Tak dapat dimungkiri, menyandang
status pengawai negeri sipil (PNS) yang populer dengan sebutan "abdi
negara" saat ini masih menjadi primadona. Gaji dan tunjangan tiap bulan
yang memadai serta jaminan pensiun di masa depan adalah iming-iming yang
menggiurkan. Hal itu masih ditambah dengan kebanggaan bagi pribadi maupun
keluarga di mata masyarakat.
Maka tidak mengherankan, ketika
dibuka pendaftaran CPNS di berbagai instansi pemerintahan, para pencari kerja
berduyun-duyun mendaftarkan diri untuk memperebutkan formasi yang ada. Tak ayal
lagi, momentum pendaftaran CPNS selalu ditunggu-tungu tiap tahunnya. Bahkan,
ada yang menempuh jalan pintas asalkan bisa menjadi PNS.
Sebenarnya menjadi PNS bukanlah
amanah yang ringan, namun sarat dengan beban moral dan tugas berat yang mesti
diemban. Pada tataran idealitas, PNS adalah pelayan bagi masyarakat (public
servant) sesuai dengan bidangnya masing-masing. PNS, bukan untuk dilayani
dan dimanjakan oleh masyarakat.
Sungguh amat memprihatinkan ketika
menyembul ke permukaan banyaknya jumlah PNS bermasalah. Menurut Mendagri,
berdasarkan data terakhir yang diterima hingga November 2012, terdapat 1.091
PNS bermasalah dalam kurun dua tahun terakhir. Padahal itu belum semua data
dari daerah masuk ke Kemendagri. Dari jumlah tersebut, 60 persen diantaranya
tersangkut kasus korupsi.
Padahal, saat ini korupsi
ditahbiskan sebagai musuh bersama (common enemy) di Republik ini. Hampir tiap
hari, masyarakat disodori berbagai berita kasus korupsi yang terpampang di
berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Akhirnya, memori publik
mulai terbiasa dengan berita-berita korupsi dari kelas gurem sampai kelas
gajah, pelakunya individu maupun berjamaah.
Banyaknya jumlah PNS yang terlibat
kasus korupsi ini tentu sangat melukai rasa keadilan masyarakat, terutama di
level bawah. PNS adalah sosok yang semestinya mampu menjadi teladan dalam
bersikap dan berperilaku bagi masyarakat.
Dalam kacamata mereka, PNS adalah
golongan yang mewakili kemapanan dan kesejahteraan, baik dari sisi ekonomi
maupun sosial. Maka alangkah tidak mulianya jika ada oknum yang nekat
berperilaku korup demi memuaskan kepentingan pribadi maupun kelompok.
Padahal, di sekitar kita masih
terpapar secara jelas realitas masyarakat yang kehidupannya berselimutkan
penderitaan. Masih jamak di antara mereka yang selalu diliputi kegelisahan
dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sementara di sisi lain, dengan tanpa
rasa bersalah dan berdosa, para koruptor nekat berkorupsi ria dan bergaya hidup
hedonistis dengan pundi-pundi harta dari hasil korupsinya itu.
Fenomena korupsi di negeri ini
memang menggemaskan karena telah mentradisi dan terjadi secara masif. Tidak
heran kemudian muncul kegeraman publik dan ketidakpercayaan (distrust)
terhadap oknum yang korup.
Kegeraman itu kian memuncak tatkala
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi
berkali-kali coba dilemahkan dengan modus constitutional review maupun
legislative review.
Di tengah pusaran arus modernitas
dan globalisasi, materialisme dan konsumerisme turut berkontribusi besar
terhadap suburnya perilaku korupsi. Paham materialisme berorientasi kecintaan
pada materi secara berlebihan. Sedangkan konsumerisme mendoktrin bahwa untuk
menggapai kesenangan adalah dengan cara memperoleh barang-barang demi menaikkan
status sosial dan gengsi di mata publik.
Celakanya, dalam kondisi demikian,
idealisme menjadi sesuatu yang kian langka dan kerap tergadaikan oleh dorongan
nafsu koruptif-manipulatif. Apalagi dalam sebuah belantara institusi yang sudah
tidak ideal, benteng idealisme semakin berpeluang keropos dan roboh secara
pelan-pelan. Sedangkan individu idealis kerap dicap sebagai "sok
suci" karena dianggap tidak bisa memahami dan mengikuti kultur yang sudah
mapan.
Selanjutnya harus ada upaya yang
serius dan sistematis untuk memberantas praktik korupsi dalam birokrasi kita.
Sedangkan untuk menciptakan tatanan birokrasi antikorupsi jelas meniscayakan
adanya transparansi, baik dalam hal laporan keuangan, harta kekayaan
penyelenggara negara, pengadaan barang dan jasa, promosi-mutasi, dan lainnya.
Jika semuanya dilakukan secara
transparan akan bisa meminimalisasi terjadinya praktik korupsi dan akhirnya
dapat mengundang kepercayaan publik. Selanjutnya transparansi itu juga mesti
dibarengi dengan pelayanan publik secara optimal.
Selain itu, pendidikan antikorupsi
secara berkesinambungan juga perlu digelorakan di masing-masing instansi
pemerintahan sebagai upaya menumbuhkan spirit dan nilai-nilai antikorupsi.
Rekrutmen PNS seyogianya juga mempertimbangkan aspek moralitas dan
spiritualitas yang mempunyai peran sentral sebagai pengendali diri sebagai abdi
negara.
Pemberantasan korupsi juga perlu
keteladanan dan inspirasi. Dalam lintasan sejarah Islam, sosok khalifah Umar bin
Abdul Aziz, adalah prototipe pemimpin antikorupsi. Ia adalah figur tangguh
sekaligus unik di tengah pusaran para pemimpin korup. Ia sangat selektif
mempertimbangkan antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga,
keduanya tidak pernah dicampuradukkan.
Kisah fenomenal khalifah Umar bin
Abdul Aziz adalah ketika ia sedang berada di kamar istana mengerjakan sesuatu
berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu
ingin menemuinya.
Sebelum masuk, khalifah menanyakan
keperluan anaknya itu. Oleh karena anaknya bertemu untuk urusan keluarga, Umar
langsung mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. Anaknya pun
heran menanyakan mengapa lampunya dimatikan. Khalifah menjawab bahwa lampu yang
digunakan itu merupakan fasilitas negara, sementara ia dan anaknya mau
membicarakan urusan keluarga, itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
Fakhruddin
Aziz
Alumnus
UIN Yogyakarta
Sumber: Suara
Karya, 28 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar