Kamis, 30 Januari 2014

Pesantren dan Universitas Keagamaan Penyambung Lidah Para Ulama










Oleh:  Rahmat Kurnia Lubis*

Dalam Islam sudah di sepakati secara umum atau menurut konsensus (ijma’) para ulama bahwa nabi dan rasul itu telah selesai misi nya dalam menyebarkan agama ini kepada para umat, hanya saja agama yang di sampaikan oleh para rasul melalui pesan-pesan wahyu sering mengalami kebuntuan ketika sudah masuk ke dalam pemikiran manusia. Maka untuk menyambung pesan para rasul-rasul atau utusan Allah SWT itu di butuhkan orang yang mengerti, tidak hanya sebatas paham, tapi bisa menjadi teladan, dan mampu menafsirkan keilmuwan Islam itu dalam konteks sosial yang lebih luas. Maka oleh karena itu ilmu Islam harus mampu menyerap kajian keilmuan di luar dirinya untuk menguatkan landasan berpikir dan tentunya mengokohkan keberIslaman seseorang agar tidak hanya sebatas pesan kaku dan doktrin jumud tetapi pemikiran yang dapat kita bedah, terbuka untuk zaman dan berkembang untuk kemajuan umat manusia. Satu hal yang perlu kita ingat adalah ketika Imam Syafi’i mengeluarkan sebuah fatwa di Iraq dan Mesir. Yang lebih fenomenal dengan sebutan qaul qadim dan qaul jadid. Imam Syafi’I dengan pemikiran yang logis mencoba menggabungkan dan menelaah ulang atas dua maha guru Abu Hanifah dan Imam Malik. Sehingga perbedaan pendapat atas dua masalah yang sama dalam dua wilayah yang berbeda membuka pemikiran kita bahwa sebuah ijtihad adalah sesuatu hal yang mencair seiring dengan pencarian fakta hukum yang di yakini kebenarannya dengan parameter-parameter tertentu. 

Istilah qaul jadid (perkataan baru) dan qaul qadim (perkataan lama) Qaul jadid ialah qaul (pendapat) Imam Syafi'i (pendiri mazhab Syafi'i) selama ia bermukim di Mesir (195-199 H), pada waktu itu ia berusia antara 45-49 tahun. Qaul Jadid diriwayatkan oleh sejumlah murid dan sahabat Imam asy-Syafi'i yang berdomisili di Mesir dan sekitarnya. Diantaranya Harmalah Bin Yahya At-Tujaibi (w.243 H), ar-Rabi bin Sulaiman al-Mawari (w.270 H), Abdullah bin Zubair al-Khamidi (w.219 H), Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w.231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), Abdurahman bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 257 H), Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H)ar-Rabi bin Sulaiman al-Jizi (w.256 H) dan Abu Bakar al-Humaidi (w.237 H). Adapun qaul qadim diriwayatkan oleh sejumlah sahabat dan murid Imam as-Syafi'i yang berada di Irak. Antara lain, Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za'farani (w. 240 H), Imam Ahmad bin Hambal, Sulaiman bin Dawud al-Hasyimi (w. 220 H) dan Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi. Dinamika pemikiran di kalangan para ulama adalah sebuah pemikiran yang berlandaskan proses pencarian, penelitian dan semata-mata untuk pengembangan wawasan keislaman. Tidak ada kita mendengar bahwa ke empat Imam besar dalam dunia Islam menjadi yaitu Hanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi’I saling memperebutkan jamaah serta mengklaim bahwa pendapatnya satu-satunya yang paling benar.

Tradisi pesantren dan universitas-universitas Islam adalah merupakan lembaga yang di harapkan mampu menjawab kebutuhan dan kebuntuan umat di zaman modern, karena penafsiran yang humanis, teologi yang berwawasan kebangsaan perlu di kembangkan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menjaga keutuhan peradaban. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia, lembaga pendidikan ini tentu nya merupakan basis ke ilmuan yang menjadi modal dasar untuk mengerti tentang Islam, menjadi masalah kemudian adalah jika ada seorang atau lembaga tertentu yang hanya mempelajari Islam dengan metode training lantas kemudian memberanikan diri berfatwa dengan bahasa yang menghakimi bagi saudaranya yang lain. Antusiasme keberagamaan ini tentu nya harus kita apresiasi tapi bukan berarti pelajaran kita hanya sebatas sehari, dua hari, doktrin keberagamaan, atau sebatas mengetahui fadhilah dan kemudian semangat beribadah untuk mengejar pahala, balasan dan angka matematis dari amalan kita, apalagi hanya mengetahui konsep dasar jihad dalam perang, melupakan cara dan peraturan, terhadap siapa dan tolak ukur nya bagaimana, begitupun dengan orang yang memompakan semangat kehidupan zaman nabi sampai semua praktek dan model kebudayaan ingin di ubah seperti zaman nabi. Mencoba meraih tradisi dan sedikit saja tentang praktek Islam tapi melupakan banyak hal yang paling esensial dalam ber Islam.

Dalam dunia Islam ada beberapa hal yang harus di perjuangkan dalam setiap aspek ritual dan kehidupan sosial yaitu maqasid syariah (tujuan syariat). Ada lima point penting, Pertama. Agama. Kedua, Jiwa. Ketiga,  Akal. Keempat,  Keturunan. Kelima,  Harta. Kelima hal diatas merupakan maslahah yang senantiasa di jaga oleh syariat meskipun dengan jalan yang berbeda-beda, sehingga yang di gulirkan oleh syariat meletakkan dua sendi dasar yaitu mewujudkan dan melahirkan hukum dan  Menjagan kesinambungannya. Dalam rangka menjaga ke lima point tersebut di atas harus di ciptakan keamanan dan kenyamanan sehingga tercipta negeri dan agama yang maslahat buat umat manusia. Dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945 juga di sebutkan bahwa kemerdekaan hak segala bangsa, artinya maqasid syariah ini sudah berjalan sesuai dengan tujuan undang-undang begitu juga dengan pancasila yang di dalamnya terkandung muatan kehidupan berketuhanan, berkepribadian dan bermasyarakat.

Insan akademis yang di suplay dari pesantren orang-orangnya merupakan wadah untuk mendiskusikan segala sesuatu hal, melakukan penelitian, belajar untuk membuka diri, berpikir rasional dan objektif. Universitas-universitas seperti Institut Agama Islam ini menjadi garda terdepan untuk penyambung lidah para ulama yang nanti nya memahami teks dan konteks serta memadukan nya dengan ilmu-ilmu umum lainnya sehingga agama ini menjadi sesuatu hal yang membumi dari proses Islamisasi ilmu pengetahuan.   

*Penulis adalah Alumni Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar