Jumat, 07 Desember 2012

Noorhaidi Hasan: Penanggulangan Terorisme on The Right Track



Terorisme masih menjadi hantu gentayangan hingga kini. Kehadirannya kerap di luar semua prediksi. Ia bisa menyerang siapa, kapan dan di mana saja. Untuk itu segala tindak preventif harus giat diupayakan agar fenomena horor ini tidak terulang kembali. Salah satu ihwal yang perlu diusahakan sampai sekarang adalah memahami terorisme secara komprehensif.

Namun memahami aksi terorisme bukanlah perkara yang mudah. Terorisme bukan sekedar term sederhana tetapi jauh lebih kompleks maknanya dari yang selama ini dipahami. Ada banyak dimensi yang mesti dikaitkan dengan term ini. Bukan sekedar dimensi ideologis-keagamaan saja, tetapi juga dimensi-dimensi lain seperti ekonomi, politik, sosial dan kultural.

Dari sekian banyak motif dasar yang melandasi tindak terorisme, Noorhaidi Hasan, MA., Mphil., PhD., pakar radikalisme dan terorisme UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, memahami bahwa faktor ekonomi-politik perlu mendapat porsi lebih untuk dianalisis. Berikut detail perbincangan Lazuardi Birru dengan alumni Universitas Utrech Belanda ini.

Bagaimana pandangan Anda soal terorisme berbasis agama di Indonesia belakangan ini?
Saya merasa terorisme jauh lebih kompleks dari yang dipahami banyak orang. Para pengamat ataupun mereka yang mengklaim diri sebagai ahli teroris, melihat terorisme itu sebagai fanatisme keagamaan dan menyangkut cara bagaimana orang mengekspresikan pandangan-pandangan teologis ataupun pandangan ideologis mereka. Jadi misalnya kepercayaan pada doktrin jihad yang akan menuntun mereka ke surga sebagai syuhada, itu dianggap faktor yang determinant, yang menentukan, dalam mendorong segelintir anak-anak muda bergabung ke dalam gerakan teroris. Bahkan melakukan aksi pengeboman bunuh diri. Menurut saya ini terlalu simplistik. Jadi kita harus mencoba memahami ulang, karena terorisme itu memiliki dimensi yang banyak sekali. Ada dimensi ideologis keagamaan tapi juga ada dimensi ekonomis, politis, sosial, kultural dan lain sebagainya. Itulah tugas kita semua untuk melihat secara jernih faktor-faktor, makro-mikro, yang menyumbang terhadap meningkatnya aksi-aksi terorisme belakangan ini. Bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.

Bagi saya dimensi ekonomi politik dari aksi-aksi yang melatari tindakan terorisme itu jauh lebih signifikan dari ideologi itu sendiri. Karena pada dasarnya terorisme adalah cara sekelompok orang memprotes keadaan, memprotes situasi yang dianggap tidak berkeadilan, tidak nyaman, situasi yang menimbulkan kesengsaraan bagi banyak orang. Kemudian bagi orang-orang yang frustasi merasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali memprotes dengan cara melakukan aksi-aksi terorisme. Tentu saja kita tidak pernah bisa menjustifikasi pilihan mereka yang menggunakan jalan kekerasan itu. Tetapi juga kita harus memahami cara mereka ataupun apa yang kita sebagai motif dasar dari aksi-aksi tersebut.

Ada yang mengatakan fenomena ini adalah ekses dari perang dingin, ini benar atau tidak? Atau memang pada dasarnya masyarakat dan tokoh-tokoh Islam radikal ini punya masalah sendiri dengan kita?
Pasti ada. Terorisme ada hubungannya dengan pergeseran-pergeseran geo-strategic global, hubungan-hubungan internasional dan tentu saja dengan perang dingin. Kita tahu selama perang dingin terjadi ketegangan antara blok Timur dengan blok Barat. Lalu itu kemudian mendorong Amerika untuk mengembangkan suatu politik yang belakangan ternyata menimbulkan kegelisahan dan juga orang-orang radikal. Misalnya kita bisa catat dukungan Amerika terhadap Saudi untuk menjadi pemain utama di dunia Islam sebagai sebuah cara untuk menghadang laju pengaruh nasionalisme-sosialis gaya Jamal Abdul Nasir, itu ternyata kemudian menyebarkan pengaruh paham Wahabi ke seluruh dunia Islam.

Paham Wahabi itu problematik. Di satu sisi ia sangat konservatif. Misalnya  sama sekali tidak membenarkan adanya resistensi atau tindakan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Namun pada sisi lain mengklaim rezim Saudi itu sendiri sebagai satu-satunya rezim yang committed menegakkan syariat Islam. Jadi di situ orang tidak boleh memberontak pada penguasa yang terpilih secara syah, tetapi juga selalu saja ada alasan untuk memprotes ataupun melawan terhadap rezim yang berkuasa yang dianggap tidak committed terhadap penerapan syariat Islam itu sendiri. Ini bagian dari politik ambivalen yang dimainkan oleh Saudi yang itu sebenarnya disumbang oleh ketegangan-ketegangan perang dingin. Jadi kompleks memang penjelasannya agak panjang.

Ini kemudian kita tidak bisa tidak mendiskusikan pembicaraan hubungannya dengan negara. Bisa tidak dikatakan bahwa kelompok-kelompok mereka belum selesai memahami tentang konsep nation-state  dalam konteks kontemporer sekarang?
Bukan soal itu. Saya kira karena konsep nation-statenya itu sudah tidak memadai lagi untuk menampung harapan-harapan, mimpi, kegelisahan begitu banyak orang. Jadi saya kira bisa terbalik persoalannya. Bukan mereka yang tidak paham dengan nation-state. Nation-state itu konsep yang berkembang di abad 19-an. Kemudian dengan nation-state itu semua urusan-urusan dikelola dengan merujuk kepada bangunan dan batas-batas nation-state itu. Namun ternyata apa, perkembangan teknologi, media komunikasi dan lain sebagainya membuat batas-batas yang diteguhkan oleh konsep nation-state menjadi kabur. Sebuah negara tidak bisa terlalu ketat dengan ‘ini batas kamu’, ‘ini batas mereka’, kita tidak boleh berekspektasi di luar batas kita. Ketika orang membuka internet, klik, ia langsung melihat apa yang terjadi di Istambul, apa yang terjadi di Milan, fashion yang berkembang di sana, anak-anak muda yang berkembang di sana, kreativitas yang berkembang di sana. Juga berita-berita misalnya tentang betapa baiknya orang mengelola kota, mengelola kehidupan, good governance dan segala macam.

 Hal itu secara langsung mempengaruhi harapan-harapan dan mimpi anak-anak yang harus hidup di sebuah nation-state yang kebetulan tidak begitu beruntung dalam hal kemampuan mereka untuk mengelola perubahan-perubahan yang terjadi akibat modernisasi dan globalisasi. Jadi keterbatasan nation-state itu yang menurut  saya menjadi masalah.

Bisa tidak dikatakan bahwa mereka semua mengalami cultural stagnation, seperti kegagapan dalam menghadapi tuntutan dan perubahan zaman, misalnya dapat dilihat dari hukum fiqih mereka yang stagnan?
Tidak. Harus dibaca ada yang disebut dengan discursive strategic (strategi wacana). Misalnya ada wacana penerapan syariat, khilafah Islamyiah segala macam itu. Bagi saya ini wacana saja. Di belakang wacana tersebut ada yang disebut discursive strategic. Ini kadang-kadang orang memprotes A tapi dengan memakai bahasa B. Orang memprotes keterbatasan nation-state, orang memprotes keterbatasan mekanisme birokratis, untuk menampung harapan-harapan itu dengan mengatakan B. Ia mau mengatakan itu tetapi berhadapan dengan otoritanisme negara misalnya.

 Orang memprotes sistem hukum yang tidak berkeadilan misalnya, tetapi dengan mengatakan syariat adalah harga mati. Itu adalah discursive strategic namanya. Di belakang itu ada discursive practices (praktek-praktek wacana). Di mana sebenarnya hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang itulah yang mendorong orang kemudian untuk menampilkan wacana yang kira-kira wacana itu bisa mempengaruhi dinamika, diskursif itu sendiri yang terjadi di ruang publik.
******
Semenjak meledaknya bom Bali I, penanggulangan terorisme di Indonesia mulai massif dan intensif digalakkan. Namun aksi pemberantasan teroris bisa berakibat fatal jika berdasarkan pemahaman yang kerdil. Layaknya dalam dunia medis, pemahaman atau analisis tak ubahnya dengan diagnosa. Jika diagnosa salah maka hanya akan bermuara pada malpraktek, demikian juga dengan upaya penanganan terorisme.
Misalnya saja upaya penanganan terorisme dengan moncong senjata atau bentuk otoritarianisme negara lainnya, tentu hal ini problematik. Penanggulangan aksi terorisme dengan menggunakan pendekatan non-humanistik semacam ini, hanya akan semakin memperdalam luka para subjek teror sedemikian hingga dendam menggumpal dan keimanan atas ideologi radikalnya kian kebal. Maka jangan heran jika suatu ketika nanti, semakin banyak generasi baru yang terlahir dari rahim radikalisme dan terrorisme.

Namun secara tegas Noorhaidi Hasan menyatakan bahwa Indonesia adalah the most successful countries in the world berkaitan dengan upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme. Bukti kesuksesan ini tampak pada memudarnya pendapat, asumsi atau anggapan yang memahami bahwa teroris tidak lebih dari rekayasa intelejen atau konspirasi global. Masyarakat kini kian percaya bahwa teroris itu riil keberadaanya.

Belakangan aparat negara yang berwenang telah berusaha menangani dan mengurangi gerakan-gerakan terorisme tetapi satu sisi mereka menyentuh wilayah-wilayah yang dianggap melanggar batas kemanusian?
Itu yang menjadi masalah saya kira. Dalam model yang berkembang di negara-negara maju, sekarang sudah saatnya menerapkan apa yang disebut dengan humanistic approach.

Bisa dijelaskan?
Sederhananya pendekatan yang berbasis HAM; penghormatan terhadap hak hidup dll. Dan humanistic approach ini mencoba untuk menggali, sebenarnya akar dari terorisme itu apa. Misalnya kegelisahan, protes terhadap kedaaan. Jadi orang yang tidak berdaya, merasa tidak berdaya secara ekonomi, secara politik itu tampil memprotes dengan cara yang tentu saja salah, kita semua tentu saja tidak ada yang menyetujui cara itu. Namun dengan memahami itu kemudian sentuhannya akan jadi berbeda. Bukan protes dijawab dengan dor dor dor. Itu hanya akan melahirkan kekecewaan baru, frustasi baru, dendam baru dan pasti akan menciptakan teroris-teroris baru menurut saya.

Cara yang tepat adalah protes itu harus didialogkan. Tentu saja ada law enforcement. Kalau teroris sudah melakukan aksi, itu harus ditangkap. Itu logis. Jadi hard measures tentu saja penting. Dalam skala-skala yang terukur;  penangkapan, penggrebekan. Lalu dikombinasikan dengan soft measures, pendekatan yang lembut, taktik-taktik lembut atau lunak yang selama ini sudah dijalankan juga sebagiannya oleh polisi. Namun kalau polisi tergoda merasa frustasi, ‘ini tidak selesai-selesai, teroris ditembakin saja, selesai’, itu salah. Mereka melakukan kesalahan yang sangat fatal. Kita sekarang sudah menyiapkan tereoris-teroris baru. Artinya polisi itu sendiri yang menyiapkan lahirnya teroris yang baru. Jangan salahkan kalau lima, sepuluh, lima belas tahun yang akan datang kita akan tetap berada di pusaran masalah yang sama.

Saya merasa track yang dikembangkan oleh negara sudah benar. Arahnya pengkombinasian hard measures dengan soft measures secara cukup baik. Juga mendorong pendekatan civil society berperan di dalamnya. Namun belakangan ini saya melihat trend-nya berbelok.

Apakah perlu revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang tujuh hari penangkapan yang sangat digarisbawahi BNPT dengan teman-teman HAM?
Saya setuju dengan teman-teman HAM. Indonesia justru efektif. Saya baru saja datang dari Eropa. Saya mempresentasikan hasil penelitian tentang counter terrorism strategy di Indonesia. Itu membandingkan dengan di Saudi Arabia. Order itu, riset itu disponsori oleh Uni Eropa. Saya dengan berani mengklaim di hadapan para petinggi lembaga-lembaga yang  berurusan dengan persoalan ini, Indonesia sebagai the most successful countries in the world: the treat of radicalism and terrorism. Justru keberhasilannya itu ketika mengkombinasikan secara baik soft and hard measures secara teratur dan kemudian membiarkan civil society memainkan perannya secara aktif di dalam melakukan langkah-langkah deradikalisasi.

Saya kira ini sudah baik meskipun polisi tidak pernah puas karena merasa masalahnya harus segera diselesaikan. Bukan seperti itu. Terorisme itu tidak bisa diselesaikan dalam satu hingga dua hari, bahkan satu hingga dua tahun. Tapi kalau dengan kesabaran, konsistensi, ada perbaikan dari sisi pertumbuhan ekonomi, kebijakan-kebijakan, good governance, demokrasi juga semakin matang, itu dengan sendirinya terorisme akan kehilangan legitimasinya. Jadi permasalahan ini harus dijawab secara komprehensif tidak tidak dengan senjata. Kalau polisi, aparat atau pemerintah tertarik lagi dengan taktik-taktik respresif apa lagi diskriminatif, saya kira, saya khawatir Indonesia akan menghadapi masalah yang lebih serius di masa yang akan datang.

Apakah civil society yang direpresentasikan oleh ormas-ormas seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain sebagainya itu mampu? Sementara dalam diri mereka mempunyai problem tersendiri, misalnya belum sepenuhnya sepakat tentang Pancasila sudah final atau belum.
Bukan persoalan itu. Saya tetap melihat signifikan peran mereka. Salah satu klaim saya mengapa Indonesia dikatakan berhasil adalah karena jika dibandingkan dengan sembilan atau delapan tahun lalu, sekarang semua orang hampir yakin bahwa teroris dengan jaringannya yang bermuara pada Jamaah Islamiah itu memang ada dan menjadi ancaman serius bagi kehidupan mereka. Kalau dahulu bahwa klaim ada jaringan teroris itu dibantah banyak orang. Klaim itu jangan-jangan ciptaan intelejen atau bagian dari konspirasi global untuk melemahkan Islam di Indonesia. Sekarang bantahan seperti itu sudah tidak terdengar lagi. Saya kira itu adalah modal yang besar bagi pemerintah untuk menangani terorisme. Dan itu merupakan buah dari kerja yang dilakukan civil society. Artinya harus dipertimbangkan juga adanya perubahan mindset, persepsi, dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan nantinya secara natural posisi teroris akan semakin terasa asing di mata masyarakat dan kemudian dengan cara itu akan ada peningkatan daya tolak masyarakat akan hal tersebut.

Ada wacana bahwa Indonesia dalam menangani terorisme hanya akan jatuh pada internal security act?
Tidak. Sebab perlu diingat bahwa terorisme berkembang, salah satunya sebagai protes atas otoritarianisme. Internal security act itu salah satu manifestasi dari otoritarianisme. Lihat saja konteks Timur Tengah. Kenapa orang akhirnya menjadi teroris, ini karena protes-protes disikat, ditangkapi dan dibunuh oleh negara. Karena sudah seperti itu, akhirnya lahirlah terorisme. Nah itu kan terorisme sebagai perlawanan terhadap otoritarianisme. Kalau perlawanan terhadap otoritarianisme dijawab dengan bahasa otoritarianisme, Internal security act, maka terorisme akan makin menjadi-jadi. Karena mereka mendapat legitimasi.

Jadi track yang diambil Indonesia ini apakah sudah benar?
Indonesia sudah benar. Mengkombinasikan penanganan hard and soft measure,demokrasi dan civil society. Bahkan Indonesia bisa dijadikan model untuk negara-negara Asia lainnya. Uni Eropa sangat menyukai riset saya, mereka bilang ini akan disebarkan menjadi model for Asia. Jadi jangan tergoda dengan taktik-taktik penanganan yang barbarian. Kita sudah maju. Aneh kalau tergoda lagi karena tidak sabar.  Apalagi pejabat punya target, teroris harus hilang tahun depan misalnya. Hal semacam itu hanya akan mendorong teroris untuk mempersiapkan generasi-generasi baru yang siap melakukan pengeboman kembali.

Dalam riset Anda disebutkan tentang salafi jihadis, bisa dijelaskan?
Salafi Jihadis sebenarnya merupakan bentuk protes atas keadaan dan situasi sosial, ekonomi, politik domestik ketimbang katakanlah perlawanan terhadap Amerika. Jadi yang saya pelajari dari literatur politik Islam, ketika protes yang disampaikan kepada rezim penguasa dijawab dengan moncong senjata, apa yang terjadi kemudian adalah orang mengembangkan sebuah strategi diskursif. Perlawanan terhadap Barat itu sebenarnya discursive strategy (strategi wacana). Sebenarnya bukan Barat yang dilawan. Barat dianggap sebagai simbol yang berada di belakang rezim-rezim yang berkuasa di dunia Islam. Sasaran antara sebenarnya. Padahal intinya hendak menyerang rezim itu sendiri. Kalau teriak-teriak Barat tentu rezim agak tertipu, tidak langsung ditodong senjata. Padahal ingin mengatakan rezim tidak becus gara-gara menerapkan sistem Barat. Jadi intinya perlawanan terhadap kekuasaan yang tidak menjalakan dengan baik fungsi-fungsinya. Dan tentunya strategi diskursif bisa bermacam-macam tergantung situasinya.

Situasi Timur Tengah sekarang sedang tidak stabil, adanya pergantian rezim tentunya akan mempengaruhi tatanan,  tidak heran jika muncul ide-ide dakwah Islamiyah sebagai solusi masalah kesejahteraan. Bagaimana pendapat Anda?
Dua bulan lalu saya ke Meksiko, saya terlibat dalam sebuah advanced seminar tentang persoalan youth in new global order. Dalam persentasi tentang Timur Tengah, peneliti-peneliti memastikan arah yang terjadi di Timur Tengah adalah arah demokratisasi. Ini adalah anak-anak muda yang tidak lagi tertampung mimpi-mimpinya baik oleh nation-state maupun wacana gerakan radikal. Gerakan radikal itu juga ingin memasung mimpi-mimpi orang. Dengan khilafah Islamiyah, dengan ini, dengan itu. Sebagai protes memang efektif.  Tetapi ketika dihadapkan dengan fakta, bahwa ada anak-anak muda dari generasi baru yang aware terhadap internet, facebook dan lain sebagainya, mimpi-mimpi yang diusung gerakan radikal sudah tidak laku lagi. Maka gerakan-gerakan itu akan dengan sendirinya lumpuh.

Ketika Osama ditangkap oleh pihak keamanan Amerika di Pakistan, Aparat negara setempat terkejut dengan hal itu. Seperti tidak adanya kerjasama. Apa komentar Anda menanggapi hal ini?
Ya memang itulah salah satu problem yang memicu terorisme baru. Amerika sendiri tidak konsisten. Menangani Osama dengan cara seperti itu jelas-jelas melanggar norma-norma internasional. Yang saya khawatirkan itu kalau negara atau elit-elit, bukan hanya dalam konteks domestik tapi juga internasional, terus menerus memproduksi paradoks-paradoks dalam tingkah keseharian mereka. Karena itu bisa menjadi alasan atau legitimasi untuk teroris untuk selalu melakukan protes-protes dengan cara kekerasan (Emhajid).

______________________________________
Biodata:
Nama Lengkap                        : Noorhaidi Hasan, MA., Mphil., PhD
Tempat, Tanggal Lahir                        : Amuntai, 7 Desember 1971
Pekerjaan                                 : Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendidikan                              : S3 Universitas Utrech Belanda

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)


Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar