Jumat, 10 Januari 2014

Badan Wakaf Indonesia akan Data Masjid




Data pasti jumlah masjid yang tersebar di Indonesia belum ada. Menurut Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia Mustafa Edwin Nasution, ada yang menyebut sejuta unit. Namun, itu baru perkiraan. Ketiadaan data ini harus segera diselesaikan.
Ia mengatakan data sangat penting dalam mengetahui status tanah masjid. “Ini yang menjadi masalah selama ini dalam pembuatan sertifikat tanah wakaf pada masjid,” ujar Mustafa, Kamis (9/1). Perlu dikaji status setiap masjid.
Misalnya, bagaimana status masjid yang berdiri di kantor pemerintah, masjid yang dibangun di kompleks perumahan atau di lahan fasilitas sosial dan umum. Belum lagi, sebagian besar masjid dibangun atas inisiatif masyarakat.
Perlu ada kerja sama antara Kementerian Agama, Dewan Masjid Indonesia, BWI, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendata jumlah masjid. Mustafa tidak mengelak untuk mendata membutuhkan waktu yang panjang. Tapi dengan dukungan dana pemerintah, itu tak masalah.
Kalaupun pemerintah tak memiliki cukup dana, ia menjelaskan, BWI akan tetap jalan. Lembaga ini berupaya menghimpun data masjid dan menyosialisasikan pentingnya wakaf tanah untuk masjid. Ia mengatakan pendirian masjid di atas tanah wakaf sesuai syariat.
Di sisi lain, pembuatan sertifikat pendirian masjid di atas tanah wakaf perlu dibuat agar mempunyai kekuatan hukum tetap. Langkahnya, setelah ada ikrar wakaf dan akta ikrar wakaf dari kantor urusan agama, lalu diurus ke Badan Pertanahan Nasional.
Mustafa menjelaskan masjid yang telah memiliki sertifikat akan terhindar dari risiko penggusuran atau alih fungsi lahan. Pemilik tanah tidak bisa membongkar begitu saja. “Sertifikasi perlu agar umat Islam tidak dirugikan,” katanya.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas mengatakan, persyarikatan tersebut memiliki banyak tanah wakaf. Termasuk yang di atasnya dibangun masjid. Ia mengakui semua sudah tertib, maksudnya hampir semua bersertifikat.
“Sertifikat untuk tanah wakaf yang diberikan dalam 20 tahun terakhir sudah rapi,” kata Yunahar. Meski demikian, ia juga mengaku ada yang belum disertifikasi tanahnya. Bahkan ada beberapa kasus, tanah itu ditarik kembali oleh pemiliknya.
Sertifikasi, katanya, akan membuat tanah wakaf aman. Sebab tak jarang, pemilik yang pernah mewakafkan menarik kembali ikrarnya. “Mereka umumnya tergiur dengan harga tanah yang sekarang semakin mahal.”
Sebelumnya, pakar wakaf Uswatun Hasanah mengatakan, BWI telah meminta MUI mengeluarkan fatwa agar tanah masjid harus wakaf. Ada ijtima ulama nasional tahun 2012 yang sudah mengaturnya. BWI berharap MUI meratifikasinya menjadi fatwa.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, dalam isu ini komisi sudah memiliki keputusan. Yaitu, hasil ijtima ulama Komisi Fatwa pada 2009 dan hasil ijtima ulama se-Indonesia di Pesantren Cipasung, Sukabumi pada 2012.
Asrorun menjelaskan, hasil ijtima tersebut menghasilkan kesepakatan status tanah masjid diatur secara hukum. Tanah yang diwakafkan untuk pendirian masjid secara hukum Islam memiliki kedudukan sebagai wakaf meski secara formal belum memiliki sertifikat tanah.
Dalam hukum Islam, tanah yang diwakafkan untuk masjid terikat ketetapan wakaf dalam hukum Islam. Tanah itu tidak boleh diwariskan atau dialihfungsikan. Jika ada yang mengklaim secara hukum formal, itu masuk penanganan dan penegakan hukum.
Karena itu, ia mengatakan sangat penting mengantisipasi hal tersebut. Pemerintah dan BWI perlu proaktif. “Pengurus atau takmir masjid juga jangan ogah-ogahan mengurus,” ujar Asrorun. Takmir perlu mendata status dan mengurus administrasi tanah.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga diharapkan memberi kemudahan. Ia menambahkan, hasil ijtima ulama sudah cukup mengatasi persoalan tanah wakaf. Namun, bulan ini Komisi Fatwa akan merumuskan fatwa baru meski secara umum sama.
Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar