Terorisme masih menjadi hantu gentayangan
hingga kini. Kehadirannya kerap di luar semua prediksi. Ia bisa
menyerang siapa, kapan dan di mana saja. Untuk itu segala tindak
preventif harus giat diupayakan agar fenomena horor ini tidak terulang
kembali. Salah satu ihwal yang perlu diusahakan sampai sekarang adalah
memahami terorisme secara komprehensif.
Namun memahami aksi terorisme bukanlah
perkara yang mudah. Terorisme bukan sekedar term sederhana tetapi jauh
lebih kompleks maknanya dari yang selama ini dipahami. Ada banyak
dimensi yang mesti dikaitkan dengan term ini. Bukan sekedar dimensi
ideologis-keagamaan saja, tetapi juga dimensi-dimensi lain seperti
ekonomi, politik, sosial dan kultural.
Dari sekian banyak motif dasar yang
melandasi tindak terorisme, Noorhaidi Hasan, MA., Mphil., PhD., pakar
radikalisme dan terorisme UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, memahami bahwa
faktor ekonomi-politik perlu mendapat porsi lebih untuk dianalisis.
Berikut detail perbincangan Lazuardi Birru dengan alumni Universitas
Utrech Belanda ini.
Bagaimana pandangan Anda soal terorisme berbasis agama di Indonesia belakangan ini?
Saya merasa terorisme jauh lebih kompleks
dari yang dipahami banyak orang. Para pengamat ataupun mereka yang
mengklaim diri sebagai ahli teroris, melihat terorisme itu sebagai
fanatisme keagamaan dan menyangkut cara bagaimana orang mengekspresikan
pandangan-pandangan teologis ataupun pandangan ideologis mereka. Jadi
misalnya kepercayaan pada doktrin jihad yang akan menuntun mereka ke
surga sebagai syuhada, itu dianggap faktor yang determinant,
yang menentukan, dalam mendorong segelintir anak-anak muda bergabung ke
dalam gerakan teroris. Bahkan melakukan aksi pengeboman bunuh diri.
Menurut saya ini terlalu simplistik. Jadi kita harus mencoba memahami
ulang, karena terorisme itu memiliki dimensi yang banyak sekali. Ada
dimensi ideologis keagamaan tapi juga ada dimensi ekonomis, politis,
sosial, kultural dan lain sebagainya. Itulah tugas kita semua untuk
melihat secara jernih faktor-faktor, makro-mikro, yang menyumbang
terhadap meningkatnya aksi-aksi terorisme belakangan ini. Bukan hanya di
Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.
Bagi saya dimensi ekonomi politik dari
aksi-aksi yang melatari tindakan terorisme itu jauh lebih signifikan
dari ideologi itu sendiri. Karena pada dasarnya terorisme adalah cara
sekelompok orang memprotes keadaan, memprotes situasi yang dianggap
tidak berkeadilan, tidak nyaman, situasi yang menimbulkan kesengsaraan
bagi banyak orang. Kemudian bagi orang-orang yang frustasi merasa tidak
mempunyai pilihan lain kecuali memprotes dengan cara melakukan aksi-aksi
terorisme. Tentu saja kita tidak pernah bisa menjustifikasi pilihan
mereka yang menggunakan jalan kekerasan itu. Tetapi juga kita harus
memahami cara mereka ataupun apa yang kita sebagai motif dasar dari
aksi-aksi tersebut.
Ada yang mengatakan fenomena
ini adalah ekses dari perang dingin, ini benar atau tidak? Atau memang
pada dasarnya masyarakat dan tokoh-tokoh Islam radikal ini punya masalah
sendiri dengan kita?
Pasti ada. Terorisme ada hubungannya
dengan pergeseran-pergeseran geo-strategic global, hubungan-hubungan
internasional dan tentu saja dengan perang dingin. Kita tahu selama
perang dingin terjadi ketegangan antara blok Timur dengan blok Barat.
Lalu itu kemudian mendorong Amerika untuk mengembangkan suatu politik
yang belakangan ternyata menimbulkan kegelisahan dan juga orang-orang
radikal. Misalnya kita bisa catat dukungan Amerika terhadap Saudi untuk
menjadi pemain utama di dunia Islam sebagai sebuah cara untuk menghadang
laju pengaruh nasionalisme-sosialis gaya Jamal Abdul Nasir, itu
ternyata kemudian menyebarkan pengaruh paham Wahabi ke seluruh dunia
Islam.
Paham Wahabi itu problematik. Di satu
sisi ia sangat konservatif. Misalnya sama sekali tidak membenarkan
adanya resistensi atau tindakan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa.
Namun pada sisi lain mengklaim rezim Saudi itu sendiri sebagai
satu-satunya rezim yang committed menegakkan syariat Islam. Jadi di situ
orang tidak boleh memberontak pada penguasa yang terpilih secara syah,
tetapi juga selalu saja ada alasan untuk memprotes ataupun melawan
terhadap rezim yang berkuasa yang dianggap tidak committed
terhadap penerapan syariat Islam itu sendiri. Ini bagian dari politik
ambivalen yang dimainkan oleh Saudi yang itu sebenarnya disumbang oleh
ketegangan-ketegangan perang dingin. Jadi kompleks memang penjelasannya
agak panjang.
Ini kemudian kita tidak bisa
tidak mendiskusikan pembicaraan hubungannya dengan negara. Bisa tidak
dikatakan bahwa kelompok-kelompok mereka belum selesai memahami tentang
konsep nation-state dalam konteks kontemporer sekarang?
Bukan soal itu. Saya kira karena konsep
nation-statenya itu sudah tidak memadai lagi untuk menampung
harapan-harapan, mimpi, kegelisahan begitu banyak orang. Jadi saya kira
bisa terbalik persoalannya. Bukan mereka yang tidak paham dengan
nation-state. Nation-state itu konsep yang berkembang di abad 19-an. Kemudian dengan nation-state
itu semua urusan-urusan dikelola dengan merujuk kepada bangunan dan
batas-batas nation-state itu. Namun ternyata apa, perkembangan
teknologi, media komunikasi dan lain sebagainya membuat batas-batas yang
diteguhkan oleh konsep nation-state menjadi kabur. Sebuah
negara tidak bisa terlalu ketat dengan ‘ini batas kamu’, ‘ini batas
mereka’, kita tidak boleh berekspektasi di luar batas kita. Ketika orang
membuka internet, klik, ia langsung melihat apa yang terjadi di
Istambul, apa yang terjadi di Milan, fashion yang berkembang di sana,
anak-anak muda yang berkembang di sana, kreativitas yang berkembang di
sana. Juga berita-berita misalnya tentang betapa baiknya orang mengelola
kota, mengelola kehidupan, good governance dan segala macam.
Hal itu secara langsung mempengaruhi harapan-harapan dan mimpi anak-anak yang harus hidup di sebuah nation-state
yang kebetulan tidak begitu beruntung dalam hal kemampuan mereka untuk
mengelola perubahan-perubahan yang terjadi akibat modernisasi dan
globalisasi. Jadi keterbatasan nation-state itu yang menurut saya menjadi masalah.
Bisa tidak dikatakan bahwa
mereka semua mengalami cultural stagnation, seperti kegagapan dalam
menghadapi tuntutan dan perubahan zaman, misalnya dapat dilihat dari
hukum fiqih mereka yang stagnan?
Tidak. Harus dibaca ada yang disebut dengan discursive strategic
(strategi wacana). Misalnya ada wacana penerapan syariat, khilafah
Islamyiah segala macam itu. Bagi saya ini wacana saja. Di belakang
wacana tersebut ada yang disebut discursive strategic. Ini kadang-kadang orang memprotes A tapi dengan memakai bahasa B. Orang memprotes keterbatasan nation-state,
orang memprotes keterbatasan mekanisme birokratis, untuk menampung
harapan-harapan itu dengan mengatakan B. Ia mau mengatakan itu tetapi
berhadapan dengan otoritanisme negara misalnya.
Orang memprotes sistem
hukum yang tidak berkeadilan misalnya, tetapi dengan mengatakan syariat
adalah harga mati. Itu adalah discursive strategic namanya. Di belakang itu ada discursive practices
(praktek-praktek wacana). Di mana sebenarnya hubungan-hubungan
kekuasaan yang timpang itulah yang mendorong orang kemudian untuk
menampilkan wacana yang kira-kira wacana itu bisa mempengaruhi dinamika,
diskursif itu sendiri yang terjadi di ruang publik.
******
Semenjak meledaknya bom Bali I,
penanggulangan terorisme di Indonesia mulai massif dan intensif
digalakkan. Namun aksi pemberantasan teroris bisa berakibat fatal jika
berdasarkan pemahaman yang kerdil. Layaknya dalam dunia medis, pemahaman
atau analisis tak ubahnya dengan diagnosa. Jika diagnosa salah maka
hanya akan bermuara pada malpraktek, demikian juga dengan upaya
penanganan terorisme.
Misalnya saja upaya penanganan terorisme
dengan moncong senjata atau bentuk otoritarianisme negara lainnya, tentu
hal ini problematik. Penanggulangan aksi terorisme dengan menggunakan
pendekatan non-humanistik semacam ini, hanya akan semakin memperdalam
luka para subjek teror sedemikian hingga dendam menggumpal dan keimanan
atas ideologi radikalnya kian kebal. Maka jangan heran jika suatu ketika
nanti, semakin banyak generasi baru yang terlahir dari rahim
radikalisme dan terrorisme.
Namun secara tegas Noorhaidi Hasan menyatakan bahwa Indonesia adalah the most successful countries in the world berkaitan
dengan upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme. Bukti kesuksesan
ini tampak pada memudarnya pendapat, asumsi atau anggapan yang memahami
bahwa teroris tidak lebih dari rekayasa intelejen atau konspirasi
global. Masyarakat kini kian percaya bahwa teroris itu riil
keberadaanya.
Belakangan aparat negara yang
berwenang telah berusaha menangani dan mengurangi gerakan-gerakan
terorisme tetapi satu sisi mereka menyentuh wilayah-wilayah yang
dianggap melanggar batas kemanusian?
Itu yang menjadi masalah saya kira. Dalam
model yang berkembang di negara-negara maju, sekarang sudah saatnya
menerapkan apa yang disebut dengan humanistic approach.
Bisa dijelaskan?
Sederhananya pendekatan yang berbasis HAM; penghormatan terhadap hak hidup dll. Dan humanistic approach
ini mencoba untuk menggali, sebenarnya akar dari terorisme itu apa.
Misalnya kegelisahan, protes terhadap kedaaan. Jadi orang yang tidak
berdaya, merasa tidak berdaya secara ekonomi, secara politik itu tampil
memprotes dengan cara yang tentu saja salah, kita semua tentu saja tidak
ada yang menyetujui cara itu. Namun dengan memahami itu kemudian
sentuhannya akan jadi berbeda. Bukan protes dijawab dengan dor dor dor.
Itu hanya akan melahirkan kekecewaan baru, frustasi baru, dendam baru
dan pasti akan menciptakan teroris-teroris baru menurut saya.
Cara yang tepat adalah protes itu harus didialogkan. Tentu saja ada law enforcement. Kalau teroris sudah melakukan aksi, itu harus ditangkap. Itu logis. Jadi hard measures
tentu saja penting. Dalam skala-skala yang terukur; penangkapan,
penggrebekan. Lalu dikombinasikan dengan soft measures, pendekatan yang
lembut, taktik-taktik lembut atau lunak yang selama ini sudah dijalankan
juga sebagiannya oleh polisi. Namun kalau polisi tergoda merasa
frustasi, ‘ini tidak selesai-selesai, teroris ditembakin saja, selesai’,
itu salah. Mereka melakukan kesalahan yang sangat fatal. Kita sekarang
sudah menyiapkan tereoris-teroris baru. Artinya polisi itu sendiri yang
menyiapkan lahirnya teroris yang baru. Jangan salahkan kalau lima,
sepuluh, lima belas tahun yang akan datang kita akan tetap berada di
pusaran masalah yang sama.
Saya merasa track yang dikembangkan oleh negara sudah benar. Arahnya pengkombinasian hard measures dengan soft measures secara cukup baik. Juga mendorong pendekatan civil society berperan di dalamnya. Namun belakangan ini saya melihat trend-nya berbelok.
Apakah perlu revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang tujuh hari penangkapan yang sangat digarisbawahi BNPT dengan teman-teman HAM?
Saya setuju dengan teman-teman HAM.
Indonesia justru efektif. Saya baru saja datang dari Eropa. Saya
mempresentasikan hasil penelitian tentang counter terrorism strategy
di Indonesia. Itu membandingkan dengan di Saudi Arabia. Order itu,
riset itu disponsori oleh Uni Eropa. Saya dengan berani mengklaim di
hadapan para petinggi lembaga-lembaga yang berurusan dengan persoalan
ini, Indonesia sebagai the most successful countries in the world: the treat of radicalism and terrorism. Justru keberhasilannya itu ketika mengkombinasikan secara baik soft and hard measures secara teratur dan kemudian membiarkan civil society memainkan perannya secara aktif di dalam melakukan langkah-langkah deradikalisasi.
Saya kira ini sudah baik meskipun polisi
tidak pernah puas karena merasa masalahnya harus segera diselesaikan.
Bukan seperti itu. Terorisme itu tidak bisa diselesaikan dalam satu
hingga dua hari, bahkan satu hingga dua tahun. Tapi kalau dengan
kesabaran, konsistensi, ada perbaikan dari sisi pertumbuhan ekonomi,
kebijakan-kebijakan, good governance, demokrasi juga semakin
matang, itu dengan sendirinya terorisme akan kehilangan legitimasinya.
Jadi permasalahan ini harus dijawab secara komprehensif tidak tidak
dengan senjata. Kalau polisi, aparat atau pemerintah tertarik lagi
dengan taktik-taktik respresif apa lagi diskriminatif, saya kira, saya
khawatir Indonesia akan menghadapi masalah yang lebih serius di masa
yang akan datang.
Apakah civil society yang
direpresentasikan oleh ormas-ormas seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan
lain sebagainya itu mampu? Sementara dalam diri mereka mempunyai problem
tersendiri, misalnya belum sepenuhnya sepakat tentang Pancasila sudah
final atau belum.
Bukan persoalan itu. Saya tetap melihat
signifikan peran mereka. Salah satu klaim saya mengapa Indonesia
dikatakan berhasil adalah karena jika dibandingkan dengan sembilan atau
delapan tahun lalu, sekarang semua orang hampir yakin bahwa teroris
dengan jaringannya yang bermuara pada Jamaah Islamiah itu memang ada dan
menjadi ancaman serius bagi kehidupan mereka. Kalau dahulu bahwa klaim
ada jaringan teroris itu dibantah banyak orang. Klaim itu jangan-jangan
ciptaan intelejen atau bagian dari konspirasi global untuk melemahkan
Islam di Indonesia. Sekarang bantahan seperti itu sudah tidak terdengar
lagi. Saya kira itu adalah modal yang besar bagi pemerintah untuk
menangani terorisme. Dan itu merupakan buah dari kerja yang dilakukan
civil society. Artinya harus dipertimbangkan juga adanya perubahan
mindset, persepsi, dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan
nantinya secara natural posisi teroris akan semakin terasa asing di
mata masyarakat dan kemudian dengan cara itu akan ada peningkatan daya
tolak masyarakat akan hal tersebut.
Ada wacana bahwa Indonesia dalam menangani terorisme hanya akan jatuh pada internal security act?
Tidak. Sebab perlu diingat bahwa terorisme berkembang, salah satunya sebagai protes atas otoritarianisme. Internal security act
itu salah satu manifestasi dari otoritarianisme. Lihat saja konteks
Timur Tengah. Kenapa orang akhirnya menjadi teroris, ini karena
protes-protes disikat, ditangkapi dan dibunuh oleh negara. Karena sudah
seperti itu, akhirnya lahirlah terorisme. Nah itu kan terorisme sebagai
perlawanan terhadap otoritarianisme. Kalau perlawanan terhadap
otoritarianisme dijawab dengan bahasa otoritarianisme, Internal security act, maka terorisme akan makin menjadi-jadi. Karena mereka mendapat legitimasi.
Jadi track yang diambil Indonesia ini apakah sudah benar?
Indonesia sudah benar. Mengkombinasikan penanganan hard and soft measure,demokrasi dan civil society.
Bahkan Indonesia bisa dijadikan model untuk negara-negara Asia lainnya.
Uni Eropa sangat menyukai riset saya, mereka bilang ini akan disebarkan
menjadi model for Asia. Jadi jangan tergoda dengan taktik-taktik
penanganan yang barbarian. Kita sudah maju. Aneh kalau tergoda lagi
karena tidak sabar. Apalagi pejabat punya target, teroris harus hilang
tahun depan misalnya. Hal semacam itu hanya akan mendorong teroris untuk
mempersiapkan generasi-generasi baru yang siap melakukan pengeboman
kembali.
Dalam riset Anda disebutkan tentang salafi jihadis, bisa dijelaskan?
Salafi Jihadis sebenarnya merupakan
bentuk protes atas keadaan dan situasi sosial, ekonomi, politik domestik
ketimbang katakanlah perlawanan terhadap Amerika. Jadi yang saya
pelajari dari literatur politik Islam, ketika protes yang disampaikan
kepada rezim penguasa dijawab dengan moncong senjata, apa yang terjadi
kemudian adalah orang mengembangkan sebuah strategi diskursif.
Perlawanan terhadap Barat itu sebenarnya discursive strategy
(strategi wacana). Sebenarnya bukan Barat yang dilawan. Barat dianggap
sebagai simbol yang berada di belakang rezim-rezim yang berkuasa di
dunia Islam. Sasaran antara sebenarnya. Padahal intinya hendak menyerang
rezim itu sendiri. Kalau teriak-teriak Barat tentu rezim agak tertipu,
tidak langsung ditodong senjata. Padahal ingin mengatakan rezim tidak
becus gara-gara menerapkan sistem Barat. Jadi intinya perlawanan
terhadap kekuasaan yang tidak menjalakan dengan baik fungsi-fungsinya.
Dan tentunya strategi diskursif bisa bermacam-macam tergantung
situasinya.
Situasi Timur Tengah sekarang
sedang tidak stabil, adanya pergantian rezim tentunya akan mempengaruhi
tatanan, tidak heran jika muncul ide-ide dakwah Islamiyah sebagai
solusi masalah kesejahteraan. Bagaimana pendapat Anda?
Dua bulan lalu saya ke Meksiko, saya terlibat dalam sebuah advanced seminar
tentang persoalan youth in new global order. Dalam persentasi tentang
Timur Tengah, peneliti-peneliti memastikan arah yang terjadi di Timur
Tengah adalah arah demokratisasi. Ini adalah anak-anak muda yang tidak
lagi tertampung mimpi-mimpinya baik oleh nation-state maupun
wacana gerakan radikal. Gerakan radikal itu juga ingin memasung
mimpi-mimpi orang. Dengan khilafah Islamiyah, dengan ini, dengan itu.
Sebagai protes memang efektif. Tetapi ketika dihadapkan dengan fakta,
bahwa ada anak-anak muda dari generasi baru yang aware terhadap
internet, facebook dan lain sebagainya, mimpi-mimpi yang diusung
gerakan radikal sudah tidak laku lagi. Maka gerakan-gerakan itu akan
dengan sendirinya lumpuh.
Ketika Osama ditangkap oleh
pihak keamanan Amerika di Pakistan, Aparat negara setempat terkejut
dengan hal itu. Seperti tidak adanya kerjasama. Apa komentar Anda
menanggapi hal ini?
Ya memang itulah salah satu problem yang
memicu terorisme baru. Amerika sendiri tidak konsisten. Menangani Osama
dengan cara seperti itu jelas-jelas melanggar norma-norma internasional.
Yang saya khawatirkan itu kalau negara atau elit-elit, bukan hanya
dalam konteks domestik tapi juga internasional, terus menerus
memproduksi paradoks-paradoks dalam tingkah keseharian mereka. Karena
itu bisa menjadi alasan atau legitimasi untuk teroris untuk selalu
melakukan protes-protes dengan cara kekerasan (Emhajid).
______________________________________
Biodata:
Nama Lengkap : Noorhaidi Hasan, MA., Mphil., PhD
Tempat, Tanggal Lahir : Amuntai, 7 Desember 1971
Pekerjaan : Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendidikan : S3 Universitas Utrech Belanda
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar