Senin, 18 Maret 2013

Pesantren Indonesia Tak Memproduksi Teroris!

 

Penangkapan Ali Zainal Abidin, santri Ponpes Pesantren Ma’had Aly Tahfidhul Qur’an El-Suchary Purbalingga, Jawa Tengah, oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri pada Minggu (16/12/2012) menggerahkan banyak kalangan, terutama pemerhati dan praktisi pesantren.

Pengasuh Ponpes El-Suchary, KH Ahmad Thoha Makhsun, membantah penangkapan tersebut terkait dengan aktivitas pesantren asuhannya. Dalam siaran pers yang ia kirim ke pelbagai media massa, Thoha menerangkan bahwa Ali merupakan santri yang baru 2 bulan berada di pesantrennya. Selain itu, polisi tidak menangkap Ali di lingkungan pesantren, melainkan di jalan saat pulang dari berbelanja di pasar.

Menurut informasi yang beredar, sebelum hijrah ke Purbalingga, Ali lama nyantri di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo, pimpinan terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir.
Terkait dengan hal ini, Miftah Faqih, Sekretaris Jenderal Robithoh Ma’ahid Islamiyah (Badan Otonom di bawah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang membidangi urusan Pondok Pesantren) menegaskan bahwa pesantren Indonesia tidak mungkin memproduksi teroris.

“Pesantren itu jika dipolarisasikan ada dua jenis; pesantren Indonesia dan pesantren yang ada di Indonesia,” katanya kepada Lazuardi Birru.
“Pesantren Indonesia”, dalam hemat Miftah, mengajarkan keberagaman, ramah terhadap kebhinnekaan, dan menghargai kearifan lokal. Lebih dari itu, orientasi pendidikan yang dijalankan oleh “pesantren Indonesia” adalah dalam rangka pembangunan bangsa.

“Membela Negara adalah bagian dari membangun pesantren itu sendiri,” tandas mantan aktivis LSM Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta itu.
Sementara tipe “pesantren yang ada di Indonesia”, lanjut Miftah, adalah pesantren yang tidak memikirkan sama sekali tentang Indonesia lantaran mengusung ideologi impor untuk kepentingan luar Indonesia.
“Biasanya pesantren seperti ini tidak ramah terhadap pluralitas, tereksklusi dari masyarakat sekitar, menentang Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Mereka seperti ngekost saja di negeri ini,” ujarnya.

Lebih jauh ia menyatakan bahwa pesantren Indonesia tidak pernah mengajarkan kekerasan sebagai solusi. Hal itu berbeda dengan asrama pendidikan di Afghanistan dan Pakistan. “Pesantren yang mengajarkan kekerasan di Pakistan bernama Madras,” ungkapnya.

Terkait pemaknaan jihad, kalangan “pesantren Indonesia” berbeda dengan “Pesantren yang ada di Indonesia”.  iftah merujuk pada jihad di kitab Fathul Muin, salah satu kitab yang banyak dikaji di “pesantren-pesantren Indonesia”.

“Jihad dalam kitab tersebut berfungsi sebagai daf’udhororil mas’shumin (membeli perlindungan kepada warga dari kemudaratan). Jihad bukan berarti hanya pertumpahan darah atau alqatl,” tandasnya.
Pemaknaan kalangan pesantren Indonesia terhadap jihad, sambung Miftah, juga sangat kontekstual. Di masa lalu ketika ada kolonialisme, maka jihad dimaknai sebagai pertempuran di medan perang melawan pasukan kolonial yang hendak merebut kemerdekaan RI.

“Maka waktu itu KH. Hasyim Asy’ari, tokoh pesantren Indonesia, menelurkan resolusi jihad yang mewajibkan rakyat untuk berperang melawan pasukan sekutu. Tetapi saat ini pesantren tidak mengajarkan yang demikian karena situasinya sudah damai,” tegasnya. (fiQ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar