Data pasti jumlah masjid yang
tersebar di Indonesia belum ada. Menurut Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia
Mustafa Edwin Nasution, ada yang menyebut sejuta unit. Namun, itu baru
perkiraan. Ketiadaan data ini harus segera diselesaikan.
Ia mengatakan data sangat penting
dalam mengetahui status tanah masjid. “Ini yang menjadi masalah selama ini
dalam pembuatan sertifikat tanah wakaf pada masjid,” ujar Mustafa, Kamis (9/1).
Perlu dikaji status setiap masjid.
Misalnya, bagaimana status masjid
yang berdiri di kantor pemerintah, masjid yang dibangun di kompleks perumahan
atau di lahan fasilitas sosial dan umum. Belum lagi, sebagian besar masjid
dibangun atas inisiatif masyarakat.
Perlu ada kerja sama antara
Kementerian Agama, Dewan Masjid Indonesia, BWI, dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) untuk mendata jumlah masjid. Mustafa tidak mengelak untuk mendata
membutuhkan waktu yang panjang. Tapi dengan dukungan dana pemerintah, itu tak
masalah.
Kalaupun pemerintah tak memiliki
cukup dana, ia menjelaskan, BWI akan tetap jalan. Lembaga ini berupaya
menghimpun data masjid dan menyosialisasikan pentingnya wakaf tanah untuk
masjid. Ia mengatakan pendirian masjid di atas tanah wakaf sesuai syariat.
Di sisi lain, pembuatan
sertifikat pendirian masjid di atas tanah wakaf perlu dibuat agar mempunyai
kekuatan hukum tetap. Langkahnya, setelah ada ikrar wakaf dan akta ikrar wakaf
dari kantor urusan agama, lalu diurus ke Badan Pertanahan Nasional.
Mustafa menjelaskan masjid yang
telah memiliki sertifikat akan terhindar dari risiko penggusuran atau alih
fungsi lahan. Pemilik tanah tidak bisa membongkar begitu saja. “Sertifikasi
perlu agar umat Islam tidak dirugikan,” katanya.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Yunahar Ilyas mengatakan, persyarikatan tersebut memiliki banyak tanah wakaf.
Termasuk yang di atasnya dibangun masjid. Ia mengakui semua sudah tertib,
maksudnya hampir semua bersertifikat.
“Sertifikat untuk tanah wakaf
yang diberikan dalam 20 tahun terakhir sudah rapi,” kata Yunahar. Meski
demikian, ia juga mengaku ada yang belum disertifikasi tanahnya. Bahkan ada
beberapa kasus, tanah itu ditarik kembali oleh pemiliknya.
Sertifikasi, katanya, akan
membuat tanah wakaf aman. Sebab tak jarang, pemilik yang pernah mewakafkan
menarik kembali ikrarnya. “Mereka umumnya tergiur dengan harga tanah yang
sekarang semakin mahal.”
Sebelumnya, pakar wakaf Uswatun
Hasanah mengatakan, BWI telah meminta MUI mengeluarkan fatwa agar tanah masjid
harus wakaf. Ada ijtima ulama nasional tahun 2012 yang sudah mengaturnya. BWI
berharap MUI meratifikasinya menjadi fatwa.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI
Asrorun Niam Sholeh mengatakan, dalam isu ini komisi sudah memiliki keputusan.
Yaitu, hasil ijtima ulama Komisi Fatwa pada 2009 dan hasil ijtima ulama
se-Indonesia di Pesantren Cipasung, Sukabumi pada 2012.
Asrorun menjelaskan, hasil ijtima
tersebut menghasilkan kesepakatan status tanah masjid diatur secara hukum.
Tanah yang diwakafkan untuk pendirian masjid secara hukum Islam memiliki
kedudukan sebagai wakaf meski secara formal belum memiliki sertifikat tanah.
Dalam hukum Islam, tanah yang
diwakafkan untuk masjid terikat ketetapan wakaf dalam hukum Islam. Tanah itu
tidak boleh diwariskan atau dialihfungsikan. Jika ada yang mengklaim secara
hukum formal, itu masuk penanganan dan penegakan hukum.
Karena itu, ia mengatakan sangat
penting mengantisipasi hal tersebut. Pemerintah dan BWI perlu proaktif.
“Pengurus atau takmir masjid juga jangan ogah-ogahan mengurus,” ujar Asrorun.
Takmir perlu mendata status dan mengurus administrasi tanah.
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
juga diharapkan memberi kemudahan. Ia menambahkan, hasil ijtima ulama sudah
cukup mengatasi persoalan tanah wakaf. Namun, bulan ini Komisi Fatwa akan
merumuskan fatwa baru meski secara umum sama.
Sumber: Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar