Rancangan Undang-Undang Kerukunan
Umat Beragama (RUU KUB) terus menuai polemik dari pelbagai kalangan. Sejak mulai
dibahas pada 2003 hingga sekarang draft RUU KUB tak kunjung usai. Ada pihak
yang setuju dan tidak setuju dengan RUU KUB. Kelompok yang setuju menilai RUU
tersebut untuk menekan terjadinya konflik antar umat beragama, sedangkan
kelompok yang tidak setuju menganggap RUU itu justru akan merusak kebhinnekaan
bangsa ini.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama Slamet Effendi Yusuf mengatakan UU Kerukunan Umat Beragama penting untuk mengatur
kehidupan antar umat beragama di Indonesia. Menurut dia UU tersebut dibutuhkan
untuk menjaga toleransi sebagai suatu bangsa di tengah perbedaan dan banyaknya
upaya membenturkan antar umat beragama.
“UU itu diperlukan karena
realitas menunjukkan bangsa Indonesia majemuk, sehingga diatur sedemikian rupa
terutama hubungan antar umat beragama. Mengatur dari sisi sosial antar agama,
namun tidak menyinggung akidah, ajaran agama masing-masing,” ujar Slamet.
Ketua Komisi Kerukunan Umat
Beragama Majelis Ulama Indonesia ini, mengatakan situasi kehidupan bangsa
khususnya hubungan umat beragama di Indonesia saat ini dihadapkan dengan fakta
yang cukup mengkhawatirkan. Indikasinya bisa dilihat dari beberapa segi, seperti
problem umat agama dalam internal agama sendiri.
“UU KUB juga dimaksudkan untuk
meredam potensi konflik antar umat beragama di beberapa wilayah. Semangatnya
yakni persaudaraan tentang sesama bangsa,” ujar Slamet.
Sekretaris Jenderal Kementerian
Agama Bahrul Hayat mengatakan RUU ini mengandung substansi antara lain adalah
hak dan kewajiban warga negara tentang agama, pendirian rumah ibadah,
penghormatan terhadap rumah ibadah dan simbol keagamaan, penyiaran agama,
bantuan keagamaan, identitas keagamaan di ruang publik, pemeliharaan
ketertiban, peringatan dan perayaan keagamaan, kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan peran serta masyarakat.
"Hal-hal tersebut yang
biasanya seringkali menjadi pemicu konflik di masyarakat," ujarnya.
Menurut dia pemerintah siap mengambil
alih inisiatif RUU Kerukunan Umat Beragama. Hal ini semata agar RUU ini dapat segera
disahkan. Urgensi RUU ini untuk segera disahkan, kata dia, adalah tinggi
mengingat kondisi politik, ekonomi dan sosial di tanah air saat ini. Terlebih
memasuki 2014 yang merupakan tahun politik.
"Kemenag mendorong RUU ini
sebagai inisiatif DPR agar segera dibahas karena sudah masuk Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) dan memang ditargetkan masuk prioritas pembahasan pada
2014," ungkapnya.
Bahrul mengatakan berdasarkan
pemeriksaan pihaknya ke DPR dan BPHN, belum ada surat resmi penyerahan
inisiatif dari DPR ke pemerintah. Bila tidak ada surat resmi, lanjutnya, maka posisi
RUU tetap inisiatif DPR.
Sementara itu, Sekretaris Dewan
Nasional Setara Institute Benny Susetyo menilai RUU tersebut dapat merusak
nilai-nilai kebhinekaan. "RUU kerukunan justru akan mengancam Bhinneka
Tunggal Ika, karena dalam RUU tersebut mengatur hubungan antar umat beragama
yang sudah harmonis. Dimana umat beragama yang sudah hidup damai tiba-tiba
diatur yang akan memecah keutuhan bangsa," ungkap Benny.
Menurut dia jika yang disoroti
adalah intoleransi antarumat beragama dan berujung kekerasan maka yang perlu
diperbaiki adalah penegakan hukumnya bukan membuat undang-undang tersebut.
"Jika ingin memperbaiki
permasalahan intoleransi dan berujung pada kekerasan, itu sudah masuk pada ranah
hukum. Itulah yang perlu diperbaiki. RUU ini dibuat mengindikasikan bahwa
kerukunan beragama di masyarakat terancam, padahal kita hidup harmonis
berdampingan. Kenapa untuk berhubungan antar umat beragama perlu
diatur?"ujar Benny.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM) Zainal Abidin berpendapat RUU tersebut tidak menjadi jalan
terang atas terjadinya konflik intoleransi dan kebebasan berkeyakinan. Menurut dia
aturan yang termuat dalam RUU tersebut justru membubuhkan nuansa diskriminasi,
dengan menoleransi keinginan mayoritas dan makin meminggirkan minoritas.
"Konflik dijawab dengan RUU
yang menambah nuansa diskriminasi dan tidak sejalan dengan berbagai macam
standar prinsip HAM internasional. Masih ada potensi mengatur atau justru
membatasi pelaksanaan hak atas kebebasan berkeyakinan sesuai dengan yang
dijamin UUD," ujarnya.
Ia menilai RUU KUB bias kelompok
mayoritas, sehingga tidak menjawab problem pokok meningkatnya intoleransi dan
kegagalan pemerintah dalam menjamin kebebasan berkeyakinan.
Sementara Ketua Komisi VIII DPR
Ida Fauziyah mengatakan pihaknya belum menerima draf RUU tersebut karena
merupakan inisiasi dari pemerintah. "Kami akan melanjutkan untuk membahas
atau tidak jika kami pun sudah menerima draf itu. Saya sendiri pun belum
menerima dan membaca RUU tersebut," ujar Ida.
Ida menambahkan RUU Kerukunan
Umat Beragama itu tidak masuk di dalam program legislasi nasional (prolegnas)
2014 di komisi VIII.
Slamet mengusulkan agar RUU itu segera
dibahas, baik berdasarkan RUU usulan pemerintah maupun inisiatif dewan, dengan
melibatkan semua pihak yang berkepentingan, seperti praktisi agama, tokoh
pemimpin agama, kalangan akademisi yang mengerti tentang agama, serta para
aktivis hak asasi manusia. Pembicaraan untuk menghasilkan draf yang baik perlu
dilakukan terus-menerus.[as]
Sumber: Metrotvnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar