Rabu, 06 Maret 2013

HAM Para Teroris?



                                                                          (Antara News)       

Apa yang dilakukan sebagian kelompok masyarakat yang meminta Densus 88 Antiteror dibubarkan karena diduga melanggar HAM bisa dipahami sebagai pembelaan tak langsung terhadap kelompok teror. Hal ini tak lain karena detasmen khusus antiteror itu dibentuk dan bekerja untuk melindungi masyarakat dari ancaman terorisme.

Memang pembelaan di atas tidak bersifat langsung karena tidak membenarkan semua aksi kejahatan yang telah dilakukan oleh para teroris. Pun demikian pembealaan di atas tidak memuja-muji dan membenarkan apa yang dilakukan oleh kelompok teroris seperti kerap dilakukan oleh sebagian kelompok ekstrem. Tapi pembelaan dalam bentuk pembubaran Densus 88 justru lebih hebat dan vital dibanding pembelaan terhadap para teroris dalam bentuk puja-puji.

Hal ini tak lain karena seperti telah disampaikan, selama ini Densus dibentuk dan bekerja untuk melindungi masyarakat dari pelbagai macam aksi terorisme. Logikanya adalah, di saat Densus bekerja dan beroperasi secara gencar seperti sekarang, terorisme masih kerap mengancam masyarakat di pelbagai macam bentuknya. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila Densus dibubarkan.

Adalah benar pembubaran Densus tidak berarti terorisme akan dibiarkan terus menebar ancaman. Karena sebagian dari mereka yang menuntut pembubaran Densus juga menginginkan agar persoalan terorisme (nantinya) ditangani khusus oleh lembaga lain yang bisa dibentuk setelah Densus dibubarkan.

Persoalannya adalah, adakah jaminan bahwa lembaga baru antiteror pengganti Densus nantinya tidak akan digugat seperti yang dilakukan terhadap Densus sekarang? Bila ini terjadi, pertanyaan selanjutnya, sampai kapan detasmen khusus yang sangat urgen seperti Densus 88 ini akan dibongkar-pasang dan digonta-ganti timnya? Sementara di seberang sana, kelompok teroris dan simapatisannya terus membangun basis jaringan dan strategi aksi yang jauh lebih canggih.

Hal ini tak berarti bahwa kinerja Densus disucikan dari kesalahan dan kealpaan. Faktanya ada beberapa orang yang menjadi korban salah tangkap bahkan salah tembak di lapangan. Dalam konteks seperti ini, Densus 88 dipastikan melakukan pelanggaran HAM, berapa pun kadarnya.

Namun demikian, tetap saja tuntutan pembubaran Densus 88 atas nama HAM sulit diterima oleh logika umum, khususnya bagi mereka yang pernah menjadi korban aksi terorisme. Dikatakan demikian karena para teroris tidak pernah menghormati HAM orang lain, bahkan mengafirkan konsep HAM karena dianggap datang dari orang-orang Barat.

Sungguh tidak adil, para teroris yang kerap melakukan kejahatan kemanusiaan dan mengafirkan konsep HAM mendapatkan pembelaan atas nama HAM. Apalagi pembelaan ini dilakukan oleh orang/pihak yang selama ini dikenal moderat. Terlebih lagi pembelaan seperti di atas juga datang dari sebagian orang/pihak yang dikenal sebagai aktivis HAM.

Memang HAM mempunyai “kebaikan konsepsi” yang harus senantiasa diperhatikan. Atas nama HAM, siapa pun harus dibela, termasuk para teroris. Tapi dalam konteks logika kemaslahatan publik yang menjadi semangat utama dari pembentukan Densus 88, perlindungan HAM yang lebih besar dan berdampak massif harus dikedepankan dibanding perlindungan HAM yang lebih terbatas apalagi hanya segelintir orang. Melindungi kemaslahatan masyarakat luas dari kejahatan terorisme adalah perlindungan HAM lebih besar dan lebih massif yang harus diutamakan dibanding perlindungan HAM yang lebih kecil yang dimiliki oleh para teroris.

Oleh sebab itu, sejatinya semua kekurangan yang dialami atau dilakukan oleh Densus 88 dievaluasi dalam semangat untuk memperkuat detasmen khusus ini. Bila ada anggota Densus 88 yang terbukti bersalah dan melanggar ketentuan, maka harus ditindak tegas. Tapi tidak dengan membubarkan satuannya yang masih sangat dibutuhkan, setidaknya untuk saat-saat ini.

(Redaksi) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar