(Antara News)
Apa
yang dilakukan sebagian kelompok masyarakat yang meminta Densus 88 Antiteror
dibubarkan karena diduga melanggar HAM bisa dipahami sebagai pembelaan tak
langsung terhadap kelompok teror. Hal ini tak lain karena detasmen khusus antiteror
itu dibentuk dan bekerja untuk melindungi masyarakat dari ancaman terorisme.
Memang
pembelaan di atas tidak bersifat langsung karena tidak membenarkan semua aksi
kejahatan yang telah dilakukan oleh para teroris. Pun demikian pembealaan di
atas tidak memuja-muji dan membenarkan apa yang dilakukan oleh kelompok teroris
seperti kerap dilakukan oleh sebagian kelompok ekstrem. Tapi pembelaan dalam
bentuk pembubaran Densus 88 justru lebih hebat dan vital dibanding pembelaan
terhadap para teroris dalam bentuk puja-puji.
Hal
ini tak lain karena seperti telah disampaikan, selama ini Densus dibentuk dan
bekerja untuk melindungi masyarakat dari pelbagai macam aksi terorisme.
Logikanya adalah, di saat Densus bekerja dan beroperasi secara gencar seperti
sekarang, terorisme masih kerap mengancam masyarakat di pelbagai macam
bentuknya. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila Densus dibubarkan.
Adalah
benar pembubaran Densus tidak berarti terorisme akan dibiarkan terus menebar
ancaman. Karena sebagian dari mereka yang menuntut pembubaran Densus juga
menginginkan agar persoalan terorisme (nantinya) ditangani khusus oleh lembaga
lain yang bisa dibentuk setelah Densus dibubarkan.
Persoalannya
adalah, adakah jaminan bahwa lembaga baru antiteror pengganti Densus nantinya
tidak akan digugat seperti yang dilakukan terhadap Densus sekarang? Bila ini
terjadi, pertanyaan selanjutnya, sampai kapan detasmen khusus yang sangat urgen
seperti Densus 88 ini akan dibongkar-pasang dan digonta-ganti timnya? Sementara
di seberang sana, kelompok teroris dan simapatisannya terus membangun basis
jaringan dan strategi aksi yang jauh lebih canggih.
Hal
ini tak berarti bahwa kinerja Densus disucikan dari kesalahan dan kealpaan.
Faktanya ada beberapa orang yang menjadi korban salah tangkap bahkan salah
tembak di lapangan. Dalam konteks seperti ini, Densus 88 dipastikan melakukan
pelanggaran HAM, berapa pun kadarnya.
Namun
demikian, tetap saja tuntutan pembubaran Densus 88 atas nama HAM sulit diterima
oleh logika umum, khususnya bagi mereka yang pernah menjadi korban aksi
terorisme. Dikatakan demikian karena para teroris tidak pernah menghormati HAM
orang lain, bahkan mengafirkan konsep HAM karena dianggap datang dari
orang-orang Barat.
Sungguh
tidak adil, para teroris yang kerap melakukan kejahatan kemanusiaan dan mengafirkan
konsep HAM mendapatkan pembelaan atas nama HAM. Apalagi pembelaan ini dilakukan
oleh orang/pihak yang selama ini dikenal moderat. Terlebih lagi pembelaan seperti
di atas juga datang dari sebagian orang/pihak yang dikenal sebagai aktivis HAM.
Memang
HAM mempunyai “kebaikan konsepsi” yang harus senantiasa diperhatikan. Atas nama
HAM, siapa pun harus dibela, termasuk para teroris. Tapi dalam konteks logika
kemaslahatan publik yang menjadi semangat utama dari pembentukan Densus 88,
perlindungan HAM yang lebih besar dan berdampak massif harus dikedepankan
dibanding perlindungan HAM yang lebih terbatas apalagi hanya segelintir orang.
Melindungi kemaslahatan masyarakat luas dari kejahatan terorisme adalah
perlindungan HAM lebih besar dan lebih massif yang harus diutamakan dibanding
perlindungan HAM yang lebih kecil yang dimiliki oleh para teroris.
Oleh
sebab itu, sejatinya semua kekurangan yang dialami atau dilakukan oleh Densus
88 dievaluasi dalam semangat untuk memperkuat detasmen khusus ini. Bila ada
anggota Densus 88 yang terbukti bersalah dan melanggar ketentuan, maka harus
ditindak tegas. Tapi tidak dengan membubarkan satuannya yang masih sangat
dibutuhkan, setidaknya untuk saat-saat ini.
(Redaksi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar