Selasa, 07 Januari 2014

Polemik RUU Kerukunan Umat Beragama Terus Berlanjut




Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) terus menuai polemik dari pelbagai kalangan. Sejak mulai dibahas pada 2003 hingga sekarang draft RUU KUB tak kunjung usai. Ada pihak yang setuju dan tidak setuju dengan RUU KUB. Kelompok yang setuju menilai RUU tersebut untuk menekan terjadinya konflik antar umat beragama, sedangkan kelompok yang tidak setuju menganggap RUU itu justru akan merusak kebhinnekaan bangsa ini.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Slamet Effendi Yusuf mengatakan UU Kerukunan Umat Beragama penting untuk mengatur kehidupan antar umat beragama di Indonesia. Menurut dia UU tersebut dibutuhkan untuk menjaga toleransi sebagai suatu bangsa di tengah perbedaan dan banyaknya upaya membenturkan antar umat beragama.
“UU itu diperlukan karena realitas menunjukkan bangsa Indonesia majemuk, sehingga diatur sedemikian rupa terutama hubungan antar umat beragama. Mengatur dari sisi sosial antar agama, namun tidak menyinggung akidah, ajaran agama masing-masing,” ujar Slamet.
Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia ini, mengatakan situasi kehidupan bangsa khususnya hubungan umat beragama di Indonesia saat ini dihadapkan dengan fakta yang cukup mengkhawatirkan. Indikasinya bisa dilihat dari beberapa segi, seperti problem umat agama dalam internal agama sendiri.
“UU KUB juga dimaksudkan untuk meredam potensi konflik antar umat beragama di beberapa wilayah. Semangatnya yakni persaudaraan tentang sesama bangsa,” ujar Slamet.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bahrul Hayat mengatakan RUU ini mengandung substansi antara lain adalah hak dan kewajiban warga negara tentang agama, pendirian rumah ibadah, penghormatan terhadap rumah ibadah dan simbol keagamaan, penyiaran agama, bantuan keagamaan, identitas keagamaan di ruang publik, pemeliharaan ketertiban, peringatan dan perayaan keagamaan, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan peran serta masyarakat.
"Hal-hal tersebut yang biasanya seringkali menjadi pemicu konflik di masyarakat," ujarnya.
Menurut dia pemerintah siap mengambil alih inisiatif RUU Kerukunan Umat Beragama. Hal ini semata agar RUU ini dapat segera disahkan. Urgensi RUU ini untuk segera disahkan, kata dia, adalah tinggi mengingat kondisi politik, ekonomi dan sosial di tanah air saat ini. Terlebih memasuki 2014 yang merupakan tahun politik.
"Kemenag mendorong RUU ini sebagai inisiatif DPR agar segera dibahas karena sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan memang ditargetkan masuk prioritas pembahasan pada 2014," ungkapnya.
Bahrul mengatakan berdasarkan pemeriksaan pihaknya ke DPR dan BPHN, belum ada surat resmi penyerahan inisiatif dari DPR ke pemerintah. Bila tidak ada surat resmi, lanjutnya, maka posisi RUU tetap inisiatif DPR.
Sementara itu, Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute Benny Susetyo menilai RUU tersebut dapat merusak nilai-nilai kebhinekaan. "RUU kerukunan justru akan mengancam Bhinneka Tunggal Ika, karena dalam RUU tersebut mengatur hubungan antar umat beragama yang sudah harmonis. Dimana umat beragama yang sudah hidup damai tiba-tiba diatur yang akan memecah keutuhan bangsa," ungkap Benny.
Menurut dia jika yang disoroti adalah intoleransi antarumat beragama dan berujung kekerasan maka yang perlu diperbaiki adalah penegakan hukumnya bukan membuat undang-undang tersebut.
"Jika ingin memperbaiki permasalahan intoleransi dan berujung pada kekerasan, itu sudah masuk pada ranah hukum. Itulah yang perlu diperbaiki. RUU ini dibuat mengindikasikan bahwa kerukunan beragama di masyarakat terancam, padahal kita hidup harmonis berdampingan. Kenapa untuk berhubungan antar umat beragama perlu diatur?"ujar Benny.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Zainal Abidin berpendapat RUU tersebut tidak menjadi jalan terang atas terjadinya konflik intoleransi dan kebebasan berkeyakinan. Menurut dia aturan yang termuat dalam RUU tersebut justru membubuhkan nuansa diskriminasi, dengan menoleransi keinginan mayoritas dan makin meminggirkan minoritas.
"Konflik dijawab dengan RUU yang menambah nuansa diskriminasi dan tidak sejalan dengan berbagai macam standar prinsip HAM internasional. Masih ada potensi mengatur atau justru membatasi pelaksanaan hak atas kebebasan berkeyakinan sesuai dengan yang dijamin UUD," ujarnya.
Ia menilai RUU KUB bias kelompok mayoritas, sehingga tidak menjawab problem pokok meningkatnya intoleransi dan kegagalan pemerintah dalam menjamin kebebasan berkeyakinan.
Sementara Ketua Komisi VIII DPR Ida Fauziyah mengatakan pihaknya belum menerima draf RUU tersebut karena merupakan inisiasi dari pemerintah. "Kami akan melanjutkan untuk membahas atau tidak jika kami pun sudah menerima draf itu. Saya sendiri pun belum menerima dan membaca RUU tersebut," ujar Ida.
Ida menambahkan RUU Kerukunan Umat Beragama itu tidak masuk di dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2014 di komisi VIII.
Slamet mengusulkan agar RUU itu segera dibahas, baik berdasarkan RUU usulan pemerintah maupun inisiatif dewan, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan, seperti praktisi agama, tokoh pemimpin agama, kalangan akademisi yang mengerti tentang agama, serta para aktivis hak asasi manusia. Pembicaraan untuk menghasilkan draf yang baik perlu dilakukan terus-menerus.[as]
Sumber: Metrotvnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar