Oleh Rahmat Kurnia Lubis*
Seorang istri dengan bahasa polos bertanya kepada suaminya. “Kenapa
bayi begitu disayang, dicintai dan dimanja”? Lalu sang suami pun menjawab,
karena bayi tidak mempunyai dosa, tidak pernah menyampaikan kata-kata yang
membuat orang sakit hati, tidak pernah menyinggung perasaan, dan perbuatan tidak
baik lainnya. Anak yang baru lahir masih fitrah (suci), dan bahkan ketika
berada di alam rahim ibunya, ia pernah bersaksi terhadap konsep tauhid yang
sangat mulia kepada RabbNya. “Alastu
Birobbikum Qolu Bala Syahidna” Bukankah
aku ini Tuhanmu? Betul, kami menjadi
saksi. (Q.S. al-Araf 7: 172).
Anak merupakan titipan berharga dari Allah SWT. Bagi yang
dikaruniai seorang anak maka hendaknya menjaga dan mendidiknya agar kelak dia
menjadi hamba yang baik dan bertakwa kepada Allah SWT serta memperoleh
surga-Nya. Setiap manusia selalu mendambakan bisa menjadi keluarga yang
harmonis, sakinah, mawaddah, warahmah. Ada anak yang merasa bahagia
punya orang tua, begitupun orang tua merasa senang memiliki anak. Anak-anak
kita harus dididik atas dasar cinta, kasih, diberikan pendidikan duniawi dan
ukhrawi, dan diajari sopan santun dalam kehidupan sosial.
Itulah kebahagiaan yang Allah ciptakan di atas kehidupan
dunia ini, yaitu keluarga mampu menjadi jembatan penghubung untuk kedekatan
kita kepada Allah SWT. Seorang bayi yang masih dalam kandungan sudah mulai
diajari dan disambut dengan suka cita, segala bentuk pengajaran berupa musik
yang indah, lagu, sholawatan, dan pernak-pernik baju sudah di persiapkan hanya
demi bayi mungil itu. Begitu lahir ke dunia, ia diperdengarkan suara tauhid,
membesarkan asma Allah SWT berupa adzan di telinganya. Subhanallah.
Anak merupakan garis keturunan yang meneruskan silsilah
kehidupan keluarganya. Seorang anak yang lahir menjadi harapan cita-cita orang
tuanya, ia juga merupakan ladang ibadah bagi orang tua yang membesarkannya. Seorang
bayi kelak akan mengangkat derajat keluarganya, dan mendoakan orang tuanya, menjadi
generasi keberlanjutan kehidupan, juga akan memperbanyak dan membuat Nabi
Muhammad Saw tersenyum karenanya. Maka tidak ada alasan yang membuat kita
merasa enggan untuk mencintai kehadirannya, karena ia sesungguhnya begitu
berharga dalam sejarah.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita memberikan arti
kehidupan yang lebih baik untuk generasi kita?. Mengajari mereka tidak bisa sekaligus
jadi, tapi dimulai dengan benih yang ditanamkan, berdoa kepada Allah SWT, mengajarinya
arti kasih sayang bukan kekerasan, mempertontonkan sikap bijaksana bukan
kehidupan yang penuh ego, memulai dengan ibadah disampingnya bukan hanya
sekedar menyuruh dan menteriakinya, dan mengajarkan huruf demi huruf kata yang
bermakna. Kehidupan sang bayi bukan
sepenuhnya diserahkan kepada pembantu rumah tangga, tapi datang dan
sempatkanlah untuk memeluk tubuh hangatnya.
Kasih sayang yang diajarkan dengan cinta akan terasa dan
bahkan membuat seorang anak dekat dengan orang yang mengajarkannya ketulusan. Dia
akan mendengar, senantiasa menirukan apa yang menjadi perhatian dalam hidupnya
karena sejak kecil ia bak ibarat pita kaset kosong yang harus di isi.“Kullu mauludin yuladu alal fitrah” Artinya setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Label atau
sebutan nakal seringkali ditujukan kepada anak-anak yang prilakunya dianggap
mengganggu teman atau gurunya. Padahal kondisi tersebut, kalau kita mencoba
memahami lebih jauh, adalah bagian proses perkembangan emosi anak. Atau bisa
jadi memang karakter dan gaya belajar anak yang membutuhkan banyak bergerak. Berhati-hatilah
dengan ucapan kita. Karena ucapan kita bisa menjadi doa. Memberikan
label negatif kepada anak sama saja dengan menjadikan anak sebagaimana label
yang kita berikan.
Pendidikan dan kasih sayang tentunya tidak mesti
menghamburkan uang banyak berderet sebagai bagian dari kasih sayang tersebut.
Coba kita renungkan, uang memang bisa membeli tempat
tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang
lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa
membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan
kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. Betapa banyak
anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh
bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian,
ketulusan dan kasih sayang.
Maka perhatian, doa, komunikasi, kebersamaan
serta mencontohkan akan ketulusan, cinta, peka terhadap sosial merupakan
senjata ampuh dalam menciptakan anak yang sholeh yang dapat membanggakan dan
bisa di pertanggungjawabkan di sisi Allah SWT. Anak adalah anugerah terindah,
merupakan pewaris, copy paste orang
tua, menjadi penghibur dikala suka dan duka, maka didiklah ia menjadi yang
terbaik sesudahmu.
* Penulis adalah Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar