Senin, 04 Maret 2013

Menjadi Abdi Negara Tanpa Korupsi





Tak dapat dimungkiri, menyandang status pengawai negeri sipil (PNS) yang populer dengan sebutan "abdi negara" saat ini masih menjadi primadona. Gaji dan tunjangan tiap bulan yang memadai serta jaminan pensiun di masa depan adalah iming-iming yang menggiurkan. Hal itu masih ditambah dengan kebanggaan bagi pribadi maupun keluarga di mata masyarakat.

Maka tidak mengherankan, ketika dibuka pendaftaran CPNS di berbagai instansi pemerintahan, para pencari kerja berduyun-duyun mendaftarkan diri untuk memperebutkan formasi yang ada. Tak ayal lagi, momentum pendaftaran CPNS selalu ditunggu-tungu tiap tahunnya. Bahkan, ada yang menempuh jalan pintas asalkan bisa menjadi PNS.

Sebenarnya menjadi PNS bukanlah amanah yang ringan, namun sarat dengan beban moral dan tugas berat yang mesti diemban. Pada tataran idealitas, PNS adalah pelayan bagi masyarakat (public servant) sesuai dengan bidangnya masing-masing. PNS, bukan untuk dilayani dan dimanjakan oleh masyarakat.

Sungguh amat memprihatinkan ketika menyembul ke permukaan banyaknya jumlah PNS bermasalah. Menurut Mendagri, berdasarkan data terakhir yang diterima hingga November 2012, terdapat 1.091 PNS bermasalah dalam kurun dua tahun terakhir. Padahal itu belum semua data dari daerah masuk ke Kemendagri. Dari jumlah tersebut, 60 persen diantaranya tersangkut kasus korupsi.

Padahal, saat ini korupsi ditahbiskan sebagai musuh bersama (common enemy) di Republik ini. Hampir tiap hari, masyarakat disodori berbagai berita kasus korupsi yang terpampang di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Akhirnya, memori publik mulai terbiasa dengan berita-berita korupsi dari kelas gurem sampai kelas gajah, pelakunya individu maupun berjamaah.

Banyaknya jumlah PNS yang terlibat kasus korupsi ini tentu sangat melukai rasa keadilan masyarakat, terutama di level bawah. PNS adalah sosok yang semestinya mampu menjadi teladan dalam bersikap dan berperilaku bagi masyarakat.

Dalam kacamata mereka, PNS adalah golongan yang mewakili kemapanan dan kesejahteraan, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Maka alangkah tidak mulianya jika ada oknum yang nekat berperilaku korup demi memuaskan kepentingan pribadi maupun kelompok.

Padahal, di sekitar kita masih terpapar secara jelas realitas masyarakat yang kehidupannya berselimutkan penderitaan. Masih jamak di antara mereka yang selalu diliputi kegelisahan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sementara di sisi lain, dengan tanpa rasa bersalah dan berdosa, para koruptor nekat berkorupsi ria dan bergaya hidup hedonistis dengan pundi-pundi harta dari hasil korupsinya itu.

Fenomena korupsi di negeri ini memang menggemaskan karena telah mentradisi dan terjadi secara masif. Tidak heran kemudian muncul kegeraman publik dan ketidakpercayaan (distrust) terhadap oknum yang korup.

Kegeraman itu kian memuncak tatkala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi berkali-kali coba dilemahkan dengan modus constitutional review maupun legislative review.

Di tengah pusaran arus modernitas dan globalisasi, materialisme dan konsumerisme turut berkontribusi besar terhadap suburnya perilaku korupsi. Paham materialisme berorientasi kecintaan pada materi secara berlebihan. Sedangkan konsumerisme mendoktrin bahwa untuk menggapai kesenangan adalah dengan cara memperoleh barang-barang demi menaikkan status sosial dan gengsi di mata publik.

Celakanya, dalam kondisi demikian, idealisme menjadi sesuatu yang kian langka dan kerap tergadaikan oleh dorongan nafsu koruptif-manipulatif. Apalagi dalam sebuah belantara institusi yang sudah tidak ideal, benteng idealisme semakin berpeluang keropos dan roboh secara pelan-pelan. Sedangkan individu idealis kerap dicap sebagai "sok suci" karena dianggap tidak bisa memahami dan mengikuti kultur yang sudah mapan.

Selanjutnya harus ada upaya yang serius dan sistematis untuk memberantas praktik korupsi dalam birokrasi kita. Sedangkan untuk menciptakan tatanan birokrasi antikorupsi jelas meniscayakan adanya transparansi, baik dalam hal laporan keuangan, harta kekayaan penyelenggara negara, pengadaan barang dan jasa, promosi-mutasi, dan lainnya.

Jika semuanya dilakukan secara transparan akan bisa meminimalisasi terjadinya praktik korupsi dan akhirnya dapat mengundang kepercayaan publik. Selanjutnya transparansi itu juga mesti dibarengi dengan pelayanan publik secara optimal.

Selain itu, pendidikan antikorupsi secara berkesinambungan juga perlu digelorakan di masing-masing instansi pemerintahan sebagai upaya menumbuhkan spirit dan nilai-nilai antikorupsi. Rekrutmen PNS seyogianya juga mempertimbangkan aspek moralitas dan spiritualitas yang mempunyai peran sentral sebagai pengendali diri sebagai abdi negara.

Pemberantasan korupsi juga perlu keteladanan dan inspirasi. Dalam lintasan sejarah Islam, sosok khalifah Umar bin Abdul Aziz, adalah prototipe pemimpin antikorupsi. Ia adalah figur tangguh sekaligus unik di tengah pusaran para pemimpin korup. Ia sangat selektif mempertimbangkan antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga, keduanya tidak pernah dicampuradukkan.

Kisah fenomenal khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah ketika ia sedang berada di kamar istana mengerjakan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemuinya.

Sebelum masuk, khalifah menanyakan keperluan anaknya itu. Oleh karena anaknya bertemu untuk urusan keluarga, Umar langsung mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. Anaknya pun heran menanyakan mengapa lampunya dimatikan. Khalifah menjawab bahwa lampu yang digunakan itu merupakan fasilitas negara, sementara ia dan anaknya mau membicarakan urusan keluarga, itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara.

Fakhruddin Aziz
Alumnus UIN Yogyakarta
Sumber: Suara Karya, 28 Februari 2013

(Kliping Opini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar