Penangkapan Ali Zainal Abidin, santri
Ponpes Pesantren Ma’had Aly Tahfidhul Qur’an El-Suchary Purbalingga,
Jawa Tengah, oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri pada Minggu (16/12/2012)
menggerahkan banyak kalangan, terutama pemerhati dan praktisi
pesantren.
Pengasuh Ponpes El-Suchary, KH Ahmad
Thoha Makhsun, membantah penangkapan tersebut terkait dengan aktivitas
pesantren asuhannya. Dalam siaran pers yang ia kirim ke pelbagai media
massa, Thoha menerangkan bahwa Ali merupakan santri yang baru 2 bulan
berada di pesantrennya. Selain itu, polisi tidak menangkap Ali di
lingkungan pesantren, melainkan di jalan saat pulang dari berbelanja di
pasar.
Menurut informasi yang beredar, sebelum hijrah ke Purbalingga, Ali lama nyantri di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo, pimpinan terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir.
Terkait dengan hal ini, Miftah Faqih,
Sekretaris Jenderal Robithoh Ma’ahid Islamiyah (Badan Otonom di bawah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang membidangi urusan Pondok Pesantren)
menegaskan bahwa pesantren Indonesia tidak mungkin memproduksi teroris.
“Pesantren itu jika dipolarisasikan ada
dua jenis; pesantren Indonesia dan pesantren yang ada di Indonesia,”
katanya kepada Lazuardi Birru.
“Pesantren Indonesia”, dalam hemat
Miftah, mengajarkan keberagaman, ramah terhadap kebhinnekaan, dan
menghargai kearifan lokal. Lebih dari itu, orientasi pendidikan yang
dijalankan oleh “pesantren Indonesia” adalah dalam rangka pembangunan
bangsa.
“Membela Negara adalah bagian dari
membangun pesantren itu sendiri,” tandas mantan aktivis LSM Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta itu.
Sementara tipe “pesantren yang ada di
Indonesia”, lanjut Miftah, adalah pesantren yang tidak memikirkan sama
sekali tentang Indonesia lantaran mengusung ideologi impor untuk
kepentingan luar Indonesia.
“Biasanya pesantren seperti ini tidak
ramah terhadap pluralitas, tereksklusi dari masyarakat sekitar,
menentang Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Mereka seperti ngekost saja di negeri ini,” ujarnya.
Lebih jauh ia menyatakan bahwa pesantren
Indonesia tidak pernah mengajarkan kekerasan sebagai solusi. Hal itu
berbeda dengan asrama pendidikan di Afghanistan dan Pakistan. “Pesantren
yang mengajarkan kekerasan di Pakistan bernama Madras,” ungkapnya.
Terkait pemaknaan jihad, kalangan
“pesantren Indonesia” berbeda dengan “Pesantren yang ada di Indonesia”.
iftah merujuk pada jihad di kitab Fathul Muin, salah satu kitab yang
banyak dikaji di “pesantren-pesantren Indonesia”.
“Jihad dalam kitab tersebut berfungsi sebagai daf’udhororil mas’shumin (membeli perlindungan kepada warga dari kemudaratan). Jihad bukan berarti hanya pertumpahan darah atau alqatl,” tandasnya.
Pemaknaan kalangan pesantren Indonesia
terhadap jihad, sambung Miftah, juga sangat kontekstual. Di masa lalu
ketika ada kolonialisme, maka jihad dimaknai sebagai pertempuran di
medan perang melawan pasukan kolonial yang hendak merebut kemerdekaan
RI.
“Maka waktu itu KH. Hasyim Asy’ari, tokoh
pesantren Indonesia, menelurkan resolusi jihad yang mewajibkan rakyat
untuk berperang melawan pasukan sekutu. Tetapi saat ini pesantren tidak
mengajarkan yang demikian karena situasinya sudah damai,” tegasnya.
(fiQ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar