Islam sebagai agama rahmat bagi alam
semesta tidak mengacu pada nama suku, nama bangsa, dan nama tokoh, tapi
Islam mengacuh pada sebuah nilai, yaitu nilai assalam atau assilmu, kedamaian dan keselamatan.
Islam adalah sebuah Dinus Salam, the religion of paace. Hal ini nampak jelas dalam syiar-syiar Islam, dalam ucapan salam. Assalamualaikum
itu menggambarkan bagaimana komitmen seorang muslim terhadap kehidupan
yang damai. Seorang muslim senantiasa mendoakan saudaranya dengan
kalimat “salam” yang artinya semoga keselamatan dan kedamaian senantiasa
menyertai Anda wahai saudaraku.
Bisa dikatakan juga “assalam” di situ sebagai salah satu diantara Sembilan Puluh Sembilan al-Asma’ul Husna,
berarti Allah yang maha salam, Allah sumber keselamatan dan kedamaian,
semoga senantiasa melindungi kalian, demikian pula rahmat dan
barokahnya.
Jadi, sangat jelas Islam tidak
mengajarkan kekerasan apalagi tindakan terorisme. Terorisme jelas tidak
mungkin dinisbatkan kepada Islam, tapi kepada orang-orang yang mengaku
sebagai orang Islam, mungkin saja karena kesalahan mereka dalam memahami
ayat dan ajaran Islam itu.
Paparan itu membuka perbincangan Lazuardi
Birru bersama Dr KH Abdul Malik Madani, MA, Katib “Am Pengurus Besar
Nahdhatul Ulama (PBNU). Pagi itu, di ruang dosen Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mantan Dekan
Fakultas Syari’ah ini menjawab pertanyaan-pertanyaan LB seputar problem
radikalisme dan terorisme berlabel agama.
Berikut petikan perbincangan LB dengan
Dosen Ilmu Tafsir dan peraih gelar Doktoral bidang ilmu tafsir dari
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mengenai kekerasan atas nama agama, bisa dijelaskan lebih mendalam?
Kekerasan atas nama agama jelas tidak
dibenarkan dalam situasi damai, seperti saat ini. Sekarang kita hidup
dalam keadaan damai, hidup dalam sebuah bangsa yang majemuk, dan tidak
ada peperangan diantara kita, maka tidak boleh ada kekerasan dengan
alasan mengajak pada Islam atau meluruskan penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dalam masyarakat.
Semua itu harus mengacu pada ajakan Alquran, yaitu “ud’u ila sabili robbika bil hikmati wal mauidatil hasanati wajadilhum bil adli hiya ahsan.”
Jadi harus ada kearifan dalam mengajak orang kepada jalan Allah. Karena
itu, kekerasan, sikap radikal dalam mengajak orang lain kepada agama
Allah, dalam mengajak kepada kebenaran tidak dapat dibenarkan.
Dalam pandangan saya, mengajak orang
kepada kebenaran atau melarang orang lain dari berbuat kemungkaran, tapi
dengan cara-cara kekerasan itu sama saja dengan apa yang diistilahkan
oleh al Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali dalam karya
monomentalnya “Ihya Ulumuddin.” Imam Ghazali mengibaratkan orang
tersebut dengan “izalatun najasati bil baul,” yaitu
menghilangkan najis dengan air kencing. Najis tidak menjadi suci, tapi
sebaliknya najis menyebar ke mana-mana dalam radius yang lebih luas dari
pada asal kemungkaran itu.
Para pelaku teror di
Indonesia sering mengutip ayat-ayat Alquran yang menyerukan perang
terhadap kaum kafir, Bagaimana pandangan Anda?
Mereka memahami ayat Alquran itu tidak
secara kontekstual, tapi benar-benar tekstual. Mereka adalah orang-orang
tekstualis yang biasa berpikir hitam dan putih. Ayat-ayat qital
diterapkan dalam konteks kehidupan yang damai seperti Indonesia, jelas
itu tidak bisa.
Ayat qital memang ada dan berlaku dalam
Alquran, tetapi dalam situasi perang. Ketika umat Islam berada dalam
situasi perang pada zaman nabi, maka berlakulah ayat tersebut. Namun
ketika kita hidup dalam kedamaian, dalam sebuah nation state seperti Indonesia ini, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menerapkan ayat qital dalam konteks yang seperti itu.
Secara tegas Anda mengatakan mereka salah dalam menafisrkan Alquran?
Iya, mereka salah menafsirkan ayat-ayat Alquran. Pemahaman mereka sangat sempit dan sangat dangkal dalam memahami Islam.
*******
12 Oktober 2002, negeri ini dikejutkan
oleh ledakan bom yang memorak-porandakan tempat hiburan dan wisata di
pulau dewata Bali. Aksi terorisme yang terjadi di Bali ini menelan
korban begitu besar. 202 nyawa melayang, sebagian besar adalah wisatawan
mancanegara.
Aksi yang tidak berkeprimanusiaan ini,
disinyalir ulah kelompok radikal, yang diduga kuat dilakukan oleh Imam
Samudra dkk. Ia merupakan aktivis Jamaah Islamiyah yang sering dikaitkan
dengan Alqaeda pimpinan Osama bin Laden.
Sebelum terjadi Bom Bali I, beberapa aksi
teror bom sudah terjadi di belahan negeri ini sejak tahun 2000, diawali
pengeboman Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada 1 Agustus 2000.
Beberapa pengamat menyebut bahwa aksi-aksi teror bom di tanah air dipicu
oleh fatwa Osama bin Laden pada Februari 1998. Kala itu Osama
mendeklarasikan World Islamic Front dan mengeluarkan fatwa yang menyerukan kewajiban berjihad melawan tentara dan warga sipil Amerika Serikat di mana pun berada.
Tragedi bom yang terjadi di tanah air,
tentu sangat merugikan Islam. Sebab, Islam yang dikenal sebagai agama
rahmat bagi alam semesta tercoreng akibat ulah sekolompok kecil yang
tidak bertanggung jawab. Dr KH Abdul Malik Madani, MA, sangat
menyayangkan atas sejumlah peristiwa memalukan yang mengatasnamakan
agama dan mencoreng citra Islam ini.
“Islam tidak mengajarkan kekerasan
apalagi tindakan terorisme. Terorisme jelas tidak mungkin dinisbatkan
kepada Islam, namun kepada orang-orang yang mengaku sebagai orang
Islam, mungkin saja karena kesalahan mereka dalam memahami ayat dan
ajaran Islam itu,” demikian Dosen Ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah UIN
Sunan Kalijaga menjelaskan.
Selain itu, Anggota Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat ini juga mengajak umat Islam untuk bersama-sama
mengembalikan image Islam sebagai agama cinta damai. Karena menurut dia,
mereka yang melakukan tindakan kekerasan dan berpaham radikal hanya
bagian kecil. Dan mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia
menginginkan hidup dalam kedamaian.
Mengenai kelompok kecil tadi, bisa dijelaskan lebih mendalam?
Sebenarnya mereka-mereka yang bersifat
radikal, senang kepada kekerasan dalam memperjuangkan nilai-nilai yang
diyakininya benar, jumlahnya tidak banyak. Dan mayoritas umat Islam
termasuk di Indonesia adalah muslim yang menginginkan hidup dalam
kedamaian.
Mainstream umat Islam di dunia termasuk
di Indonesia adalah masyarakat yang cinta damai, dan itu merupakan
esensi ajaran Islam, tapi ada segelintir orang yang senang kepada
kekerasan dan menganggap kekerasan itu sebagai pertanda kuatnya
keislaman seseorang. Ia beranggapan bahwa kalau seorang Muslim sudah
berhasil menakut-nakuti orang lain, ia merasa berada dan menjadi Muslim
yang paling kuat.
Ironisnya, meskipun mereka sedikit, namun suara mereka nyaring. Inilah yang saya istilahkan sebagai al aqolliyah al jahiroh,
minoritas tapi suaranya nyaring. Sebaliknya, mayoritas umat Islam yang
menjadi mainstream tadi, yang saya katakan cinta pada kedamaian ini
suaranya kurang terdengar, inilah yang saya sebut sebagai al aksariyah assomita,
mayoritas tapi tampak diam. Walapun sebenarnya, mereka ini tidak diam
sepenuhnya. Tapi masalahnya adalah peran dari media massa lebih senang
mem-bellow up suara-suara yang keras ini, walaupun mereka hanya mewakili
segelintir orang.
Lalu, konkritnya yang bisa kita lakukan apa?
Hemat saya, ke depan suara yang mayoritas
ini perlu mendapatkan porsi sesuai dengan kemayoritasannya. Namun
persoalannya, media kita seringkali tidak senang dengan yang datar-datar
itu. Justru yang disenangi adalah yang kontroversial, termasuk
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang sebenarnya sedikit itu.
Kalau ke depan suara yang mayoritas ini
bisa di bellow up oleh media massa, tentu citra Islam sebagai agama yang
damai akan terbukti kembali. Kita sangat dirugikan dengan munculnya
aliran-aliran sempalan yang sebenarnya adalah segelintir, tapi suaranya
nyaring –al aqolliya al jahiroh–, kita sangat dirugikan. Mengapa? Karena cira Islam sebagai Dinus Salam justru berbalik menjadi Islam sebagai Dinul Irhab, agama yang senang kepada teror, menakut-nakuti orang. Ini yang kita sesalkan dari perilaku sebagian kecil umat Islam ini.
Selama ini, Anda melihat langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam menangani radikalisme dan terorisme seperti apa?
Dalam segala hal, saya lihat pemerintah
kita ini bertindak setengah hati. Misalnya, pemberantasan korupsi
dilakukan setengah hati dan sangat mengecewakan, terlebih yang meyangkut
keseriusan menindak pelakunya. Di sini, kita melihat kecenderungan
tebang pilih sangat jelas, termasuk dalam menjatuhkan hukuman yang
membuat orang jera untuk melakukan tindak korupsi ini. Demikian pula
kaitannya dengan persoalan penanganan terorisme.
Di negeri ini, terorisme bisa tumbuh
subur karena hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku teror setengah hati,
sehingga tidak membuat para teroris menjadi jemu dan jera, malah setelah
keluar dari penjara mereka akan meningkatkan aktivitas tindakan mereka.
Jadi, ada kesan terorisme di Indonesia
ini memang sengaja dibiarkan, bahkan seakan-akan diproyekkan karena
kalau tidak ada terorisme bisa jadi sebagian aparat keamanan tidak
mendapatkan proyek. Ini yang sangat kita sesalkan, mudah-mudahan itu
salah.
Berarti Anda sepakat agar teroris dihukum seberat mungkin?
Iya, karena itu berkaitan dengan efek
jera. Kaitannya dengan efek jera dan efektifitas suatu tindakan, maka
tindakan represif asal represifnya tidak ngawur, terukur dengan di back
up oleh aturan perundang-undangan yang jelas, saya pikir tidak menjadi
persoalan. Dalam Islam ada yang namanya tindakan bagyu, al bagyu, dan orangnya disebut bughat. Orang yang melakukan tindakan itu hukumannya keras.
Kita harus menyelematkan bangsa yang
besar ini dengan tidak mentolerir perbuatan segelintir orang, walaupun
orang ini mengatasnamakan agama. Kita harus selamatkan umat dan bangsa
yang besar ini, selamatkan kepentingan orang banyak, dan selamatkan
kepentingan bangsa.
Kepentingan jama’ah dan umat itu harus diutamakan, harus diprioritaskan ketimbang segelintir orang tadi yang saya sebut aqolliyah al jahiroh itu. Sedangkan al aksariyah assomita ini yang harus diperioritaskan. Itulah yang dimaksud “al maslahatul amma muqoddamatun ala maslahatil khosso.”
Lalu, langkah apa yang harus dilakukan pemerintah dalam menangani persoalan radikalisme ini?
Semestinya masalah radikalisme dan
terorisme ini harus diantisipasi sejak awal melalui sosialisasi
nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai keagamaan yang inklusif, tidak
eksklusif. Selain itu, perlu menanamkan semangat kebangsaan, dan
kebersamaan pada generasi kita.
Kita juga harus jujur bahwa Pancasila
sebagai ideologi berbangsa dan bernegara masih sangat relevan sebagai
pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila merupakan filosofi
bangsa yang harus dipegang teguh untuk menyatukan mereka. Saya kira
tanpa Pancasila, sulit bangsa yang mejemuk seperti Indonesia ini untuk
bisa bersatu.
Karena itu, kerinduan untuk kembali
mensosialisasikan Pancasila merupakan kerinduan yang sudah pada
tempatnya. Ketika kita berhadapan dengan ancaman disintegrasi, ancaman
radikalisme, fundamentalisme, terorisme dan lain sebagainya itu,
Pancasila merupakan salah satu cara untuk mensosialisasikan nilai-nilai
kemanusiaan, persatuan, dan perdamaian yang sangat tepat.
Dalam hal ini, apakah signifikan pemerintah bekerjasama dengan civil society dan ormas?
Saya kira harus seperti itu. Pemerintah
harus mengajak seluruh elemen masyarakat dan organisasi kemasyarakatan,
seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Nahdhatul Waton, maupun
Majelis Ulama Indonesia, dan elemen lain untuk bersama-sama mencari
solusi mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme ini.
Bahkan, kalau perlu pemerintah juga harus
bekerjasama dengan lembaga-lemaga atau institusi yang selama ini
dicurigai sebagai kantong pencetak paham radikal dan terorisme itu. Ini
harus menjadi agenda pemerintah dan ormas-ormas Islam untuk menjalankan
program deradikalisasi.
Kerjasama dalam bentuk apa?
Kerjasama dalam hal ini bisa melalui
pendidikan. Kerjasama ini dilakukan terhadap lembaga-lembaga pendidikan
yang selama ini dicurigai sebagai sarang pencetak terorisme maupun
lembaga-lembaga pendidikan yang tidak disinyalir sebagai pencetak
teroris. Karena di era keterbukaan ini, lembaga pendidikan bisa saja
menjadi sasaran infiltrasi kelompok radikal dalam melakukan ideologisasi
dan pengkaderannya.
******
Pascatragedi Bom Bali I, pemerintah telah
melakukan banyak hal, seperti deradikalisasi sebagai upaya preventif,
maupun menangkap para pelaku tindakan terorisme dan memprosesnya secara
hukum. Para pelaku tindak kejahatan terorisme yang ditangkap menjalankan
rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan, dan ada juga yang sudah kembali
ke masyarakat. Namun ada juga diantara mereka yang keluar dari penjarah
justru melakukan tindakan terorisme lagi.
Saat ini banyak fenomena para
eks narapidana terorisme setelah keluar dari penjara melakukan tindakan
terorisme lagi. Anda melihatnya seperti apa lembaga pemasyarakatan
kita saat ini?
Memang, kita perihatin dengan lembaga
pemasyarakatan saat ini. Dulu kita mengganti sistem penjara dengan
lembaga pemasyarakatan karena penjara itu dianggap tidak manusiawi.
Narapidana itu seharusnya diperlakukan secara manusiawi, dibina untuk
bisa kembali kepada masyarakat sebagai insan-insan yang normal.
Namun hal itu adalah konsep, dan ide.
Implementasi atau praktik di lapangan seringkali tidak seperti itu, apa
yang disebut dengan pembinaan itu nol besar. Sehingga orang yang masuk
lembaga pemasyarakatan yang tadinya hanya maling ayam, begitu keluar
dari lembaga pemasyarakatan justru meningkat kelasnya menjadi perampok,
bahkan pembobol bank.
Saya kira narapidana terorisme juga
diperlakukan seperti itu. Pembinaan itu hanya slogan, pemasyarakatan
mereka itu hanya slogan, tidak pernah dilakukan pembinaan kepada mereka
secara serius. Jadi, konsep pemasyarakatan dilembaga pemasyarakatan kita
masih lemah. Itu hanya sekedar omong kosong, kenyataannya justru di
sana dibina oleh para penjahat yang lebih jago.
Karena itu, saya kira jalankan dulu
sistem pemasyarakatan menurut teori yang benar agar ketika narapidana
keluar bisa menjadi orang yang benar dan bisa kembali kepada masyarakat.
********
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa
obrolan seputar radikalisme dan terorisme berlabel agama mengalir hingga
adzan duhur berkomandang. Kami akhirnya mengakhiri perbincangan siang
itu dengan menggaris bawahi bahwa Islam sebagai Dinus Salam
tidak pernah mengajarkan tindakan yang tidak berkeprimanusiaan seperti
tindakan terorisme itu. Jadi, Islam tidak mungkin dinisbatkan pada
kekerasan, apalagi terorisme.
Selain itu, dalam rangka menghadang atau
paling tidak meminimalisir tindakan radikalisme dan terorisme,
pemerintah harus bersinergi dengan elemen masyarakat, civil society,
dan ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Nahdhatul
Waton, maupun Majelis Ulama Indonesia, dan elemen lain untuk
bersama-sama mencari solusi mengatasi persoalan radikalisme dan
terorisme ini [Aziz].
Biodata
Nama : Dr KH Abdul Malik Madaniy, MA
Tempat/Tanggal Lahir : Bangkalan, 09 Januari 1952
Pendidikan;
- S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Organisasi
- Khatib ‘Am Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU)
- Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
- Wakil Ketua MUI Propinsi Yogyakarta
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar