Rabu, 12 Februari 2014

Antara Pemimpin dan Akhlak Masyarakat Islam

Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*

Bisa di pastikan bahwa dalam diri seorang pemimpin yang baik, yang takut kepada Tuhan-Nya akan lebih hati-hati terhadap perkara yang menyangkut hajat hidup orang banyak, baik dari tanggung jawab kesejahteraan seperti makan, tempat tinggal, kenyamanan, dan jalanan untuk sekedar bepergian. Hal tersebut semuanya merupakan tanggung jawab pemimpin kepada yang dipimpin begitu juga tanggung jawab tersebut tidak hanya sebatas manusia tapi suatu saat nanti ketika dunia ini telh tiada, Allah sudah mengumpulkan manusia menanyakan tentang usia dan amanah, dikemanakan, untuk apa, dengan siapa, berbuat apa, jika dalam pengadilan Allah SWT keadilan itu tidak terpenuhi maka inilah nanti yang akan menjadi penghalang mendapatkan rahmat Allah SWT. 
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Beliau mengangkat seorang gubernur di Mesir bernama “Amru bin Ash”. Suatu hari, gubernur ini melakukan pengenalan medan di wilayahnya. Beliau mengelil­ingi wilayah kekuasaannya sambil silaturahim dengan segenap rakyatnya.’Dalam melakukan survey, pak Gubernur banyak menerima info dari berbagai pihak, baik dari rakyat maupun pejabat. Pada acara survey lapang, beliau melihat peman­dangan yang tidak indah di depan istananya yang megah. Di depan istana itu terdapat sebuah gu­buk reot milik masyarakat yang tidak mengenak­kan sehingga terbetik di dalam pikiran gubernur untuk membangun sebuah masjid megah di sep­utar lokasi tersebut. Ketika gubuk reot dan tanahnya akan di ambil oleh sang gubernur, maka sang Yahudi menolak walau di tukar dengan sejumlah uang yang berlipat, maka sang Yahudi tua ini menuntut keadilan ke Khalifah Umar bin Khattab, sang Khalifah menjamu, dan mendengar keluhan sang Yahudi tersebut, dan hanya menyampaikan untuk membawa tulang yang bertuliskan garis lurus dan gambar pedang dalam tulang tersebut, Seketika mendapat pesan dari Amirul Mu’minin maka kontan saja pucat berubah muka sang gubernur, dia mengetahui pesan tersebut untuk menegakkan keadilan dan jika tidak pedang Umar lah yang akan meluruskan. Ini artinya ketegasan, keadilan dan hukum berlaku untuk semua kalangan, begitulah seharusnya pemahaman tentang hukum atau keadilan yang tidak hanya sekedar dalam teori dan undang-undang saja. 
Permasalahan kepemimpinan itu tentunya bukan masalah kecil, ada banyak perlawanan dan ujian yang di hadapkan atasnya, tanggung jawab pemimpin ini juga merupakan tanggung jawab yang tidak mudah, maka tidak heran akan siapa pun yang menjadi pemimpin yang adil akan menjadi penghuni surganya Allah SWT. Melihat tanggung jawab besar ini, apakah lantas kemudian kita mencoba apatis terhadap kebijakan negara atau pimpinan, kehidupan bernegara adalah kehidupan demokrasi yang banyak hal perlu di pertimbangkan untuk mengatur hajat hidup orang banyak seperti misalnya di wilayah kesatuan republik Indonesia, berbagai macam suku, budaya, agama, dan politik menjadi bagian di dalamnya, menjadi tidak layak kiranya jika segala kebijakan, dan usaha yang di lakukan oleh pemerintah justru di cemoohkan apalagi sampai di hakimi dengan pembahasan kasar, seperti misalnya kafir, thagut, dan lain sebagainya, atau juga mungkin saja mencoba untuk membangun kekuatan untuk meruntuhkan penguasa dan menghancurkan negara.
Beberapa hal yang membuat sengketa di dalam agama dan negara harus di urai dan di pecahkan permasalahan nya, hingga persoalan bisa terjawab untuk kebersamaan, kebaikan semua suku, budaya dan agama. Sungguh tidak benar jadinya jika dalam proses kehidupan berbangsa, tatanan yang sudah hidup, dan di perjuangkan oleh the founding fathers ternyata di tunggangi ideologi yang mencoba memecah belah umat, bahkan tidak segan-segan menuduh secara langsung akan kafirnya orang yang muslim, menyatakan halal darah maupun berjihad kepada penguasa. Pemahaman yang tidak cerdas tentunya jika hanya berdalih dengan secara harfiah al Quran surat al Maidah ayat 44. 
Para ulama mengatakan ini, sebab mengambil faham harfiyah, dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim “kafir” secara mutlak terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri. Dalam hadits rasulullah saw, beliau bersabda.
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Siapa saja yang menyebut kepada saudaranya: Hai Kafir, maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang dari mereka. Jika memang benar apa yang dikatakan itu, maka benar, dan jika tidak, maka kekafiran itu kembali pada yang mengatakannya (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan hal iman man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).
Kekeliruan dalam memahami QS. al-Maidah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara dan menjadi ideologi kelompok tertentu. Gegabah dalam memvonis sebagai negara kafir atau penguasa kafir ini sering membawa sikap yang merugikan islam, sehingga konskwensinya adalah munculnya pemberontakan dan huru hara, dan yang menjadi korban adalah rakyat jelata yang tidak berdosa. Jika melihat tentang sebab turun ayat yang menjadi dalil atau hujjah para kelompok radikal yang dengan mudah menuduh dan melakukan penyerangan dengan bahasa kafir ini maka dapat di temukan akar permasalahannya adalah bahwa  ayat ini turun mengenai orang-orang Yahudi yang merubah-rubah kalam Allah sebagaimana tertera dalam hadits, mereka adalah orang-orang kafir, maka hukumnya sama dengan orang yang menyerupai sabab turunnya ayat tersebut. 
Pemikiran takfiri seperti itu jelas keliru ditinjau dari beberapa hal: (1) Terlalu mudah hanya karena perbedaan pandangan  (2) Salah menempatkan ayat-ayat al-Qur`an tentang kafir, yang seharusnya ayat tersebut tujuannya adalah untuk orang kafir, ditujukan kepada orang beriman. (3) Menyamaratakan konsep kafir menjadi kafir akbar semata. Akibatnya yang masuk kategori kafir ashghar/amali pun dikategorikan kafir akbar dan dinyatakan murtad. (4) Keliru memahami konsep murtad yang seharusnya khuruj ‘minal-millah (keluar dari agama) menjadi dipersempit pada tidak menetapkan hukum Allah. (5) Memvonis thaghut kepada pemerintah dan menyamaratakan begitu saja semua muslim yang terlibat dalam pemerintahan sebagai pendukung thaghut. Dalam hal ini tampak pengingkaran mereka terhadap jasa perjuangan tokoh-tokoh Islam yang dari sejak sebelum kemerdekaan sampai masa kemerdekaan berjuang mati-matian menjadikan Negara ini Islami, meski memang belum berhasil secara kaffah.
Al Quran sendiri menjelaskan bahwa hidup adalah untuk ber ta’abbud, beribadah kepada Yang Maha Esa (QS. ad-Dzariyat: 56). Pengejawantahan ta’abbud ini tidak hanya dilakukan dalam ritual resmi sholat saja, melainkan dalam berbagai bidang kehidupan harus dilandasi dengan tujuan ta’abbud. Sehingga ketika kehidupan dijalani dengan ikhlas untuk berta’abbud, maka konsekuensinya adalah keadilan terhadap diri sendiri, keadilan terhadap sesama, keadilan terhadap alam; kejujuran dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan; selalu berusaha untuk menciptakan rasa kedamaian, kerukunan, kesatuan dan persatuan; yang pada dasarnya Islam mengajarkan untuk selalu bersikap tawazzun, seimbang dalam segala hal.
Masyarakat dan orang yang ingin mendalami agama harus lebih bijak dalam memaknai ajaran agamanya sehingga tidak membuat dirinya menjadikan bangsa sebagai musuhnya. Hal yang harus di lakukan seharusnya adalah dengan menjaga keberanekaan dan kedamaian seluruh elemen bangsa. Mencoba memberikan nasehat yang baik bila memang di butuhkan oleh penguasa, jihad yang paling baik adalah mencoba memberikan sesuatu hal yang berarti buat negeri ini, tanpa harus memusuhi dan menciptakan bara api permusuhan di tengah umat. Masyarakat harus saling bahu membahu, tolong menolong untuk menciptakan kesejahteraan untuk kepentingan bersama, selama agama masih tetap bisa berjalan dan hukum nya masih bisa di laksanakan oleh individu atau pemeluk nya maka tidak ada alasan untuk menolak kedaulatan republik Indonesia tercinta, Undang-undang Dasar, dan kebhinnekaan lainnya. Itulah akhlak Islam sesungguhnya dalam bermasyarakat dan bernegara.
*Penulis adalah Alumni Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar