Kamis, 09 Januari 2014

Universitas Kehidupan: Long Life Education



 
Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*

Pernahkah  kita bertanya tentang orang-orang hebat yang telah mampu menginspirasi negeri bahkan dunia, bagi mereka terkadang sekolah bukanlah persoalan tapi pendidikan bisa mereka dapatkan dimana saja, termasuk dari jeruji besi sekalipun. Tidak jarang kita mendengar para tokoh yang menuliskan pikiran nya justru ketika dalam sel tahanan tersebut. Buya Hamka telah menuliskan karya tafsir Al Azharnya di bilik penjara, Tan Malaka, tokoh besar dalam sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia. Ia menulis buku Madilog di penjara. Aidh Abdullah bangkit dari kesedihan dengan kitab nya La Tahzan. Kitab ini di karang saat ia berada dibalik jeruji besi, presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno juga menulis sebuah pledoi (Pidato pembelaan) yang diberi nama Indonesia Menggugat. Pledoi ini kemudian dibacakan di Gedung landraad (pengadilan rendah) pemerintah kolonial Belanda di Bandung. Bagi para tokoh ini penjara bukanlah tempat mengubur mimpi untuk memberi sejuta inspirasi.

Banyak institusi pendidikan saat ini yang memberikan kesempatan buat anak negeri untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan jenjang formal yaitu menduduki bangku sekolah maupun universitas, seharusnya dari kesempatan itu kita bisa membangun sebuah mindset sebagai agent perubah, pencipta, peneliti, lahir para ilmuwan maupun para pakar, bukan sebaliknya hanya menumpang kan nama untuk mendapatkan ijazah demi gelar sarjana, master dan doktor, kesempatan beasiswa juga terbuka dari berbagai yayasan, kementerian dan lembaga. Adanya pro dan kontra terkait keberlangsungan pendidikan, institusi yang mengajarkan dan mudah nya mendapatkan gelar dari universitas di negeri ini menjadikan salah satu standar pendidikan kita dipertanyakan, namun bukan langkah bijak bagi kita tentu nya jika hanya menyalahkan keadaan, hal yang harus di pikir dan direnungkan adalah bagaimana keberadaan kita mempunyai arti buat semua lapisan. Pendidikan di instansi formal tentu nya mengajarkan teori di ruangan, namun perlu kita ketahui salah satu kunci kesuksesan adalah jika pikiran kita tidak hanya sebatas nilai dan angka, bagaimana ilmu yang kita peroleh bermanfaat buat orang banyak, tidak hanya untuk kepentingan individu dan kelompok nya akhirnya merekayasa keadaan serta keputusan yang begitu mudah berubah haluan.

Satu hal yang membedakan antara orang yang telah berpendidikan tinggi dengan orang yang sekolah nya hanya sekolah rakyat biasa saja adalah ilmu yang sifatnya teoritis saja, dengan ilmu pendidikan formal setingkat s1, s2 maupun gelar doktor dengan mudah menempatkan diri di instansi-instansi pemerintahan, bisa menjadi diplomat yang menempatkan bahasa sesuai dengan tempatnya, teori dan penemuan nya cepat di akui oleh bangsa maupun dunia. Dalam konsep pendidikan tentu nya kita ketahui ada istilah long life education (pendidikan seumur hidup), bahkan jika kita ikut serta dalam promosi sidang terbuka program doktoral maka akan selalu di sampaikan oleh ketua sidang bahwa pendidikan formal memang sudah di puncaknya, karena tidak akan ada lagi pendidikan setingkat formal yang berada di atasnya, gelar doktor dalam pendidikan formal merupakan prestasi tertinggi, tapi justru di situ lah langkah besar kita untuk menemukan segala kearifan dan kemuliaan hingga saatnya bisa memberikan kontribusi-kontribusi berarti, tindak lanjut penelitian, sumbangan keilmuan, hingga gelar ilmuwan dapat di peroleh yaitu profesor.

Di alam semesta yang terbentang luas ini, kita sudah banyak tentunya berinteraksi dengan beragam pikiran, tugas dan tanggung jawab kita tidak sebatas diri, tapi bisa jadi kebijakan kita mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Maka cukup jelas bahwa kematangan intelektual saja tentu tidak bisa dalam menangkap pesan, dan tugas mulia itu. Inilah yang di maksudkan long life education tersebut di atas. Mungkin kita sudah di ajarkan tentang matematika, bahasa, fisika, hingga betul-betul mahir dalam keilmuan tersebut, namun untuk mencapai keberhasilan menjadi manusia paripurna, maka ada hal lain yang mungkin kita lupakan. Diperlukan kecerdasan emosional (EQ) yang akan memberikan keterampilan dalam bersosialiasi dan berhubungan dengan orang lain, serta kecerdasan spiritual (SQ) yang akan memberikan jawaban atas eksistensi diri.

Dengan ilmu kita tentu sanggup membuat nuklir, menciptakan senjata pemusnah massal, dengan ilmu kita bisa melakukan terobosan transportasi dan komunikasi. Keberadaan ilmu jika tidak di imbangi dengan emosional yang terkelola dengan baik akan menjadi senjata makan tuan bagi pemiliknya, semuanya menjadi sia-sia, pengelolaan emosi yang baik bisa kita sederhanakan dengan bagaimana seorang diri mampu membaca keadaan, menjaga perasaan, membahasakan dengan santun, tidak menyinggung perasaan dan menyakitkan, itulah tugas dan fungsi kecerdasan emosional tersebut, bisa kita bayangkan jika kita ingin menarik simpati orang lain dalam hal jual beli atau bisnis, kita menawarkan sesuatu produk kepada orang lain jika tidak di barengi rasa empati, sabar, peduli, dan pandai melihat situasi maka semuanya bisa berubah dari untung kepada rugi, karena pasti nya orang yang tidak menghargai orang lain di sisi nya maka sama hal nya ia memberikan ruang kepada orang lain untuk tidak menghargai dirinya.

Penempatan spiritual yang menjadi hal terpenting dalam kehidupan, setiap agama mengajarkan kasih sayang, Islam memberikan contoh dan teladan melalaui para nabi-nabi-Nya. Bahkan Michael H Hart menempatkan urutan nomor satu di antara deretan tokoh paling berpengaruh dalam kehidupan dunia ini adalah Rasulullah SAW (red. Nabi Muhammad Saw). tidak benar kiranya jika di katakan seperti ungkapan Karl Max bahwa agama adalah racun kehidupan, tentu nya perlu di teliti lebih lanjut keberagamaan ketika itu jika ingin mengambil sebuah kesimpulan, bahwa keberagamaan sering nya menjadi korban politik. Agama yang hanif  ini telah mengajarkan kita tanggung jawab, kesederhanaan, cita-cita bernegara adalah Darussalam. Kesejahteraan yang bermartabat, saling menjaga dan peduli. Itulah bingkai piagam Madinah, dan gambaran seorang kepala pemerintah seperti Umar bin Abdul Aziz yang mempunyai spirit Islam. Baiknya kita jangan mengorbankan agama dalam berbuat, jangan menggadaikan idealisme kita dalam bernegara, dan jangan sekali-kali mengedepankan keegoan kita dalam berpendapat. Karena hidup kita ini sangatlah singkat, dan kelak akan diminta pertanggung jawabannya, marilah kita asah kecerdasan berlogika, emosional, dan spiritual untuk bangsa dan kelak melaporkannya di hapadapan Allah SWT. 


* Penulis adalah Alumni Program Pasca Sarjana Univ. Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar