya kepada Lazuardi Birru.
Selain itu, mantan anggota Tim Pembela
Muslim (TPM) dalam kasus yang menimpa Laskar Jihad ini, berpandangan
bahwa sikap represif aparat justru bisa memunculkan sikap keras yang
serupa dari kelompok-kelompok keagamaan radikal. Kekerasan memancing
kekerasan.
“Dialog antarkelompok dalam Islam itu
penting untuk membuka pintu perdamaian. Kemudian harus diciptakan
situasi kondusif untuk mendorong penegakan hukum yang adil,” sambung
Eko. Berikut petikan wawancara Lazuardi Birru dengan mantan wartawan
Harian Republika ini.
Apa cara efektif untuk meminimalisir potensi terorisme di Indonesia?
Pertama, upaya dialog itu harus lebih
diprioritaskan. Pemerintah harus bersikap aktif dalam hal ini. Demikian
pula dengan Majelis Ulama Indonesia dan lembaga-lembaga sosial
kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis. Kelompok-kelompok
sipil tersebut harus aktif menyapa kelompok-kelompok radikal yang
berpotensi melakukan aksi teror.
Kedua, pemerintah harus memberikan proses
peradilan kepada terdakwa-terdakwa terorisme secara adil. Hak hukum
terdakwa tetap harus dilindungi, misalnya berhak ditemani oleh
pengacara.
Ketiga semua tindakan aparat yang
sewenang-wenang seperti intimidasi, apalagi salah tembak itu tetap harus
memeroleh proses hukum sebagai pendisiplinan.
Intinya upaya penanganan terorisme tidak bisa hanya dengan cara-cara represif tetapi harus lebih mengedepankan soft approach (pendekatan halus).
Berarti represifitas aparat dalam penanganan terorisme harus diminimalisir?
Hemat saya, cara kekerasan tidak akan
menghasilkan dampak signifikan. Sejarah membuktikan itu. Hasan al Banna
dan Sayyid Quthub dibunuh, namun toh ajarannya masih kuat hingga kini.
Ideologi itu tidak akan bisa dibunuh. Ideologi hanya bisa diwacanakan
kemudian didialogkan dan didiskusikan.
Berbekal sejarah itu, kalau penanganan
terorisme masih mengutamakan represifitas justru akan mengalami kendala
besar dan membawa dampak buruk bagi masa depan.
Apakah pemerintah perlu bekerjasama dengan civil society dalam penanganan terorisme?
Itu pasti. Saya rasa pemerintah tidak
mungkin bisa bekerja sendiri. Pemerintah harus melibatkan
lembaga-lembaga non pemerintahan. Bahkan perlu bekerja sama dengan
lembaga-lembaga pendidikan. Saya kira cara itu lebih efektif membantu
pemerintah menangani masalah terorisme.
Tak hanya berhenti di tingkat lokal,
kelompok sipil yang memiliki jaringan internasional juga bisa terlibat
dalam upaya dialog perdamaian global. Sebab kelompok teroris biasanya
memiliki jaringan lintas negara.
Selain kepolisian, di antara
sekian instansi pemerintah, menurut Anda kementerian apa yang cukup
kapabel untuk menangani terorisme?
Kementerian Pendidikan dan Kementerian
Keagamaan sangat penting karena bisa mengedepankan dialog untuk
mendiskusikan topik-topik seputar sosial keagamaan sehingga bisa
menyemaikan Islam yang lebih terbuka dan toleran. Kementerian Hukum dan
HAM juga penting untuk melindungi terdakwa terorisme dari tindakan
sewenang-wenang aparat. Sementara Kementerian Sosial bekerja memberikan
perlindungan sosial kepada keluarga korban terorisme, keluarga terdakwa,
dan terdakwa terorisme sendiri.
*****
Sebagian kalangan menyimpulkan bahwa akar
masalah terorisme adalah tafsir-tafsir keagamaan yang radikal yang
menghalalkan kekerasan demi menegakkan panji Islam di muka bumi.
Iming-iming mati syahid dan dijamin masuk surga saat melakukan aksi
terorisme meneguhkan keyakinan pelaku bahwa tindakannya murni atas nama
Allah.
Namun hipotesa ini dibantah oleh Eko Prasetyo. Penulis yang produktif menelurkan banyak buku ini, salah satunya berjudul Astaghfirullah, Islam Jangan Dijual
(2007), memandang bahwa tafsir keagamaan sengaja dihadirkan untuk
menyulut semangat individu yang sebelumnya sudah terbelit masalah
sosial. “Dalam konteks ini, agama ibarat minyak di rumput kering,”
ujarnya.
Pasalnya, lanjut lulusan Fakultas Hukum
UII ini, pada dasarnya agama melarang kekerasan. Banyak ayat dalam
Alquran yang menjelaskan itu. Kendati banyak pula ayat yang berkisah
seputar peperangan dan kerap dijadikan sebagai justifikasi tindak
kekerasan, tetapi mestinya ayat itu ditafsirkan menurut konteksnya.
Bagaimana sebenarnya hubungan tafsir keagamaan dengan terorisme?
Saya melihat bahwa terorisme itu sebagian
besar berangkat bukan dari doktrin keagamaan tetapi dari situasi
sosial. Situasi sosial itulah yang memicu tindakan kekerasan, dan agama
hanya menjadi justifikasi semata ketika situasi sosial membenarkan
tindakan terorisme.
Banyak pelaku yang sudah ditangkap oleh
Densus 88 Mabes Polri walaupun ekspresinya adalah pengamalan sebuah
doktrin. Tetapi saya melihat kecenderungannya mengambil sikap itu lebih
dipicu oleh masalah sosial ketimbang ajaran dan amalan keagamaan. Maka
saya meyakini bahwa terorisme itu muncul karena situasi sosial yang
memperkenankan tindakan itu hadir.
Di sinilah alasan mengapa dalam satu
dasawarsa ini kelompok-kelompok radikal terus bermunculan. Dalam hal ini
menurut saya ada tiga situasi sosial yang memicu kehadiran mereka
yakni; pertama, momentum perubahan politik yang memungkinkan tumbuh
suburnya kelompok-kelompok tersebut.
Kedua, situasi kekacauan politik yang berjalan memudahkan setiap orang untuk punya alasan melakukan tindakan kekerasan.
Ketiga adalah matinya fungsi kontrol
agama. Dalam situasi sosial politik yang karut-marut, agama lantas
menjadi sangat dipersonalisasikan sehingga menghilangkan kekuatan agama
sebagai pembebas.
Situasi-situasi itulah yang membuat kelompok radikal itu hadir untuk mengembalikan agama pada ranah sosialnya.
Selama ini kelompok-kelompok radikal selalu berlandaskan teks agama ketika melakukan aksinya. Bagaimana Anda melihat ini?
Landasan keagamaan yang dibangun oleh
kelompok itu semata-mata dipicu oleh situasi sosial yang mereka hadapi.
Saya melihat Amrozi, Imam Samudra, dan beberapa orang lain yang terlibat
Bom Bali I lebih dipicu oleh situasi sosial. Mereka merasa teralienasi
dari kondisi sosial yang ada dan melihat bahwa kemajuan modernitas
semakin tidak bermoral. Sehingga harus ada alasan untuk menghentikan
proses tersebut.
Mereka ingin mengembalikan agama sebagai
kekuatan pembebas. Dan itulah yang memicu kemunculan doktrin-doktrin
agama untuk membenarkan tindakan tersebut.
Langkah preventif seperti apa agar ideologi terorisme bisa diminimalisir pengaruhnya?
Pendidikan kita harus lebih terbuka, itu
yang utama. Lembaga pendidikan harus mampu memberikan perspektif yang
kaya kepada anak-anak muda. Jika metode pembelajarannya masih berpola
konvensional yang cenderung doktriner dan dogmatis tanpa membuka ruang
partisipasi kepada peserta didik, sampai kapan pun pendidikan kita tidak
akan mampu melahirkan anak-anak yang berpikiran matang dan mampu
mengambil pihannya sendiri.
Proses belajar-mengajar juga tidak semata
dalam kelas tetapi juga perlu dilakukan eksperimentasi di luar kelas.
Proses belajar-mengajar kita selama ini terlalu monoton sehingga membuat
anak mencari pengalaman-penegalaman lain. Di sinilah majelis-majelis
pengajian radikal menjadi pengalaman baru bagi mereka.
Selain itu perlu dibuka ruang lebar bagi
anak muda untuk mengaktualisasikan dirinya. Namun sekarang ruang
aktualisasi itu dikapitalisasi semua. Ekspresi mereka bisa tersalurkan
di ruang-ruang yang harus mengeluarkan biaya seperti di mall. Seharusnya
lembaga pendidikan dan masjid memberikan ruang itu.
Dalam hal kontraterorisme, apakah Polri perlu menggandeng TNI?
Menurut saya tidak perlu melibatkan TNI.
Kepolisian bersama masyarakat sipil sudah cukup. TNI punya pengalaman
buruk dalam penanganan konflik seperti di Aceh dan Papua.
Indonesia memiliki
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme. Bagaimana Anda melihat UU tersebut?
Ada beberapa pasal yang berpotensi memicu
pelanggaran HAM, khususnya tidak adanya perlindungan bagi para pelaku
yang belum di sidang. UU ini terlalu memberikan wewenang penuh kepada
aparat keamanan untuk melakukan langkah-langkah represif. Selain itu, UU
ini juga tidak memberikan perlindungan bagi keluarga pelaku maupun
korban tindak terorisme. Karena itu, saya kira perlu ada revisi. Atau
bahkan jika situasi sudah cukup kondusif, UU ini bisa diganti dengan UU
yang lebih mengedepankan soft approach.
Menurut Anda UU pemberantasan terorisme itu mestinya seperti apa?
Pertama, UU itu harus mengandung unsur
preventif dengan memberikan wewenang kepada aparat hukum untuk
mendeteksi semua potensi kekerasan di masyarakat. Kedua, harus
memberikan payung hukum kepada masyarakat sipil untuk terlibat dalam
proses preventif itu. Ketiga, harus mengandung unsur represif. Keempat,
memberikan perlindungan bagi keluarga pelaku, korban terorisme, dan
lingkungan yang menjadi “korban” kegiatan operasi kontrateroris.
Apakah perlu dibuat lembaga pemasyarakatan khusus bagi terpidana terorisme?
Terpidana terorisme harus dibaurkan
dengan terpidana lain agar mereka terbiasa hidup dalam kemajemukan. Itu
lebih memberikan peluang bagi mereka untuk untuk berdialog dan bertukar
pikiran ketimbang menempatkan mereka dalam Lapas khusus. Jika
dikucilkan, justru akan mengukuhkan ideologi dan keyakinan para
terpidana terorisme.
Apakah kita perlu meniru Malaysia dan Singapura yang menerapkan sistem Internal Security Act (ISA)?
Saya sangat tidak setuju dengan ide itu.
Pemerintah kita masih belum bisa bekerja seperti pemerintah Malaysia
yang bersih dan tidak korup. Sistem pemerintahan yang koruptif juga
menjadi pendorong tindak terorisme karena pasti memicu ketidakadilan
sosial.
Kedua, dengan sistem seperti ISA, aparat
keamanan berpotensi untuk menyalahgunakan wewenang. Kasus Komando Jihad
pada masa lalu memberi bukti betapa banyak unsur rekayasa ketimbang apa
yang terjadi sesungguhnya.
Ketiga, kontrol sipil terhadap negara
masih lemah. Sipil belum memiliki kekuatan untuk mengontrol tindak
sewenang-wenang aparat. Maka pemberlakuan ISA justru berpotensi
destruktif karena bisa memicu tindak terorisme yang lebih merusak.
*****
Bagi Eko Prasetyo, terorisme bukan
sekadar masalah kriminalitas yang menyangkut keamanan bangsa dan negara
sehingga cukup ditangani dengan pendekatan keamanan. “Marilah kita
pandang terorisme sebagai persoalan kemanusiaan sehingga perlu ditangani
dengan pendekatan yang manusiawi pula,” pungkasnya.[Syafiq]
Biodata:
Nama Lengkap : Eko Prasetyo, SH, M.Hum
Tempat, Tanggal Lahir : Pacitan, 06 Januari 1972
Pekerjaan : Direktur Program Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII
Pendidikan :S2 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar