Selain nama adalah doa yang
diberikan orang tua, arti sebuah nama akan dimaknai oleh masyarakat yang
menjadi saksi kehidupan yang bersangkutan sebagai pemilik nama. Demikianlah
sepertinya ketika kita warga dunia memaknai mangkatnya Presiden Venezuela
Hugo Chavez Frias pada kemarin, Rabu 6 Maret 2013. Sebagian warga dunia,
terutama kaum miskin yang tak diuntungkan dalam pusaran kencang globalisasi
dunia, memaknai Hugo Chavez Frias sebagai pahlawan atau liberator. Sebaliknya,
bagi sebagian lainnya yang mengambil manfaat dari ''semakin ratanya dunia''
oleh neoliberalisme, kemarin adalah hari berpulangnya seorang badut politik
yang dianggap antidemokrasi dan membendung negerinya untuk masuk dalam
pusaran pasar bebas.
Entah sebuah firasat atau bukan, beberapa hari lalu, penulis membaca buku
saku tentang kumpulan pengajian KH Abdurrahman Wahid saat beliau menjabat
presiden Indonesia. Ketika membahas kata demokrasi, Gus Dur memberikan
contoh tentang sahabatnya, yaitu Hugo Chavez Friaz, seorang kolonel
bumiputra Amerika Latin yang memberontak kepada pemerintahan elitis
Venezuela. Chavez mampu meraih hati dan pikiran rakyat Venezuela dan
selanjutnya berhasil menang dalam politik elektoral mengalahkan
aliansi oligarchy complex system yang berpusat pada
kekuatan konglomerasi bisnis, kekuatan elite politik beserta patronase
politiknya. Menurut Gus Dur, sejak saat itulah Chavez menggulirkan
demokrasi rakyat dalam arti yang sesungguhnya.
Ada hal yang dilupakan para pengkritik politik Chavez. Sebagaimana
diutarakan Tariq Ali (2004) dalam artikelnya The Important of Hugo
Chavez (hasil wawancara dengan sang presiden) melalui proses
referendum yang demokratis, Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez
sejak 2004 berhasil menempatkan pasal baru dalam konstitusi mereka. Pasal
itu menekankan, bila rakyat tidak puas dengan kepemimpinan presidennya,
sewaktu-waktu rakyat dapat melakukan recall maupun
mempertanyakan kebijakan presiden yang merugikan rakyatnya melalui
mekanisme referendum maupun pemilu. Itu adalah terobosan politik demokrasi
yang belum pernah dihasilkan bahkan oleh negara-negara paling demokratis.
Selanjutnya, marilah kita mengulas mekanisme demokrasi rakyat yang
disebutkan Gus Dur dalam tausiahnya tentang demokrasi rakyat Hugo Chavez.
Struktur politik demokrasi yang dibangun pada masa kepemimpinan populis
Chavez berdiri di atas tulang punggung lebih dari 2,2 juta rakyat Venezuela
(di antara total 28,4 juta populasi) yang terhimpun dalam wadah yang
disebut lingkaran Bolivarian (Bolivarian circles). Konsep lingkaran
Bolivarian bukanlah antitesis model demokrasi elektoral khas Anglo-Saxon.
Namun, institusi itu bekerja untuk memperdalam dan memperkuat struktur
politik demokrasi elektoral yang sudah berlangsung di Venezuela.
Melalui pembekalan pendidikan politik akan hak-hak sipil, politik, dan
ekonominya seperti yang tertuang dalam konstitusi Bolivarian, lingkaran
Bolivarian bekerja untuk mengontrol proses politik formal di antara
eksekutif dan legislatif agar sejalan dengan garis politik konstitusional.
Dalam perkembangannya, struktur politik yang berbasis akar rumput itu
secara efektif berhasil menopang kebijakan-kebijakan ekonomi-politik Chavez
dan tak jarang pula melakukan kritik terhadapnya.
Capaian Ekonomi-Politik
Chavez tidak pernah memimpikan Venezuela sebagai negara sosialisme klasik.
Sosialisme baru Chavez tidak berniat menghancurkan kepemilikan pribadi,
namun untuk memastikan bahwa negara melalui kedaulatan ekonominya bekerja
berdasar prinsip kerja sama dengan bangsa-bangsa lain dan dapat memberikan
kesejahteraan terbaik bagi rakyatnya.
Program nasionalisasi ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam yang
dilakukan Chavez bukanlah model nasionalisasi ekonomi yang memberikan
peluang bagi praktik korupsi dan perburuan rente di kalangan elite seperti
yang sering terjadi di negara otoritarian. Sebagaimana diutarakan wartawan
progresif Iain Bruce (2008) dalam The Real Venezuela, program
nasionalisasi ekonomi Chavez berusaha mengombinasikan kekuatan industri
minyak dan gas Venezuela dengan pemberdayaan komunitas lokal di pedalaman.
Kebijakan itu berusaha mengantisipasi proses-proses eksplorasi minyak yang
merugikan masyarakat sekitarnya.
Model kebijakan ekonomi sumber daya alam era Chavez itulah yang kemudian
berpegang pada prinsip swadaya (self sufficient) dan pembangunan
berbasis masyarakat (people based development). Saat ini, setelah
lebih dari lima tahun menggerakkan ekonomi SDA, berdasar situs Venezuelan
analysis, negara itu tengah membangun ekonomi produktif yang tidak bergantung
pada kekuatan sumber daya alam.
Apa yang dihasilkan dari program ekonomi politik kemandirian era Chavez
bagi masyarakatnya? Politik redistribusi pendapatan dari pemerintahan
Chavez telah mengurangi secara drastis tingkat kemiskinan di Venezuela dari
54 persen jumlah kemiskinan di seluruh rumah tangga menjadi separonya,
sekitar 26 persen, pada akhir 2008. Seluruh anak miskin di perkampungan
kumuh Venezuela memiliki akses terhadap pendidikan gratis; 1,2 juta warga
buta huruf berhasil dientas melalui program pendidikan masif; dan enam
universitas publik didirikan untuk menampung rakyat miskin. Selain itu, di
negara seluas Kalimantan tersebut, didirikan 11.000 klinik komunitas untuk
menjamin perawatan kesehatan warga terpenuhi.
Tidak saja bekerja untuk memajukan rakyatnya, Chavez menyuarakan keadilan
internasional di Palestina dan negara-negara dunia ketiga lainnya melawan
kekuatan dominan global. Akhirnya, mengenang Chavez, saya menorehkan seutas
puisi.
Dia yang jasadnya telah menyatu dengan bumi, namun namanya tidak akan
pernah mati di sepanjang sejarah hidup manusia. Dia yang hidupnya
didedikasikan untuk kemuliaan hidup manusia akan selalu dikenang oleh umat
manusia sebagai patriot Venezuela, sebagai pembela kaum miskin seluruh
dunia. Sebagai penyeru kepada dunia bahwa bagaimanapun dunia bergerak
tunggang langgang, tetap manusialah yang harus dibela! Selamat jalan,
sang Liberator Bung Hugo Chavez.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar