Oleh : Rahmat Kurnia Lubis*
Tahun politik tetap
membuat kita untuk mengakui kebenaran dan kebaikan orang lain. mari berfastabiqul khairat tanpa harus saling
menghujat sesama saudara. karena dengan berisi tegang hanya akan membuat kita menjadi
lupa akan tanggung jawab yang jauh lebih besar. Banyak analisis para pakar dan
asumsi sebagian masyarakat bermunculan terkait menjelang pemilu legislatif dan
presiden ini. Namun tidak sedikit kemudian yang mengecam demokrasi,
mengharamkan pemilu, memberikan perlawanan baik yang secara terang-terangan
berbenturan ideologis atau mereka yang sudah masuk tahap aksi, di lain pihak
ada orang yang menunaikan atau ikut serta dalam hingar-bingar demokrasi tapi
kesalahan demokrasi yang telah di perbuat nya adalah dengan memberikan sebuah
pengukuhan kebenaran absolut dirinya atau kelompok nya, dan mencoba menyerang
kelompok lain. Seolah ideologi partai merupakan harga mati yang harus di bela. Itulah
corak kehidupan bernegara dan berpikir dalam kehidupan politik manusia. Ini merupakan
realitas hitam dan putih. Yang sudah jelas memberikan pernyataan, antara yang
mengharamkan demokrasi dan di sisi lain memainkan peran demokrasi namun seolah mengukuhkan
diri dan menafikan keberadaan yang lain.
Jika kita mengamati dari
kelompok muda, maupun tua, kita akan kembali melihat peta pemikiran yang
abu-abu, sederhananya jika kita memasuki sebuah warung kopi, akan ada
segelintir orang yang tidak yakin terhadap kehidupan politik, menaruh harapan dan
impian untuk kesejahteraan seolah suatu hal yang tidak pernah kunjung datang,
para elit dan pemimpin di anggap hanya bisa retorika penghias media, bahkan sikap
apatis itu di balas dengan pernyataan atas siapa saja yang memberikan bantuan
langsung rupiah maka itulah pilihan sementara sambil menunggu pemain yang siap
membayar lebih mahal dan untuk urusan bilik suara, merupakan hak setiap
individu yang akhirnya sang calon pemimpin yang sudah menabur uang belum tentu juga
terpilih. Di sisi lain kita akan mendengar
pernyataan sebagian orang bahwa pilihan untuk tidak memilih merupakan pilihan yang
solutif baginya. Hal ini tentunya juga bukan tanpa alasan, yang walau ia secara
terang-terangan tidak mengharamkan demokrasi tapi sikap apatis telah membuat
dirinya jenuh melihat tingkah laku para elit, biasanya kelompok orang yang
seperti ini akan menyampaikan bahwa orang baik saja kalau sudah terlibat masuk anggota
parlemen tetap korup dan tidak peduli, bahkan pemimpin atau orang yang mengerti
agama saja masuk dalam kategori tindak pidana korupsi atau perbuatan asusila
lainnya. Ini sudah rahasia yang secara umum di sampaikan.
Perlawanan terhadap
kehidupan demokrasi sangat sering kita dengarkan baik oleh ideologi maupun
dengan pernyataan apatis tadi, hal ini bisa secara langsung ketika dialog
maupun melalaui media sosial. Perlu kita ketahui terlebih dahulu agar kita
menjadi orang yang bijak dalam menentukan pilihan dan sikap, bahwa tujuan berdemokrasi
ini adalah untuk mendamaikan, menjaga keutuhan, dan salah satu jalan untuk
mewujudkan tatanan kehidupan bernegara. Karena kita hidup dalam alam plural,
yang jumlah kepulauannya ribuan dari yang berpenghuni sampai tidak berpenghuni,
keberagaman budaya, dan agama, tentu tidak semudah yang kita bayangkan dalam
menampung aspirasi, maka di perlukan wadah yang secara khusus netral untuk
menjadi jembatan penghubung bagi kehidupan bernegara dalam suatu bangsa yang
berserikat dengan dasarnya yaitu Undang-Undang dasar 1945 dan Pancasila tentunya.
Dalam sebuah qaedah
ushul di jelaskan bahwa apa-apa yang kamu tidak bisa melakukannya semua, maka
janganlah kamu meninggalkannya semua. Ini artinya jika kita tidak bisa
melakukan perbaikan, perubahan secara revolusioner maka lakukanlah apa yang
bisa di perbuat tanpa harus mengutuk keadaan yang ada. Ibarat kata bahwa
membersihkan sesuatu hal itu tidak hanya bisa di lakukan dengan berteriak dan
berdemo, jika ingin membersihkan sumur maka terjunlah atau pakai alat yang
benar untuk bisa menjernihkan mata air di dalamnya, karena jika hanya dengan
berteriak dari luarnya tidak akan merubah keadaan. Jika politik saat ini
menjadi jalan penghubung demokrasi menuju kepemimpinan bangsa, nasional atau
menjadi perwakilan rakyat di gedung parlemen maka politik bisa menjadi sebuah
kewajiban, persoalannya kemudian adalah pergunakanlah politik yang sehat, mari
kita lihat figur/sosok yang mampu menjadi perpanjangan tangan maupun penyambung
lidah masyarakat kecil ini. Karena sama halnya jika kita tidak memilih itu
justru tidak akan merubah keadaan, ketika suara kita tidak di berikan kepada
yang lebih baik di antara yang terburuk maka kemungkinan suara kita akan jatuh
kepada yang lebih buruk dari pada yang kita sangka, kebijakan bisa berubah
total jika suara kita tidak dapat menaikkan orang-orang shaleh ke lembaga
negara ini. Jika orang-orang liberal, orang-orang fundamentalis yang tidak
mempergunakan logika, orang-orang sesat justru berlomba-lomba ikut ambil bagian
dalam pergolakan pemilihan/memasuki kantor wakil rakyat ini, maka seharusnya juga
kita ambil bagian untuk menentukan sikap.
Yang lebih penting
adalah bagaimana sebagai penonton maupun pemain yang meramaikan haknya untuk
memilih dan di pilih untuk tetap menjaga silaturrahim, tidak serta merta hanya
mencari kesalahan orang lain, namun tetaplah berpikir dengan politik yang
sehat, santun dan tetap menjalankan kewajiban sebagai pekerja, sebagai suami,
dan sebagai bagian masyarakat. Politik yang di percontohkan nabi adalah seni
untuk mengolah kesempatan untuk kebaikan bersama. Jika kita review kembali
sejarah, bahwa kanjeng Nabi Rasulullah saw begitu menghormati kawan, maupun lawan,
dan tetap menyampaikan yang benar tanpa harus mencari-cari celah untuk
menjatuhkan orang lain. Sifat yang melekat pada pribadi agungnya Rasulullah saw
adalah sidiq, amanah, tabligh, fathanah. Empat sifat nabi ini menjadi dasar
bagi setiap makhluk untuk berbuat. Terlepas apapun profesi kita maka kejujuran,
menjadi orang yang menunaikan kepercayaan, menyampaikan dengan transparansi,
dan cerdas merupakan pilar untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih
bermartabat baik secara individu maupun kolektif.
Pernahkah kita
membayangkan kehidupan yang jauh dari prasangka, ini adalah idealnya kehidupan,
terlepas dari manapun asal, agama, suku budaya, dan perahu apa yang menjadi
kendaraan politiknya. Maka itu akan tetap indah, karena tujuan berpolitik dan
menjabat sebagai kepala daerah, anggota legislatif dan presiden hanyalah
kesejahteraan. Jika kita sudah mau saling menasehati dalam kesabaran dan
kebenaran, menanggalkan sifat rakus dan ketamakan terhadap popularitas dan
jabatan maka setiap kita akan mau di pimpin dan memimpin, karena tidak ada
alasan untuk mencari jalan kebusukan orang lain, karena hidup kita memang sudah
bermartabat dan mulia. Marilah kita berpikir rasional, objektif, dan menjauhkan
prasangka, serta mengawal kehidupan harmonis untuk semua agama dan bangsa
sebagai kewajiban khalifatullah di muka bumi ini.
*Penulis Adalah Alumni Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar