Jumat, 14 Desember 2012

Komaruddin Hidayat: Perguruan Tinggi Berperan Mencegah Radikalisme



Oktober tahun 2009, tiga mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terlibat jaringan terorisme. Mereka adalah Sony Jayadi, Afham Ramadhan dan Fajar Firdaus. Ketiga mahasiswa itu diduga terlibat terorisme karena membantu mencarikan tempat tinggal Syaifuddin Zuhri alias Ustad SJ, dalang aksi teror Hotel JW Marriot Jakarta. Zuhri tewas ditembak Densus 88 di rumah kos nomor 15 Jalan Semanggi II Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Lokasi tertembaknya Zuhri berada di lingkungan kos-kosan mahasiswa UIN Jakarta.

Lalu pada April 2011, salah satu alumni Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta Pepi Fernando dinyatakan sebagai otak dibalik aksi teror bom di saluran pipa Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Banten. Terlibatnya Pepi dalam aksi terorisme menambah deretan panjang keterlibatan kaum intelektual dalam jaringan terorisme.

Menyikapi keterlibatan mahasiswa dan alumni kampusnya dalam jaringan terorisme, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat mengatakan, kasus teror yang melibatkan mahasiswa dan alumninya boleh jadi sekedar anomali, yakni fenomena khusus karena berbagai alasan dan tidak ada kaitannya dengan proses pembelajaran di universitas yang dipimpinnya.

Namun peristiwa itu, kata dia, mencerminkan fenomena lebih luas bahwa lembaga tinggi yang mengkhususkan pada pengkajian agama tidak imun dari serangan ideologi agama radikal. “Karena itu merespon bahwa aktifitas alumni UIN dengan aksi teror terjadi setelah yang bersangkutan menamatkan belajar di UIN, sama halnya dengan mengabaikan fakta bahwa pelaku pernah mengenyam pendidikan dan sosialisasi intelektual di UIN,” katanya.

Mas Komar, begitu sapaan akrabnya, menguraikan beberapa poin akar-akar radikalisme yang mesti dimengerti oleh segenap pimpinan di lembaganya. Secara makro dengan semakin kuatnya konsolidasi demokrasi dan dengan sendirinya semakin mantapnya posisi NKRI, gerakan-gerakan politik yang mengatasnamakan “negara Islam” semakin terjerembab ke dalam usaha memobilisasi massa melalui jaringan bawah tanah, tapi mengadopsi posisi yang lebih militan.

“Strategi bawah tanah ini tidak akan berhasil jika pemangku otoritas politik bekerja sama dalam konteks menyelesaikan konsolidasi NKRI dan demokratisasi dengan kebijakan-kebijakan yang lebih substantif misalnya pengentasan kemiskinan, perbaikan ekonomi, dan penegakan hukum dan keamanan,” tutur dia.
Gerakan Islam bawah tanah, kata dia, akan meluas jika masyarakat secara terus menerus disuguhi peristiwa yang paradoks seperti kekerasan massa, korupsi, dan tidak ada prestasi nyata pemerintah. Hal itu bisa mengakibatkan pelajar dan mahasiswa rentan dengan tawaran alternatif lewat jalan radikal untuk perubahan. Sekarang mahasiswa UIN Jakarta layaknya kampus lain akan menjadi lahan subur untuk gerakan Islam radikal, karena menjanjikan jawaban mendasar untuk persoalan-persoalan yang paradoks.

Mantan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, secara mikro kampusnya sebagai miniatur Indonesia. Hal ini bisa dikaitkan proses regenerasi bangsa karena asal-usul kelas sosial, latar belakang pendidikan dan geografis menimba ilmu di UIN. Sejak 2001 lalu, transformasi IAIN menjadi UIN sudah tentu melahirkan kegamangan bagi para pemangku pengajaran dan mahasiswa. Sekelompok kecil tenaga pengajar dan mahasiswa UIN masih mendambakan Indonesia menjadi “negara Islam”.

Transformasi IAIN menjadi UIN menawarkan disiplin keilmuan yang lebih luas tak hanya menawarkan ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu umum lainnya. Sekarang mahasiswa UIN semakin beragam latar belakangnya. Karena itu perlu langkah antisipatif desain kurikulum pendidikan agama yang memungkinkan mahasiswa secara keseluruhan menangkap Islam secara lebih komprehensif. Perubahan identitas UIN menjadi universitas mempunyai efek terhadap terbukanya organisasi-organisasi kemahasiswaan Islam baru.
Komaruddin mengungkapkan gerakan radikalisme merasuk ke dalam dunia pendidikan karena kurikulum dan sumber daya manusianya belum dibenahi. Dengan terealisasinya anggaran pendidikan sesuai amanat konstitusi semestinya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama dapat lebih serius membenahi kurikulum dan SDM pendidikan.

“Adanya anggaran pendidikan sebesar 20 persen seyogyanya pemerintah bisa melakukan banyak hal untuk memperbaiki dunia pendidikan nasional. Namun saya merasa ragu seberapa serius pemerintah melakukan review dan membangun strategi kurikulum bagi anak didiknya,” katanya.
Dia menilai proses rekrutmen guru sekarang masih belum bisa menghasilkan orang-orang terbaik dan cerdas sehingga mereka kurang cakap dalam mendidik anak didiknya. Ia meminta pemerintah perlu melakukan review kurikulum dan meningkatkan kualitas guru dan dosen. Sebab selama ini tenaga pendidik yang tersedia belum sepenuhnya pilihan terbaik.

Menurutnya lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi memiliki peran penting mencegah radikalisme dan terorisme di kalangan generasi muda. Pelajar dan mahasiswa perlu diberikan kesadaran bahwa Indonesia didirikan oleh founding fathers sekaligus mereka tokoh agama yang mempunyai pandangan nasionalis, humanis dan toleran.
“Indonesia rumah bersama mari kita jaga dan jangan memperhadapkan antara agama dan negara, dan agama dan pemerintah, karena agama butuh pemerintah, pemerintah butuh agama, agama butuh negara, dan negara butuh agama,” tuturnya.

Dia menjelaskan agama memberikan kekuatan moralitas dalam tubuh masyarakat tapi berbagai pesan moral agama tersebut negara yang melakukannya. Misalnya agama antikorupsi maka pemberantasan korupsi bukan dilakukan oleh MUI atau ulama, melainkan dilakukan oleh aparat negara yang sudah diberikan kewajiban dan keterampilan.

Contoh lainnya, agama antikemiskinan maka yang memberantasnya negara karena jika dilakukan masyarakat tidak cukup. Ia berpendapat masyarakat dan organisasi kemasyarakatan hanya berpartisipasi membantu negara. Sebab berdasarkan amanat UUD negara bertanggung jawab mencerdaskan dan mensejahterakan bangsanya. Karena itu, bagaimana pendidikan di kampus mendekatkan agama dan negara saling membutuhkan dan tidak membenturkannya. Jika ada kritik untuk kebaikan bersama tidak masalah.
Menurut dia salah satu strategi mencegah radikalisme di kampus melalui matakuliah civic education yang mengajarkan cinta negara. Ibarat sebuah rumah jika antar penghuni terdapat perbedaan antar etnis dan agama lalu terjadi bentrokan maka yang mengalami kerugian penghuninya sendiri. Sekarang harus berupaya bagaimana perbedaan agama tidak membuat rumah terbakar dan rusak.
“Mengapa kita tidak bekerja sama memperkokoh dan memperindah rumah Indonesia. Silahkan punya keyakinan berbeda tapi ketika bicara kemanusiaan dan keindonesiaan/negara mari kita kerjasama,” ucap dia.

Guru besar filsafat Fakultas Ushuludin ini meminta lembaga pendidikan mengajarkan anak didiknya untuk cinta kemanusiaan, cinta negara, dan menjadi orang produktif bukan menjadi teroris. Agama mendorong umatnya untuk beramal mensejahterakan orang lain. Teroris sudah tentu membuat sengsara orang lain dan jika banyak mensengsarakan orang lain maka dimana nilai agamanya.

*****
Aksi radikalisme di tanah air belum sepenuhnya tuntas. Bahkan radikalisme masih menjadi ancaman di tengah kehidupan masyarakat. Radikalisme yang ekstrim dilakukan melalui aksi bom bunuh diri yang dijustifikasi sebagai tindakan jihad membela agama.

Komaruddin menyatakan radikalisme pada dasarnya mempunyai makna netral bahkan dalam studi filsafat jika seseorang ingin mencari kebenaran harus sampai kepada akarnya. Namun ketika radikalisme dibawa ke wilayah terorisme maka radikalisme memiliki konotasi negatif. “Radikalisme memiliki makna militansi yang dikaitkan dengan kekerasan yang kemudian dianggap anti sosial,” katanya.
Dia mengatakan radikalisme terjadi karena beberapa hal. Pertama, radikalisme terjadi karena untuk membela diri. Seseorang akan bersikap radikal atau melawan dan siap berkorban untuk mempertahankan dirinya. Misalnya ketika seseorang berada dalam kekuasaan maka ia akan menindas siapa pun agar tidak mengancam kekuasaannya.

Menurutnya pengertian radikalisme seperti itu adalah radikalisme dari atas ke bawah tapi pengertian ini tidak populer. Namun ketika dialami orang yang lemah atau terancam maka ia akan menggunakan kekuatan satu-satunya untuk melawan. “Perlawanan muncul ketika orang merasa terancam. Jadi orang merasa terancam jika berada di atas ia akan menindas dan jika berada di bawah ia akan melawan,” tutur dia.
Mengapa seseorang merasa terancam. Ia menjawab karena mereka memiliki alasan ideologis. Mereka pemeluk atau pembela agama yang merasa kalah bersaing bahkan terancam karena ada penetrasi dan desakan dari kekuatan luar sehingga mereka tidak leluasa dan mengaku kalah. Satu-satunya jalan bagi mereka untuk bertahan adalah melawan.

Ia mengatakan jika alasannya agama maka orang beragama memiliki dua wilayah yaitu berkiprah di dunia dan bayangan surga. Apabila mereka merasa kalah berjuang di dunia maka mereka akan loncat ke bayangan surga. “Radikalisme membela agama melawan orang kafir merupakan jalan pintas untuk pindah wilayah ke surge,” cetusnya.

Alasan kedua, kata dia, radikalisme agama militan muncul karena membela tanah air atau etnis. Menurutnya bagi sekelompok orang tanah air selain sebagai modal untuk tempat tinggal keturunannya, tanah air juga dianggap suci. Misalnya konflik Palestina-Israel. Selain alasan agama, konflik Yahudi dan Palestina terjadi karena memperebutkan wilayah, seseorang rela mati demi membela wilayahnya.
“Beberapa sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa karena membela wilayah, tapi sesungguhnya tidak berhenti pada wilayah. Di wilayah itulah  agama diperjuangkan dan keluarga serta generasi tumbuh, jadi membela wilayah sekaligus membela harga diri bangsanya,” ucapnya.

Alasan ketiga, menurut dia, radikalisme muncul karena desakan ekonomi. Ia mengatakan ketika seseorang terancam untuk membela/mencari rezeki supaya tetap survive bisa menimbulkan radikalisme. Misalnya antrean warga saat menerima bantuan, mereka rela berdesak-desakan bahkan sampai menelan korban. Sebab mereka memandang ekonomi sebagai kebutuhan vital.
Sekarang ini ada sejumlah masyarakat yang merasa terdesak oleh ekonomi atau kapitalisme global. Deskan tersebut juga, kata dia, bisa menimbulkan sikap radikal. Alasan keempat radikalisme muncul ketika bertemu dengan semangat agama dikaitkan dengan membela tanah air/wilayah dan merasa kekayaannya dijajah atau dirampok negara lain. Radikalisme bisa pada pribadi, kelompok kecil bahkan massif. Jadi konteksnya berbeda-beda.

Terkait adanya kelompok radikal yang melakukan aksi bom bunuh diri, maka dari situ kita bisa melihat fenomena teroris selama ini apakah membela bangsa, berjuang demi ekonomi atau ideologi keagamaan. Tapi yang menonjol mereka membela keagamaan. Namun faktor keagamaan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan kelas karena agama tidak bisa tumbuh tanpa dukungan ekonomi politik.
Ketika mereka terdesak dalam persaingan ekonomi politik maka mereka tidak mau tawar menawar agama sehingga satu-satunya jalan adalah melakukan pensucian dan pembenaran. “Ada sakralisasi atau legetimasi bahwa saya meledakan bom bukan bunuh diri tapi sesungguhnya yang saya lawan adalah orang lain. Satu-satunya jalan saya ikut mati,” ungkapnya.

Fenomena tersebut bagi sebagian orang dianggap sebagai tindakan bunuh diri tapi menurut pelaku sebagai kematian yang mulia. Menurutnya ada perbedaan paradigma dan ideologis terhadap peristiwa kematian. Ia mengatakan banyak variabel yang melatar belakangi aksi radikalisme lewat bom bunuh diri sehingga penjelasannya tidak bisa tunggal. Aksi bom bunuh diri dipengaruhi faktor psikologis, sosiologis, politis, dan teologis. Maka jika kita memahami radikalisme hanya dengan satu cara pandang maka akan terasa kurang analisisnya.

Radikalisme dan terorisme merupakan sikap dan tindakan yang menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Apalagi jika aksinya diwujudkan melalui tindakan bom bunuh diri. Apabila radikalisme dan terorisme dibiarkan tumbuh maka bisa menganggu kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara. Keamanan dan kedamaian dalam kehidupan sosial akan terusik. Masyarakat sudah pasti merasa resah terhadap aksi radikalisme dan terorisme. Karena itu, keduanya harus dicegah supaya tidak berkembang.
Komaruddin menyatakan untuk mencegah radikalisme supaya tidak berkembang maka pemerintah harus menciptakan kualitas dan taraf pendidikan yang baik, kesejahteraan masyarakat, hukum ditegakkan secara benar, dan pemerintah berwibawa. Apabila semua itu bisa diwujudkan maka radikalisme akan berkurang. Ia menilai sekarang kelompok radikal merasa mendapat ruang untuk bergerak.

Ruang kebebasan yang tidak dikawal dengan penegakkan hukum yang tegas dan adil dan aparat pemerintah kurang berwibawa mengakibatkan kelompok ekstrimis bisa leluasa bergerak. Selain itu, pengaruh para tokoh informal di masyarakat lemah. Di Indonesia kelompok yang punya potensi teroris atau radikal sulit diberantas kecuali ada kesejahteraan, hukum tegak dan adil, dan pemerintah serta tokoh masyarakat berwibawa.

Dia menegaskan di negara-negara yang bergerak bebas ketika hukum tegak dan adil maka gagasan radikalisme dan terorisme tidak popular dan peminatnya sedikit. Menurutnya yang diperlukan untuk mencegah tindakan ekstrim tersebut adalah adanya pembatasan. Namun yang tidak kalah penting mewujudkan kesejahteraan dan keadilan serta ketegasan hukum.
“Hukum bukan memberikan kebebasan kepada seseorang untuk seenaknya bertindak melainkan untuk memberikan perlindungan. Jadi mereka merasa bebas bergerak tapi warga yang lain punya hak menuntut negara untuk dilindungi. Negara bertugas melindungi warganya agar tidak merasa terancam dari orang ekstrimis. Di negara manapun akan selalu ditemukan orang yang ekstrimis dan destruktif,” tutur laki-laki berkaca mata ini.

Doktor jebolan Universitas Angkara, Turki ini menegaskan, jika pemerintah tidak bisa menegakkan hukum secara tegas dan menciptakan kesejahteraan masyarakat radikalisme masih menjadi ancaman. Bahkan kata dia, jika pemerintah gagal mewujudkan itu semua maka ancaman kemanusiaan bukan saja terorisme karena sekarang kematian bukan hanya faktor terorisme tapi juga akibat kecelakaan lalu lintas.
“Aksi ugal-ugalan di lalu lintas merupakan bentuk radikalisme diluar dalih agama. Sekarang persoalan perlindungan kepada warga negara harus ditingkatkan. Sebab banyak orang mendapatkan kecelakaan atau musibah bukan hanya karena teroris tapi juga kecelakan lalu lntas. Negara harus melindungi keamanan warganya,” cetusnya. Selama ini keamanan negara masih kebobolan jadi radikalisme agama boleh saja dijaga tapi bisa saja nanti akan muncul radikalisme dalam bentuk lain. Lihat saja pelaksaanan desentralisasi terjadi rebutan kavling kekuasaan yang terkadang menimbulkan konflik, imbuhnya.

Ketika ditanya perlukah pemerintah melibatkan masyarakat sipil seperti NU dan Muhammadiyah dalam mencegah dan menanggulangi terorisme. Laki-laki yang akrab disapa Mas Komar ini menjawab pemerintah memiliki aparat keamanan sehingga jangan terburu-buru melepas tangan dan menyerahkannya ke masyarakat. Apabila di masyarakat terjadi keributan karena pemerintah tidak bisa memberikan perlindungan dan berarti pemerintah yang salah.

Ia menyatakan pemerintah sudah berlebihan menuntut kepada NU dan Muhammadiyah tapi kurang berterima kasih. Mereka organisasi yang sudah lahir lebih dahulu sebelum republik Indonesia lahir. Mereka senantiasa mengawal wacana Islam moderat, Pancasila sebagai ideologi final, dan membantu menyelenggarakan pendidikan. Apabila tidak ada keduanya pemerintah bisa kebobolan. Mestinya mereka dijaga dan partai politik jangan merusaknya. Kasih sumbangan kepada rumah sakit dan lembaga pendidikan mereka.

“Jika pemerintah tidak bisa memberikan keamanan maka jangan salahkan ormas Islam mengambil alih peran polisi. NU dan Muhammadiyah jangan ditarik-tarik untuk kepentingan itu. Mereka memberikan dukungan moral, tapi penanganan terorisme tugas negara. Mereka tetap dilibatkan karena setiap hari berjasa membela Islam moderat. Pemerintah jangan dulu mengharapkan orang lain kalau dirinya belum optimal,” ujar dia.
Ia menilai polisi dan militer belum tegas. Ormas ekstrim yang telah melakukan aksi razia dan mengambil alih tugas aparat keamanan masih dibiarkan. Aksi razia membuat masyarakat merasa resah dan pemerintah wajib melindungi warga negaranya. Sebelum bicara yang jauh yang ada dulu apakah pemerintah sudah bertindak tegas kepada ormas ekstrim yang jelas terlihat jika itu tidak ditindak maka bagaimana dengan terorisme.

“Terorisme sangat berbahaya. Di Indonesia bahaya terorisme bisa mencederai agama dan mensengsarakan keluarganya dan orang lain yang menjadi korban. Orang tua pelaku teroris juga menjadi malu akibat perbuatan anaknya,” ucap dia. “Yang bagus kalau mau dari sisi korban ditampilkan pengakuan mereka di berbagai statisun televisi bagaimana perasaan menjadi anak dan istri teroris. Jika itu disampaikan mungkin akan lebih menyentuh, bukan pernyataan-pernyataan keamanan,” ia menambahkan.

Ia menilai selama ini para pelaku ketika ditangkap langsung dihukum tapi tidak diberikan proses penyadaran. Bahkan bagaimana kondisi dan perasaan keluarga pelaku dan korban belum ditampilkan. Selama ini pihak korban belum ditampilkan misalnya bagaimana penyesalan mereka, karena banyak di antara mereka yang menyesal. Bahkan istri dan mertua pelaku merasa tertipu. Bila pengakuan mereka ditampilkan maka akan lebih menyentuh perasaan masyarakat. Namun pemaparan hal seperti itu masih kurang. Sebab antar lembaga pemerintah sendiri belum kompak sinerginya.

Sekarang ada kemajuan ada BNPT, dia sudah bagus tapi kiprahnya masih ditunggu. Semestinya BNPT bisa mensinergikan berbagai kekuatan instansi pemerintah dan masyarakat. Sebab masyarakat dan pemerintah tidak senang terhadap terorisme. Sekarang bagaimana BNPT menjadi forum mediator dan kekuatan sinergi semua elemen pemerintah dan masyarakat. Peran BNPT belum bisa dinilai hasilnya karena usianya masih beberapa tahun.

Apakah Indonesia perlu meniru Malaysia dalam mencegah terorisme? Mumpung suasananya damai, dan Indonesia punya data pengalaman banyak sudah saatnya memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada dari berbagai segi. Jika dikumpulkan dan dibuat langkah strategis, menurut hemat dia akan lebih bijak bukan dalam suasana kemarahan dan reaktif karena suasananya agak dingin. Namun jika tidak segera nanti akan bobol dan kacau lagi. Apakah kita bisa membuat itu plus minus perlu dikaji. Sebab memang polisi ada kerepotan untuk menangkap sebelum ada bukti, keburu lari duluan itu titik kelemahannya. Jika ada ISA diterapkan dikhawatirkan digunakan sewenang-wenang untuk menangkap orang.

Terkait pandangan terorisme ke depan, ia berpendapat ada aspek dalam dan luar negeri. Jika aspek dalam negeri kuat sekarang semakin tidak popular tapi harus ada upaya serius disempitkan lewat dukungan masyarakat dan pengakuan masyarakat, serta kurikulum pendidikan. Kedua faktor luar negeri, Indonesia memang repot ibarat rumah besar pagarnya pada bobol, jendela, pintu dan pengaruh luar negeri mudah masuk kesini.

“Saya khawatir terorisme agama bisa saja berkurang tapi bisa saja agama digunakan untuk tindakan radikal melawan dominasi atau kapitalisme asing. Indonesia dijarah dalam bahasa kasar, saya khawatir agama sebagai legitimasi, kedua sedih daerah perbatasan rawan sekali pendidikan dan kesehatannya rendah. Jika ini tidak diperbaiki kondisinya akan menimbulkan kerawanan radikalisme dan terorisme serta sparatisme,” ujarnya [Akhwani].

Biodata:
Nama Lengkap                                  : Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA
Tempat, Tanggal Lahir                    : Magelang, 18 Oktober 1953
Pekerjaan                                           : Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan                                         : S3 Bidang Filsafat, Middle East Technical University, Ankara, Turki

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)


SumberLazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar