Dalam beberapa bulan terakhir,
harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap
rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.
Saya berkesimpulan, mereka yang
mempertanyakan Kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau
belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang
menjadi dasar Kurikulum 2013. Secara falsafati, pendidikan adalah proses
panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi
manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi
dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan
peradabannya.
Dalam UU Sisdiknas, menjadi
bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti
beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam
memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, UU Sisdiknas juga memberikan
arahan yang jelas bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya
melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program
pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan
keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan
demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan
kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan
keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki
seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan
seterusnya.
Mengingat pendidikan idealnya
proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses
pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan
untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan
pendidikan tercapai.
Perencanaan Pembelajaran
Dalam usaha menciptakan sistem
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang
tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan
peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan
dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang
diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.
Sebagai konsekuensi dari
penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan
antara. Pada dasarnya, kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang
dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali
dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan).
Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.
Dalam teori manajemen, sebagai
sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat
hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik
(keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan
materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik
(masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang
diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi
pembelajaran sebagai bagian dari standar proses) supaya ketiga kompetensi
yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian
kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk
memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan
rencana.
Dengan konsep kurikulum berbasis
kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah
sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum karena yang perlu diperbaiki
sebenarnya metodologi pembelajaran, bukan kurikulum (Mohammad Abduhzen,
”Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas 21/2 dan ”Implementasi Pendidikan”, Kompas
6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum
berbasis kompetensi mencakup metodologi pembelajaran.
Tanpa metodologi pembelajaran
yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh,
dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD
dirumuskan sebagai ”memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba,
mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang
produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai yang
ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi semacam ini tak akan
tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk
metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu sudah dirumuskan
dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas
sebagai suatu taksonomi. Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti
diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima
secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan abad ke-21 serta
penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang
disampaikan Elin Driana, ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012)
yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan
evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.
Mengatakan tak ada masalah
dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil
pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk
mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen
materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP. Belum lagi
rumusan kompetensi yang belum sesuai tuntutan UU dan praktik terbaik di
dunia, ketidaksesuaian materi mata pelajaran dan tumpang tindih yang tak
diperlukan pada beberapa materi mata pelajaran, kecepatan pembelajaran yang
tak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian
pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berpikir.
Kompetensi Inti
Kompetensi lulusan jenjang
satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang
untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk
memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka
panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai jenjang kelas di mana
kurikulum tersebut diterapkan.
Sejalan dengan UU, kompetensi
inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada
kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat
seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya
kelas.
Melalui kompetensi inti, sebagai
anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal
antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari
kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi
lulusan multidimensi, kompetensi inti juga multidimensi. Untuk kemudahan
operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua,
yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman
dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta
didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Kompetensi inti bukan untuk
diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata
pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk
pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata
pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus
berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.
Ibaratnya, kompetensi inti
merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan
mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai
integrator horizontal antarmata pelajaran. Dengan pengertian ini,
kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata
pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta
didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan
diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat menjadi
kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan
baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah
dengan alasan pada ”Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat
kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia karena memang tak
ada yang namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana
dipertanyakan Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).
Dalam mendukung kompetensi inti,
capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi
dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini sesuai dengan
rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi
sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan
kompetensi keterampilan.
Uraian kompetensi dasar sedetail
ini adalah untuk memastikan capaian pembelajaran tidak berhenti sampai
pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara
pada sikap. Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah
untuk peserta didik karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak
dihapalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa
dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut ada pesan-pesan sosial dan
spiritual yang terkandung dalam materinya.
Apabila konsep pembentukan
kompetensi ini dipahami dapat mengurangi, bahkan menghilangkan, kegelisahan
yang disampaikan L Wilardjo dalam ”Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas,
22/2).
Kedudukan Bahasa
Uraian rumusan kompetensi
seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat
merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat peserta
didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat
memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berpikir abstrak.
Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dulu perlu dibentuk suatu
saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya
abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berpikir abstrak. Di
sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan
kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik.
Usaha membentuk saluran sempurna
(perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan
menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain.
Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai
konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa
Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi
inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat
dengan mudah direalisasikan.
Dengan cara ini pula,
pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu
yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga
pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati pendidik dan peserta didik.
Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik
sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan
sistematis.
Mengatakan kompetensi dasar
Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan
pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada
(Acep Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi
bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum
berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) 2004, tetapi belum terselesaikan karena desakan untuk
segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006.
Rumusannya berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis
materi sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang
bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan
munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis
materi. Untuk itu, ada baiknya memahami lebih dahulu konstruksi kompetensi
dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas sebelum
mengkritik.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar