Oleh: Rahmat Kurnia Lubis*
Dalam Islam
sudah di sepakati secara umum atau menurut konsensus (ijma’) para ulama bahwa nabi dan rasul itu telah selesai misi nya
dalam menyebarkan agama ini kepada para umat, hanya saja agama yang di
sampaikan oleh para rasul melalui pesan-pesan wahyu sering mengalami kebuntuan
ketika sudah masuk ke dalam pemikiran manusia. Maka untuk menyambung pesan para
rasul-rasul atau utusan Allah SWT itu di butuhkan orang yang mengerti, tidak
hanya sebatas paham, tapi bisa menjadi teladan, dan mampu menafsirkan keilmuwan
Islam itu dalam konteks sosial yang lebih luas. Maka oleh karena itu ilmu Islam
harus mampu menyerap kajian keilmuan di luar dirinya untuk menguatkan landasan
berpikir dan tentunya mengokohkan keberIslaman seseorang agar tidak hanya
sebatas pesan kaku dan doktrin jumud tetapi pemikiran yang dapat kita bedah,
terbuka untuk zaman dan berkembang untuk kemajuan umat manusia. Satu hal yang
perlu kita ingat adalah ketika Imam Syafi’i mengeluarkan sebuah fatwa di Iraq
dan Mesir. Yang lebih fenomenal dengan sebutan qaul qadim dan qaul jadid. Imam
Syafi’I dengan pemikiran yang logis mencoba menggabungkan dan menelaah ulang atas
dua maha guru Abu Hanifah dan Imam Malik. Sehingga perbedaan pendapat atas dua
masalah yang sama dalam dua wilayah yang berbeda membuka pemikiran kita bahwa
sebuah ijtihad adalah sesuatu hal yang mencair seiring dengan pencarian fakta
hukum yang di yakini kebenarannya dengan parameter-parameter tertentu.
Istilah qaul jadid (perkataan
baru) dan qaul qadim (perkataan lama) Qaul jadid ialah qaul
(pendapat) Imam Syafi'i (pendiri mazhab Syafi'i) selama ia bermukim di Mesir
(195-199 H), pada waktu itu ia berusia antara 45-49 tahun. Qaul Jadid
diriwayatkan oleh sejumlah murid dan sahabat Imam asy-Syafi'i yang berdomisili
di Mesir dan sekitarnya. Diantaranya Harmalah Bin Yahya At-Tujaibi (w.243 H),
ar-Rabi bin Sulaiman al-Mawari (w.270 H), Abdullah bin Zubair al-Khamidi (w.219
H), Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w.231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya
al-Muzani (w. 264 H), Abdurahman bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 257 H),
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H)ar-Rabi bin Sulaiman al-Jizi
(w.256 H) dan Abu Bakar al-Humaidi (w.237 H). Adapun qaul qadim diriwayatkan
oleh sejumlah sahabat dan murid Imam as-Syafi'i yang berada di Irak. Antara
lain, Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za'farani (w. 240 H), Imam
Ahmad bin Hambal, Sulaiman bin Dawud al-Hasyimi (w. 220 H) dan Abu Saur Ibrahim
bin Khalid Yamani al-Kalbi. Dinamika pemikiran di kalangan para ulama adalah
sebuah pemikiran yang berlandaskan proses pencarian, penelitian dan semata-mata
untuk pengembangan wawasan keislaman. Tidak ada kita mendengar bahwa ke empat
Imam besar dalam dunia Islam menjadi yaitu Hanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi’I
saling memperebutkan jamaah serta mengklaim bahwa pendapatnya satu-satunya yang
paling benar.
Tradisi pesantren dan
universitas-universitas Islam adalah merupakan lembaga yang di harapkan mampu
menjawab kebutuhan dan kebuntuan umat di zaman modern, karena penafsiran yang humanis,
teologi yang berwawasan kebangsaan perlu di kembangkan untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa dalam menjaga keutuhan peradaban. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia, lembaga pendidikan ini tentu nya
merupakan basis ke ilmuan yang menjadi modal dasar untuk mengerti tentang Islam,
menjadi masalah kemudian adalah jika ada seorang atau lembaga tertentu yang
hanya mempelajari Islam dengan metode training lantas kemudian memberanikan
diri berfatwa dengan bahasa yang menghakimi bagi saudaranya yang lain. Antusiasme
keberagamaan ini tentu nya harus kita apresiasi tapi bukan berarti pelajaran
kita hanya sebatas sehari, dua hari, doktrin keberagamaan, atau sebatas
mengetahui fadhilah dan kemudian semangat beribadah untuk mengejar pahala,
balasan dan angka matematis dari amalan kita, apalagi hanya mengetahui konsep
dasar jihad dalam perang, melupakan cara dan peraturan, terhadap siapa dan
tolak ukur nya bagaimana, begitupun dengan orang yang memompakan semangat
kehidupan zaman nabi sampai semua praktek dan model kebudayaan ingin di ubah
seperti zaman nabi. Mencoba meraih tradisi dan sedikit saja tentang praktek
Islam tapi melupakan banyak hal yang paling esensial dalam ber Islam.
Dalam dunia Islam ada beberapa hal
yang harus di perjuangkan dalam setiap aspek ritual dan kehidupan sosial yaitu maqasid syariah (tujuan syariat). Ada
lima point penting, Pertama. Agama.
Kedua, Jiwa. Ketiga, Akal. Keempat, Keturunan. Kelima, Harta. Kelima hal diatas merupakan maslahah
yang senantiasa di jaga oleh syariat meskipun dengan jalan yang berbeda-beda,
sehingga yang di gulirkan oleh syariat meletakkan dua sendi dasar yaitu mewujudkan
dan melahirkan hukum dan Menjagan
kesinambungannya. Dalam rangka menjaga ke lima point tersebut di atas harus di
ciptakan keamanan dan kenyamanan sehingga tercipta negeri dan agama yang maslahat
buat umat manusia. Dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945 juga di sebutkan
bahwa kemerdekaan hak segala bangsa, artinya maqasid syariah ini sudah berjalan
sesuai dengan tujuan undang-undang begitu juga dengan pancasila yang di
dalamnya terkandung muatan kehidupan berketuhanan, berkepribadian dan
bermasyarakat.
Insan akademis
yang di suplay dari pesantren orang-orangnya merupakan wadah untuk mendiskusikan
segala sesuatu hal, melakukan penelitian, belajar untuk membuka diri, berpikir
rasional dan objektif. Universitas-universitas seperti Institut Agama Islam ini
menjadi garda terdepan untuk penyambung lidah para ulama yang nanti nya
memahami teks dan konteks serta memadukan nya dengan ilmu-ilmu umum lainnya
sehingga agama ini menjadi sesuatu hal yang membumi dari proses Islamisasi ilmu
pengetahuan.
*Penulis adalah Alumni Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar