PERINGATAN berbagai kalangan
bahwa terorisme tidak sepenuhnya habis di negeri ini benar adanya. Sebagai
salah satu kejahatan luar biasa, selain korupsi dan narkoba, terorisme masih
berbiak karena belum semua akar tunjangnya dicerabut dari Republik ini.
Penggerebekan markas terduga
teroris di Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, di awal 2014
memberi konfirmasi bahwa teroris masih sangat dekat dengan pusat-pusat
pemerintahan. Ia nyaris tak berjarak dengan kantong-kantong penggemblengan kontraterorisme.
Fakta itu kian meneguhkan
analisis bahwa para teroris telah bermetamorfosis menjadi seperti masyarakat
kebanyakan, tak lagi menonjolkan simbol-simbol khusus seperti yang sudah-sudah.
Mereka hadir kian susah dan nyaris tak dikenali, tapi tiba-tiba merancang aksi
besar.
Untungnya aparat kepolisian kita
masih sigap dan waspada. Penggerebekan di Ciputat oleh jajaran Polda Metro Jaya
dan Densus 88 itu mengukuhkan kesan bahwa negara tidak mau kalah oleh
terorisme. Apresiasi layak kita sampaikan kepada kepolisian yang tak beringsut
sedikit pun dari sikap tanggap dan waspada.
Langkah tersebut jelas akan
memberikan rasa aman di masyarakat, sekaligus menunjukkan negara masih hadir.
Apalagi sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan
ancaman terorisme sepanjang 2013 menurun.
Kepala BNPT Ansyaad Mbai
mengatakan pada 2012 sebanyak 89 teroris ditangkap, sedangkan pada 2013 ada 87
teroris yang diringkus. BNPT juga menyebutkan kasus teror bom di 2013 relatif
sangat sedikit dan dalam skala kecil jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya.
Toh, embrio terorisme seperti
patah tumbuh hilang berganti. Tokoh-tokoh utama teroris memang telah dipenjara,
tetapi masih saja ada teroris berbahaya yang berkeliaran. Upaya menumpas dan
memutus mata rantai terorisme belum sepenuhnya berhasil. Itu terjadi antara
lain karena belum komprehensifnya program deradikalisasi.
Sejumlah kalangan menilai
terorisme masih menjadi ancaman serius lantaran banyak teroris yang ditembak
mati sebelum benar-benar tergali bagaimana mereka membiakkan diri. Dalam
penyerbuan di Ciputat, kemarin, misalnya, enam tewas ditembak dan hanya satu
yang hidup.
Kita tentu tidak bisa sepenuhnya
menyalahkan Polri. Itu disebabkan ideologi dan doktrin kaum teroris ialah lebih
baik mati demi mendapat tiket ke surga daripada tertangkap dan buka mulut.
Melawan ketika hendak ditangkap menjadi salah satu cara menjemput kematian.
Di sisi lain, Densus 88 tentu
tidak asal menembak mati teroris. Polri pun sebetulnya berkepentingan menangkap
teroris hidup-hidup. Itu terlihat dari data bahwa sejak 2002, dari 900 teroris
yang dibekuk, hanya 90 yang ditembak mati.
Namun, kita tetap menuntut Densus
Polri dan BNPT lebih gigih lagi menemukan cara-cara melumpuhkan teroris tanpa
harus menewaskan mereka. Menangkap mereka bahkan saat embrio atau gelagat
menuju terorisme sudah terlihat bisa menjadi alternatif pencegahan.
Program deradikalisasi juga
menjadi penting, bahkan sangat penting. Program itu harus melibatkan seluruh
instansi dan institusi, termasuk Kementerian Dalam Negeri, Kemenkum dan HAM,
serta Kementerian Agama, bukan cuma Polri.
Perang melawan terorisme,
sebagaimana perang melawan korupsi dan narkoba, memang amat terjal dan berliku.
Cuma penanganan komprehensif yang membuat kita mampu mengakhiri perang itu
dengan kemenangan gemilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar