Asupan dramaturgi politik tak
henti-hentinya dipertontonkan para politikus di depan publik. Publik pun
menyaksikan drama-drama politik itu dengan penilaian masing-masing.
Salah satu drama politik yang paling
aktual adalah pengunduran diri mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas
Urbaningrum yang diwarnai pidato pengunduran diri yang dikatakannya sebagai
lembaran pertama dari halaman-halaman selanjutnya.
Dramaturgi dipopulerkan Aristoteles,
filsuf besar zaman Yunani kuno dalam karyanya, Poetics. Aristoteles
mendeskripsikan penampilan atau pemanggungan drama-drama politik yang berakhir
tragis, serius penuh sinisme, ataupun kisah-kisah komedi.
Menurut Aristoteles, manusia adalah
aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada
orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
Celakanya, semua drama yang
dipertontonkan para politikus selalu mengatasnamakan demokrasi. Tidak heran
demokrasi pun akhirnya terus “dicurigai” sebagai kotak pandora bagi segala
kebejatan dan ketidakpatutan. Bahkan, demokrasi dan partai politik yang
diagungkan untuk mentransendensikan penderitaan rakyat dan memberikan
pencerdasan politik rakyat, dalam prakteknya lebih dimanfaatkan untuk kepentingan
para politikus, termasuk dipakai menjarah uang negara.
Selain itu, demokrasi memerlukan
moralitas dan etika publik yang tertanam dalam setiap pelaku demokrasi dalam
bentuk kebajikan, ternyata dalam praktiknya pun selalu dikhianati dan
senantiasa berjalan tanpa moralitas dan etika publik.
Demokrasi yang harus menjadi jendela
pikiran dan batin setiap warga, terutama para politikus agar pembangunan
sosial, ekonomi, dan politik dapat berjalan sesuai dengan cita-cita negara
kesejahteraan, semakin jauh panggang dari api.
Bahayanya, proyek keberhasilan
demokrasi di negeri ini bisa sekadar menjadi bayang-bayang semu, dan Indonesia
dapat terjerembab ke dalam situasi bad turn in politics (perkembangan buruk),
autokrasi lama. Semua ini dapat terjadi jika “pembusukan” demokrasi tidak
segera dimurnikan para politikus di partai politik dan di Senayan dengan cara
mengedepankan kearifan dan keadaban politik.
Dari Demokrasi ke Oligarki
Diskursus mengenai fungsi kearifan
dan keadaban politik, khususnya dalam demokrasi, bukan sesuatu yang baru di era
modern. Filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles dan Plato telah lebih
awal membincangkan secara serius persoalan-persoalan ini.
Bahwa demokrasi bagi kedua filsuf
itu tidak lebih dari sebuah sistem politik karena terbalut berbagai
kepentingan. Atau, etika dan moralitas dijadikan subordinat politik. Ingat,
politik adalah seni hidup bersama dalam mengelola negara dengan panduan etika
publik, yang membuat warga dan pelaku politik tidak sekadar hidup, melainkan
hidup dengan bijak (euzen).
Itu pula yang kita lihat sekarang
ini. Demi pemenuhan kepentingan diri yang egois, demokrasi dikamuflase dan
aneka pembusukan politik dilakukan tak peduli persoalan riil di balik panggung
drama. Alih-alih, sebagai katalisator dan artikulator rakyat, mereka hanya
memperjuangkan kepentingan diri dan kelompok.
Partai-partai politik pun bukan
dikembangkan untuk memberikan pencerdasan politik rakyat, tetapi seperti kata
Andreas Ufen (2009), berkembang menjadi “partai-partai kartel”, yakni partai
yang melekat pada negara, teralienasi dari masyarakat dan didominasi para elite
negara.
Alan Hamlin juga pernah mencemaskan
hal ini, para politikus dan penguasa berjalan tanpa kearifan, dan keadaban
politik yang mengkhianati etika dengan banyaknya politikus terlibat kasus suap
dan korupsi, hanya akan membentuk seruan yang menyakitkan; setop demokratisasi.
Pada saat ini memang ketidakpedulian
politik terhadap etika politik dan moralitas demokrasi menegas. Bagi mereka,
seruan soal etika politik dan moralitas demokrasi hanyalah igauan para pengamat
yang cemburu tidak kebagian kekuasaan.
Ini karena kekuasaan bagi mereka
adalah hasil pertarungan menang-kalah dalam politik, dan ujung sebuah
persekongkolan para politikus yang memiliki kepentingan yang sama, kekuasaan
untuk kekuasaan. Di sini demokrasi pun sebenarnya sudah mati di tangan para
politikus atau hanya berputar dalam sirkulasi elite-pelaku persekongkolan
politik.
Benar kata Mattei Dagon (2003) bahwa
sirkulasi elite pada akhirnya merujuk pada posisi piramidal kekuasaan. Tetap
ada sentrum yang mengendalikan arah politik maupun di mana posisi publik akan
ditaruh dalam kepentingan para elite. Banyak politikus sekarang ini menunjukkan
diri tanpa malu sebagai titik akhir dari demokrasi piramidal itu.
Secara terbuka mereka menunjukkan
perilaku destruktif meskipun sama sekali tidak bersentuhan dengan kepentingan
publik. Mereka pun menciptakan lahan subur bagi tumbuh dan menyebarnya virus
suap, korupsi, serta persekongkolan dan perselingkuhan politik.
Selain itu, ketidakberanian para
politikus dalam membela kepentingan rakyat dan hanya berorientasi pada
kekuasaan dan materi, merupakan bukti nyata kekerdilan dan kebusukan dalam cara
berpikir dan berpolitik.
Semua ini merupakan cermin nyata
konfigurasi politik Indonesia saat ini. Dalam Moh Mahfud MD (2006) disebut
konfigurasi politik oligarkis, konfigurasi politik yang didominasi kelompok
elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling
memberikan keuntungan politik.
Etika dan Moral Baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar