Radikalisme agama di Indonesia berbahaya
karena menyasar anak muda yang wawasan keislamannya tidak mendalam serta
orang miskin yang dilemahkan oleh kekuasaan. Dalam situasi tersebut,
radikalisme agama digunakan sebagai instrumen perlawanan terhadap
pemerintahan.
Pandangan tersebut dikemukakan oleh
intelektual muda muslim, Zuhairi Misrawi, kepada Lazuardi Birru
menanggapi maraknya keterlibatan generasi muda dalam gerakan Islam
radikal. Dalam hematnya, radikalisme agama di Indonesia bertumbuh pesat
dipicu oleh infiltrasi pemahaman keagamaan dari jazirah Arab melalui
jaringan internet dan social media.
“Dulu infiltrasi pemahaman relatif lamban
karena sarana komunikasi yang terbatas. Tapi sekarang pertukaran paham
berjalan sangat luar biasa. Sementara itu, penangkal radikalisme tidak
cukup kuat lantaran ide-ide pencerahan tidak berkembang masif di social media, melainkan
lebih tersentralisasi di pusat-pusat pendidikan seperti pesantren,”
ungkap Ketua Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta ini.
Pada saat yang bersamaan, lanjut Gus Mis, sapaan akrabnya, ada euphoria
keagamaan di kalangan kelas menengah. Kesadaran keberislaman mereka
menguat namun tidak diimbangi oleh proliferasi pemahaman keagamaaan yang
moderat terhadap mereka oleh kelompok agamawan. Tak ayal, banyak
kelompok menengah perkotaan yang menerima paham-paham radikal tanpa reserve.
“Namun itu fenomena sesaat. Pasalnya,
sejatinya pemahaman keislaman yang radikal bertentangan dengan watak
kelas menengah yang sangat nasionalis dan inklusif. Pada awalnya mungkin
mereka tertarik dengan pemikiran radikal namun seiring waktu terus
berusaha melakukan penyaringan hingga akhirnya radikalisme agama tidak
menarik lagi,” terang Gus Mis.
Karena itu, urai alumnus Universitas Al
Azhar Mesir itu, radikalisme agama lantas menyisir ruang kelompok yang
cukup sensitif yaitu generasi muda yang gairah keagamaannya baru tumbuh
dan tidak mempunyai wawasan keislaman yang luas, serta orang-orang
miskin yang secara ekonomi dilemahkan oleh kekuasaan.
Melihat fakta ini, Gus Mis mengimbau
kepada pemerintah agar melakukan langkah strategis pada dua ranah
kehidupan kebangsaan sekaligus yaitu politik kekuasaan dan masyarakat
sipil.
“Langkah-langkah politik harus cepat
diambil untuk menghidupkan kembali pemahaman tentang keindonesiaan.
Bahwa dalam berbangsa dan bernegara kita harus memiliki pandangan yang
sama tentang pentingnya persaudaraan berbasis keindonesiaan. Di sini
peran lembaga pendidikan sangat penting, pengentasan kemiskinan sangat
mendesak, penegakan hukum yang adil juga niscaya,” tegas pria asli
Madura ini.
Kedua, pada ranah civil society,
khususnya umat Islam, pemerintah harus memfasilitasi kelompok-kelompok
Islam moderat agar lebih aktif membangun kesadaran keagamaan yang
toleran dan humanis di tengah-tengah masyarakat, serta mencoba untuk
berdialog dengan kelompok-kelompok radikal secara lebih intensif.
“Dialog adalah pendekatan dari hati ke
hati, bukan sekadar retorika dalam konteks untuk membenarkan atau
menyalahkan tetapi meletakkan Islam pada porosnya. Bahwa Islam harus
dipahami secara kontekstual, komprehensif dari pelbagai pendekatan,
Indonesiawi, dan humanis. Itu semua memang butuh kerja keras,” ucap Gus
Mis. (Fiq)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar