Jumat, 14 Februari 2014

Titik Temu Ideologi Politik Demi Kesejahteraan Bangsa



Rahmat Kurnia Lubis*


Sejarah politik klasik mengisyaratkan bahwa kekuasaan lahir dari ketidakmungkinan individu mengatur diri sendiri akibat sarat nya kepentingan yang berbenturan. Jika pemikiran politik modern menyadari bahwa kekuasaan dalam bentuk negara diperlukan untuk membina kehidupan individu, maka kondisi ideal negara adalah perpanjangan tangan kekuasaan rakyat. Akan tetapi, kondisi ideal tersebut senantiasa berbenturan dengan realitas politik yang terhampar di depan mata rakyat.

Sering digambarkan bahwa mereka yang ada di kiri dikategorikan sebagai penganut sosialisme dan karena itu mempercayai pentingnya persamaan (equality) dan yang di kanan dikategorikan sebagai penganut kapitalisme dan karena itu mempercayai pentingnya kebebasan individu. Di tengah-tengah adalah mereka yang menganut campuran antara kebebasan dan persamaan dan menganut kebijaksanaan negara kesejahteraan (welfare state capitalism). Tetapi, dalam kenyataannya realitas politik modern tidak lagi sesederhana seperti yang digambarkan tersebut. Studi filsafat politik menunjukkan bahwa ada banyak posisi di antara ketiga titik itu. Jelasnya bahwa pembedaan prinsip dan haluan politik sebagai sebuah garis yang membentang antara kiri dan kanan semakin tidak memadai. Muncullah berbagai macam aliran seperti feminisme atau komunitarianisme, aktivisme, sekulerisme, liberalisme, dan begitupun yang berhaluan teologi. 

Belajar dari hal ini maka kita menyadari sepenuhnya, bahwa dengan meletakkan teori dalam kebijakan bukan berarti sejak saat itu dengan mudah merubah masyarakat atau selesailah pengaturan persoalan, tetapi sejak saat itu pula persoalan baru timbul. Hal ini berarti disatu sisi manusia membuat peraturan tetapi disisi lain ia tidak mampu untuk menguasai segala hal yang diaturnya. Timbullah kesenjangan dari apa-apa yang tertulis dalam peraturan dengan apa-apa yang terjadi dalam masyarakat sebagai penerapan peraturan, seperti yang dikenal dengan penyakit (patologi ) kejahatan dalam berbirokrasi dan mengelola negara. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan bukanlah sesuatu yang mudah dan jelas seperti keinginan bunyi pasal dalam peraturan tetapi sarat dengan intervensi metayuridis. Begitupun pembahasan dengan suatu kajian keagamaan, yaitu  berbicara adil dalam konteks agama dengan menyampaikan hukuman/sanksi yang di berikan tentu belum memberikan jaminan untuk sebuah efek jera bagi kehidupan. Sepertinya juga disisi yang lain orang bisa saja khawatir memberikan kebijakan dan akhirnya sistem, anggaran, dan kontrol berjalan di tempat karena khawatir salah mengambil kebijakan akhirnya harus mati dan qhisos seperti dalam hukum agama Islam. Disisi yang lain kita juga harus menghormati kehidupan, karena bisa jadi dengan hukum positif dalam sebuah negara yang berkonstitusi seorang pelanggar hukum bisa bertaubat, artinya negara masih memberikan hak kehidupan bagi yang mau memperbaiki kesalahan.

Dengan adanya sebuah lembaga yang legal, wajar dan formal, seperti halnya legislatif, kemudian pihak eksekutif dan yudikatif yang tidak buta dengan sisi-sisi kebenaran dan kemanusiaan yang dikawal oleh panggung demokrasi oleh lembaga konstitusi juga mereka yang terdiri dari komponen masyarakat yang cukup beragam,  menghilangkan keegoan, merelatifitaskan sebuah keputusan, karena mungkin keputusan kita masih ada yang paling layak dan paling relevan menjadi tonggak awal sebuah kemajuan dan peradaban. Ketika melihat realitas politik, elit dan partai menjelang pemilu di bulan April yaitu legislatif dan proses menuju presiden ini, maka harus di sadari bahwa tugas ini bukan hanya untuk satu rumpun, ideologi dan kepentingan saja, maka harus di pikirkan untuk kepentingan bersama. Partai dan politik boleh berbeda, saling berusaha mengambil hati konstituen atau masyarakat nya, tapi tetaplah saling menjaga untuk persatuan bangsa, tidak perlu untuk saling menjatuhkan black campaign ketika iri melihat kepala daerah, politisi atau partai lain yang sedang bekerja, berbicara dengan kerja, tentunya lebih baik dari pada mencari-cari kesalahan orang lain. Jangan sampai para elit bangsa ini keasyikan mencari kelemahan lawan politik dan akhirnya meninggalkan ssuatu yang amanah yaitu bekerja untuk kepentingan masayarakatnya.

Di lain pihak, ada saja ideologi atau suara yang di kampanyekan dalam rangka menolak demokrasi dan pemilu ini,  adalah suatu hal yang tidak dapat di benarkan, karena saat ini bahwa tatanan yang dapat menghimpun kesatuan kita adalah demokrasi dan konstitusi yang telah di bahasakan dengan bahasa netral mengayomi semua kalangan. Ini merupakan konsep yang sangat baik untuk kemajemukan tentunya di negeri ini. Dalam bingkai demokrasi aturan syariat untuk setiap individu sudah di berikan kebebasan nya yaitu untuk beribadah dan menyampaikan ajaran nya, lembaga-lembaga/institusi formal bahkan undang-undang sudah masuk dalam lingkaran demokrasi ini. Jika kita berdalih untuk mengharamkan demokrasi namun di sisi yang lain justru ikut menikmati demokrasi baik secara kebebasan bersuara, pekerjaan sebagai abdi negara, dan mengikut kepada system dan aturan bangsa ini tentunya suatu hal yang sangat berbenturan sekali. Pada intinya sesuai dengan aturan ushul fiqh bahwa apa-apa yang kita tidak bisa melkukannya semua maka jangan pernah meninggalkannya semua. Maka lakukanlah perubahan menuju kebaikan itu secara proses dan bertahap. Kemudian yang paling fatal lagi adalah jika paham radikalisme di negeri ini mencoba ingin mengubur hidup sejarah perjuangan bangsa dengan menggantikannya dengan sejarah baru, tidak peduli terhadap kemajemukan dan pemikiran yang berbeda, mereka berbuat keras untuk meraih mimpi-mimpi nya. Hal ini tentunya bukanlah suatu kebajikan dan kebijakan yang tepat dalam melihat perbedaan.  

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religious dan mempunyai filsafat hidup yang mencerminkan pandangan moral yang kuat. Suasana perubahan dalam masyarakat dengan sekalian problem nya tersebut membutuhkan suatu disiplin ilmu yang berangkat dari metode observasi terhadap kenyataan. Dengan observasi yang jujur kita akan mampu mencatat sekalian hal yang terjadi, termasuk observasi kita mengenai bagaimana bekerja menghadapi perubahan-perubahan tersebut, bagaimana ia “dijalankan”, “dibelokkan”, “didiamkan”, dan sebagainya. Dengan melakukan sebuah pembahasan konkrit yang teruji, terukur dan di terima semua kalangan negeri dan agama suku bangsa ini menjadi bermartabat. Hanya observasi yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa mampu membuat deskripsi yang jujur. Indonesia bukan sebatas wacana teologis, pragmatis dan apatis dalam mewujudkannya menjadi negara besar tapi ia milik semua bangsa yang bersama dalam mewujudkan negara beradab, berketuhanan yang sesuai dengan pengembangan negara dalam Islam yatiu baldhatun thayyibatun warabbun ghafur.


*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar