Pemerintah setiap tahun mengeluarkan
dana triliunan rupiah untuk dana bantuan sosial. Jumlahnya sungguh fantastis.
Pada periode 2007-2011, anggaran bansos yang disiapkan pemerintah mencapai Rp
300,94 triliun untuk tingkat daerah dan pusat. Tahun 2012, alokasi dana bansos
sekitar Rp 47 triliun dan pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp 63,4 triliun.
Sayangnya, penyaluran dana bantuan
sosial (bansos) rawan diselewengkan dan melenceng dari tujuan awalnya, yaitu
untuk kesejahteraan rakyat. Potensi terjadi penyimpangan atau korupsi sangat
tinggi mengingat alokasi dana bansos yang sangat besar. Korupsi dana
bansos sudah menjadi wabah seperti penyakit karena menyebar ke sejumlah daerah.
Pada 2007, Badan Pemeriksa Keuangan
mengungkapkan adanya realisasi anggaran bansos sebesar Rp 1,015 triliun yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hasil pemeriksaan BPK semester I/2010 juga
menemukan penyimpangan penggunaan dana bansos di 19 provinsi yang nilainya
mencapai Rp 765 miliar. Potensi korupsi dana bansos di sejumlah pemerintah
daerah juga sudah diingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kajian yang
dibuat pada 2011. KPK menemukan persoalan dana bansos dalam dua aspek utama,
yaitu regulasi dan tata laksana.
Ketidaksinkronan Regulasi
Dari aspek regulasi, KPK menemukan
adanya ketidaksinkronan antara kebijakan Menteri Dalam Negeri dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) terkait bansos. Juga tidak ditemukan adanya
ketentuan yang mengatur tentang keadilan dalam pengelolaan dana bansos.
Dalam aspek tata laksana ditemukan
sejumlah masalah dalam proses penganggaran, penyaluran, pertanggungjawaban, dan
pengawasan. Peruntukan dana bansos juga sangat bervariasi, mulai dari
kepentingan pribadi dan atau keluarga, menyumbang tempat ibadah, membantu organisasi
masyarakat atau keagamaan atau kepemudaan dan tokoh agama, hingga membiayai
klub sepak bola di daerah. Modus korupsi dana bansos biasanya beragam. Modus
yang sering terjadi adalah pemberian bantuan tanpa pengajuan, pemberian bantuan
melebihi alokasi, pemotongan bantuan, pemberian bantuan tanpa
pertanggungjawaban penggunaan, dan proposal atau bantuan fiktif.
Potensi penyimpangan terjadi karena
tidak ada pedoman umum yang rinci tentang penyaluran dana bansos. Selain itu,
mekanisme penyaluran dana yang dibuat pemerintah daerah sering kali dipengaruhi
kepentingan elite politik atau partai politik tertentu. Alokasi dana bansos
biasanya mengalami peningkatan menjelang penyelenggaraan pemilihan umum atau
pemilihan kepala daerah (pilkada).
Contoh terbaru terjadi di Jawa Barat
(Jabar). Dana bansos menjelang Pilkada 2013 dilaporkan meningkat dari
sebelumnya Rp 173,2 miliar menjadi Rp 4,8 triliun. Alokasi dana bansos di
antaranya untuk bantuan 5.304 desa di Jabar, masing-masing desa menerima Rp 100
juta (Kompas, 19/2). Kenaikan jumlah dana bansos secara berlipat dari tahun
sebelumnya juga terjadi di daerah lain yang akan menyelenggarakan pilkada pada
tahun 2013 seperti Bali, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur.
Tidak dapat dimungkiri, akibat
penyimpangan yang terjadi, dana bansos menjelma menjadi dana bantuan koruptor.
Korupsi dana bansos melahirkan sejumlah aktor atau pelaku utama korupsi seperti
kepala daerah, pejabat di lingkungan pemerintah daerah, serta anggota dan
pimpinan parlemen daerah. Aktor lain yang juga terlibat adalah pengurus
yayasan, panitia pembangunan rumah ibadah, lembaga pendidikan, partai politik,
ataupun organisasi masyarakat. Dari sekian banyak aktor, kepala daerah yang
mencalonkan kembali (petahana) paling sering memanfaatkan peluang ini karena
memiliki berbagai kewenangan untuk menentukan anggaran. Aturan yang longgar dan
tidak adanya transparansi menyebabkan dana bansos rawan disimpangkan dan hanya
bisa diakses atau dinikmati kelompok tertentu yang dekat dengan elite penguasa.
Dua Pendekatan
Menyelesaikan persoalan wabah
korupsi dana bansos sesungguhnya dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu
penindakan dan pencegahan. Dari aspek penindakan, kasus korupsi dana bansos
yang terjadi harus segera diproses secara hukum hingga ke pengadilan. Hal ini
penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku atau terapi kejut bagi calon
pelaku yang mencoba merampok dana bansos.
Realitasnya, sudah banyak kasus dana
bansos yang telah diproses penegak hukum. KPK melansir, sampai 2012 sedikitnya
20 kasus korupsi dana bansos ditangani KPK di tingkat penyelidikan dan
penyidikan. Baik Kejaksaan maupun Kepolisian—dalam catatan Indonesia
Corruption Watch—sejak 2007-2012 telah menangani sedikitnya 120 kasus
korupsi dana bansos di seluruh Indonesia. Dana bansos yang dikorupsi mulai dari
jutaan rupiah hingga ratusan miliar rupiah. Sebagian pelaku bahkan telah
dihukum bersalah dan dijebloskan ke penjara.
Sementara dari aspek pencegahan,
setidaknya ada dua alternatif yang bisa dipilih untuk menghindari terjadinya
korupsi dana bansos di masa mendatang. Pertama, penghapusan alokasi dana bansos
dalam anggaran daerah dan nasional. Usulan ini pernah dilontarkan BPK pada 2011
karena seringnya lembaga ini menemukan penyaluran bantuan sosial di daerah yang
sebagian besar tidak jelas pertanggungjawabannya. BPK merekomendasikan pos
anggaran bantuan sosial dihapus dan diganti dengan metode lain.
Kedua, menghentikan sementara
(moratorium) penyaluran dana bansos, terutama di daerah yang akan menggelar pilkada.
Langkah ini diharapkan dapat mencegah terulangnya kembali penyalahgunaan dana
bansos dan menjamin proses pilkada berjalan secara lebih fair.
Pada masa moratorium, pemerintah
sebaiknya menindaklanjuti hasil kajian KPK tentang dana bansos, khususnya pada
bidang regulasi dan tata laksana. Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011, termasuk perubahannya yang saat ini menjadi
pedoman dalam pengelolaan dana bansos. Regulasi tersebut masih dinilai lemah
dari aspek transparansi dan akuntabilitas serta masih membuka peluang bagi
legalisasi korupsi dana bansos.
Kementerian Dalam Negeri dapat
melibatkan KPK dalam membuat aturan khusus yang rinci dan ketat terkait dengan
pengelolaan dana bansos. Tindakan pencegahan ini penting dilakukan untuk
menghindari kerugian negara yang lebih besar dan mencegah terulangnya praktik
korupsi dana bansos. Pada akhirnya, dana yang berasal dari rakyat harus kembali
kepada rakyat dan bukan untuk koruptor.
Emerson
Yuntho
Anggota
Badan Pekerja ICW
Sumber: Kompas,
01 Maret 2013
(Kliping Opini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar