Rabu, 08 Januari 2014

Editorial Media Indonesia: Mencerabut Akar Terorisme



PERINGATAN berbagai kalangan bahwa terorisme tidak sepenuhnya habis di negeri ini benar adanya. Sebagai salah satu kejahatan luar biasa, selain korupsi dan narkoba, terorisme masih berbiak karena belum semua akar tunjangnya dicerabut dari Republik ini.
Penggerebekan markas terduga teroris di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, di awal 2014 memberi konfirmasi bahwa teroris masih sangat dekat dengan pusat-pusat pemerintahan. Ia nyaris tak berjarak dengan kantong-kantong penggemblengan kontraterorisme.
Fakta itu kian meneguhkan analisis bahwa para teroris telah bermetamorfosis menjadi seperti masyarakat kebanyakan, tak lagi menonjolkan simbol-simbol khusus seperti yang sudah-sudah. Mereka hadir kian susah dan nyaris tak dikenali, tapi tiba-tiba merancang aksi besar.
Untungnya aparat kepolisian kita masih sigap dan waspada. Penggerebekan di Ciputat oleh jajaran Polda Metro Jaya dan Densus 88 itu mengukuhkan kesan bahwa negara tidak mau kalah oleh terorisme. Apresiasi layak kita sampaikan kepada kepolisian yang tak beringsut sedikit pun dari sikap tanggap dan waspada.
Langkah tersebut jelas akan memberikan rasa aman di masyarakat, sekaligus menunjukkan negara masih hadir. Apalagi sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan ancaman terorisme sepanjang 2013 menurun.
Kepala BNPT Ansyaad Mbai mengatakan pada 2012 sebanyak 89 teroris ditangkap, sedangkan pada 2013 ada 87 teroris yang diringkus. BNPT juga menyebutkan kasus teror bom di 2013 relatif sangat sedikit dan dalam skala kecil jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Toh, embrio terorisme seperti patah tumbuh hilang berganti. Tokoh-tokoh utama teroris memang telah dipenjara, tetapi masih saja ada teroris berbahaya yang berkeliaran. Upaya menumpas dan memutus mata rantai terorisme belum sepenuhnya berhasil. Itu terjadi antara lain karena belum komprehensifnya program deradikalisasi.
Sejumlah kalangan menilai terorisme masih menjadi ancaman serius lantaran banyak teroris yang ditembak mati sebelum benar-benar tergali bagaimana mereka membiakkan diri. Dalam penyerbuan di Ciputat, kemarin, misalnya, enam tewas ditembak dan hanya satu yang hidup.
Kita tentu tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Polri. Itu disebabkan ideologi dan doktrin kaum teroris ialah lebih baik mati demi mendapat tiket ke surga daripada tertangkap dan buka mulut. Melawan ketika hendak ditangkap menjadi salah satu cara menjemput kematian.
Di sisi lain, Densus 88 tentu tidak asal menembak mati teroris. Polri pun sebetulnya berkepentingan menangkap teroris hidup-hidup. Itu terlihat dari data bahwa sejak 2002, dari 900 teroris yang dibekuk, hanya 90 yang ditembak mati.
Namun, kita tetap menuntut Densus Polri dan BNPT lebih gigih lagi menemukan cara-cara melumpuhkan teroris tanpa harus menewaskan mereka. Menangkap mereka bahkan saat embrio atau gelagat menuju terorisme sudah terlihat bisa menjadi alternatif pencegahan.
Program deradikalisasi juga menjadi penting, bahkan sangat penting. Program itu harus melibatkan seluruh instansi dan institusi, termasuk Kementerian Dalam Negeri, Kemenkum dan HAM, serta Kementerian Agama, bukan cuma Polri.
Perang melawan terorisme, sebagaimana perang melawan korupsi dan narkoba, memang amat terjal dan berliku. Cuma penanganan komprehensif yang membuat kita mampu mengakhiri perang itu dengan kemenangan gemilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar