Jumat, 03 Januari 2014

Bayi Sang Fitrah yang Mendamaikan




Oleh Rahmat Kurnia Lubis*

Seorang istri dengan bahasa polos bertanya kepada suaminya. “Kenapa bayi begitu disayang, dicintai dan dimanja”? Lalu sang suami pun menjawab, karena bayi tidak mempunyai dosa, tidak pernah menyampaikan kata-kata yang membuat orang sakit hati, tidak pernah menyinggung perasaan, dan perbuatan tidak baik lainnya. Anak yang baru lahir masih fitrah (suci), dan bahkan ketika berada di alam rahim ibunya, ia pernah bersaksi terhadap konsep tauhid yang sangat mulia kepada RabbNya. “Alastu Birobbikum Qolu Bala Syahidna” Bukankah aku ini Tuhanmu?  Betul, kami menjadi saksi. (Q.S. al-Araf 7: 172).

Anak merupakan titipan berharga dari Allah SWT. Bagi yang dikaruniai seorang anak maka hendaknya menjaga dan mendidiknya agar kelak dia menjadi hamba yang baik dan bertakwa kepada Allah SWT serta memperoleh surga-Nya. Setiap manusia selalu mendambakan bisa menjadi keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah, warahmah. Ada anak yang merasa bahagia punya orang tua, begitupun orang tua merasa senang memiliki anak. Anak-anak kita harus dididik atas dasar cinta, kasih, diberikan pendidikan duniawi dan ukhrawi, dan diajari sopan santun dalam kehidupan sosial.

Itulah kebahagiaan yang Allah ciptakan di atas kehidupan dunia ini, yaitu keluarga mampu menjadi jembatan penghubung untuk kedekatan kita kepada Allah SWT. Seorang bayi yang masih dalam kandungan sudah mulai diajari dan disambut dengan suka cita, segala bentuk pengajaran berupa musik yang indah, lagu, sholawatan, dan pernak-pernik baju sudah di persiapkan hanya demi bayi mungil itu. Begitu lahir ke dunia, ia diperdengarkan suara tauhid, membesarkan asma Allah SWT berupa adzan di telinganya. Subhanallah.

Anak merupakan garis keturunan yang meneruskan silsilah kehidupan keluarganya. Seorang anak yang lahir menjadi harapan cita-cita orang tuanya, ia juga merupakan ladang ibadah bagi orang tua yang membesarkannya. Seorang bayi kelak akan mengangkat derajat keluarganya, dan mendoakan orang tuanya, menjadi generasi keberlanjutan kehidupan, juga akan memperbanyak dan membuat Nabi Muhammad Saw tersenyum karenanya. Maka tidak ada alasan yang membuat kita merasa enggan untuk mencintai kehadirannya, karena ia sesungguhnya begitu berharga dalam sejarah.

Pertanyaannya adalah bagaimana kita memberikan arti kehidupan yang lebih baik untuk generasi kita?. Mengajari mereka tidak bisa sekaligus jadi, tapi dimulai dengan benih yang ditanamkan, berdoa kepada Allah SWT, mengajarinya arti kasih sayang bukan kekerasan, mempertontonkan sikap bijaksana bukan kehidupan yang penuh ego, memulai dengan ibadah disampingnya bukan hanya sekedar menyuruh dan menteriakinya, dan mengajarkan huruf demi huruf kata yang bermakna. Kehidupan sang bayi bukan sepenuhnya diserahkan kepada pembantu rumah tangga, tapi datang dan sempatkanlah untuk memeluk tubuh hangatnya.

Kasih sayang yang diajarkan dengan cinta akan terasa dan bahkan membuat seorang anak dekat dengan orang yang mengajarkannya ketulusan. Dia akan mendengar, senantiasa menirukan apa yang menjadi perhatian dalam hidupnya karena sejak kecil ia bak ibarat pita kaset kosong yang harus di isi.“Kullu mauludin yuladu alal fitrah” Artinya setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Label atau sebutan nakal seringkali ditujukan kepada anak-anak yang prilakunya dianggap mengganggu teman atau gurunya. Padahal kondisi tersebut, kalau kita mencoba memahami lebih jauh, adalah bagian proses perkembangan emosi anak. Atau bisa jadi memang karakter dan gaya belajar anak yang membutuhkan banyak bergerak. Berhati-hatilah dengan ucapan kita. Karena ucapan kita bisa menjadi doa. Memberikan  label negatif kepada anak sama saja dengan menjadikan anak sebagaimana label yang kita berikan.

Pendidikan dan kasih sayang tentunya tidak mesti menghamburkan uang banyak berderet sebagai bagian dari kasih sayang tersebut. Coba kita renungkan, uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang.

Maka perhatian, doa, komunikasi, kebersamaan serta mencontohkan akan ketulusan, cinta, peka terhadap sosial merupakan senjata ampuh dalam menciptakan anak yang sholeh yang dapat membanggakan dan bisa di pertanggungjawabkan di sisi Allah SWT. Anak adalah anugerah terindah, merupakan pewaris, copy paste orang tua, menjadi penghibur dikala suka dan duka, maka didiklah ia menjadi yang terbaik sesudahmu.

* Penulis adalah Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar