Kamis, 13 Februari 2014

Akal Sebagai Anugerah Untuk Pengelola Bumi


Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*


Dalam sebuah tulisan di media jejaring sosial seseorang membuat sebuat statemen dalam statusnya yang sekira-kira bunyinya “Hore, kita sudah memasuki alam demokrasi, alam kebebasan, dimana orang bebas berbicara apa saja, kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja tanpa harus meyegani ruang dan waktu, inilah dia negara kebebasan yang dinamakan demo crazy”. Di sisi lain dalam waktu diskusi bahkan hal ini sering di buat menjadi isi sebuah artikel dan opini dengan melempar sebuah pernyataan seperti ini “Bahwa kita jangan terlalu melampaui pemikiran para jumhur ulama karena pada dasarnya mereka adalah orang yang serius mengeluarkan ijtihad memberikan fatwa”, dua hal kasus ini sebenarnya adalah mereka orang yang tidak ingin direpotkan dengan kebebasan berpikir karena beranggapan justru kebebasan ini telah mencederai sesuatu hal yang paling substantif dari sebuah tradisi.
Dari dua kasus tersebut dapat di pastikan sebenarnya mereka itu memang mempunyai sebuah idealisme tetapi tidak diiringi dengan logika ijtihad yang elastis, corak berpikir maju dengan melakukan uji coba terhadap hasil ijtihad, bukankah ijtihad itu juga merupakan wilayah yang masuk dalam pemikiran. Sepanjang apa yang kita sampaikan itu merupakan hasil dari olah pikir yang mendalam, bisa di pertanggungjawabkan adalah hal yang sah-sah saja karena memang pada dasarnya masa terus berputar kehidupan silih berganti, meyakini bahwa kebenaran itu adalah satu merupakan bentuk sebuah keegoan sementara itu logika keduniawiaan yang selalu dikaitkan dengan logika mistik tanpa pendekatan yang relevan sesuai dengan zamannya dari budaya, sosial, pendidikan, politik maka ia hanyalah mimpi untuk memeluk sebuah peradaban.
Dalam sejarah kita pernah berjaya di masa peradaban klasik Islam di zaman hidupnya rasulullah saw dan sahabat, begitupun setelahnya yaitu ditahun 650-1250 seperti yang disebut oleh Harun Nasution sebagai pejuang awal pendirian sekolah pasca sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bukunya Islam Rasional, bahwa  masa kecemerlangan  Islam yang di istilahkannya sebagai “The golden age of science in Islam”, karena  pada dasarnya frame yang ada di masa klasik itu merupakan pemikiran yang terurai tanpa di kungkung oleh satu ideologi dan kepentingan. Pemikiran itu di giring untuk mencoba meretas kebekuan ijtihad menemukan sesuatu hal yang tersembunyi melalaui ayat-ayatnya Allah SWT baik yang tersirat maupun tersurat. Yaitu tertulis dalam kitab-Nya atau yang terbentang di alam. Semua di baca untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, meramu pemikiran itu sesuai dengan nilai syariat, tanpa harus khawatir terhadap asing, kafir dan lain sebagainya. mereka para shalafussaleh adalah orang-orang yang berjuang demi idealisme dan melihat dari berbagai hal dalam mewujudkan tatanan maqasid syariah (tujuan syariat) tersebut.
Pemikiran masa lalu tidak harus selalu diterapkan di masa modern karena alam, kebijakan, dan kemajuan sudah jauh berubah, pemaksaan terhadap frame yang pernah berjaya untuk konteks kekinian adalah bentuk ketidak adilan terhadap masa depan, bukankah peradaban klasik yang kita banggakan itu juga ternyata mengagungkan kebebasan berpikir, di situlah banyak terlahir mufassir, fuqaha, filsuf, cendikiawan, sastrawan dan lain sebagainya karena memang seperti penulis kutip dari pernyataan Musa Asyari sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta bahwa Kebebasan berpikir adalah anak kandung peradaban.
Sepanjang pemikiran itu dibingkai dengan sebuah konsep yang sistematis, penalaran yang logis dan mempunyai teori-teori yang kuat untuk mendukung sebuah argumen adalah suatu keharusan sebagai tuntutan zaman, tentunya bukanlah pemikiran yang serampangan asal bicara, karena disitulah letak anugerah dari sebuah akal yang di berikan oleh sang Tuhan dan ketika  akal logis ini kita pergunakan maka hasilnya adalah penguasaan terhadap dunia sebagai wahana untuk mensyukuri nikmat Tuhan itu sendiri, karena kita disebut sebagai khalifah justru memang ketika kita harus mampu menjadi pengelola yang baik, pengelola yang baik itu akan hadir ketika kita mampu berpikir cerdas dan kreatif. Bukan hanya deontologis mengagungkan kebesaran Tuhan atau teks wahyu tanpa pikir panjang bagaimana sesungguhnya teks itu menjadi sesuatu hal yang lebih hidup transpormatif humanistik.
Ada tiga pola yang menjadi kecenderungan manusia, pertama adalah ide tanpa aksi, kedua aksi tanpa ide dan ketiga adalah ide diiringi dengan aksi atau langkah nyata,  dua hal pertama hanyalah sesuatu yang tidak berarti bahkan terlepas hukum, hal ini disebabkan karena ide merupakan pemikiran yang hanya terlintas dalam akal dan hati tanpa perbuatan, artinya tidak ada yang tahu karena ia memang tidak terbukti, kedua aksi tanpa ide, walaupun banyak orang berpikir gelap terhadap tuntutuan nafsunya, tapi lebih tepatnya hal ini hanyalah diperkhususkan kepada orang yang tidak mempunyai akal, walaupun berbuat dengan sesuatu hal yang tidak bermoral tetap saja ia tidak bisa diperkarakan, sedangakan pola pemikiran berikutnya adalah mereka yang bertanggung jawab atas perbuatannya tetapi tetap ada saja orang yang berpikiran abu-abu dalam menutupi kebobrokan dan kejahatannya, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan seseorang misalnya berbuat korup, telah terbukti nyata, namun segala bentuk dan tindakan tersangka seolah menyulitkan para penyidik, berkelit dalam kebobrokan yang sudah terbukti guna untuk menyelamatkan diri dari dakwaan sosial atau mungkin juga untuk meringankan dari sebuah tuntutan hukum. 
Aksi-aksi kekerasan atas nama agama, budaya, dan membendung ijtihad bukanlah solusi dan bentuk kebebasan yang beradab, ketika kelompok-kelompok tertentu mengharamkan demokrasi dengan segala macam kebebasan yang di anugerahkannya dalam berdinamika dan berdialog, justru di saat itu golongan tersebut sesungguhnya memakai demokrasi sebagai alat untuk menghakimi orang yang berbeda, sebagai lawan, menyebut kafir, dan berperang seolah atas nama Tuhan.  Pemikiran yang di sarikan atas nama syariat Islam ini sesungguhnya akan memelihara perkembangan dan mewujudkan kemanusiaan, harmonisasi dan peradaban. Jika menolak perbedaan dan pemikiran, yang ada, maka sama halnya telah menolak akan takdir dan ketetapan Allah SWT. Sikap optimisme dan aspirasi-aspirasi logis yang tiada henti inilah sesungguhnya yang diinginkan oleh bangsa ini untuk sebuah kemerdekaan yang utuh, bermartabat dan lebih baik karena pada dasarnya itulah yang menjadi fundamen the founding fathers nya negeri ini.
*Penulis adalah Alumni Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar