Kamis, 07 Maret 2013

Mangkatnya sang Liberator




Selain nama adalah doa yang diberikan orang tua, arti sebuah nama akan dimaknai oleh masyarakat yang menjadi saksi kehidupan yang bersangkutan sebagai pemilik nama. Demikianlah sepertinya ketika kita warga dunia memaknai mangkatnya Presiden Venezuela Hugo Chavez Frias pada kemarin, Rabu 6 Maret 2013. Sebagian warga dunia, terutama kaum miskin yang tak diuntungkan dalam pusaran kencang globalisasi dunia, memaknai Hugo Chavez Frias sebagai pahlawan atau liberator. Sebaliknya, bagi sebagian lainnya yang mengambil manfaat dari ''semakin ratanya dunia'' oleh neoliberalisme, kemarin adalah hari berpulangnya seorang badut politik yang dianggap antidemokrasi dan membendung negerinya untuk masuk dalam pusaran pasar bebas.

Entah sebuah firasat atau bukan, beberapa hari lalu, penulis membaca buku saku tentang kumpulan pengajian KH Abdurrahman Wahid saat beliau menjabat presiden Indonesia. Ketika membahas kata demokrasi, Gus Dur memberikan contoh tentang sahabatnya, yaitu Hugo Chavez Friaz, seorang kolonel bumiputra Amerika Latin yang memberontak kepada pemerintahan elitis Venezuela. Chavez mampu meraih hati dan pikiran rakyat Venezuela dan selanjutnya berhasil menang dalam politik elektoral mengalahkan aliansi oligarchy complex system yang berpusat pada kekuatan konglomerasi bisnis, kekuatan elite politik beserta patronase politiknya. Menurut Gus Dur, sejak saat itulah Chavez menggulirkan demokrasi rakyat dalam arti yang sesungguhnya.

Ada hal yang dilupakan para pengkritik politik Chavez. Sebagaimana diutarakan Tariq Ali (2004) dalam artikelnya The Important of Hugo Chavez (hasil wawancara dengan sang presiden) melalui proses referendum yang demokratis, Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez sejak 2004 berhasil menempatkan pasal baru dalam konstitusi mereka. Pasal itu menekankan, bila rakyat tidak puas dengan kepemimpinan presidennya, sewaktu-waktu rakyat dapat melakukan recall maupun mempertanyakan kebijakan presiden yang merugikan rakyatnya melalui mekanisme referendum maupun pemilu. Itu adalah terobosan politik demokrasi yang belum pernah dihasilkan bahkan oleh negara-negara paling demokratis.

Selanjutnya, marilah kita mengulas mekanisme demokrasi rakyat yang disebutkan Gus Dur dalam tausiahnya tentang demokrasi rakyat Hugo Chavez. Struktur politik demokrasi yang dibangun pada masa kepemimpinan populis Chavez berdiri di atas tulang punggung lebih dari 2,2 juta rakyat Venezuela (di antara total 28,4 juta populasi) yang terhimpun dalam wadah yang disebut lingkaran Bolivarian (Bolivarian circles). Konsep lingkaran Bolivarian bukanlah antitesis model demokrasi elektoral khas Anglo-Saxon. Namun, institusi itu bekerja untuk memperdalam dan memperkuat struktur politik demokrasi elektoral yang sudah berlangsung di Venezuela.

Melalui pembekalan pendidikan politik akan hak-hak sipil, politik, dan ekonominya seperti yang tertuang dalam konstitusi Bolivarian, lingkaran Bolivarian bekerja untuk mengontrol proses politik formal di antara eksekutif dan legislatif agar sejalan dengan garis politik konstitusional. Dalam perkembangannya, struktur politik yang berbasis akar rumput itu secara efektif berhasil menopang kebijakan-kebijakan ekonomi-politik Chavez dan tak jarang pula melakukan kritik terhadapnya.

Capaian Ekonomi-Politik 

Chavez tidak pernah memimpikan Venezuela sebagai negara sosialisme klasik. Sosialisme baru Chavez tidak berniat menghancurkan kepemilikan pribadi, namun untuk memastikan bahwa negara melalui kedaulatan ekonominya bekerja berdasar prinsip kerja sama dengan bangsa-bangsa lain dan dapat memberikan kesejahteraan terbaik bagi rakyatnya.

Program nasionalisasi ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan Chavez bukanlah model nasionalisasi ekonomi yang memberikan peluang bagi praktik korupsi dan perburuan rente di kalangan elite seperti yang sering terjadi di negara otoritarian. Sebagaimana diutarakan wartawan progresif Iain Bruce (2008) dalam The Real Venezuela, program nasionalisasi ekonomi Chavez berusaha mengombinasikan kekuatan industri minyak dan gas Venezuela dengan pemberdayaan komunitas lokal di pedalaman. Kebijakan itu berusaha mengantisipasi proses-proses eksplorasi minyak yang merugikan masyarakat sekitarnya.

Model kebijakan ekonomi sumber daya alam era Chavez itulah yang kemudian berpegang pada prinsip swadaya (self sufficient) dan pembangunan berbasis masyarakat (people based development). Saat ini, setelah lebih dari lima tahun menggerakkan ekonomi SDA, berdasar situs Venezuelan analysis, negara itu tengah membangun ekonomi produktif yang tidak bergantung pada kekuatan sumber daya alam.

Apa yang dihasilkan dari program ekonomi politik kemandirian era Chavez bagi masyarakatnya? Politik redistribusi pendapatan dari pemerintahan Chavez telah mengurangi secara drastis tingkat kemiskinan di Venezuela dari 54 persen jumlah kemiskinan di seluruh rumah tangga menjadi separonya, sekitar 26 persen, pada akhir 2008. Seluruh anak miskin di perkampungan kumuh Venezuela memiliki akses terhadap pendidikan gratis; 1,2 juta warga buta huruf berhasil dientas melalui program pendidikan masif; dan enam universitas publik didirikan untuk menampung rakyat miskin. Selain itu, di negara seluas Kalimantan tersebut, didirikan 11.000 klinik komunitas untuk menjamin perawatan kesehatan warga terpenuhi.

Tidak saja bekerja untuk memajukan rakyatnya, Chavez menyuarakan keadilan internasional di Palestina dan negara-negara dunia ketiga lainnya melawan kekuatan dominan global. Akhirnya, mengenang Chavez, saya menorehkan seutas puisi.

Dia yang jasadnya telah menyatu dengan bumi, namun namanya tidak akan pernah mati di sepanjang sejarah hidup manusia. Dia yang hidupnya didedikasikan untuk kemuliaan hidup manusia akan selalu dikenang oleh umat manusia sebagai patriot Venezuela, sebagai pembela kaum miskin seluruh dunia. Sebagai penyeru kepada dunia bahwa bagaimanapun dunia bergerak tunggang langgang, tetap manusialah yang harus dibela! Selamat jalan, sang Liberator Bung Hugo Chavez.

Airlangga Pribadi Kusman  
Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga; Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
Sumber: Jawa Pos, 07 Maret 2013
(Kliping Opini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar