Oktober tahun 2009, tiga mahasiswa
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terlibat
jaringan terorisme. Mereka adalah Sony Jayadi, Afham Ramadhan dan Fajar
Firdaus. Ketiga mahasiswa itu diduga terlibat terorisme karena membantu
mencarikan tempat tinggal Syaifuddin Zuhri alias Ustad SJ, dalang aksi
teror Hotel JW Marriot Jakarta. Zuhri tewas ditembak Densus 88 di rumah
kos nomor 15 Jalan Semanggi II Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Lokasi tertembaknya Zuhri berada di lingkungan kos-kosan mahasiswa UIN
Jakarta.
Lalu pada April 2011, salah satu alumni
Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta Pepi Fernando dinyatakan sebagai otak
dibalik aksi teror bom di saluran pipa Bumi Serpong Damai, Tangerang
Selatan, Banten. Terlibatnya Pepi dalam aksi terorisme menambah deretan
panjang keterlibatan kaum intelektual dalam jaringan terorisme.
Menyikapi keterlibatan mahasiswa dan
alumni kampusnya dalam jaringan terorisme, Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat mengatakan, kasus teror
yang melibatkan mahasiswa dan alumninya boleh jadi sekedar anomali,
yakni fenomena khusus karena berbagai alasan dan tidak ada kaitannya
dengan proses pembelajaran di universitas yang dipimpinnya.
Namun peristiwa itu, kata dia,
mencerminkan fenomena lebih luas bahwa lembaga tinggi yang mengkhususkan
pada pengkajian agama tidak imun dari serangan ideologi agama radikal.
“Karena itu merespon bahwa aktifitas alumni UIN dengan aksi teror
terjadi setelah yang bersangkutan menamatkan belajar di UIN, sama halnya
dengan mengabaikan fakta bahwa pelaku pernah mengenyam pendidikan dan
sosialisasi intelektual di UIN,” katanya.
Mas Komar, begitu sapaan akrabnya,
menguraikan beberapa poin akar-akar radikalisme yang mesti dimengerti
oleh segenap pimpinan di lembaganya. Secara makro dengan semakin kuatnya
konsolidasi demokrasi dan dengan sendirinya semakin mantapnya posisi
NKRI, gerakan-gerakan politik yang mengatasnamakan “negara Islam”
semakin terjerembab ke dalam usaha memobilisasi massa melalui jaringan
bawah tanah, tapi mengadopsi posisi yang lebih militan.
“Strategi bawah tanah ini tidak akan
berhasil jika pemangku otoritas politik bekerja sama dalam konteks
menyelesaikan konsolidasi NKRI dan demokratisasi dengan
kebijakan-kebijakan yang lebih substantif misalnya pengentasan
kemiskinan, perbaikan ekonomi, dan penegakan hukum dan keamanan,” tutur
dia.
Gerakan Islam bawah tanah, kata dia, akan
meluas jika masyarakat secara terus menerus disuguhi peristiwa yang
paradoks seperti kekerasan massa, korupsi, dan tidak ada prestasi nyata
pemerintah. Hal itu bisa mengakibatkan pelajar dan mahasiswa rentan
dengan tawaran alternatif lewat jalan radikal untuk perubahan. Sekarang
mahasiswa UIN Jakarta layaknya kampus lain akan menjadi lahan subur
untuk gerakan Islam radikal, karena menjanjikan jawaban mendasar untuk
persoalan-persoalan yang paradoks.
Mantan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, secara mikro kampusnya
sebagai miniatur Indonesia. Hal ini bisa dikaitkan proses regenerasi
bangsa karena asal-usul kelas sosial, latar belakang pendidikan dan
geografis menimba ilmu di UIN. Sejak 2001 lalu, transformasi IAIN
menjadi UIN sudah tentu melahirkan kegamangan bagi para pemangku
pengajaran dan mahasiswa. Sekelompok kecil tenaga pengajar dan mahasiswa
UIN masih mendambakan Indonesia menjadi “negara Islam”.
Transformasi IAIN menjadi UIN menawarkan
disiplin keilmuan yang lebih luas tak hanya menawarkan ilmu agama
melainkan juga ilmu-ilmu umum lainnya. Sekarang mahasiswa UIN semakin
beragam latar belakangnya. Karena itu perlu langkah antisipatif desain
kurikulum pendidikan agama yang memungkinkan mahasiswa secara
keseluruhan menangkap Islam secara lebih komprehensif. Perubahan
identitas UIN menjadi universitas mempunyai efek terhadap terbukanya
organisasi-organisasi kemahasiswaan Islam baru.
Komaruddin mengungkapkan gerakan
radikalisme merasuk ke dalam dunia pendidikan karena kurikulum dan
sumber daya manusianya belum dibenahi. Dengan terealisasinya anggaran
pendidikan sesuai amanat konstitusi semestinya pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama dapat lebih serius
membenahi kurikulum dan SDM pendidikan.
“Adanya anggaran pendidikan sebesar 20
persen seyogyanya pemerintah bisa melakukan banyak hal untuk memperbaiki
dunia pendidikan nasional. Namun saya merasa ragu seberapa serius
pemerintah melakukan review dan membangun strategi kurikulum bagi anak
didiknya,” katanya.
Dia menilai proses rekrutmen guru
sekarang masih belum bisa menghasilkan orang-orang terbaik dan cerdas
sehingga mereka kurang cakap dalam mendidik anak didiknya. Ia meminta
pemerintah perlu melakukan review kurikulum dan meningkatkan kualitas
guru dan dosen. Sebab selama ini tenaga pendidik yang tersedia belum
sepenuhnya pilihan terbaik.
Menurutnya lembaga pendidikan khususnya
perguruan tinggi memiliki peran penting mencegah radikalisme dan
terorisme di kalangan generasi muda. Pelajar dan mahasiswa perlu
diberikan kesadaran bahwa Indonesia didirikan oleh founding fathers sekaligus mereka tokoh agama yang mempunyai pandangan nasionalis, humanis dan toleran.
“Indonesia rumah bersama mari kita jaga
dan jangan memperhadapkan antara agama dan negara, dan agama dan
pemerintah, karena agama butuh pemerintah, pemerintah butuh agama, agama
butuh negara, dan negara butuh agama,” tuturnya.
Dia menjelaskan agama memberikan kekuatan
moralitas dalam tubuh masyarakat tapi berbagai pesan moral agama
tersebut negara yang melakukannya. Misalnya agama antikorupsi maka
pemberantasan korupsi bukan dilakukan oleh MUI atau ulama, melainkan
dilakukan oleh aparat negara yang sudah diberikan kewajiban dan
keterampilan.
Contoh lainnya, agama antikemiskinan maka
yang memberantasnya negara karena jika dilakukan masyarakat tidak
cukup. Ia berpendapat masyarakat dan organisasi kemasyarakatan hanya
berpartisipasi membantu negara. Sebab berdasarkan amanat UUD negara
bertanggung jawab mencerdaskan dan mensejahterakan bangsanya. Karena
itu, bagaimana pendidikan di kampus mendekatkan agama dan negara saling
membutuhkan dan tidak membenturkannya. Jika ada kritik untuk kebaikan
bersama tidak masalah.
Menurut dia salah satu strategi mencegah radikalisme di kampus melalui matakuliah civic education
yang mengajarkan cinta negara. Ibarat sebuah rumah jika antar penghuni
terdapat perbedaan antar etnis dan agama lalu terjadi bentrokan maka
yang mengalami kerugian penghuninya sendiri. Sekarang harus berupaya
bagaimana perbedaan agama tidak membuat rumah terbakar dan rusak.
“Mengapa kita tidak bekerja sama
memperkokoh dan memperindah rumah Indonesia. Silahkan punya keyakinan
berbeda tapi ketika bicara kemanusiaan dan keindonesiaan/negara mari
kita kerjasama,” ucap dia.
Guru besar filsafat Fakultas Ushuludin
ini meminta lembaga pendidikan mengajarkan anak didiknya untuk cinta
kemanusiaan, cinta negara, dan menjadi orang produktif bukan menjadi
teroris. Agama mendorong umatnya untuk beramal mensejahterakan orang
lain. Teroris sudah tentu membuat sengsara orang lain dan jika banyak
mensengsarakan orang lain maka dimana nilai agamanya.
*****
Aksi radikalisme di tanah air belum
sepenuhnya tuntas. Bahkan radikalisme masih menjadi ancaman di tengah
kehidupan masyarakat. Radikalisme yang ekstrim dilakukan melalui aksi
bom bunuh diri yang dijustifikasi sebagai tindakan jihad membela agama.
Komaruddin menyatakan radikalisme pada
dasarnya mempunyai makna netral bahkan dalam studi filsafat jika
seseorang ingin mencari kebenaran harus sampai kepada akarnya. Namun
ketika radikalisme dibawa ke wilayah terorisme maka radikalisme memiliki
konotasi negatif. “Radikalisme memiliki makna militansi yang dikaitkan
dengan kekerasan yang kemudian dianggap anti sosial,” katanya.
Dia mengatakan radikalisme terjadi karena
beberapa hal. Pertama, radikalisme terjadi karena untuk membela diri.
Seseorang akan bersikap radikal atau melawan dan siap berkorban untuk
mempertahankan dirinya. Misalnya ketika seseorang berada dalam kekuasaan
maka ia akan menindas siapa pun agar tidak mengancam kekuasaannya.
Menurutnya pengertian radikalisme seperti
itu adalah radikalisme dari atas ke bawah tapi pengertian ini tidak
populer. Namun ketika dialami orang yang lemah atau terancam maka ia
akan menggunakan kekuatan satu-satunya untuk melawan. “Perlawanan muncul
ketika orang merasa terancam. Jadi orang merasa terancam jika berada di
atas ia akan menindas dan jika berada di bawah ia akan melawan,” tutur
dia.
Mengapa seseorang merasa terancam. Ia
menjawab karena mereka memiliki alasan ideologis. Mereka pemeluk atau
pembela agama yang merasa kalah bersaing bahkan terancam karena ada
penetrasi dan desakan dari kekuatan luar sehingga mereka tidak leluasa
dan mengaku kalah. Satu-satunya jalan bagi mereka untuk bertahan adalah
melawan.
Ia mengatakan jika alasannya agama maka
orang beragama memiliki dua wilayah yaitu berkiprah di dunia dan
bayangan surga. Apabila mereka merasa kalah berjuang di dunia maka
mereka akan loncat ke bayangan surga. “Radikalisme membela agama melawan
orang kafir merupakan jalan pintas untuk pindah wilayah ke surge,”
cetusnya.
Alasan kedua, kata dia, radikalisme agama
militan muncul karena membela tanah air atau etnis. Menurutnya bagi
sekelompok orang tanah air selain sebagai modal untuk tempat tinggal
keturunannya, tanah air juga dianggap suci. Misalnya konflik
Palestina-Israel. Selain alasan agama, konflik Yahudi dan Palestina
terjadi karena memperebutkan wilayah, seseorang rela mati demi membela
wilayahnya.
“Beberapa sejarah perjuangan kemerdekaan
bangsa karena membela wilayah, tapi sesungguhnya tidak berhenti pada
wilayah. Di wilayah itulah agama diperjuangkan dan keluarga serta
generasi tumbuh, jadi membela wilayah sekaligus membela harga diri
bangsanya,” ucapnya.
Alasan ketiga, menurut dia, radikalisme
muncul karena desakan ekonomi. Ia mengatakan ketika seseorang terancam
untuk membela/mencari rezeki supaya tetap survive bisa menimbulkan
radikalisme. Misalnya antrean warga saat menerima bantuan, mereka rela
berdesak-desakan bahkan sampai menelan korban. Sebab mereka memandang
ekonomi sebagai kebutuhan vital.
Sekarang ini ada sejumlah masyarakat yang
merasa terdesak oleh ekonomi atau kapitalisme global. Deskan tersebut
juga, kata dia, bisa menimbulkan sikap radikal. Alasan keempat
radikalisme muncul ketika bertemu dengan semangat agama dikaitkan dengan
membela tanah air/wilayah dan merasa kekayaannya dijajah atau dirampok
negara lain. Radikalisme bisa pada pribadi, kelompok kecil bahkan
massif. Jadi konteksnya berbeda-beda.
Terkait adanya kelompok radikal yang
melakukan aksi bom bunuh diri, maka dari situ kita bisa melihat fenomena
teroris selama ini apakah membela bangsa, berjuang demi ekonomi atau
ideologi keagamaan. Tapi yang menonjol mereka membela keagamaan. Namun
faktor keagamaan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan kelas karena
agama tidak bisa tumbuh tanpa dukungan ekonomi politik.
Ketika mereka terdesak dalam persaingan
ekonomi politik maka mereka tidak mau tawar menawar agama sehingga
satu-satunya jalan adalah melakukan pensucian dan pembenaran. “Ada
sakralisasi atau legetimasi bahwa saya meledakan bom bukan bunuh diri
tapi sesungguhnya yang saya lawan adalah orang lain. Satu-satunya jalan
saya ikut mati,” ungkapnya.
Fenomena tersebut bagi sebagian orang
dianggap sebagai tindakan bunuh diri tapi menurut pelaku sebagai
kematian yang mulia. Menurutnya ada perbedaan paradigma dan ideologis
terhadap peristiwa kematian. Ia mengatakan banyak variabel yang melatar
belakangi aksi radikalisme lewat bom bunuh diri sehingga penjelasannya
tidak bisa tunggal. Aksi bom bunuh diri dipengaruhi faktor psikologis,
sosiologis, politis, dan teologis. Maka jika kita memahami radikalisme
hanya dengan satu cara pandang maka akan terasa kurang analisisnya.
Radikalisme dan terorisme merupakan sikap
dan tindakan yang menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Apalagi
jika aksinya diwujudkan melalui tindakan bom bunuh diri. Apabila
radikalisme dan terorisme dibiarkan tumbuh maka bisa menganggu kehidupan
berbangsa, beragama, dan bernegara. Keamanan dan kedamaian dalam
kehidupan sosial akan terusik. Masyarakat sudah pasti merasa resah
terhadap aksi radikalisme dan terorisme. Karena itu, keduanya harus
dicegah supaya tidak berkembang.
Komaruddin menyatakan untuk mencegah
radikalisme supaya tidak berkembang maka pemerintah harus menciptakan
kualitas dan taraf pendidikan yang baik, kesejahteraan masyarakat, hukum
ditegakkan secara benar, dan pemerintah berwibawa. Apabila semua itu
bisa diwujudkan maka radikalisme akan berkurang. Ia menilai sekarang
kelompok radikal merasa mendapat ruang untuk bergerak.
Ruang kebebasan yang tidak dikawal dengan
penegakkan hukum yang tegas dan adil dan aparat pemerintah kurang
berwibawa mengakibatkan kelompok ekstrimis bisa leluasa bergerak. Selain
itu, pengaruh para tokoh informal di masyarakat lemah. Di Indonesia
kelompok yang punya potensi teroris atau radikal sulit diberantas
kecuali ada kesejahteraan, hukum tegak dan adil, dan pemerintah serta
tokoh masyarakat berwibawa.
Dia menegaskan di negara-negara yang
bergerak bebas ketika hukum tegak dan adil maka gagasan radikalisme dan
terorisme tidak popular dan peminatnya sedikit. Menurutnya yang
diperlukan untuk mencegah tindakan ekstrim tersebut adalah adanya
pembatasan. Namun yang tidak kalah penting mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan serta ketegasan hukum.
“Hukum bukan memberikan kebebasan kepada
seseorang untuk seenaknya bertindak melainkan untuk memberikan
perlindungan. Jadi mereka merasa bebas bergerak tapi warga yang lain
punya hak menuntut negara untuk dilindungi. Negara bertugas melindungi
warganya agar tidak merasa terancam dari orang ekstrimis. Di negara
manapun akan selalu ditemukan orang yang ekstrimis dan destruktif,”
tutur laki-laki berkaca mata ini.
Doktor jebolan Universitas Angkara, Turki
ini menegaskan, jika pemerintah tidak bisa menegakkan hukum secara
tegas dan menciptakan kesejahteraan masyarakat radikalisme masih menjadi
ancaman. Bahkan kata dia, jika pemerintah gagal mewujudkan itu semua
maka ancaman kemanusiaan bukan saja terorisme karena sekarang kematian
bukan hanya faktor terorisme tapi juga akibat kecelakaan lalu lintas.
“Aksi ugal-ugalan di lalu lintas
merupakan bentuk radikalisme diluar dalih agama. Sekarang persoalan
perlindungan kepada warga negara harus ditingkatkan. Sebab banyak orang
mendapatkan kecelakaan atau musibah bukan hanya karena teroris tapi juga
kecelakan lalu lntas. Negara harus melindungi keamanan warganya,”
cetusnya. Selama ini keamanan negara masih kebobolan jadi radikalisme
agama boleh saja dijaga tapi bisa saja nanti akan muncul radikalisme
dalam bentuk lain. Lihat saja pelaksaanan desentralisasi terjadi rebutan
kavling kekuasaan yang terkadang menimbulkan konflik, imbuhnya.
Ketika ditanya perlukah pemerintah
melibatkan masyarakat sipil seperti NU dan Muhammadiyah dalam mencegah
dan menanggulangi terorisme. Laki-laki yang akrab disapa Mas Komar ini
menjawab pemerintah memiliki aparat keamanan sehingga jangan
terburu-buru melepas tangan dan menyerahkannya ke masyarakat. Apabila di
masyarakat terjadi keributan karena pemerintah tidak bisa memberikan
perlindungan dan berarti pemerintah yang salah.
Ia menyatakan pemerintah sudah berlebihan
menuntut kepada NU dan Muhammadiyah tapi kurang berterima kasih. Mereka
organisasi yang sudah lahir lebih dahulu sebelum republik Indonesia
lahir. Mereka senantiasa mengawal wacana Islam moderat, Pancasila
sebagai ideologi final, dan membantu menyelenggarakan pendidikan.
Apabila tidak ada keduanya pemerintah bisa kebobolan. Mestinya mereka
dijaga dan partai politik jangan merusaknya. Kasih sumbangan kepada
rumah sakit dan lembaga pendidikan mereka.
“Jika pemerintah tidak bisa memberikan
keamanan maka jangan salahkan ormas Islam mengambil alih peran polisi.
NU dan Muhammadiyah jangan ditarik-tarik untuk kepentingan itu. Mereka
memberikan dukungan moral, tapi penanganan terorisme tugas negara.
Mereka tetap dilibatkan karena setiap hari berjasa membela Islam
moderat. Pemerintah jangan dulu mengharapkan orang lain kalau dirinya
belum optimal,” ujar dia.
Ia menilai polisi dan militer belum
tegas. Ormas ekstrim yang telah melakukan aksi razia dan mengambil alih
tugas aparat keamanan masih dibiarkan. Aksi razia membuat masyarakat
merasa resah dan pemerintah wajib melindungi warga negaranya. Sebelum
bicara yang jauh yang ada dulu apakah pemerintah sudah bertindak tegas
kepada ormas ekstrim yang jelas terlihat jika itu tidak ditindak maka
bagaimana dengan terorisme.
“Terorisme sangat berbahaya. Di Indonesia
bahaya terorisme bisa mencederai agama dan mensengsarakan keluarganya
dan orang lain yang menjadi korban. Orang tua pelaku teroris juga
menjadi malu akibat perbuatan anaknya,” ucap dia. “Yang bagus kalau mau
dari sisi korban ditampilkan pengakuan mereka di berbagai statisun
televisi bagaimana perasaan menjadi anak dan istri teroris. Jika itu
disampaikan mungkin akan lebih menyentuh, bukan pernyataan-pernyataan
keamanan,” ia menambahkan.
Ia menilai selama ini para pelaku ketika
ditangkap langsung dihukum tapi tidak diberikan proses penyadaran.
Bahkan bagaimana kondisi dan perasaan keluarga pelaku dan korban belum
ditampilkan. Selama ini pihak korban belum ditampilkan misalnya
bagaimana penyesalan mereka, karena banyak di antara mereka yang
menyesal. Bahkan istri dan mertua pelaku merasa tertipu. Bila pengakuan
mereka ditampilkan maka akan lebih menyentuh perasaan masyarakat. Namun
pemaparan hal seperti itu masih kurang. Sebab antar lembaga pemerintah
sendiri belum kompak sinerginya.
Sekarang ada kemajuan ada BNPT, dia sudah
bagus tapi kiprahnya masih ditunggu. Semestinya BNPT bisa mensinergikan
berbagai kekuatan instansi pemerintah dan masyarakat. Sebab masyarakat
dan pemerintah tidak senang terhadap terorisme. Sekarang bagaimana BNPT
menjadi forum mediator dan kekuatan sinergi semua elemen pemerintah dan
masyarakat. Peran BNPT belum bisa dinilai hasilnya karena usianya masih
beberapa tahun.
Apakah Indonesia perlu meniru Malaysia
dalam mencegah terorisme? Mumpung suasananya damai, dan Indonesia punya
data pengalaman banyak sudah saatnya memanfaatkan berbagai sumberdaya
yang ada dari berbagai segi. Jika dikumpulkan dan dibuat langkah
strategis, menurut hemat dia akan lebih bijak bukan dalam suasana
kemarahan dan reaktif karena suasananya agak dingin. Namun jika tidak
segera nanti akan bobol dan kacau lagi. Apakah kita bisa membuat itu
plus minus perlu dikaji. Sebab memang polisi ada kerepotan untuk
menangkap sebelum ada bukti, keburu lari duluan itu titik kelemahannya.
Jika ada ISA diterapkan dikhawatirkan digunakan sewenang-wenang untuk
menangkap orang.
Terkait pandangan terorisme ke depan, ia
berpendapat ada aspek dalam dan luar negeri. Jika aspek dalam negeri
kuat sekarang semakin tidak popular tapi harus ada upaya serius
disempitkan lewat dukungan masyarakat dan pengakuan masyarakat, serta
kurikulum pendidikan. Kedua faktor luar negeri, Indonesia memang repot
ibarat rumah besar pagarnya pada bobol, jendela, pintu dan pengaruh luar
negeri mudah masuk kesini.
“Saya khawatir terorisme agama bisa saja
berkurang tapi bisa saja agama digunakan untuk tindakan radikal melawan
dominasi atau kapitalisme asing. Indonesia dijarah dalam bahasa kasar,
saya khawatir agama sebagai legitimasi, kedua sedih daerah perbatasan
rawan sekali pendidikan dan kesehatannya rendah. Jika ini tidak
diperbaiki kondisinya akan menimbulkan kerawanan radikalisme dan
terorisme serta sparatisme,” ujarnya [Akhwani].
Biodata:
Nama Lengkap : Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA
Tempat, Tanggal Lahir : Magelang, 18 Oktober 1953
Pekerjaan : Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan : S3 Bidang Filsafat, Middle East Technical University, Ankara, Turki
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar