Tak
terasa kita hampir memasuki tahun ke-40 sejak Perserikatan Bangsa- Bangsa
(PBB) mencanangkan Dekade untuk Perempuan di tahun 1975.
Sungguh waktu yang tidak singkat untuk ide yang waktu itu dianggap
revolusioner. Waktu itu, Majelis Umum PBB mencanangkan tiga dasar untuk
mengarahkan kegiatankegiatan PBB agar tidak lupa pada dimensi perempuan,
yakni untuk memenuhi kesetaraan gender. Kemudian menghapus diskriminasi
atas dasar gender, serta mengikutsertakan perempuan secara penuh dalam
pembangunan.
Selain itu, meningkatkan kontribusi perempuan bagi penguatan perdamaian
dunia, dan mencapai target-target mini-mum agar perempuan memiliki akses
yang sama dengan laki-laki dalam hal mendapatkan peluang pendidikan,
bekerja, berpolitik, mendapatkan layanan kesehatan, gizi serta program
keluarga berencana. Alasan pemberian fokus pada perempuan tidaklah
dimaksudkan untuk mengecilkan perhatian terhadap lakilaki.
Arahnya untuk mempertajam lensa pandang masyarakat dan pembuat kebijakan
agar masalah-masalah yang sehari-hari dialami oleh perempuan tidak
serta-merta dipandang sebagai kodrati (yakni wajar dialami karena faktor
biologis yang melekat) atau tidak terhindarkan. Misalnya saja soal
kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan terhadap anak-anak perempuan,
mutilasi alat kelamin perempuan, pembatasan ruang gerak bagi perempuan
untuk mencari nafkah, mengaktualisasikan diri, berpendapat, berorganisasi
bahkan berpolitik.
Langkah besar yang sangat bermanfaat sejak pencanangan program PBB tersebut
adalah kegiatan pemotretan perkembangan (maupun kemunduran) kondisi
perempuan di segala lini di seluruh negara dunia melalui pemilahan data
yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga PBB. Artinya bahwa segala data
politik, ekonomi, sosial, serta budaya selalu mencatat kondisi laki-laki
maupun perempuan.
Seluruh data statistik di dunia kini mengikuti pola itu. Di tataran global,
lembagalembaga PBB secara konsekuen mengampanyekan kesetaraan hak antara
laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia,
serta mendorong agendaagenda pembangunan dan politik yang bersifat inklusif
(mengikutsertakan segala kalangan). Ada lembaga khusus yang mendukung
agenda perbaikan kondisi bagi perempuan, yakni UN Women (dulunya
UNIFEM).
Selain itu, tiap lembaga bentukan PBB selalu mengikutsertakan komponen
kesetaraan gender dalam kegiatannya. Sejak tahun 1991, PBB secara berkala
menerbitkan The World’s Women (WW) untuk memotret tren dan statistik
perempuan dalam ragam dimensi kehidupan. Membandingkan TheWorld’s Women
tahun 1991 dan 2010, dapat disimpulkan bahwa secara makro dan secara umum
telah terjadi perbaikan kondisi perempuan. Pada tahun 1991, telah
berkembang wacana pengintegrasian peranan perempuan dalam pembangunan
ekonomi serta kegiatan politik, namun praktiknya masih jauh dari
harapan.
Meskipun perempuan mulai mendapatkan akses pendidikan, kesehatan dan
pekerjaan, jumlah dan standar kualitasnya masih jauh dari harapan. Kalaupun
pemerintah melibatkan perempuan dalam agenda pembangunan, yang terjadi
adalah pemberian peran berdasarkan asumsi atas apa yang sebaiknya dilakukan
perempuan. Artinya, perempuan masih ditempatkan dalam kotak-kotak yang
dianggap layak oleh pemerintah (yakni sebagai pendamping laki-laki).
Selain itu, belum ada perhatian khusus pada kategorisasi dalam perempuan,
misalnya perempuan miskin, perempuan yang bekerja di sektor pertanian,
buruh anak perempuan, dll. Urusan politik, tetap hampir tak terjamah oleh
perempuan, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam WW 2010, perempuan
mengalami kemajuan peran yang luar biasa. Sejumlah besar perempuan secara
terbuka menyatakan diri bekerja, bahkan dalam profesi yang biasanya
didominasi laki-laki dan menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga.
Meskipun tetap ada gunjingan sosial, sejumlah besar perempuan memilih untuk
menunda menikah (bahkan hingga usia 30 pada kelompok masyarakat tertentu).
Dalam krisis ekonomi global 2008 yang memaksa sebagian besar pekerja untuk
kehilangan pekerjaan, justru terdata bahwa lebih banyak lakilaki yang
kehilangan pekerjaan dibandingkan perempuan.
Partisipasi perempuan dalam ekonomi termasuk stabil. Problemnya, perempuan
punya jam kerja yang jauh lebih lama daripada laki-laki dengan tingkat upah
dan wewenang yang relatif jauh di bawah laki-laki. Jumlah perempuan yang
mendapatkan pendidikan universitas meningkat pesat. Pemerintah di berbagai
belahan dunia juga tidak asing lagi dengan program- program sosial yang
secara khusus menyasar perempuan, misalnya program kredit mikro, program
perbaikan mutu kesehatan bagi ibu dan anak, program sekolah.
Namun, kita juga tahu bahwa perempuan masih mengalami kerentanan yang
tinggi ketika berhadapan dengan kekuasaan politik, tradisi, dan pelecehan
seksual. Jumlah perempuan yang terlibat dan lolos seleksi politik tetap
rendah. Perempuan yang terjun ke dunia politik mendapatkan kritik dan
sorotan yang lebih tajam dibandingkan laki-laki, apalagi jika status sosial
ekonomi atau pengalaman mereka dianggap kurang superior.
Berhadapan dengan kebiasaan dalam masyarakat yang terbungkus oleh tradisi
(baik itu agama maupun budaya), perempuan kerap mengalami kesulitan
menjelaskan mengapa mereka layak dipilih sebagai wakil rakyat. Di sejumlah
negara, perempuan bahkan mengalami intimidasi, termasuk yang sifatnya
seksual, padahal dasarnya semata perebutan pengaruh dalam masyarakat,
perusahaan, bahkan keluarga.
Sejumlah negara dikritik habishabisan karena dianggap tidak melindungi
perempuan di tempat-tempat publik dan tidak memberikan efek jera pada
laki-laki yang melecehkan perempuan (dan anak perempuan) secara seksual.
Namun, ada saja pihak-pihak yang menganggap pelecehan seksual sebagai
sesuatu yang tidak serius. Baru-baru ini seorang anggota Kongres dari
Partai Republiken di AS, Todd Akin, dikecam karena mengatakan bahwa korban
perkosaan biasanya tidak akan hamil karena badannya mengalami trauma berat
dan akan otomatis ”menutup diri”.
Di Indonesia, kita ingat calon hakim agung Daming Sanusi yang dikecam
karena menjawab bahwa hukuman mati bagi pemerkosa harus dipikir-pikir karena
yang diperkosa dan memerkosa samasama menikmati. Menghadapi tahun Pemilu
2014 di Indonesia, catatan di atas tadi kiranya perlu mendapatkan perhatian
khusus. Perbaikan perekonomian negara- negara dunia sebenarnya terkait
dengan perbaikan mutu perlindungan dan akses kesempatan yang baik dan sama
bagi laki-laki dan perempuan.
Kita sudah lihat buktinya ketika ada perbaikan layanan di bidang kesehatan,
akses pendidikan dan bekerja, perempuan terbukti memberikan kontribusi yang
positif bagi perekonomian negara, termasuk ketika perekonomian global
terpukul dan melambat. Perempuan pun sudah lebih berani untuk bersikap,
maju sebagai subyek, misalnya dengan membuat acara dialog untuk mendebat
calon pemimpinnya (seperti kasus pilgub Jakarta), m-enentukan sendiri kapan
ia akan menikah, menunda pernikahan, bahkan mengajukan perceraian.
Perempuan juga mengambil inisiatif untuk membuka jalan perlindungan bagi
kaumnya, baik lewat pembentukan forum di tingkat regional (misalnya dalam ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights), nasional (seperti Komnas
Perempuan), dan komunitas. Namun, ada problem-problem struktural yang masih
memenjarakan laki-laki dan perempuan dalam relasinya satu dengan yang
lain.
Keinginan memperoleh kesenangan dan memenangkan pengaruh, jabatan, upah,
gaya hidup tinggi masih kerap diwujudkan dalam bentuk pelecehan seksual
(baik secara lisan maupun fisik). Ini juga yang menghambat partisipasi
perempuan dalam politik. Tidak banyak perempuan yang didukung oleh keluarga
dan komunitasnya untuk total berkarier dalam dunia politik karena suasana
dan lingkungannya masih memojokkan perempuan. Sayangnya, perempuan yang
punya kesempatan memegang wewenang justru terpenjara oleh kebiasaan
meremehkan perempuan lain.
Di sinilah kita harus memutus lingkaran setan ini. Tradisi budaya di
Indonesia sebenarnya sangat beragam dan banyak, di antaranya menempatkan
perempuan sebagai pengambil kebijakan yang dihormati (Kathryn Robinson,
2009). Jadi, ini bukan hal asing bagi Indonesia. Mari kita dorong
kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri,
termasuk dalam dunia politik.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar