Rabu, 19 Desember 2012

KH Malik Madani: Berdakwah dengan Kekerasan Ibarat Membersihkan Najis dengan Kotoran



Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta tidak mengacu pada nama suku, nama bangsa, dan nama tokoh, tapi Islam mengacuh pada sebuah nilai, yaitu nilai assalam atau assilmu, kedamaian dan keselamatan.
Islam adalah sebuah Dinus Salam, the religion of paace. Hal ini nampak jelas dalam syiar-syiar Islam, dalam ucapan salam. Assalamualaikum itu menggambarkan bagaimana komitmen seorang muslim terhadap kehidupan yang damai. Seorang muslim senantiasa mendoakan saudaranya dengan kalimat “salam” yang artinya semoga keselamatan dan kedamaian senantiasa menyertai Anda wahai saudaraku.

Bisa dikatakan juga “assalam” di situ sebagai salah satu diantara Sembilan Puluh Sembilan al-Asma’ul Husna, berarti Allah yang maha salam, Allah sumber keselamatan dan kedamaian, semoga senantiasa melindungi kalian, demikian pula rahmat dan barokahnya.

Jadi, sangat jelas Islam tidak mengajarkan kekerasan apalagi tindakan terorisme. Terorisme jelas tidak mungkin dinisbatkan kepada Islam, tapi kepada orang-orang yang mengaku sebagai orang Islam, mungkin saja karena kesalahan mereka dalam memahami ayat dan ajaran Islam itu.

Paparan itu membuka perbincangan Lazuardi Birru bersama Dr KH Abdul Malik Madani, MA, Katib “Am Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Pagi itu, di ruang dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mantan Dekan Fakultas Syari’ah ini menjawab pertanyaan-pertanyaan LB seputar problem radikalisme dan terorisme berlabel agama.
Berikut petikan perbincangan LB dengan Dosen Ilmu Tafsir dan peraih gelar Doktoral bidang ilmu tafsir dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenai kekerasan atas nama agama, bisa dijelaskan lebih mendalam?
Kekerasan atas nama agama jelas tidak dibenarkan dalam situasi damai, seperti saat ini. Sekarang kita hidup dalam keadaan damai, hidup dalam sebuah bangsa yang majemuk, dan tidak ada peperangan diantara kita, maka tidak boleh ada kekerasan dengan alasan mengajak pada Islam atau meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat.

Semua itu harus mengacu pada ajakan Alquran, yaitu “ud’u ila sabili robbika bil hikmati wal mauidatil hasanati wajadilhum bil adli hiya ahsan.” Jadi harus ada kearifan dalam mengajak orang kepada jalan Allah. Karena itu, kekerasan, sikap radikal dalam mengajak orang lain kepada agama Allah, dalam mengajak kepada kebenaran tidak dapat dibenarkan.

Dalam pandangan saya, mengajak orang kepada kebenaran atau melarang orang lain dari berbuat kemungkaran, tapi dengan cara-cara kekerasan itu sama saja dengan apa yang diistilahkan oleh al Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali dalam karya monomentalnya “Ihya Ulumuddin.” Imam Ghazali mengibaratkan orang tersebut dengan “izalatun najasati bil baul,” yaitu menghilangkan najis dengan air kencing. Najis tidak menjadi suci, tapi sebaliknya najis menyebar ke mana-mana dalam radius yang lebih luas dari pada asal kemungkaran itu.

Para pelaku teror di Indonesia sering mengutip ayat-ayat Alquran yang menyerukan perang terhadap kaum kafir, Bagaimana pandangan Anda?
Mereka memahami ayat Alquran itu tidak secara kontekstual, tapi benar-benar tekstual. Mereka adalah orang-orang tekstualis yang biasa berpikir hitam dan putih. Ayat-ayat qital diterapkan dalam konteks kehidupan yang damai seperti Indonesia, jelas itu tidak bisa.
Ayat qital memang ada dan berlaku dalam Alquran, tetapi dalam situasi perang. Ketika umat Islam berada dalam situasi perang pada zaman nabi, maka berlakulah ayat tersebut. Namun ketika kita hidup dalam kedamaian, dalam sebuah nation state seperti Indonesia ini, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menerapkan ayat qital dalam konteks yang seperti itu.

Secara tegas Anda mengatakan mereka salah dalam menafisrkan Alquran?
Iya, mereka salah menafsirkan ayat-ayat Alquran. Pemahaman mereka sangat sempit dan sangat dangkal dalam memahami Islam.
*******
12 Oktober 2002, negeri ini dikejutkan oleh ledakan bom yang memorak-porandakan tempat hiburan dan wisata di pulau dewata Bali. Aksi terorisme yang terjadi di Bali ini menelan korban begitu besar. 202 nyawa melayang, sebagian besar adalah wisatawan mancanegara.
Aksi yang tidak berkeprimanusiaan ini, disinyalir ulah kelompok radikal, yang diduga kuat dilakukan oleh Imam Samudra dkk. Ia merupakan aktivis Jamaah Islamiyah yang sering dikaitkan dengan Alqaeda pimpinan Osama bin Laden.

Sebelum terjadi Bom Bali I, beberapa aksi teror bom sudah terjadi di belahan negeri ini sejak tahun 2000, diawali pengeboman Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada 1 Agustus 2000. Beberapa pengamat menyebut bahwa aksi-aksi teror bom di tanah air dipicu oleh fatwa Osama bin Laden pada Februari 1998. Kala itu Osama mendeklarasikan World Islamic Front dan mengeluarkan fatwa yang menyerukan kewajiban berjihad melawan tentara dan warga sipil Amerika Serikat di mana pun berada.
Tragedi bom yang terjadi di tanah air, tentu sangat merugikan Islam. Sebab, Islam yang dikenal sebagai agama rahmat bagi alam semesta tercoreng akibat ulah sekolompok kecil yang tidak bertanggung jawab. Dr KH Abdul Malik Madani, MA, sangat menyayangkan atas sejumlah peristiwa memalukan yang mengatasnamakan agama dan mencoreng citra Islam ini.

“Islam tidak mengajarkan kekerasan apalagi tindakan terorisme. Terorisme jelas tidak mungkin dinisbatkan kepada Islam, namun  kepada orang-orang yang mengaku sebagai orang Islam, mungkin saja karena kesalahan mereka dalam memahami ayat dan ajaran Islam itu,” demikian Dosen Ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga menjelaskan.
Selain itu, Anggota Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini juga mengajak umat Islam untuk bersama-sama mengembalikan image Islam sebagai agama cinta damai. Karena menurut dia, mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan berpaham radikal hanya bagian kecil. Dan mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia menginginkan hidup dalam kedamaian.

Mengenai kelompok kecil tadi, bisa dijelaskan lebih mendalam?
Sebenarnya mereka-mereka yang bersifat radikal, senang kepada kekerasan dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya benar, jumlahnya tidak banyak. Dan mayoritas umat Islam termasuk di Indonesia adalah muslim yang menginginkan hidup dalam kedamaian.

Mainstream umat Islam di dunia termasuk di Indonesia adalah masyarakat yang cinta damai, dan itu merupakan esensi ajaran Islam, tapi ada segelintir orang yang senang kepada kekerasan dan menganggap kekerasan itu sebagai pertanda kuatnya keislaman seseorang.  Ia beranggapan bahwa kalau seorang Muslim sudah berhasil menakut-nakuti orang lain, ia merasa berada dan menjadi Muslim yang paling kuat.

Ironisnya, meskipun mereka sedikit, namun suara mereka nyaring. Inilah yang saya istilahkan sebagai al aqolliyah al jahiroh, minoritas tapi suaranya nyaring. Sebaliknya, mayoritas umat Islam yang menjadi mainstream tadi, yang saya katakan cinta pada kedamaian ini suaranya kurang terdengar, inilah yang saya sebut sebagai al aksariyah assomita, mayoritas tapi tampak diam. Walapun sebenarnya, mereka ini tidak diam sepenuhnya. Tapi masalahnya adalah peran dari media massa lebih senang mem-bellow up suara-suara yang keras ini, walaupun mereka hanya mewakili segelintir orang.

Lalu, konkritnya yang bisa kita lakukan apa?
Hemat saya, ke depan suara yang mayoritas ini perlu mendapatkan porsi sesuai dengan kemayoritasannya. Namun persoalannya, media kita seringkali tidak senang dengan yang datar-datar itu. Justru  yang disenangi adalah yang kontroversial, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang sebenarnya sedikit itu.
Kalau ke depan suara yang mayoritas ini bisa di bellow up oleh media massa, tentu citra Islam sebagai agama yang damai akan terbukti kembali. Kita sangat dirugikan dengan munculnya aliran-aliran sempalan yang sebenarnya adalah segelintir, tapi suaranya nyaring –al aqolliya al jahiroh–, kita sangat dirugikan. Mengapa? Karena cira Islam sebagai Dinus Salam justru berbalik menjadi Islam sebagai Dinul Irhab, agama yang senang kepada teror, menakut-nakuti orang. Ini yang kita sesalkan dari perilaku sebagian kecil umat Islam ini.

Selama ini, Anda melihat langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam menangani radikalisme dan terorisme seperti apa?
Dalam segala hal, saya lihat pemerintah kita ini bertindak setengah hati. Misalnya, pemberantasan korupsi dilakukan setengah hati dan sangat mengecewakan, terlebih yang meyangkut keseriusan menindak pelakunya. Di sini, kita melihat kecenderungan tebang pilih sangat jelas, termasuk dalam menjatuhkan hukuman yang membuat orang jera untuk melakukan tindak korupsi ini. Demikian pula kaitannya dengan persoalan penanganan terorisme.

Di negeri ini, terorisme bisa tumbuh subur karena hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku teror setengah hati, sehingga tidak membuat para teroris menjadi jemu dan jera, malah setelah keluar dari penjara mereka akan meningkatkan aktivitas tindakan mereka.
Jadi, ada kesan terorisme di Indonesia ini memang sengaja dibiarkan, bahkan seakan-akan diproyekkan karena kalau tidak ada terorisme bisa jadi sebagian aparat keamanan tidak mendapatkan proyek. Ini yang sangat kita sesalkan, mudah-mudahan itu salah.

Berarti Anda sepakat agar teroris dihukum seberat mungkin?
Iya, karena itu berkaitan dengan efek jera. Kaitannya dengan efek jera dan efektifitas suatu tindakan, maka tindakan represif asal represifnya tidak ngawur, terukur dengan di back up oleh aturan perundang-undangan yang jelas, saya pikir tidak menjadi persoalan. Dalam Islam ada yang namanya tindakan bagyu, al bagyu, dan orangnya disebut bughat. Orang yang melakukan tindakan itu hukumannya keras.
Kita harus menyelematkan bangsa yang besar ini dengan tidak mentolerir perbuatan segelintir orang, walaupun orang ini mengatasnamakan agama. Kita harus selamatkan umat dan bangsa yang besar ini, selamatkan kepentingan orang banyak, dan selamatkan kepentingan bangsa.

Kepentingan jama’ah dan umat itu harus diutamakan, harus diprioritaskan ketimbang segelintir orang tadi yang saya sebut aqolliyah al jahiroh itu. Sedangkan al aksariyah assomita ini yang harus diperioritaskan. Itulah yang dimaksud “al maslahatul amma muqoddamatun ala maslahatil khosso.

Lalu, langkah apa yang harus dilakukan pemerintah dalam menangani persoalan radikalisme ini?
Semestinya masalah radikalisme dan terorisme ini harus diantisipasi sejak awal melalui sosialisasi nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai keagamaan yang inklusif, tidak eksklusif. Selain itu, perlu menanamkan semangat kebangsaan, dan kebersamaan pada generasi kita.
Kita juga harus jujur bahwa Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara masih sangat relevan sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila merupakan filosofi bangsa yang harus dipegang teguh untuk menyatukan mereka. Saya kira tanpa Pancasila, sulit bangsa yang mejemuk seperti Indonesia ini untuk bisa bersatu.

Karena itu, kerinduan untuk kembali mensosialisasikan Pancasila merupakan kerinduan yang sudah pada tempatnya. Ketika kita berhadapan dengan ancaman disintegrasi, ancaman radikalisme, fundamentalisme, terorisme dan lain sebagainya itu, Pancasila merupakan salah satu cara untuk mensosialisasikan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan perdamaian yang sangat tepat.

Dalam hal ini, apakah signifikan pemerintah bekerjasama dengan civil society dan ormas?
Saya kira harus seperti itu. Pemerintah harus mengajak seluruh elemen masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Nahdhatul Waton, maupun Majelis Ulama Indonesia, dan elemen lain untuk bersama-sama mencari solusi mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme ini.

Bahkan, kalau perlu pemerintah juga harus bekerjasama dengan lembaga-lemaga atau institusi yang selama ini dicurigai sebagai kantong pencetak paham radikal dan terorisme itu. Ini harus menjadi agenda pemerintah dan ormas-ormas Islam untuk menjalankan program deradikalisasi.

Kerjasama dalam bentuk apa?
Kerjasama dalam hal ini bisa melalui pendidikan. Kerjasama ini dilakukan terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini dicurigai sebagai sarang pencetak terorisme maupun lembaga-lembaga pendidikan yang tidak disinyalir sebagai pencetak teroris. Karena di era keterbukaan ini, lembaga pendidikan bisa saja menjadi sasaran infiltrasi kelompok radikal dalam melakukan ideologisasi dan pengkaderannya.
******
Pascatragedi Bom Bali I, pemerintah telah melakukan banyak hal, seperti deradikalisasi sebagai upaya  preventif, maupun menangkap para pelaku tindakan terorisme dan memprosesnya secara hukum. Para pelaku tindak kejahatan terorisme yang ditangkap menjalankan rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan, dan ada juga yang sudah kembali ke masyarakat. Namun ada juga diantara mereka yang keluar dari penjarah justru melakukan tindakan terorisme lagi.

Saat ini banyak fenomena para eks narapidana terorisme setelah keluar dari penjara melakukan tindakan terorisme lagi.  Anda melihatnya seperti apa lembaga pemasyarakatan kita saat ini?
Memang, kita perihatin dengan lembaga pemasyarakatan saat ini. Dulu kita mengganti sistem penjara dengan lembaga pemasyarakatan karena penjara itu dianggap tidak manusiawi. Narapidana itu seharusnya diperlakukan secara manusiawi, dibina untuk bisa kembali kepada masyarakat sebagai insan-insan yang normal.

Namun hal itu adalah konsep, dan ide. Implementasi atau praktik di lapangan seringkali tidak seperti itu, apa yang disebut dengan pembinaan itu nol besar. Sehingga orang yang masuk lembaga pemasyarakatan yang tadinya hanya maling ayam, begitu keluar dari lembaga pemasyarakatan justru meningkat kelasnya menjadi perampok, bahkan pembobol bank.

Saya kira narapidana terorisme juga diperlakukan seperti itu. Pembinaan itu hanya slogan, pemasyarakatan mereka itu hanya slogan, tidak pernah dilakukan pembinaan kepada mereka secara serius. Jadi, konsep pemasyarakatan dilembaga pemasyarakatan kita masih lemah. Itu hanya sekedar omong kosong, kenyataannya justru di sana dibina oleh para penjahat yang lebih jago.
Karena itu, saya kira jalankan dulu sistem pemasyarakatan menurut teori yang benar agar ketika narapidana keluar bisa menjadi orang yang benar dan bisa kembali kepada masyarakat.
********
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa obrolan seputar radikalisme dan terorisme berlabel agama mengalir hingga adzan duhur berkomandang. Kami akhirnya mengakhiri perbincangan siang itu dengan menggaris bawahi bahwa Islam sebagai Dinus Salam tidak pernah mengajarkan tindakan yang tidak berkeprimanusiaan seperti tindakan terorisme itu. Jadi, Islam tidak mungkin dinisbatkan pada kekerasan, apalagi terorisme.

Selain itu, dalam rangka menghadang atau paling tidak meminimalisir tindakan radikalisme dan terorisme, pemerintah harus bersinergi dengan elemen masyarakat, civil society, dan ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Nahdhatul Waton, maupun Majelis Ulama Indonesia, dan elemen lain untuk bersama-sama mencari solusi mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme ini [Aziz].

Biodata
Nama                                    : Dr KH Abdul Malik Madaniy, MA
Tempat/Tanggal Lahir    : Bangkalan, 09 Januari 1952
Pendidikan;
-          S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
-          S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
-          S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Organisasi
-          Khatib ‘Am Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU)
-          Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
-          Wakil Ketua MUI Propinsi Yogyakarta

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)


SumberLazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar