Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
Pernahkah kita bertanya tentang orang-orang hebat yang
telah mampu menginspirasi negeri bahkan dunia, bagi mereka terkadang sekolah
bukanlah persoalan tapi pendidikan bisa mereka dapatkan dimana saja, termasuk
dari jeruji besi sekalipun. Tidak jarang kita mendengar para tokoh yang
menuliskan pikiran nya justru ketika dalam sel tahanan tersebut. Buya Hamka telah
menuliskan karya tafsir Al Azharnya di bilik penjara, Tan
Malaka, tokoh besar
dalam sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia. Ia menulis buku Madilog di
penjara. Aidh Abdullah bangkit dari kesedihan dengan kitab nya La
Tahzan. Kitab ini di karang saat ia berada dibalik jeruji besi,
presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno juga menulis
sebuah pledoi (Pidato pembelaan) yang diberi nama Indonesia Menggugat.
Pledoi ini kemudian dibacakan di Gedung landraad (pengadilan rendah) pemerintah
kolonial Belanda di Bandung. Bagi para tokoh ini penjara bukanlah tempat
mengubur mimpi untuk memberi sejuta inspirasi.
Banyak institusi pendidikan saat ini yang memberikan
kesempatan buat anak negeri untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan jenjang
formal yaitu menduduki bangku sekolah maupun universitas, seharusnya dari
kesempatan itu kita bisa membangun sebuah mindset
sebagai agent perubah, pencipta, peneliti, lahir para ilmuwan maupun para
pakar, bukan sebaliknya hanya menumpang kan nama untuk mendapatkan ijazah demi
gelar sarjana, master dan doktor, kesempatan beasiswa juga terbuka dari
berbagai yayasan, kementerian dan lembaga. Adanya pro dan kontra terkait
keberlangsungan pendidikan, institusi yang mengajarkan dan mudah nya
mendapatkan gelar dari universitas di negeri ini menjadikan salah satu standar
pendidikan kita dipertanyakan, namun bukan langkah bijak bagi kita tentu nya
jika hanya menyalahkan keadaan, hal yang harus di pikir dan direnungkan adalah
bagaimana keberadaan kita mempunyai arti buat semua lapisan. Pendidikan di
instansi formal tentu nya mengajarkan teori di ruangan, namun perlu kita ketahui
salah satu kunci kesuksesan adalah jika pikiran kita tidak hanya sebatas nilai
dan angka, bagaimana ilmu yang kita peroleh bermanfaat buat orang banyak, tidak
hanya untuk kepentingan individu dan kelompok nya akhirnya merekayasa keadaan serta
keputusan yang begitu mudah berubah haluan.
Satu hal yang membedakan antara orang yang telah
berpendidikan tinggi dengan orang yang sekolah nya hanya sekolah rakyat biasa
saja adalah ilmu yang sifatnya teoritis saja, dengan ilmu pendidikan formal
setingkat s1, s2 maupun gelar doktor dengan mudah menempatkan diri di
instansi-instansi pemerintahan, bisa menjadi diplomat yang menempatkan bahasa
sesuai dengan tempatnya, teori dan penemuan nya cepat di akui oleh bangsa
maupun dunia. Dalam konsep pendidikan tentu nya kita ketahui ada istilah long life education (pendidikan seumur
hidup), bahkan jika kita ikut serta dalam promosi sidang terbuka program
doktoral maka akan selalu di sampaikan oleh ketua sidang bahwa pendidikan
formal memang sudah di puncaknya, karena tidak akan ada lagi pendidikan
setingkat formal yang berada di atasnya, gelar doktor dalam pendidikan formal merupakan
prestasi tertinggi, tapi justru di situ lah langkah besar kita untuk menemukan
segala kearifan dan kemuliaan hingga saatnya bisa memberikan
kontribusi-kontribusi berarti, tindak lanjut penelitian, sumbangan keilmuan,
hingga gelar ilmuwan dapat di peroleh yaitu profesor.
Di alam semesta yang terbentang luas ini, kita sudah
banyak tentunya berinteraksi dengan beragam pikiran, tugas dan tanggung jawab
kita tidak sebatas diri, tapi bisa jadi kebijakan kita mempengaruhi hajat hidup
orang banyak. Maka cukup jelas bahwa kematangan intelektual saja tentu tidak bisa
dalam menangkap pesan, dan tugas mulia itu. Inilah yang di maksudkan long life education tersebut di atas. Mungkin
kita sudah di ajarkan tentang matematika, bahasa, fisika, hingga betul-betul
mahir dalam keilmuan tersebut, namun untuk mencapai keberhasilan menjadi
manusia paripurna, maka ada hal lain yang mungkin kita lupakan. Diperlukan
kecerdasan emosional (EQ) yang akan memberikan keterampilan dalam bersosialiasi
dan berhubungan dengan orang lain, serta kecerdasan spiritual (SQ) yang akan
memberikan jawaban atas eksistensi diri.
Dengan ilmu kita tentu sanggup membuat nuklir,
menciptakan senjata pemusnah massal, dengan ilmu kita bisa melakukan terobosan
transportasi dan komunikasi. Keberadaan ilmu jika tidak di imbangi dengan
emosional yang terkelola dengan baik akan menjadi senjata makan tuan bagi
pemiliknya, semuanya menjadi sia-sia, pengelolaan emosi yang baik bisa kita
sederhanakan dengan bagaimana seorang diri mampu membaca keadaan, menjaga
perasaan, membahasakan dengan santun, tidak menyinggung perasaan dan
menyakitkan, itulah tugas dan fungsi kecerdasan emosional tersebut, bisa kita
bayangkan jika kita ingin menarik simpati orang lain dalam hal jual beli atau
bisnis, kita menawarkan sesuatu produk kepada orang lain jika tidak di barengi
rasa empati, sabar, peduli, dan pandai melihat situasi maka semuanya bisa
berubah dari untung kepada rugi, karena pasti nya orang yang tidak menghargai
orang lain di sisi nya maka sama hal nya ia memberikan ruang kepada orang lain
untuk tidak menghargai dirinya.
Penempatan spiritual yang menjadi hal terpenting
dalam kehidupan, setiap agama mengajarkan kasih sayang, Islam memberikan contoh
dan teladan melalaui para nabi-nabi-Nya. Bahkan Michael H Hart menempatkan
urutan nomor satu di antara deretan tokoh paling berpengaruh dalam kehidupan
dunia ini adalah Rasulullah SAW (red.
Nabi Muhammad Saw). tidak benar kiranya jika di katakan seperti ungkapan Karl
Max bahwa agama adalah racun kehidupan, tentu nya perlu di teliti lebih lanjut
keberagamaan ketika itu jika ingin mengambil sebuah kesimpulan, bahwa
keberagamaan sering nya menjadi korban politik. Agama yang hanif ini telah mengajarkan
kita tanggung jawab, kesederhanaan, cita-cita bernegara adalah Darussalam. Kesejahteraan yang
bermartabat, saling menjaga dan peduli. Itulah bingkai piagam Madinah, dan
gambaran seorang kepala pemerintah seperti Umar bin Abdul Aziz yang mempunyai
spirit Islam. Baiknya kita jangan mengorbankan agama dalam berbuat, jangan
menggadaikan idealisme kita dalam bernegara, dan jangan sekali-kali
mengedepankan keegoan kita dalam berpendapat. Karena hidup kita ini sangatlah
singkat, dan kelak akan diminta pertanggung jawabannya, marilah kita asah
kecerdasan berlogika, emosional, dan spiritual untuk bangsa dan kelak
melaporkannya di hapadapan Allah SWT.
* Penulis adalah Alumni Program Pasca Sarjana
Univ. Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar