Rabu, 06 Maret 2013

Perempuan Abad 21




Tak terasa kita hampir memasuki tahun ke-40 sejak Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) mencanangkan Dekade untuk Perempuan di tahun 1975.

Sungguh waktu yang tidak singkat untuk ide yang waktu itu dianggap revolusioner. Waktu itu, Majelis Umum PBB mencanangkan tiga dasar untuk mengarahkan kegiatankegiatan PBB agar tidak lupa pada dimensi perempuan, yakni untuk memenuhi kesetaraan gender. Kemudian menghapus diskriminasi atas dasar gender, serta mengikutsertakan perempuan secara penuh dalam pembangunan.

Selain itu, meningkatkan kontribusi perempuan bagi penguatan perdamaian dunia, dan mencapai target-target mini-mum agar perempuan memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam hal mendapatkan peluang pendidikan, bekerja, berpolitik, mendapatkan layanan kesehatan, gizi serta program keluarga berencana. Alasan pemberian fokus pada perempuan tidaklah dimaksudkan untuk mengecilkan perhatian terhadap lakilaki.

Arahnya untuk mempertajam lensa pandang masyarakat dan pembuat kebijakan agar masalah-masalah yang sehari-hari dialami oleh perempuan tidak serta-merta dipandang sebagai kodrati (yakni wajar dialami karena faktor biologis yang melekat) atau tidak terhindarkan. Misalnya saja soal kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan terhadap anak-anak perempuan, mutilasi alat kelamin perempuan, pembatasan ruang gerak bagi perempuan untuk mencari nafkah, mengaktualisasikan diri, berpendapat, berorganisasi bahkan berpolitik.

Langkah besar yang sangat bermanfaat sejak pencanangan program PBB tersebut adalah kegiatan pemotretan perkembangan (maupun kemunduran) kondisi perempuan di segala lini di seluruh negara dunia melalui pemilahan data yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga PBB. Artinya bahwa segala data politik, ekonomi, sosial, serta budaya selalu mencatat kondisi laki-laki maupun perempuan.

Seluruh data statistik di dunia kini mengikuti pola itu. Di tataran global, lembagalembaga PBB secara konsekuen mengampanyekan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia, serta mendorong agendaagenda pembangunan dan politik yang bersifat inklusif (mengikutsertakan segala kalangan). Ada lembaga khusus yang mendukung agenda perbaikan kondisi bagi perempuan, yakni UN Women (dulunya UNIFEM).

Selain itu, tiap lembaga bentukan PBB selalu mengikutsertakan komponen kesetaraan gender dalam kegiatannya. Sejak tahun 1991, PBB secara berkala menerbitkan The World’s Women (WW) untuk memotret tren dan statistik perempuan dalam ragam dimensi kehidupan. Membandingkan TheWorld’s Women tahun 1991 dan 2010, dapat disimpulkan bahwa secara makro dan secara umum telah terjadi perbaikan kondisi perempuan. Pada tahun 1991, telah berkembang wacana pengintegrasian peranan perempuan dalam pembangunan ekonomi serta kegiatan politik, namun praktiknya masih jauh dari harapan.

Meskipun perempuan mulai mendapatkan akses pendidikan, kesehatan dan pekerjaan, jumlah dan standar kualitasnya masih jauh dari harapan. Kalaupun pemerintah melibatkan perempuan dalam agenda pembangunan, yang terjadi adalah pemberian peran berdasarkan asumsi atas apa yang sebaiknya dilakukan perempuan. Artinya, perempuan masih ditempatkan dalam kotak-kotak yang dianggap layak oleh pemerintah (yakni sebagai pendamping laki-laki).

Selain itu, belum ada perhatian khusus pada kategorisasi dalam perempuan, misalnya perempuan miskin, perempuan yang bekerja di sektor pertanian, buruh anak perempuan, dll. Urusan politik, tetap hampir tak terjamah oleh perempuan, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam WW 2010, perempuan mengalami kemajuan peran yang luar biasa. Sejumlah besar perempuan secara terbuka menyatakan diri bekerja, bahkan dalam profesi yang biasanya didominasi laki-laki dan menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga.

Meskipun tetap ada gunjingan sosial, sejumlah besar perempuan memilih untuk menunda menikah (bahkan hingga usia 30 pada kelompok masyarakat tertentu). Dalam krisis ekonomi global 2008 yang memaksa sebagian besar pekerja untuk kehilangan pekerjaan, justru terdata bahwa lebih banyak lakilaki yang kehilangan pekerjaan dibandingkan perempuan.

Partisipasi perempuan dalam ekonomi termasuk stabil. Problemnya, perempuan punya jam kerja yang jauh lebih lama daripada laki-laki dengan tingkat upah dan wewenang yang relatif jauh di bawah laki-laki. Jumlah perempuan yang mendapatkan pendidikan universitas meningkat pesat. Pemerintah di berbagai belahan dunia juga tidak asing lagi dengan program- program sosial yang secara khusus menyasar perempuan, misalnya program kredit mikro, program perbaikan mutu kesehatan bagi ibu dan anak, program sekolah.

Namun, kita juga tahu bahwa perempuan masih mengalami kerentanan yang tinggi ketika berhadapan dengan kekuasaan politik, tradisi, dan pelecehan seksual. Jumlah perempuan yang terlibat dan lolos seleksi politik tetap rendah. Perempuan yang terjun ke dunia politik mendapatkan kritik dan sorotan yang lebih tajam dibandingkan laki-laki, apalagi jika status sosial ekonomi atau pengalaman mereka dianggap kurang superior.

Berhadapan dengan kebiasaan dalam masyarakat yang terbungkus oleh tradisi (baik itu agama maupun budaya), perempuan kerap mengalami kesulitan menjelaskan mengapa mereka layak dipilih sebagai wakil rakyat. Di sejumlah negara, perempuan bahkan mengalami intimidasi, termasuk yang sifatnya seksual, padahal dasarnya semata perebutan pengaruh dalam masyarakat, perusahaan, bahkan keluarga.

Sejumlah negara dikritik habishabisan karena dianggap tidak melindungi perempuan di tempat-tempat publik dan tidak memberikan efek jera pada laki-laki yang melecehkan perempuan (dan anak perempuan) secara seksual. Namun, ada saja pihak-pihak yang menganggap pelecehan seksual sebagai sesuatu yang tidak serius. Baru-baru ini seorang anggota Kongres dari Partai Republiken di AS, Todd Akin, dikecam karena mengatakan bahwa korban perkosaan biasanya tidak akan hamil karena badannya mengalami trauma berat dan akan otomatis ”menutup diri”.

Di Indonesia, kita ingat calon hakim agung Daming Sanusi yang dikecam karena menjawab bahwa hukuman mati bagi pemerkosa harus dipikir-pikir karena yang diperkosa dan memerkosa samasama menikmati. Menghadapi tahun Pemilu 2014 di Indonesia, catatan di atas tadi kiranya perlu mendapatkan perhatian khusus. Perbaikan perekonomian negara- negara dunia sebenarnya terkait dengan perbaikan mutu perlindungan dan akses kesempatan yang baik dan sama bagi laki-laki dan perempuan.

Kita sudah lihat buktinya ketika ada perbaikan layanan di bidang kesehatan, akses pendidikan dan bekerja, perempuan terbukti memberikan kontribusi yang positif bagi perekonomian negara, termasuk ketika perekonomian global terpukul dan melambat. Perempuan pun sudah lebih berani untuk bersikap, maju sebagai subyek, misalnya dengan membuat acara dialog untuk mendebat calon pemimpinnya (seperti kasus pilgub Jakarta), m-enentukan sendiri kapan ia akan menikah, menunda pernikahan, bahkan mengajukan perceraian.

Perempuan juga mengambil inisiatif untuk membuka jalan perlindungan bagi kaumnya, baik lewat pembentukan forum di tingkat regional (misalnya dalam ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights), nasional (seperti Komnas Perempuan), dan komunitas. Namun, ada problem-problem struktural yang masih memenjarakan laki-laki dan perempuan dalam relasinya satu dengan yang lain.

Keinginan memperoleh kesenangan dan memenangkan pengaruh, jabatan, upah, gaya hidup tinggi masih kerap diwujudkan dalam bentuk pelecehan seksual (baik secara lisan maupun fisik). Ini juga yang menghambat partisipasi perempuan dalam politik. Tidak banyak perempuan yang didukung oleh keluarga dan komunitasnya untuk total berkarier dalam dunia politik karena suasana dan lingkungannya masih memojokkan perempuan. Sayangnya, perempuan yang punya kesempatan memegang wewenang justru terpenjara oleh kebiasaan meremehkan perempuan lain.

Di sinilah kita harus memutus lingkaran setan ini. Tradisi budaya di Indonesia sebenarnya sangat beragam dan banyak, di antaranya menempatkan perempuan sebagai pengambil kebijakan yang dihormati (Kathryn Robinson, 2009). Jadi, ini bukan hal asing bagi Indonesia. Mari kita dorong kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri, termasuk dalam dunia politik.

Dinna Wisnu
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
Sumber: Seputar Indonesia, 06 Maret 2013
(Kliping Opini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar