Oleh: Rahmat Kurnia
Lubis*
Menurut Robert N. Bellah, masyarakat muslim klasik itu
“modern” (terbuka, demokratis, dan partisipatif ), dan bahwa keadaan itu
berubah total setelah tampil nya dinasti Bani Umayyah. Oleh karena itu,
kesenjangan yang ada sekarang antara ide dan realitas dalam
masyarakat-masyarakat Islam harus ditelusuri sebagai kelanjutan apa yang
dilihat oleh Bellah sebagai “kegagalan” dimasa-masa awal itu sendiri. Secara
jujur kita harus mengakui bahwa proses perjalanan nya telah terkontaminasi oleh
kepentingan, keyakinan telah masuk kepada ranah politik maka lahirlah teologi,
perbedaan persepsi dan ideologi telah membuat mereka menjadi generasi yang
berdarah-darah akibat perebutan sebuah dinasti, belum lagi kebijakan yang
muncul dari sang khalifah penguasa adalah karena arogansi dan kesenangan
individu semata, inilah dia realitas pahit yang ada, tentunya disamping itu ada banyak hal juga yang
menjadi memoar indah dalam sejarah pengembangan Islam hingga kelak dia bisa
masuk kebelahan penjuru mana di beberapa benua dunia. Oleh hal itu keyakinan
dan cara kita berIslam itu bisa jadi kemudian adalah atas sebuah doktrin
politik yang mengakar kuat di zaman umawiah maupun abbasiah namun tetap kita
seolah merasa bahwa prinsip itulah yang paling benar adanya, kita hampir tidak
bisa membedakan antara Islam dan pemikiran Islam, agama dan pemikiran
keagamaan, hingga sesuatu hal yang harusnya bersifat elastis dalam sebuah
pewacanaan dan pengaktulisasian sebuah doktrin akhirnya menjadi penyandraan
tersendiri terhadap akal dan waktu, karena jelas masa kini telah berbeda dengan
masa lalu yang sudah ditinggal pergi oleh zamannya. Marilah kita simak kutipan
dibawah ini melalu Encylopaedia Britannica “Islam”:
“sejak dari asal mulanya Islam, melalui ajaran
prinsip-prinsip moral dan berlakunya hukum dalam kenyataan pembaruan masyarakat
merupakan bagian dari inti ajaran Islam. Sungguh, Islam dapat dilukiskan
sebagai gerakan pembaruan yang didukung oleh ide keagamaan dan etis tertentu
yang sangat kuat berkenaan dengan Tuhan, manusia, dan alam raya. Di Madinah,
begitu keadaan mengizinkan, Nabi membentuk komunitas negara dengan sebuah
konstitusi dan sesuai dengan tuntutan keadaan, perundang-undangan yang
diperlukan pun dibuat untuk komunitas negara itu, baik dalam bentuk ordonasi
dari al Quran maupun perintah-perintah Nabi, yang biasanya melalui musyawarah
dengan satu komunitas. Faktor yang paling fundamental dan dinamis dari etika
sosial yang diberikan oleh Islam ialah egalitarianisme semua anggota, tidak
peduli warna kulit, ras dan status sosial atau ekonomi nya, adalah partisipan
yang sama dalam komunitas”.
Dari pernyataan diatas maka seharusnya Islam sebagai agama
bisa melahirkan sebuah kesejahteraan, kedamaian dan kesuksesan dalam berdikari,
sebenarnya ada banyak hal kajian Qurani yang telah kita tinggalkan, hingga ia
hanya sebatas wacana yang tidak pernah membumi. Pernahkah kita menyadari bahwa
banyak penelitian hingga akhirnya yang serius untuk menangkap pesan Qurani itu
adalah orang yang nyata-nyata kufur terhadap Tuhan Allah Azza Wajalla. Lihatlah
al Quran bagaimana mengingatkan manusia terkait dengan waktu, perencanaan,
profesionalitas, dan membaca, secara filosofis bahwa Tuhan mengajarkan kita
banyak hal yang harus kita tangkap pesannya. Allah menginginkan kita menjadi
generasi yang sukses bukan menjadi generasi yang gagal karena itulah wahyu
diturunkan dalam tataran normatif yang harus dikaji secara mendalam agar lebih
relevan dan bersaing dengan zaman. Rasulullah mengajarkan kepada
sahabat-sahabat nya sebuah komitmen dan pemikiran yang mendalam tentang Islam,
mereka hanya diajari di universitas-universitas kenabian yang nota benenya
pembelajaran itu dilaksanakan hanya dari masjid ke masjid, namun pada akhirnya
mereka mampu menjadi generasi yang unggul, hampir tidak ada para sahabat nabi
yang tidak mempunyai kecakapan yang terampil sesuai dengan kapasitas dan
potensi yang di miliki nya, semuanya terasah dan akhirnya bermanfaat bagi
manusia lainnya. Ada sahabat yang memang dikenal sebagai seorang saudagar
seperti Abu Bakar, sebagai ilmuwan Ali Bin Abu Thalib, ada yang terkenal karena
nalar kemujtahidannya adalah Abdurrahaman bin Auf, karena kefasihan lidahnya
sebagai diplomat, dan mereka yang ahli strategi militer semuanya terkumpul
dalam rumpun sahabat nabi. Mereka semunya terbentuk atas dasar potensi yang
mereka miliki dan kemudian sang Rasul membebaskan dengan pilihan-pilihan hidup
mereka dengan inspiras wahyu dan digelorakan semangat nya oleh kanjeng Nabi.
Ada tiga rahasia sukses yang menjadi concern utama pemikiran
Islam yang telah diajarkan oleh baginda nabi, pertama adalah quwatul aqidah,
kedua quwatul fikriyah, dan ketiga adalah quwatul ukhuwah, ketika tiga hal yang
paling fundamen ini menyatu dalam kepribadian seseorang maka ia akan menjadi
manusia yang paling bermanfaat, melahirkan jiwa-jiwa yang berilmu pengetahuan,
yang mencintai Tuhan dan agama nya serta tidak akan melepaskan diri dari jiwa
sosial nya. Dengan akidah yang benar kita akan mengetahui hak dan kewajiban
hidup di bumi ini, dan akan kemana akhir dari pada bumi persinggahan ini karena
tidak akan ada yang abadi kecuali Rabb semesta, melalaui penalaran yang logis
dan sistematis akhirnya kita akan mampu menguasai tekhnologi, mengikut arus
modernisasi, globalisasi tanpa tergilas oleh zaman yang terus berputar dan
berubah ini, makanya sifat keterbukaan diri itu harus dibangun untuk menguasai
cakrawala pemikiran dan formula yang tepat dalam hal keilmuan, tidak heran
kiranya jikalau sang baginda nabi justru menganjurkan umat Islam di masa nya
untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina, itu artinya sebuah pertanda bahwa
kita harus dengan sigap terhadap perkembangan zaman dan keilmuan tanpa
membeda-bedakan satu sama lain arti sebuah kebenaran ilmu, seperti kata
Muhammad Iqbal bahwa ketika kita mengambil kebenaran bukan berarti harus mengganti
baju dan merubah warna kulit kita, mengambil sesuatu hal yang bermanfaat dari
mereka bukan kemudian juga harus menanggalkan sesuatu yang paling mulia dari
kita, inti nya membuka diri terhadap segala perubahan adalah hal paling
mendasar untuk sebuah peradaban dan kemajuan sebuah individu. Sementara itu
silaturrahim yang terbangun dengan baik akan melahirkan suasan psikologis yang
damai, nyaman dan melahirkan kesalehan sosial yang satu sama lain mempunyai
ketergantungan untuk sebuah ketergantungan yang sama yaitu membumikan
nilai-nilai universal sebuah kemanusiaan di alam semesta ini.
Las but not Least,
dalam kehidupan nabi telah terangkai empat sifat pokok yang menjadi
sebuah acuan penting bagi kehidupan modern ini, yaitu sifat sidik, (kejujuran),
tabligh (transfaransi), amanah (dipercaya), fathanah (cerdas). Hal langka
inilah yang seharusnya terus kita kembangkan jika ingin lebih berperadaban,
karena dengan sifat utama dari baginda nabi tersebut, apa pun profesi kita,
siapa pun yang kita hadapi, dan di mana pun kita berada, tidak ada masalah, dan
yang pasti baik lawan maupun kawan akan menempatkan posisi kita sebagai orang
yang di percayai walai ia musuh sekali pun, bak ibarat nabi Muhammad saw, tidak
ada satu pun dari kaum kafir yang menafikan kejujuran baginda nabi ini. Kita
membutuhkan jiwa dan pribadai yang baik dalam membangun keberagamaan yang sehat
dan kebangsaan yang bermartabat.
* Penulis Adalah
Alumni Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar