Senin, 11 Maret 2013

Demokrasi dalam Dramaturgi Politik Oligarkis






Asupan dramaturgi politik tak henti-hentinya dipertontonkan para politikus di depan publik. Publik pun menyaksikan drama-drama politik itu dengan penilaian masing-masing.

Salah satu drama politik yang paling aktual adalah pengunduran diri mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum yang diwarnai pidato pengunduran diri yang dikatakannya sebagai lembaran pertama dari halaman-halaman selanjutnya.

Dramaturgi dipopulerkan Aristoteles, filsuf besar zaman Yunani kuno dalam karyanya, Poetics. Aristoteles mendeskripsikan penampilan atau pemanggungan drama-drama politik yang berakhir tragis, serius penuh sinisme, ataupun kisah-kisah komedi.

Menurut Aristoteles, manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.

Celakanya, semua drama yang dipertontonkan para politikus selalu mengatasnamakan demokrasi. Tidak heran demokrasi pun akhirnya terus “dicurigai” sebagai kotak pandora bagi segala kebejatan dan ketidakpatutan. Bahkan, demokrasi dan partai politik yang diagungkan untuk mentransendensikan penderitaan rakyat dan memberikan pencerdasan politik rakyat, dalam prakteknya lebih dimanfaatkan untuk kepentingan para politikus, termasuk dipakai menjarah uang negara.

Selain itu, demokrasi memerlukan moralitas dan etika publik yang tertanam dalam setiap pelaku demokrasi dalam bentuk kebajikan, ternyata dalam praktiknya pun selalu dikhianati dan senantiasa berjalan tanpa moralitas dan etika publik.

Demokrasi yang harus menjadi jendela pikiran dan batin setiap warga, terutama para politikus agar pembangunan sosial, ekonomi, dan politik dapat berjalan sesuai dengan cita-cita negara kesejahteraan, semakin jauh panggang dari api.

Bahayanya, proyek keberhasilan demokrasi di negeri ini bisa sekadar menjadi bayang-bayang semu, dan Indonesia dapat terjerembab ke dalam situasi bad turn in politics (perkembangan buruk), autokrasi lama. Semua ini dapat terjadi jika “pembusukan” demokrasi tidak segera dimurnikan para politikus di partai politik dan di Senayan dengan cara mengedepankan kearifan dan keadaban politik.

Dari Demokrasi ke Oligarki

Diskursus mengenai fungsi kearifan dan keadaban politik, khususnya dalam demokrasi, bukan sesuatu yang baru di era modern. Filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles dan Plato telah lebih awal membincangkan secara serius persoalan-persoalan ini.

Bahwa demokrasi bagi kedua filsuf itu tidak lebih dari sebuah sistem politik karena terbalut berbagai kepentingan. Atau, etika dan moralitas dijadikan subordinat politik. Ingat, politik adalah seni hidup bersama dalam mengelola negara dengan panduan etika publik, yang membuat warga dan pelaku politik tidak sekadar hidup, melainkan hidup dengan bijak (euzen).

Itu pula yang kita lihat sekarang ini. Demi pemenuhan kepentingan diri yang egois, demokrasi dikamuflase dan aneka pembusukan politik dilakukan tak peduli persoalan riil di balik panggung drama. Alih-alih, sebagai katalisator dan artikulator rakyat, mereka hanya memperjuangkan kepentingan diri dan kelompok.

Partai-partai politik pun bukan dikembangkan untuk memberikan pencerdasan politik rakyat, tetapi seperti kata Andreas Ufen (2009), berkembang menjadi “partai-partai kartel”, yakni partai yang melekat pada negara, teralienasi dari masyarakat dan didominasi para elite negara.

Alan Hamlin juga pernah mencemaskan hal ini, para politikus dan penguasa berjalan tanpa kearifan, dan keadaban politik yang mengkhianati etika dengan banyaknya politikus terlibat kasus suap dan korupsi, hanya akan membentuk seruan yang menyakitkan; setop demokratisasi.

Pada saat ini memang ketidakpedulian politik terhadap etika politik dan moralitas demokrasi menegas. Bagi mereka, seruan soal etika politik dan moralitas demokrasi hanyalah igauan para pengamat yang cemburu tidak kebagian kekuasaan.

Ini karena kekuasaan bagi mereka adalah hasil pertarungan menang-kalah dalam politik, dan ujung sebuah persekongkolan para politikus yang memiliki kepentingan yang sama, kekuasaan untuk kekuasaan. Di sini demokrasi pun sebenarnya sudah mati di tangan para politikus atau hanya berputar dalam sirkulasi elite-pelaku persekongkolan politik.

Benar kata Mattei Dagon (2003) bahwa sirkulasi elite pada akhirnya merujuk pada posisi piramidal kekuasaan. Tetap ada sentrum yang mengendalikan arah politik maupun di mana posisi publik akan ditaruh dalam kepentingan para elite. Banyak politikus sekarang ini menunjukkan diri tanpa malu sebagai titik akhir dari demokrasi piramidal itu.

Secara terbuka mereka menunjukkan perilaku destruktif meskipun sama sekali tidak bersentuhan dengan kepentingan publik. Mereka pun menciptakan lahan subur bagi tumbuh dan menyebarnya virus suap, korupsi, serta persekongkolan dan perselingkuhan politik.

Selain itu, ketidakberanian para politikus dalam membela kepentingan rakyat dan hanya berorientasi pada kekuasaan dan materi, merupakan bukti nyata kekerdilan dan kebusukan dalam cara berpikir dan berpolitik.

Semua ini merupakan cermin nyata konfigurasi politik Indonesia saat ini. Dalam Moh Mahfud MD (2006) disebut konfigurasi politik oligarkis, konfigurasi politik yang didominasi kelompok elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling memberikan keuntungan politik.

Etika dan Moral Baru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar